bc

Sampai Jadi Debu

book_age16+
90
IKUTI
1.0K
BACA
possessive
family
second chance
arrogant
badboy
boss
drama
enimies to lovers
addiction
like
intro-logo
Uraian

[ Sequel Setelah Delapan Belas Tahun ]

Hampir tiga tahun lamanya, Johana tak pernah sekali pun bertemu lagi dengan Candra. Pria itu seolah lenyap ditelan bumi tanpa sepengetahuan manusia. Johana pun acuh tak acuh akan hal itu, ia memang sudah berniat mengasingkan diri dari kehidupan pria itu. Akan tetapi, takdir berkata lain. Johana dipertemukan kembali dengan Candra yang membawa alasan mencengangkan di masa lalu. Pria itu hanya berpura-pura amnesia dan entah apa tujuannya berbohong mengenai hal tersebut.

Johana yang mendengar pernyataan itu langsung marah dan rasa benci mulai menggerogoti hatinya. Ia langsung memutuskan untuk tidak melamar pekerjaan di perusahaan milik Candra. Namun Candra tidak hanya tinggal diam, pria itu melakukan berbagai cara licik agar Johana bisa selalu di sisinya.

Kisah mereka berpacu kembali bagaikan kuda yang tengah ikut peperangan. Akankah keduanya bisa berdamai atau justru mati di pertengahan jalan?

chap-preview
Pratinjau gratis
Bagian 1
Johana melangkah dengan percaya diri menuju perusahaan untuk wawancara pekerjaan yang sangat diinginkannya. Namun, takdir tampaknya menantangnya, karena langit tiba-tiba membuka pintu langitnya dan hujan deras turun begitu saja. Dalam upaya untuk melindungi dirinya dari hujan, ia berlari menuju halte bus yang berada di depannya. Johana berteduh di sana sambil mengibaskan tangannya pada pakaian yang ia kenakan. Belum selesai cobaan ini berakhir, tiba-tiba air cipratan dari mobil yang melaju kencang melanda pakaian rapi Johana. Basah kuyup dan marah, Johana melotot tak percaya. Baju berwarna putih polos yang ia kenakan kini berubah menjadi bermotif kecokelatan. Johana berteriak meminta pertanggungjawaban. "Hei!! Berhenti!!!" Mobil itu terpaksa berhenti, dan seorang pria yang tampaknya kurang peduli memundurkan kendaraannya hingga sejajar dengan Johana. Kemudian, melemparkan beberapa uang lembar seratusan keluar jendela mobil yang sedikit terbuka. "Ini untuk mengganti pakaianmu." Johana yang merasa dihina sontak naik pitam, "kamu pikir semua hal bisa diselesaikan dengan uang!" Serunya sambil menangkap uang-uang yang dilemparkan pria itu. "Kamu seharusnya meminta maaf, bukan memberikan uang seperti ini." Pria itu hanya menganggap remeh, "Uang lebih baik daripada maaf palsu. Tenang saja, uang itu cukup untuk mencuci dan membeli pakaian baru." Johana mencoba menahan diri, tetapi kemarahannya tidak terbendung. "Jangan mentang-mentang kamu anaknya orang kaya bisa seenaknya memperlakukan orang lain." Teriak Johana. Kini Johana beralih menggedor kaca mobil tersebut dengan keras. Berharap sosok bersalah itu keluar dan meminta maaf kepadanya. Namun seberapa gigih Johana mengetuk kaca, pria itu tak kunjung membukakan kaca mobil sepenuhnya. "Keluar kau!" "Tidak mau. Bukankah aku sudah bertanggung jawab?" "Bukan dengan cara seperti ini. Buka!" Teriak Johana sekali lagi. Untungnya tidak ada orang yang berteduh di sana selain Johana. Jadi pertengkaran ini tidak mungkin menjadi bahan tontonan gratis untuk orang-orang. "Buka! Biarkan aku melihat wajahmu dan akan ku ingat, setan! Siapa kamu sebenernya?" "Itu tidak penting. Semoga wawancaramu berhasil!" Pria itu tertawa sekali lagi sebelum meninggalkan Johana yang masih terdiam di tepi jalan, melamun memikirkan pernyataan pria di mobil itu. Bagaimana bisa pria itu mengetahui kalau ia akan melakukan wawancara? Apakah pria itu mengenalinya? Namun Johana segera tersadar. Bukankah pakaian yang dikenakannya memang terlihat seperti orang yang akan melakukan wawancara kerja ya? Lagipula, tidak penting juga Johana memikirkan siapa sosok tersebut. Tapi ada satu hal yang membuat Johana merasa deja vu yang aneh. Kejadian ini mirip dengan pertemuan traumatisnya dengan Candra di masa lalu. Keinginannya untuk sukses di wawancara hampir terlupakan, tergantikan oleh perasaan campur aduk dan kenangan yang terpanggil kembali. *** Johana tergesa-gesa berlari menuju gedung tempat wawancara setelah mencuci dan mencari pakaian baru di toko terdekat. Ketika Johana tiba di depan gedung, ia terkejut melihat mobil yang memercikkan genangan air itu ternyata terparkir di sana. Tanpa ampun, dia menendang roda mobil dengan frustrasi, sambil mengeluarkan u*****n kecil yang tak terdengar oleh siapapun. Namun, tekadnya masih kuat untuk tidak menyerah. Johana bergegas masuk ke dalam gedung, ia mendatangi resepsionis dengan napas tersengal-sengal. "Maaf, di mana ruang wawancara untuk posisi ini?" Tanyanya cepat. Resepsionis menoleh dengan pandangan heran, "Maaf, sesi wawancara untuk posisi itu sudah selesai beberapa menit yang lalu. Anda terlambat." Johana merasa dunianya runtuh. Matanya membelalak dan dadanya terasa sesak. "Tapi, saya punya alasan yang kuat. Mobil di luar tadi..." ucapnya terbata-bata. Resepsionis hanya mengangguk sopan, "Maafkan saya, aturan kami tetap aturan. Anda bisa mencoba lagi lain kali. Semoga beruntung." Johana mengusap wajahnya dengan kasar lalu menghela napas berat. Hatinya hancur karena satu kejadian kecil yang tak terduga. Kini, ia harus menghadapi kekecewaan dan menemui kembali jalan pulang dengan harapan baru untuk kesempatan lain di masa depan. Padahal ia sangat membutuhkan pekerjaan. Tapi apalah dayanya melawan takdir yang menentang keras. Johana kecewa berat, kemudian ia bergegas meninggalkan meja resepsionis. Namun, ketika ia hampir mencapai pintu keluar, resepsionis memanggilnya kembali. "Maafkan saya, pemilik perusahaan ingin bertemu langsung dengan Anda. Silakan ikuti saya." Johana bingung tapi bersyukur. Dia mengikuti resepsionis dan segera menemui pemilik perusahaan. Langkahnya semakin mantap, namun rasa kepercayaan dirinya mendadak hilang. Apakah ia akan tetap diterima sebagai karyawan? Pasalnya, ia bahkan terlambat saat wawancara tiba. Johana sesekali menggigit bibir bawahnya khawatir, takut apabila ia tak akan lolos. Tetapi hal itu hanya terlintas dalam sekejap, rasa tanggung jawab yang ia bawa cukup kuat untuk dijadikan alasan. Ia harus melunasi hutang keluarganya, kemudian barulah ia menabung untuk masa depan, atau mungkin ia harus menyisihkan sedikit untuk jalan-jalan. "Silahkan masuk, owner sudah menunggu anda." Johana menatap wanita itu horor. Mengapa pemilik perusahaan yang mewawancarai kerja? Sesulit itukah melamar pekerjaan disini? Johana menatap wanita itu sejenak sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan. "Johana Gamalria." Sambut sebuah suara setelah wanita tadi menutup pintu. Johana membelalakkan matanya terkejut. Ia tak melihat seorang pun di dalam sana. Hanya kursi yang memiliki sandaran tinggi menghadap jendela itu yang Johana yakini menyembunyikan siapa yang duduk di belakangnya. "Selamat siang. Silahkan duduk." "Baik, pak." Ucap Johana segera duduk. "Johana Gamalria." Ulang orang tersebut. "Iya." "Hari ini anda terlihat sangat cantik, seperti biasanya." Ujar pria itu masih bersembunyi dibalik kursi tanpa berniat bertatapan dengan Johana. Tapi lebih anehnya lagi, bagaimana bisa seorang owner membual layaknya ABG yang sedang dimabuk asmara? Dan satu lagi, pria itu bahkan belum menatap Johana sama sekali, mengapa ia bisa menilai penampilan Johana? Johana menggelengkan kepala cepat berusaha tetap fokus. "Terima kasih atas pujiannya, pak." "Saya mendengar saat anda memiliki kejadian tak terduga saat menuju kemari. Apakah Anda baik-baik saja?" "Ya, maafkan saya atas keterlambatan tadi. Insiden kecil ini tidak seharusnya menghalangi kesempatan saya." Sahut Johana dengan sigap. "Saya yang minta maaf karena saya lah pelaku tersebut." Dengan wajah geram sambil menahan amarah, Johana berusaha tetap santai dan tersenyum lebar. Ia harus bersikap baik agar bisa diterima di perusahaan ini walau ownernya sedikit menyebalkan. "Saya juga minta maaf atas kelancangan saya." "Tidak perlu meminta maaf, saya yang memiliki banyak kesalahan kepada Anda." Ucap pria itu membuat Johana mengernyit heran. Johana diam bergeming, tak bersuara maupun bergerak. Ada terlalu banyak pertanyaan yang bergumul di dalam pikirannya. Apa maksudnya? Belum sempat pertanyaan di pikirannya terjawab, ia kembali dikejutkan dengan perintah tidak masuk akal owner tersebut. "Tolong tundukkan kepalamu." Perintah pria itu lalu berdiri dan masih membelakangi Johana. Johana mengernyitkan dahi heran, namun ia tetap menuruti perintah calon atasannya tersebut. Suara langkah kaki mulai terdengar menghampirinya. Johana bisa melihat sepasang sepatu hitam mengkilat sejajar dengan sepatu ketsnya, pertanda pria itu telah berdiri di hadapan Johana. Johana berniat melihat sosok itu, "jangan mendongak!" Teguran pria itu berhasil membuat Johana menunduk kembali. "Tutup matamu!" "Untuk apa?" Sentak Johana takut jika ia dilecehkan atau mungkin hal buruk akan menimpanya. "Lakukan!" Pria itu semakin meninggikan nadanya, membuat Johana gemetar dan hanya bisa menurut saja. Detik berikutnya Johana merasakan sebuah jari menyentuh dagunya, membuat kepalanya mendongak perlahan. Kemudian, ia merasakan kecupan lembut pada puncak kepalanya. Johana sontak mendorong pria itu dan melotot tak percaya setelah melihat sosok yang ada di hadapannya sekarang. "Apa kabar sayang?" Candra Athanasius. Pria itu menyapanya dengan santai seolah tak terjadi apa-apa antara keduanya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Tentang Cinta Kita

read
201.6K
bc

My Secret Little Wife

read
115.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
218.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook