Shara bahkan baru saja menyalimi Hanin ketika tiba-tiba seorang pria tampan berbadan tinggi besar masuk rumah dengan menggendong anak perempuan berusia tiga tahun. Terlihat terburu-buru hingga masuk tanpa mengucap salam.
"Kak, nitip Alin, dong." ujar pria tersebut pada mama Deril.
Bocah menggemaskan dengan pipi gembul itu diletakkan sang ayah di sofa lebar dekat ruang tamu.
"Emang kamu mau kemana?" tanya Hanin.
"Ada urusan, pulang agak malem. Bisa ya?"
Hanin menatap nyalang pada Reno-adiknya, "Makanya cari asisten, dong. Udah tahu kerjaanmu sibuk banget, tapi gak mau cari asisten. Sok bisa aja."
"Aku gak suka anakku diasuh-"
"Ya udah cari istri baru!" potong Mama Deril dengan intonasi agak tinggi. Bahkan Shara sampai kaget dan refleks menyentuh ujung jaket Deril.
Mengerti bahwa emosi mamanya akan meledak setelah ini, seperti yang sudah-sudah, akhirnya Deril memilih menengahi. Ia maju dan menggendong Alin dari sofa.
"Biar aku aja yang jagain. Pulang jam berapa, Om?"
Reno tersenyum lebar mendengar pertanyaan keponakannya, "Jam tujuh udah balik, kok."
Pandangan Reno berganti ke arah Shara, "Ini pacar kamu, Ril? Maaf gak sempet kenalan." Reno mengangsurkan tangannya menjabat Shara, "saya om-nya Deril. Reno."
Shara mengangguk kikuk, membalas jabatan Reno, "Shara, Om."
"Jadi gak papa, ya, kamu saya titipi Alin sebentar? Itung-itung latihan jadi ibu sebelum nikah sama Deril."
Sebelum Shara menjawab sepatah katapun, Reno berganti menatap sang Kakak, "udah ya, kak. Aku berangkat dulu. Kalau mau ngomel nanti aja. Assalamualaikum."
Sepeninggal Reno, Deril menatap Shara takut-takut. Rencana Deril untuk menemani Shara ke perpustakaan dirumahnya sepertinya gagal total.
Shara menghela nafas lelah.
* * * * *
"Kamu pengen kemana?"
Shara melirik Deril yang sedang fokus menyetir.
Kedua kalinya ya, Ril, pake aku-kamu.
"Terserah."
"Terserah itu tempat apa?" sarkas Deril.
Dari awal mereka masuk mobil, Deril tak bisa menahan senyumnya melihat Shara yang duduk tenang dengan memangku Alin yang bermain squishy berbentuk kepala bayi. Sesekali perempuan itu akan menunduk untuk mencium pipi Alin, atau mengajak Alin menyanyikan lagu anak-anak.
"Makan dulu, bisa gak? Laper banget."
Dengan begitu Deril langsung menyalakan lampu sen kearah kiri dan menuju tempat makan terdekat. Sampai disana, Deril yang sudah duduk nyaman jadi mengernyit melihat Shara yang mengambil duduk sedikit lebih jauh darinya.
"Jauh amat kayak musuhan," celetuk Deril. "Sini deketan."
Shara menurut, ia bergeser ke samping dan duduk disebelah lelaki itu.
"Alin anteng, ya? Gue kira bakalan rewel. Soalnya bapaknya cerewet." ujar Shara yang langsung disambut tawa keras dari Deril.
"Nurun nyokapnya. Mamanya Alin kalem."
Shara mengangguk-angguk. "Mereka.. udah cerai?"
"Iya. Baru berapa bulan, gitu."
"Kenapa?"
Kemudian Shara baru sadar bahwa bukan hak nya mengetahui hal sejauh itu, jadi ia buru-buru meminta maaf pada Deril.
"Gak papa, kali," jawab Deril. "Kayaknya ada orang ketiga, gitu, diantara Om Reno sama Tante Ellen."
"..."
"Om Reno sering selingkuh."
Mata Shara melotot sempurna. "Serius?"
"Kayaknya. Gue gak pernah tanya-tanya, sih."
Tak enak apabila membahas lebih jauh, Shara mengeluarkan ponsel dari kantong jaketnya dan memberikan pada Deril, "fotoin gue sama Alin, dong."
"Alin, senyuuum." Deril menuntun bocah kecil itu, yang mana Alin malah langsung tertawa karena Deril memasang wajah kocak.
Deril mengambil beberapa pose keduanya. Ia tersenyum puas melihat hasil potretnya. Apalagi ketika Alin dinaikkan ke atas meja membuat Alin merengut kemudian Shara tertawa. Deril langsung mengirim foto itu ke w******p-nya.
Pelayan datang ke meja mereka membawa nampan besar, Alin langsung meminta turun dari meja dan bertepuk tangan karena Shara memesankan es krim yang bertabur cookies diatasnya.
"Mbak, bisa minta tolong fotoin?" tanya Deril kepada pelayan makanan cepat saji tersebut.
"Oh, bisa-bisa."
Shara sebenarnya terkejut. Bahkan telinganya memerah saat Deril merangkul bahunya membuat jarak mereka terpangkas habis. Belum lagi dengan Alin yang berada dipangkuannya akan semakin membuat kesan yang diciptakan seperti-
"Mamanya agak geser ke kiri." ujar pelayan tersebut.
Shara menurut dengan gerakan kikuk. Bahkan telinganya menangkap kekehan dari Deril.
Sialan, malah ketawa. Batin Shara geram.
Usai Deril mengucap terimakasih, Shara masih diam menahan malu. Ia pura-pura menyuapi Alin dengan bubur yang mereka pesan. Deril tak lagi menahan tawanya ketika mendapati gerakan salah tingkah gadis itu.
Ia menunduk memberikan ciuman ke pipi Alin yang sedang dipangku Shara, lalu berbisik pada bocah kecil itu.
"Mama lucu banget, kan, kalau lagi salting?"
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Bukan berarti jika hari ini hari minggu, Shara bisa bangun siang walaupun semalaman ia tak bisa tidur. Kemarin malam, Deril meneleponnya sehabis ia melaksanakan sholat isya hingga pukul sembilan. Setelah mengobrol banyak dan tidak penting, Shara yang mengantuk akhirnya memutuskan untuk mematikan lampu kamar dan berangkat tidur. Namun gelap dan sunyinya malam hari membuat pikirannya melayang pada hubungannya dengan Intan yang makin hari makin memburuk.
Ponsel yang biasanya akan mendapat notifikasi dari Intan untuk curhat ini dan itu, kali ini sepi. Terakhir Intan mengiriminya pesan saja sudah empat hari yang lalu. Jika ia hitung, ini sudah hari ke-enam Intan bersikap aneh.
Shara sudah mencoba mendekat dan mencari tahu alasan Intan tiba-tiba begini. Walaupun Intan masih sering menyapa, tetap saja Shara tahu ada yang disembunyikan gadis itu dan jelas sekali Intan menghindar darinya. Mereka berdua bahkan tidak pernah pulang bersama.
Akibat semalaman memikirkan cara untuk mengembalikan persahabatannya dengan Intan, disinilah Shara sekarang. Pukul setengah enam pagi dengan legging dan jaket tipis berwarna merah jambu, rambut dikuncir tinggi, sepatu sporty, serta wajah yang hanya dilapisi sunscreen, Shara duduk di paving taman dengan Intan disampingnya.
Setelah keduanya sepakat untuk jogging pagi ini, Shara tentu tak lupa dengan niat awalnya. Gadis itu menutup botol air mineral ditangan, berdeham pelan unruk memecah keheningan.
"Elo tau, kan, Tan, mutus silahturahim sampai tiga hari itu haram?" katanya dengan pandangan lurus kedepan.
Kakinya ia luruskan, sedangkan kedua tangan Shara berada dibelakang punggung untuk menumpu badan.
"Gue ada salah? Bilang, Tan. Gue gak suka kita kayak gini."
Dengan lirih, Shara tahu Intan menghela nafas pelan membuatnya menoleh menghadap Intan.
"Cerita, please? Kalau gue emang salah, gue janji bakal interopeksi. Jangan diem-diem begini." rayunya sekali lagi. Ia tak menyerah walaupun sepertinya Intan enggan membahas.
Namun pada akhirnya, Intan kalah. Gadis itu menceritakan semua keluh kesahnya. Cerita dari bibirnya mengalun pelan ke telinga Shara. Intan menceritakan bagaimana sore itu Andi mengatakan padanya bahwa laki-laki itu menyukai Shara. Intan bahkan tak menutup-nutupi kenyataan bahwa Intan merasa sakit hati dan semakin tak percaya diri apabila terus berteman dengan Shara.
Bayangkan saja, selama ini, Intan mencoba menutup telinga akibat orang-orang sering membandingkan Shara dengan dirinya. Shara yang cantik, Shara yang pintar, Shara yang ini dan itu, Intan yang hanya begini dan begitu. Kemudian mendengar lelaki yang ia sukai mengutarakan sebuah kejujuran yang seperti minggu lalu, tentu saja rasa insecure-nya semakin membeludak.
Shara bisa melihat cairan bening yang hampir menetes diujung mata Intan jika gadis itu tak segera mengusapnya. Matahari tengah menyalurkan rasa hangat, namun percakapan pagi ini membuat Shara tak bisa menikmati situasi di taman. Gadis itu teringat kalimat Deril ketika mengatakan hal yang sama dengan Intan; bahwa Andi menyukainya. Tapi Shara memang tak percaya kala itu, hingga akhirnya kali ini Intan bilang begini, membuat Shara marah pada Andi. Shara kecewa, Shara sedih melihat Intan yang sekarang malah menelungkupkan wajah dilututnya untuk menutupi air mata yang terus menetes.
"Gue minta maaf, Shar. Gue childish banget. Gue tahu lo gak suka sama Andi tapi gue malah musuhin lo. Sorry..."
Shara bergerak mendekat dan memeluk Intan. Tak peduli bahwa mereka sedang duduk di rumput taman dengan banyak orang berlalu-lalang.
"Gue yang minta maaf, Tan." ucapnya membuat tangis Intan semakin pecah.
"Gue suka sama Andi. Kenapa harus serumit ini, Shar?"
Dan demi Tuhan, Shara ingin segera bertemu Andi dan meluapkan emosinya.
* * * * * * * * * * * * * *
Deril
gmn ca? baikan?
Shara Fressia
iya alhamdulillah
Shara menaruh ponselnya disofa usai mengirim balasan pada Deril. Setelah keduanya banyak berbincang ditaman tadi pagi, Shara benar-benar bersyukur karena Intan kembali menjadi Intan yang biasanya. Intan yang cerewet dan sangat menyebalkan.
Pulang dari taman- yang niatnya lari pagi walaupun lebih banyak berselfie dan beli makanan, Intan memaksa Shara untuk menginap dirumahnya. Shara baru saja akan menolak karena besok hari senin namun Intan bahkan rela mengantar Shara mengambil seragam dan buku pelajarannya untuk besok. Seniat itu. Alhasil, Shara hanya mengangguk pasrah. Hitung-hitung untuk membalas rasa tidak enak hatinya karena Andi.
Deril
lo masih dirumah Intan?
keluar bentar yuk
Usai membaca pesan diponsel Shara, Intan menghampiri pintu kamar mandi dimana Shara sedang membersihkan diri didalam sana. Gadis imut itu menempelkan pipinya disana dan berteriak, "LO MASIH DIRUMAH INTAN? KELUAR BENTAR YUK!" bacanya sesuai isi pesan.
Terdengar suara shower yang dimatikan, kemudian Shara balas berteriak, "Kemana?!"
Intan membalaskan kalimat yang sama pada Deril, menanyakan kemana Deril mengajak Shara malam-malam begini. Tapi pesan tak kunjung dibalas. Jadi Intan memutuskan untuk melempar badan ke ranjang dan menyalakan televisi dikamarnya.
Shara keluar dari kamar mandi dengan piyama bergambar hello kitty, rambutnya tergulung handuk, sepertinya gadis itu baru berkeramas.
"Dibales, gak?" tanya Shara sembari meraih ponsel dikaki Intan.
"Kagak. Udah OTW kali?"
Shara duduk didepan meja rias milik Intan. Kemudian mengambil cream malam yang bermerek sama seperti miliknya. Ia mengambil seujung jari lalu mengoleskan diwajah. Mengabaikan gerutuan Intan yang mengomentari sinetron di Ind*siar dimana sang suami memiliki selingkuhan di belakang istrinya.
Belum sempat Shara menyisir rambut, dering telepon diponselnya membuat Shara segera menekan tombol hijau.
"Kenapa, Ril?" tanyanya tanpa berbasa-basi.
"Aku didepan."
Shara mengernyit, "Didepan?"
Sedetik, dua detik, kemudian Shara terperangah. Gadis itu meloncat menaiki ranjang membuat Intan ikut terkejut. Shara membuka gorden kamar Intan, kemudian matanya membelalak melihat Deril dengan mobil camry-nya didepan gerbang rumah Intan.
"Kok udah disini sih?" gerutu Shara.
"Cepetan turun, njir!" tukas Intan melihat Shara malah melihati Deril dari jendela.
"Ya kali gue keluar pakai piyama doang?"
"Kan bukan lingerie?"
"Astaga, Intan, mulut lo!"
Setelahnya, Shara langsung keluar dari kamar Intan, menapaki tangga-tangga dengan jemarinya yang sibuk menyisir rambut.
"Masuk." ujar Deril usai Shara berhenti dihadapannya. Deril membuka pintu mobil dan mempersilahkan gadis itu. Shara diam menurut. Protes yang akan ia layangkan pada Deril tertelan ditenggorokan, tak jadi ia sampaikan.
"Mau ngajak kemana sih?" tanya Shara setelah Deril masuk dan menutup pintu mobil.
Deril meringis, "Gak jadi keluar. Disini aja ngobrolnya."
"Ada yang mau diomongin?"
Deril mengangguk. Pandangannya berpindah pada rambut Shara yang basah. "Lo abis keramas?"
"Iya."
"Malem-malem begini?!"
"Iya."
"Kenapa gak dari tadi sore aja sih? Malem malah keramas. Mau masuk angin?"
"Ish, gue biasanya juga keramas malem-malem biasa aja, tuh."
"Ye, dibilangin. Rematik tau rasa lo."
Shara mendengus, "Jadi ngomong gak, nih? Kalau gak gue tinggal masuk." sewotnya.
"Oh iya."
Shara diam.
"Gue mau ke kalteng, besok. Ada acara keluarga."
Shara mengernyit, masih tidak paham. "... so?"
"Kok so sih?" jawab Deril tak terima dengan jawaban yang dilontarkan Shara.
"Lah, kalau lo mau ke kalteng emang kenapa? Mau tanya lewat mana?"
Sungguh Shara tak paham. Deril menghampirinya dirumah Intan malam-malam hanya untuk mengatakan ini? Like, seriously???
Deril berdecak, "Tck. Sedih, kek. Apa, kek. Ini gue pamitan. Biar elo gak nyariin."
Shara diam sebentar. Oh, ini maksudnya Deril berniat berpamitan karena besok akan pergi ke Kalimantan Tengah?
Sambil mencoba menahan senyumnya karena merasa dihargai, Shara bertanya, "Berapa lama?"
"Dua hari."
"... oke."
Deril menaikkan sebelah alisnya, "Oke?"
"Ya.. oke? Emang apalagi?"
Deril mendesah frustasi. Gemas ingin menggigit pipi Shara karena tak kunjung mengerti.
"Gak ada good bye kiss, gitu?"
"Hah?"
"Cium, dong."
Pipi Shara mendadak panas. Bibirnya hampir gagal menahan senyum yang tiba-tiba ingin melengkung.
"Idih, apa sih, Deril?!"
"Aku serius."
Aku.
"Dua hari itu lama, tau. Ini biar gak kangen waktu jauh sama kamu."
"Hhh, gak jelas parah." elak Shara kemudian mengalihkan wajah ke arah jendela. Tangannya bersedekap didepan d**a, sekaligus menepis rasa dingin yang hinggap dikulitnya karena ia memakai piyama berlengan pendek.
Deril yang kehabisan kesabaran jadi menumpukan lengan tangannya pada kemudi. Ia mencondongkan badannya pada Shara lalu bahunya mendekat. Ia melabuhkan kecupan seringan kapas pada pipi Shara sebelum berpindah menekan bibir gadis itu. Mengecap rasa ceri dibibirnya karena Shara baru memakai lip balm.
Tidak lama, hanya sekitar satu atau dua menit hingga kemudian Deril menjauhkan diri dan duduk pada tempatnya semula. Pemuda itu menoleh pada Shara dan menyeringai melihat Shara yang merona, "lagi gak?"
Shara diam. Ia melototkan matanya mengancam Deril. Tapi Deril malah tertawa dan mendekat lagi. Shara buru-buru menutup bibir Deril dengan telapak tangannya, mencegah lelaki itu untuk memakan bibirnya lagi.
"No way!"
Shara kira Deril akan menurut kala Shara menggertak. Namun yang ada, Shara merasakan Deril mengecup telapak tangannya yang masih membekap bibir lelaki itu, kemudian memberinya jilatan kecil membuat Shara kegelian dan melepas tangannya.
"DERIL, EW! JOROK BANGET!" teriak Shara sembari mendorong Deril menjauh.
Deril terbahak melihat ekspresi Shara yang panik dan terburu-buru mencari tisu.
"Padahal kalau yang dijilat bibirnya gak jijik?"
"SHUT UP!"
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Hal pertama yang dilakukan Shara ketika bel istirahat berbunyi adalah mencari alasan agar ia bisa terbebas dari Intan. Tadi ketika jam pelajaran berlangsung, ia bingung memikirkan alasan agar kali ini ia dan Intan tidak kekantin bersama. Ada hal yang harus Shara selesaikan dan Intan tidak boleh tahu. Tapi masalahnya, Intan itu kepo maksimal! Ia akan terus ditanyai A hingga Z sampai Intan benar-benar puas.
Tapi untungnya, Shara benar-benar bisa lolos dari Intan karena gadis itu sedang sakit perut. Bukan. Bukan Shara suka jika temannya sakit.
Setelah mengantarkan Intan ke Unit Kesehatan Sekolah, Shara melangkahkan kakinya lebar-lebar ke lantai dua dan tak perlu waktu lama untuk sampai dikelas Deril tersebut.
Tepat ketika Shara baru akan melongokkan kepala ke dalam ruangan kelas, Andi, orang yang memang sedang dicarinya, muncul dihadapan.
"Hai-"
Sapaan Andi tentu terpotong ketika tiba-tiba Shara menarik lengannya, membawanya berjalan dengan cepat ke arah belakang sekolah. Tetes keringat yang jatuh didahinya tak dipedulikan.
Berhenti tepat di dinding yang menghadap gudang sekolah, Shara menatap datar pada Andi yang memasang senyum dibibirnya.
"Kenapa, Shar? Ada yang mau diomongin?" tanya Andi ramah walaupun napasnya sedikit putus-putus karena kelelahan.
Shara mengusap peluh didahi dan hidungnya, "Lo ngomong apa sama Intan?"
Andi mengernyit, "Ngomong apa?" tanyanya benar-benar tak mengerti.
"Lo harusnya ngerti gue bawa lo kesini kenapa, kan? Lo ngomong ke Intan kalau lo-" Shara mendesah frustasi, tatapan tak percayanya ia layangkan pada pemuda itu. "Gimana bisa?!"
Andi terdiam. Tatapannya mendadak dingin. Ia mengamati Shara yang berdiri gusar, gadis itu tampak benar-benar kaget dan tak percaya. Andi tahu kini Shara sedang mencoba menahan emosinya yang ingin meledak dalam hitungan detik.
"Gue kira Intan bisa dipercaya," gumam Andi lirih, yang masih bisa didengar Shara dengan baik. "Gue suka lo. Dari lama, dari awal tahun ini, waktu elo masih pacaran sama Deril. Gue suka elo yang tabah banget ngadepin acuhnya Deril, gue suka elo yang selalu care sama Deril, gue suka elo yang gak pernah nangis dan emosi ngadepin Deril. Gue suka elo, Shara. Gue suka apapun yang lo lakuin. Bahkan gue gak bisa benci elo walaupun elo selalu prioritasin Deril dulu."
Shara terperangah. Apa Andi gila?
"Gue suka elo tanpa bisa maju selangkah pun. Lo bisa bayangin gimana jadi gue?" suara Andi kian melemah. Ada nada frustasi pada tiap kata yang dilontarkan.
Shara menetralkan nafasnya, mencoba mendinginkan kepala, menghadapi ini pelan-pelan, merendahkan nada bicaranya. "Lo ngerti gak, kalau lo suka gue, itu bakalan jadi masalah? Bahkan elo suka sama gue pas gue masih jadi pacar temen lo? Are you kidding me?"
Shara mengangkat tangannya, menyuruh Andi tetap diam karena ia belum selesai bicara.
"Lo pernah bayangin kalau Deril tau ini? Dan- astaga, apa gak cukup buat elo sadar kalau Intan suka sama elo?"
Banyak gurat kecewa di wajah Shara. Shara hanya ingin Andi mengerti dan sadar posisi. Apa jadinya jika Andi terus begini? Menyukai Shara yang jelas-jelas di hatinya hanya terpatri satu nama dan telah berbalas?
"Intan suka sama elo," ulang Shara.
Andi menunduk, "gue tahu."
"Dan elo seenak jidat sengaja cerita ke dia kalau lo suka sama gue?! Lo gak bayangin gimana jadi Intan, hah?"
Shara menggeram frustasi. Tak habis pikir dengan Andi yang berani melakukan hal fatal begini. Banyak yang ingin diutarakan Shara pada pemuda dihadapannya. Hancurnya persahabatan Intan dan Shara seminggu kemarin adalah salah satu resikonya. Dan jika Shara tidak memberi tahu Andi lebih tegas, Shara bisa membayangkan bagaimana reaksi Deril.
Demi Tuhan, Shara tak ingin ada kekacauan dalam persahabatan mereka hanya karenanya!
Bermenit-menit keduanya diam. Shara yang menatap daun berjatuhan dengan pikiran berkecamuk, dan Andi yang menatap kosong pada Shara yang terlihat gusar dan khawatir. Semuanya terasa rumit apabila Andi tak mau...
"Gue gak mau berhenti, Shar. Gue gak bisa mundur."
...Shara harusnya tahu kalau ini tak akan menjadi mudah.
* * * * * * * * * * * *
Shara menangis disalah satu bilik toilet sekolah. Kenyataan bahwa Andi yang selama ini ia kenal baik, ia kenal sebagai salah satu sahabat dekat mantan kekasihnya, berani mengecup pipinya tadi, menimbulkan banyak kekhawatiran dibenaknya, membuat Shara semakin marah dan kecewa. Dua resiko besar tentu akan ia hadapi karena keras kepalanya Andi.
Rusaknya pertemanan Deril dengan Andi.
Juga pertemanannya dengan Intan.
Shara bahkan tak peduli dengan suara bel masuk yang berbunyi, ia masih ingin menangis. Ia masih sesenggukan dan ia tak peduli dengan celoteh para siswi didepan kaca kamar mandi yang bertanya-tanya tentang suara tangis siapa.
Shara butuh Deril untuk menenangkannya. Tapi, ah, bukankah ini berlebihan jika baru kemarin malam Shara bertemu dengan Deril dan pukul 12.30 kini sudah merindukannya?
Ponsel disakunya berdering, membuat Shara yang sebenarnya malas melakukan apapun tetap merogoh ponsel dan menatap layarnya.
Nama Deril muncul disana, tepat ketika suasana hati Shara sedang tak baik karena mendadak merindukan lelaki itu.
"Halo, Ca?"
Rasanya air mata Shara bisa luruh lagi ketika mendengar suara Deril. Hatinya menghangat.
Shara menyedot ingusnya sesaat, lalu berdeham, "Hm?"
"Kok bisa angkat telepon? Bukannya lagi ada kelas?"
"Jamkos," jawab Shara berbohong.
"Gimana? Udah?"
Diantara usahanya mencoba tetap membuka mata karena matanya yang berat dan sembap, Shara mengernyit, "ha? Apanya?"
"Udah kangen belum?"
Tepat sasaran, Ril!
"He-em."
Setelahnya, tak ada jawaban apapun diseberang sana. Deril terdiam. Lama. Dahi lelaki itu mengerut, berusaha mencerna kalimat sederhana yang keluar dari bibir yang sering dikecupnya.
"Apa, Ca? Gak denger."
"Ih, congek!" balas Shara dengan suara serak.
Deril tertawa, "beneran kangen?"
Shara diam tak menjawab. Pikirannya kembali mengingat bibir Andi yang menempel dipipinya tadi. Dan tanpa bisa dicegah, air matanya menetes lagi.
"Iya, kangen."
"Ca, jangan bilang kangen! Gue gak bisa lari kesana."
Kini gantian Shara yang tertawa.
"Kamu kenapa?"
"Apa?"
"Lagi gak baik-baik aja, kan? Cerita coba."
"Sotoy banget."
"Tuh-tuh, suaranya serak. Abis nangis, nih, pasti?"
"Apa sih, Ril? Gue gak papa."
Panggilan dari Deril dipindahkan menjadi panggilan video. Namun Shara langsung me-reject tanpa berpikir panjang.
Deril
angkat, gak?!
Layar ponsel Shara berganti lagi menjadi ajakan panggilan video, namun Shara kembali menolak. Begitu terus hingga tiga kali. Lalu sedetik kemudian, ponselnya kembali bergetar berkali-kali menandakan pesan masuk. Shara segera membukanya.
Deril
bener nih lagi kenapa-napa
Deril
hmm yaudah, nangis yang banyak ya.
jgn ditahan-tahan
Deril
gue gamau pulang kesana kalo lo nya masih sedih.
sedihnya abisin sekarang
Deril
mau cari emotikon peluk tp ga ketemu2 sebel bgt gue
Deril
tunggu lusa ya, gue peluk offline sampe puas
Deril
i love you
* * * * * * * * * * * * * * * * * *
Hari Selasa, hari kedua tanpa seorang Deril disisi Shara. Sialnya, hari ini Intan juga tidak masuk sekolah menjadikan Shara duduk sendirian, juga kemana-mana sendirian. Bukan Shara tidak punya teman yang lain, tapi Shara tidak sedekat itu selain dengan Intan.
Ketika jam istirahat sedang berlangsung, Shara yang memang tak pernah membawa bekal ke sekolah merasa lapar walaupun ia sudah sarapan tadi pagi. Tapi Shara pikir ia bisa menahan rasa laparnya. Namun ternyata tidak karena perutnya berbunyi pelan. Shara meringis, memutuskan untuk berdiri dari bangku setelah merapikan tempat pensilnya. Dan ketika baru saja Shara sampai didepan pintu kelas, gadis itu dikejutkan dengan sosok Andi yang berdiri menyandar pada kayu pintu.
Andi mengulaskan senyumnya ketika Shara muncul dari kelas. "Kantin, yuk?"
Shara mengerjap, mencoba mencerna situasi. Bukankah kemarin Shara sudah memperingati cowok itu untuk tidak mendekat? Mengapa Andi malah seperti unjuk taring? Apa karena hari ini Andi tahu Deril dan Intan sama-sama tak masuk?
Kemudian tangannya digandeng oleh Andi, hingga mau tak mau Shara terseret berjalan dibelakang cowok itu. Shara berjalan kikuk, sedikit merasa tak nyaman dengan situasi ini. Apalagi ketika mereka sudah mendapatkan tempat duduk di kantin, dan Andi masih terus menatapnya sambil tersenyum.
"Mau apa? Siomay?" tawar Andi.
Oke, bahkan Andi tahu makanan yang biasa Shara pesan dikantin?
Shara tak merespon pertanyaan itu. "Gue pesen sendiri—"
"Tunggu sini aja."
Andi berdiri dan kakinya melangkah menjauh menuju stan penjual siomay. Tak lama hingga lelaki jangkung tersebut kembali ke tempat duduk, dengan dua botol minuman dingin ditangannya, juga kantung hitam berisi siomay yang dibungkus plastik mika.
Mereka makan dalam diam. Shara yang tiba-tiba tak berselera makan jadi menyuapkan siomay dengan malas-malasan. Beda lagi dengan Andi yang senantiasa tersenyum kelas, sesekali melirik Shara yang duduk didepannya. Dan ketika Shara menangkap Andi yang terang-terangan menatapnya, Shara terbatuk. Bumbu siomay yang sedikit pedas itu tersangkut ditenggorokannya hingga mata Shara sedikit berair. Andi yang melihat itu jadi panik. Ia dengan membukakan tutup botol dengan sigap dan mengangsurkannya pada Shara.
"Makannya pelan-pelan aja, biar gak keselek." ujar Andi yang dibalas ringisan oleh Shara dan ucapan terimakasih setelahnya.
"SI ANJIRRRR. DAV, DAV, LIAT NOH!" Dari belakang punggung Andi, Shara bisa melihat Agas dan Dava berjalan mendekat ke arah mereka. "Kagak nungguin kita kelar remidi, malah udah dikantin duluan. Temen bukan, lo?" semprot Agas selanjutnya.
Dava mengambil duduk disamping Shara, lalu mengamati Andi dalam diam. Hanya sesaat sebelum Dava melemparkan pertanyaan pada Andi yang membuat Shara tersedak.
"Kok elo disini berduaan doang sama cewek temen sendiri, sih, Sat?" tanyanya dengan gurau bercanda.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
"Shar!"
Shara menghentikan langkah kakinya ketika mendengar teriakan tersebut dari arah belakang. Kepalanya menoleh dan menemukan Andi yang terlihat tergesa-gesa mengejarnya.
"Pulang sama gue?"
Pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Andi pada Shara ketika sampai dihadapan gadis itu. Dengan nafas terengah-engah karena baru saja berlari dari gedung IPS ke IPA untuk menemui Shara.
"Lo gak bawa mobil atau motor, kan?"
Lagi-lagi Andi melemparkan pertanyaan tanpa sempat Shara jawab.
"Dan Intan lagi gak masuk jadi lo gak bisa nebeng dia."
Shara menghela nafas lelah. Iya, ia lelah menghadapi sikap Andi yang begini. "Gue minta jemput—"
"Daripada harus nunggu dulu, mending sama gue," Andi mengulas senyum. "Ayo."
* * * * *
Shara turun dari vespa Andi dengan perasaan tak menentu. Ada rasa jengkel yang bertengger dihatinya dengan sikap lelaki didepannya tapi tak elak Shara memang merasa tak tega. Shara tahu benar bagaimana menjalani kisah cinta bertepuk sebelah tangan. Shara tahu benar rasanya.
Andi melepaskan tali pengait helm yang dipakai Shara, berlanjut melepaskan helmnya dan meletakkan di spion. Shara masih diam ketika tangan Andi tiba-tiba bergerak merapikan rambutnya yang mungkin berantakan setelah memakai helm.
"Berantakan." Gumam Andi ketika Shara menatapnya meminta penjelasan.
Sembari melangkah mundur satu langkah, Shara berucap, "Thanks, ya, udah dianterin."
Andi mengangguk. "Eung— Shar."
"Ya?
"I'm truly sorry for what happened yesterday between us. Gue lancang banget kemaren. I— i'm just—" Andi menundukkan kepalanya dengan perasaan bersalah. "I'm sorry for kissed you."
And, hell. Untuk yang kedua kalinya, tiba-tiba sosok yang tak pergi dari pikiran Shara dua hari ini muncul dari dalam pagar rumah Shara. Dan Shara tidak pernah merasa secemas ini ketika bertemu Deril. Apa laki-laki itu mendengar kalimat Andi?
Andi menatap tenang ke arah Deril, walaupun Andi tahu Deril hanya sedang menahan emosinya. Bahkan keduanya sempat ber-tos ria.
"Udah balik?" tanya Andi tenang.
Deril mengangguk seadanya, "bisa gue ngomong sama Shara berdua dulu?"
Puji syukur Deril dilahirkan dengan sifat tak suka main tangan dan pandai menahan emosi seperti ibunya. Jika Deril memiliki turunan sifat dari Adam— ah, mungkin sekarang Deril sudah melayangkan bogem mentah pada rahang teman dekatnya itu.
Andi berpamitan pada keduanya setelah menghidupkan mesin vespanya, meninggalkan Deril dan Shara yang masih diam hingga berdetik-detik kemudian.
"Masuk dulu?" tawar Shara pada Deril yang berdiri menjulang dihadapannya dengan tatapan dingin.
Pertanyaan Shara tak digubris. "Ada cerita apa aja dua hari ini?"
Sepertinya lelaki itu tak dapat menahan rasa penasarannya terkait Andi yang tiba-tiba mengantar Shara pulang. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi, kan?
Namun Shara tak ingin bertengkar kali ini. Jadi sebisa mungkin, gadis itu menghindar dari topik 'Andi'.
"Hari ini Intan gak masuk. Sepi banget gak ada dia."
"Oh, Intan gak masuk? Pantesan Andi lancar banget modusnya." Deril mendecih pelan. "Baru dua hari loh gue gak masuk. Progress-nya udah jauh aja."
Shara diam.
"And— how about a kiss he gave to you? Were you feel the damn good?"
Rasa kecewa jelas bertumpuk dibenak Deril. Ketakutan yang belakangan ini sering menghantuinya, Andi yang terlihat sudah tak peduli dengan persahabatan mereka, semua semakin terlihat nyata.
Deril mengangsurkan kantong plastik besar berwarna merah jambu. "Ini. Tadi gue kesini mau ngasih ini."
"Gue balik."
Tanpa berkata apapun lagi, tanpa senyuman yang biasa dilayangkan, atau sekedar mencuri kecupan seperti yang biasa pemuda itu lakukan, Deril meninggalkan Shara dengan perasaan bersalah.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Deril menghentikan mobilnya di depan komplek perumahan Shara. Ia menyandarkan kepalanya di stir mobil. Kepalanya serasa ingin meledak kali ini. Apapun yang orang lain pikirkan tentang Deril saat ini jika tau permasalahannya, itu benar. Deril takut dengan konsekuensi perpecahannya dengan Andi, tapi disisi lain, ia juga tak bisa melepas Shara. Usahanya merubah Shara yang dingin setelah ia sakiti dulu menjadi Shara yang sekarang mulai melunak—oke, selama tak ada alasan kuat untuk Deril mundur, Deril menolak untuk menyerah.
Ia meraih ponsel di jok sampingnya, dengan cepat ia mengetik sesuatu disana pada grup 'Agas and The Monkeys' yang tentu saja Agas yang membuat grup itu ketika mereka baru menyelesaikan MOS kelas 10 tahun lalu.
Deril
cocola club koy malem ini
Deril tak perlu menutupi rasa frustasinya dari Andi. Ia ingin Andi tahu bahwa Deril tak bisa melampiaskan emosinya pada Andi, jadi ini cara yang benar.
Dava
tumben
Agas
tumben (2)
Agas
pingin jawab hayuk tapi gue abis ngaji bangke.
besok aja lah jangan tonight
Deril
lo gmn dav
Dava
kecuali lo mau gue diputusin gisel
Agas
wah boleh tuh
biar gue bisa nyepik gisel
Dava
anjing
Andi
mau gue temenin ril?
* * * * * * * * * * * * *
Sejak Deril mengiyakan tawaran Andi untuk menemaninya ke kelab malam, keduanya sudah sepakat berangkat dan bertemu disana ketika tiba-tiba Dava dan Agas berdiri didepan rumah Deril untuk nebeng mobil, katanya. Deril mendengus, tahu benar bahwa Agas dan Dava tak akan pernah membiarkan Andi dan Deril keluar berdua tanpa mereka. Ikatan batin yang kuat. Mereka tahu bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan jika Andi dan Deril ke kelab berdua saja.
Duduk disofa tempat Agas memesan meja, kerlap-kerlip lampu warna-warni, bau alkohol dimana-mana, serta asap rokok yang tak dapat dihentikan, mereka berempat masih berdiam diri dengan lamunan masing-masing. Eh, salah. Agas tidak diam karena ia sedang merayu satu perempuan yang Deril tebak usianya lebih tua dari mereka.
Terserah yang punya kelab saja.
Sebenarnya, Cocola Club bukan milik Agas, juga bukan milik orang tua Agas. Tapi, Agas mengenal dekat dengan pemilik kelab sehingga mereka diperbolehkan masuk walaupun masih baru menginjak usia legal.
Ujung botol alkohol dengan kadar ringan itu berdenting ketika bersentuhan dengan gelas. Dava menuang botol pada dua gelas, miliknya dan milik Agas.
Kemudian Dava melirik Andi, menanyakan lewat tatapan apakah Dava perlu menuangkan alkohol pada gelas kosong satu lagi untuk Andi atau tidak. Dan Andi memilih menggeleng.
"Lo minum gak, Ril?" tanyanya kemudian pada laki-laki yang hari ini tak banyak bicara.
Deril menggeleng.
Keempatnya kembali diam lagi bermenit-menit. Dan Deril masih tenggelam dalam emosinya mengingat Andi dan Shara. Hingga suara Andi memecah keheningan diantara mereka.
"Gue kira it's okay, kan, kalau gue deketin cewek single?"
Satu pertanyaan retoris itu membuat Agas menegang. Iya, Agas doang. Dava mah santai ngelihatin Deril dan Andi. Agas sudah sibuk menyikut lengan Dava, menyiratkan pesan bahwa Andi sudah berani mengibarkan bendera perang.
Deril diam, tapi matanya jelas menatap tajam pada Andi. Ia baru akan menyangkal ketika Andi memotong kalimatnya.
"We all know Shara gak punya pacar. She is free. So am i." Kini Andi menoleh penuh pada Deril. "So tell me, buat apa elo marah?"
Tak ada seringai jahat di bibir Andi, ataupun tatapan permusuhan. Deril menangkap sebuah tatapan dingin, masih seperti Andi yang selama ini ia kenal. Sayangnya Deril lupa bahwa Andi adalah sosok ambisius. Selama ini Andi selalu berusaha keras mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Contohnya saja ketika memperrebutkan ranking kelas. Andi benar-benar tak mau dikalahkan. Tak mau posisinya tergeser.
Andi boleh saja setenang ombak. Tapi bukankah itu artinya Deril harus jadi tsunami?
Tiba-tiba penyesalan menghantam Deril begitu saja. Banyak kata andai yang bermunculan dibenaknya.
Tapi ada satu andai yang paling ia sesali.
Andai dulu Deril memperlakukan Shara sebagai kekasihnya dengan baik sehingga Shara tak pernah mengucap kalimat perpisahan untuknya, sudah pasti Andi tak akan berani mendekati Shara, dan Deril tak perlu susah-susah memutar otak untuk menjadi pemilik Shara. Jiwa dan raganya.
Andi merogoh ponselnya, memencet tombol menghidupkan, hingga satu foto terpancar terang disana. Foto Andi dan Shara di taman kota.
"See?" ucap Andi sembari mengangkat ponsel didepan wajah Deril.
Dengan itu, Deril memutuskan meminum gelas alkohol milik Agas yang belum tersentuh. Mencoba minuman keras itu untuk pertama kali dalam hidupnya.
Efek Andi dan Shara sebesar ini.
***