Mencintai janda

1061 Kata
Aku dengan susah payah membawa barang belanjaanku yang seambrek ini, belum lagi membawa Sanum. Barang belanjaanku jatuh berguguran di jalan, aduh, aku pun memungutinya. Seorang pria menghampiriku dan membantuku memungut barang, tak lupa juga kuucapkan terima kasih. "Mbak mau kemana? " "Kami mau pulang," jawabku ramah. Pria itu menatap barang belanjaanku "Biar saya antar, mbak, ini juga sudah mau magrib, " Aku berfikir sejenak untuk menerima tawaran pria itu. "Saya hanya berniat membantu, mbak, tidak ada maksud macam-macam, " akhirnya aku mengangguk. Hujan rintik-rintik mulai turun dari langit jingga. Untung pria itu membawa payung lipat di tas nya, jika tidak aku harus berteduh dan bisa pulang kemalaman, karena Sanum bisa kehujanan nanti. Ya Allah, terima kasih telah mengirim pria ini untuk membantuku. "Si kecil biar ku gendong saja, nanti kena air hujan," Akhirnya, putriku tidur di pundak pria itu dalam gendongannya. Sedangkan aku membawa barang-barangku. Kami berjalan menuju rumahku, sempat ku dengar bisik-bisik orang yang melihat kami. "Serasi sekali ya mereka" "Mereka manis sekali" Begitulah kira-kira yang kudengar. "Adik mbak cantik sekali, " ucap pria itu. Aku tertawa menanggapi, "Dia anakku, " pria itu terkejut mendengarnya. "Mbak sudah punya suami? Ya ampun, maaf mbak, aku takut ada yang salah paham jika aku mengantar mbak, " "Aku seorang janda, " jawabku tersenyum. Wanita ini janda? Dia terlihat seperti gadis, masih muda dan cantik, batin pria itu. Setelah sampai pria itu pamit pulang, tak lupa berpamitan dengan orangtua Lisa juga, dia menolak diajak masuk ke rumah dulu. "Siapa, nak? " tanya ibu. "Temen buk. " jawabku penuh bahagia, dia orang yang sangat sopan dan baik. Ternyata bukan hanya hujan yang mendatangkan basah, tetapi juga rahmat. Esoknya, Sanum merengek mencari pria yang mengantarku kemarin. "Ama.. Ama.. Dimana paman kemalin? " rengeknya. "Paman sudah pulang, sayang. Memangnya kenapa nyariin paman itu? " ucapku lembut mengelus kepalanya. Sanum hanya menunjukan wajah cemberutnya. Seperti inikah seorang anak yang tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah? "Hei, kenapa begitu? " aku terkejut saat dia mencubit tanganku dan menarik-narik lengan bajuku. Marahkah anak ini? "Jangan ngambek sama Mama, paman itu sudah pulang, dia bukan siapa-siapa kita, sayang. Ayo, kita beli cokelat saja kalau begitu. " Aku menggendong tubuh mungil anak itu yang masih menunjukan wajah kesal, menuju minimarket terdekat. "Coba cari dimana cokelat yang lezat, " aku mengikutinya yang berjalan di depan, membiarkan anak kecil itu bereksplorasi. "Itu, Ama. " dia menunjuk rak yang tersusun cokelat. "Ayo, coba ambil. " dengan susah payah Sanum mengambil cokelat itu karena tingginya yang belum setara dengan rak. Aku terkejut saat Sanum berhasil menggapai satu bungkus cokelat, dengan seorang pria yang membantu menggendong anak itu. "Paman," Sanum tersenyum riang ketika melihat siapa yang membantunya. Ya, pria yang mengantarku sore itu. "Telima kacih, Paman. Ama, belikan juga untuk paman ini, " "Panggil saya paman Rezki, nona kecil, " "Paman Kiky? " pria itu tertawa kecil karena Sanum tidak bisa menyebutkan namanya dengan benar. "Iya, panggil sesuka adek saja, " jawabnya tersenyum. "Ayo, biar saya bayarkan. " ucap pria itu kepadaku yang masih melamun. Ketika sadar apa yang telah terjadi, aku mengejarnya yang sudah menuju kasir. "Eh, tidak usah, aku ada bawa uang kok, " "Tidak apa-apa, " ucapnya santai. Astaga, mengapa nyawaku rasanya berhamburan ketika berhadapan dengan pria ini. "Paman, temani Canum makan ini, " pinta anakku. Aku pun menatapnya tajam. "Tolong, turunkan anakku, " pintaku. "Tapi, dia-" "Turunkan. " Dengan wajah heran dia menurunkan anakku dari gendongannya. "Paman, nanti mau ndak temani Canum main di lumah? " "Tidak bisa, sayang. Paman sibuk dia harus bekerja, Sanum gk boleh merepotkan paman, ya. " aku menjawab permintaan anakku agar hubungan mereka tidak terlalu jauh. "Boleh, nanti paman temani Sanum main kemana aja yang kamu mau, paman janji. " aku menatap tajam ke arah pria itu, mengapa ia malah menyetujuinya. "Tidak, ayo, kita pulang. " aku menggendong paksa putriku membawanya pergi. Sanum malah menangis meronta. "Mbak, tolong biarkan saja dia, kasihan Sanum. " "Tolong jangan memberi dia ha-" aku menghentikan kalimat yang ingin kuucapkan. Aku tidak ingin dia memberi harapan kepada putriku, karena jika nanti kalau akhirnya dia tidak serius, dia akan menyakiti hati putriku. "Jangan apa? " "Terima kasih sudah baik kepada kami, kami permisi. " aku berlalu meninggalkan pria itu. "Ama.. Ama! Canum mau ama paman Kiky! " putriku menangis meronta ketika kami sampai di rumah. "Sayang, paman itu sibuk kita tidak boleh merepotkannya, paman itu bukan siapa-siapa kita, Sanum tidak boleh seperti itu, " Putriku itu terus menangis meronta, "Mama tahu kamu menginginkan sosok ayah, tapi tidak seperti ini! " refleks aku membentaknya. Putriku tersentak karena teriakanku dan langsung terdiam dalam tangisnya. "Maafkan mama, sayang. Maaf, maafin mama, jangan menangis." aku langsung memeluknya. Putriku hanya terisak dalam pelukanku. Aku hanya tidak ingin membiarkanmu kecewa, karena itu aku tidak ingin kau berharap kepada siapapun, batinku. Pilu sekali rasanya melihat putriku seperti ini. Malamnya putriku panas tinggi, aku pun membawanya ke Rumah Sakit. "Paman.. Paman.. " begitulah ia mengigau. Dia mencari pria bernama Rezki itu. Sampai segitukah anak ini menginginkan sosok ayah? Dengan terpaksa, aku menghubungi pria itu untuk datang ke Rumah Sakit. Keselamatan anakku lebih penting. Ia sakit karenanya. Setelah pria itu datang, ia menciumi wajah putriku dengan penuh kasih sayang. Kutatap matanya terdapat ketulusan disana. "Kau lihat kan, seharusnya kau tidak memberikan anak ini perhatian, aku tidak mau dia mengalami rasa kecewa karena terlalu berharap apa yang tidak pernah ia rasakan, " "Andai kau tahu, anak ini, selama ia berada dalam kandungan hingga sekarang, ia tidak pernah tahu apa itu sosok ayah, jadi aku mohon jangan beri dia harapan, " "dan, jangan temui dia lagi. Agar dia tidak berharap terlalu jauh. " jelasku. "Aku akan menikahimu. " pernyataan pria itu sontak membuatku terkejut. "A-apa? " "Aku serius dengan perkataanku. Aku menyayangi anak ini, dan kau lebih menyayanginya, jadi, kita lakukan demi dia. " ucapnya menatapku serius. "Jangan gegabah, aku tidak tahu siapa kau, dan aku tidak mau merasakan sakit karena memilih lelaki yang salah lagi, " tolakku. "Aku adalah putra kedua dari bos tempatmu bekerja di resto dulu, aku sudah mengenalmu, apa kau ingat saat kau ketiduran di restoku, ada seseorang yang menyelimutimu menggunakan jaket, dan sampai sekarang jaket itu belum kau kembalikan karena kau tidak tahu siapa pemiliknya, akulah pemiliknya. Dan, aku adalah orang yang menyelimutimu. " Aku menatap dia tak percaya, ternyata dia adalah anak bos ku. Dan orang yang menyelimutiku. "Aku mencintaimu sejak pandangan pertama, Lisa. " Dia tahu namaku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN