2.5

5000 Kata
Deril benar-benar kehilangan kesadarannya sesaat setelah uring-uringan di apartemen Agas. Setelah dua gelas yang ia minum, Agas baru tahu Deril adalah pemabuk yang payah. Agas saja yang minum satu botol tak pernah bisa mabuk kecuali jika sudah dua-tiga botol. Agas raja alkohol. Dengan berat hati, pukul dua dini hari Agas harus membersihkan muntahan Deril di karpet ruang tengah. Yang mana karpetnya sangat tebal seharga sepeda motor baru dan Dava dengan baik hatinya meninggalkan Agas dan Deril berdua saja hanya karena takut Gisel marah. Setelah semua urusan selesai dan Deril sudah terlelap di sofa, Agas memilih mengirimi pesan pada Shara lewat ponsel Deril. Menyuruh perempuan itu untuk ke apartemennya pagi nanti. Ketika jam menunjukkan pukul setengah dua siang, Agas dan Deril jelas masih mendengkur walaupun di tempat yang berbeda. Deril tertidur di sofa dengan kaki menjuntai karena tubuhnya yang jangkung, sedangkan Agas terlelap nyaman dikamarnya. Bel apartemen berbunyi berkali-kali, membuat Deril sedikit mengernyit dalam tidurnya sebelum membuka mata dengan raut wajah mengantuk. Baru Deril akan memejamkan mata karena tak kuat menahan kantuk, bel ditekan lagi. Mau tak mau Deril jadi terduduk. Matanya mengelilingi ruangan, hingga sedetik kemudian ia baru ingat bahwa kemarin ia mabuk dan sepertinya ia menginap diapartemen milik Agas. Deril berjalan lunglai ke arah pintu, mengintip lewat door viewer, dan ia langsung membelalak ketika menemukan sosok cantik yang menjadi alasan ia mabuk semalam berdiri didepan pintu dengan cardigan hitam yang menutupi seragam putih abu-abunya. Laki-laki itu membukakan pintu. Sedetik mereka bertatapan, Shara langsung mendengus. Ia melangkahkan kakinya masuk setelah mendorong tubuh Deril agar Shara diberi jalan. "Cuci muka dulu sana." Kata Shara ketika Deril mendudukkan diri disampingnya. "Jam segini baru bangun." lanjut Shara. Deril mengangguk menurut. Selagi Shara menyiapkan nasi dan ayam bakar yang ia beli didekat sekolah untuk penghuni apartemen, Deril mandi ala bebek. Bahkan tidak ada 10 menit, cowok itu sudah keluar dari kamar mandi tamu dan badannya terlihat jauh lebih segar. "Lo ngapain kesini?" tanya Deril setelah Shara mendorong piring dihadapan cowok itu. Deril dan Shara duduk bersila diatas karpet dengan meja ditengah-tengah mereka. "Dianter siapa tadi?" tanyanya lagi. "Dianter Intan. Emang kenapa kalau gue kesini?" "Ini apart Agas. Lo mau nemuin dia?" "Gue kira lo gak suka alkohol?" tanya Shara mengalihkan pembicaraan. Seketika Deril berhenti mengunyah. "Kok tahu? Agas ngasih tahu lo?" "Jangan nyalahin Agas. Lagian badan lo tadi udah bau alkohol." Deril diam tak minat menjawab. "Agas kemana?" "Molor." Shara mengangguk-angguk. Tangannya dengan cekatan merapikan piring mereka berdua. Kakinya mengayun ke dapur luas milik Agas. Deril mengikutinya dari belakang. "Dia tinggal di apartemen sendirian?" Deril mengangguk, sedangkan Shara jelas tak tahu gerakan kepala Deril karena ia meghadap wastafel. Jadi Shara memutar kepalanya menoleh pada Deril, "tinggal sendirian?" ulangnya. "Iyaaa." Selesai mencuci, ia kembali ke sofa ruang tengah dengan masih diikuti Deril. Shara melepas cardigan yang ia pakai, melipatnya, dan menaruhnya didalam tas. "Lo kesini karena tahu gue abis mabuk?" tanya Deril. Laki-laki itu duduk menyamping, siku kanannya menumpu dikepala sofa. Tak berpikir dua kali bagi Shara untuk mengangguk mengiyakan. "Kenapa? Khawatir?" "Iya. Salah?" Deril diam, tapi matanya mengalihkan pandangan ke karpet bulu dibawahnya. "Salah kalau elo bukan siapa-siapa gue." "I'm still your friend, right?" "I don't wanna be your f*****g friend, Shara." Shara gelagapan. Ia tak mengerti mengapa percakapan mereka jadi melenceng jauh begini. Shara tak suka berada di situasi seperti ini. "I love you. You already know it." Deril mendesah frustasi. "Don't you love me too?" "Ril." "Don't you miss me, Cala? After a months we've been far away, don't you?" Shara tetap bungkam. Perempuan itu hendak memalingkan wajahnya ketika dengan cepat Deril menarik lengan Shara untuk duduk lebih dekat dengannya. "Apa yang kamu rasain pas kemarin-kemarin kita ciuman? Did you feel the same like i do? Did you feel the love i gave to you, Ca?" "Ril, listen to me. Sekalipun aku jawab iya, itu gak mengubah apapun karena aku belum siap. Aku gak siap pacaran sama kamu lagi." Deril menatap sayu pada perempuan didepannya. "Kenapa?" Butuh beberapa detik untuk Deril menerima jawaban dari Shara. "Aku takut kamu masih Deril yang dulu." Shara memelankan intonasi suaranya. "Dulu kamu juga gini, Ril. Kamu struggle di awal doang. Remember?" Deril menggenggam erat kedua tangan Shara setelah menarik pinggang Shara mendekat lagi. "I promise i won't let that shits happen again." Shara menundukkan kepalanya. Menimbang segala pro dan kontra yang ada dibenaknya untuk mengambil keputusan. Pikirannya berkecamuk. "Hei." Tangan Deril bergerak mengangkat dagu Shara. "Kamu mau aku kasih waktu buat jawab? Take your time, Ca, I'm okay." "Aku mau." Ujar Shara pada detik selanjutnya. "Let's start it all over again." Dan Deril tak mampu menahan senyumnya untuk tak melengkung kian melebar. Lelaki itu menarik tengkuk Shara untuk mendekat kemudian memberikan ciuman paling lembut yang pernah Shara rasakan. Perlahan tapi pasti, ciuman seringan kapas itu berubah menjadi sedikit lebih mendesak. Kepala Shara terantuk ke belakang ketika Deril mencecap lebih dalam. Shara yakin ia akan berubah menjadi gila ketika menyadari bahwa bibir Deril turun ke rahangnya. Tangan Shara bergerak meraih surai hitam beraroma mint milik Deril. Dan keduanya terperanjat ketika tiba-tiba suara bariton menyentak. "ANJRIT SEJAK KAPAN APARTEMEN GUE JADI TEMPAT m***m?!" * * * * * Deril terbangun ketika merasakan cipratan air mengenai wajahnya. Matanya membelalak menemukan Agas berdiri menjulang dengan gelas plastik ditangannya. Dengan wajah datar namun hati dongkol, Agas menggerutu. "Susah amat, anjing, dibangunin." Deril duduk dengan mata sulit terbuka. Tak menghiraukan protes Agas, Deril mengajukan pertanyaan lain. "Shara mana?" Agas menepuk pipi Deril kencang. "Ngigo lo? Ini apart gue, gobloook." ujar Agas gemas. "Kecuali kalau Shara cewek gue, baru deh pertanyaan lo masuk akal." Deril mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia mencoba mengingat kembali pernyataan cintanya pada Shara yang diterima dan membuatnya bahagia. Jadi itu semua...mimpi? Sialan. Deril mengusap kasar wajahnya, bergegas berdiri dari sofa dengan suasana hati buruk. Seiring langkahnya mengayun ke arah kamar mandi, pikirannya melayang pada kejadian di Cocola Club semalam dimana Andi secara resmi meminta Deril menyetujui kesepakatan untuk bersaing secara sehat. Akibat persetujuan itu pula yang membuat Deril akhirnya memutuskan untuk meminum satu gelas alkohol, dan dilanjutkan dengan gelas-gelas berikutnya. "Ril, buru mandi! 10 menit lagi gerbang ditutup gue kagak mau manjat gerbang belakang!" Teriak Agas yang dibalas Deril dengan suara pintu kamar mandi yang dibanting. Hari pertama persaingan, dimulai. * *  * * * Sebenarnya mimpi indah memang menyenangkan. Siapa pula yang tak mau punya mimpi indah? Tapi bagi Deril, mimpi indah semalam membuatnya semakin meratapi nasib. Seakan semesta sengaja menertawakan Deril, pagi ini ketika motornya memasuki gerbang sekolah dan memarkir di lapang kosong yang tersedia, vespa Andi datang menyusul dan memarkir tepat disampingnya. Yang membuat Deril terperangah, ada Shara di jok belakang Andi. Kepala Deril serasa ingin meledak ketika Shara masih bisa tersenyum menyapanya sembari turun dari vespa Andi. Deril diam diatas motornya, memperhatikan interaksi Shara dan Andi yang sepertinya tak lagi mempedulikan keberadaanya disini. Demi Tuhan, jika saingannya bukan Andi alias bukan sohib sendiri, Deril bisa dengan mudah memenangkan ini. Tapi Deril masih ingin menjaga pertemanan mereka. Deril berdeham, "tumben berangkat berdua?" selorohnya membuat Andi dan Shara menoleh. Mereka bertiga berjalan beriringan memasuki lobi sekolah. "Gue maksa jemput." Jawab Andi enteng, lalu menoleh pada Shara, "nanti pulangnya sama gue, ya?" Shara tersenyum kikuk, sedikit merasa dilema karena Deril terang-terangan memelototi Shara, mengancam gadis itu apabila ia berani bilang iya. "Ngg- gue bareng Intan aja." "Lo berangkat bareng gue, kenapa gak pulang sama gue?" Ketika Shara tak mendapat ide untuk menjawab, Deril dengan sigap menukar posisi berjalan mereka dimana sebelumnya Shara berada ditengah, sekarang jadi Deril yang ditengah. "Biar fair. Kalau berangkatnya sama Andi, baliknya sama gue." Andi terlihat ingin mengatakan sesuatu- atau lebih tepatnya ingin memerotes, tapi ia kembali bungkam ketika tiba-tiba Deril merangkul bahu Andi dan menariknya menjauh dengan alasan beda arah menuju kelas dengan Shara. "Yuk-yuk, bro, lo kan paket hari ini." Sebelum benar-benar menyeret Andi untuk ke kelas, Deril menyempatkan untuk mencubit hidung Shara, "See you, cantik." * * * * * Hal pertama yang dilihat Shara ketika ia memasuki kelasnya adalah menemukan Intan sedang serius sekali mencontek tugas pada buku entah milik siapa dengan kecepatan menulis diatas rata-rata. Namun tiba-tiba Shara merasa tidak enak hati mengingat ia yang berangkat ke sekolah bersama Andi. "Good morning, Sharaaa!" sapa Intan riang ketika matanya menemukan Shara berjalan mendekat kearahnya. Shara terkekeh pelan sembari menaruh tasnya diatas meja, "Morning, Tan. Nyalin punya siapa lo?" "Punya Bani." Intan kembali mencatat dibukunya. "Eh lo nanti balik sama gue, kan?" "Kenapa?" "Ke kedai, yuk? Lagi pengen es krim." "Lah bukannya lo lagi pilek ya?" "Gepepe, santai aja." Intan mendongak pada Shara, "Eh, emangnya lo gak balik sama Deril? Tadi berangkatnya sama dia, kan?" Seketika Shara langsung memalingkan tatapannya pada figura Jokowi yang terpampang diatas papan tulis, tak berani menatap Intan. "Enggak." Jawab Shara singkat. "Loh, lo pakai metromini dong? Kan kata lo hari ini gak ada yang bisa nganter? Elo sih, udah gue bilangin nebeng gue aja gak papa walaupun beda arah. Gimana kalau lo dicopet sama mang-mang di metromini, heh? Gue juga yang susah." Shara tersenyum mendengar ocehan Intan, hanya sedetik sebelum Shara memilih menjawab jujur dengan suara pelan. "Tadi.. gue berangkat bareng Andi, Tan." Shara bisa melihat tangan Intan langsung berhenti menulis. "Andi?" ulang Intan. Shara menunduk, "Sorry, ya, Tan. Maaf." Tak perlu bertanya bagaimana bisa kedua berangkat bersama, Intan hanya terkekeh pelan. "Gak papa, Shar. Gue siapanya Andi, sih?" Gini banget, ya, sakitnya suka sama cowok yang sukanya sama sahabat lo sendiri. * * * * * Suara riuh terdengar dari setiap kelas ketika salah satu guru dari bagian kesiswaan memberi pengumuman lewat mikrofon bahwa sekolah dipulangkan lebih cepat. Tak ingin ketinggalan euforia yang tercipta, Agas juga memukul-mukul meja dengan semangat, merayakan hal sederhana tersebut terlalu berlebihan. "Anjiiing, tau gini gue bolos aja tadi." Agas menggerutu tepat ketika ia tiba-tiba meloncat dari bangkunya ke depan meja Deril. "Protes mulu." Dava meraih tasnya untuk disampirkan disatu pundaknya. "Langsung balik apa nongkrong dulu nih?" Deril melirik Andi yang masih berkutat dengan tali sepatunyam Dengan sengaja, lelakin itu mengencangkan suara. "Balik aja gue. Hari ini full day jatah Shara." Agas dan Dava menyeringai geli memandangi tingkah Deril yang terlihat jelas menunjukkan kekhawatiran karena bersaing dengan Andi. "Woi, Ndi, lo balik langsung?" Yang ditanya Dava mendongak, lalu mengangguk dan beranjak dari bangkunya. "Yoi." "Lah?! Terus gue nongkrong berduaan doang sama lo dong? Homo kali." Agas menatap Dava sembali mengernyit jijik. Dava melirik sinis, "Ya udah balik aja semua. Gue mau nyamperin Gisel aja." "Gisel kagak pulang pagi, ege???" "Lo kagak denger Bu Dewi tadi bilang apa? SELURUH GURU DARI SEMUA SEKOLAH IKUT RAPAT! Punya telinga tuh dipake, makanya." "Ye, santai aja, setan. Gak usah teriak sebelah kuping gue." * * * * * Shara berjalan mendekat pada Deril yang duduk tenang diatas motor hitam miliknya sembari menyunggingkan senyum manis. Tangannya melambai pada Shara membuat gadis itu tersenyum geli. Dari jauh, terlihat Andi yang lebih dulu mengeluarkan vespanya dari barisan parkir motor. Sepertinya Andi masih menyempatkan berpamitan pada Deril kemudian memberi seulas senyum pada Shara. "Lo gak nongkrong sama temen-temen lo dulu? Pulang pagi ini." Deril menggeleng. "Sama lo aja, ah. Bosen sama mereka." "Ye, enak bener kalau ngomong bosen." Deril tertawa. "Bercanda gue. Btw lo tadi gak bawa helm?" Shara menggeleng. "Dih, gimana sih si Andi gak bawain helm?!" Deril menghidupkan motornya, dagunya menunjuk jok belakang menyuruh Shara segera naik. "Beli helm dulu, deh, buat lo." Shara tersenyum. "Iya, terserah." * * * * * Deril dan sifat menyebalkannya memang tak pernah hilang sekalipun hanya sedetik. Setelah diperjalanan tadi Shara bercerita bahwa ia mendapat tugas untuk membuat makalah, Deril menyarankan gadis itu untuk mengerjakannya di rumah Deril saja. "Lah, lo baru dikasih? Gue mah udah minggu kemaren." ujar Deril. "Kerjain di rumah gue aja. Makalah gue ada dirumah." Dan karena kalimat itu, akhirnya motor Deril benar-benar berhenti di garasi rumah luas berlantai dua milik lelaki itu. Shara turun dari motor dengan ragu-ragu. Terlihat tak nyaman juga tak siap. Deril melihat raut tegang milik Shara jadi terkekeh. Ia menarik lembut tangan Shara, "Gak usah kaku gitu, kali. Dirumah lagi gak ada orang." Shara malah melotot. "Ih, masa mau berduaan doang?!" Deril tertawa lagi, "Emang kenapa?" "Siapa yang jamin kalau lo gak bakal macem-macem sama gue?!" Deril merangkul bahu gadis itu dan menyeretnya memasuki rumah. "Satu macem doang aman, kan?" * * * * * "Gue kemarin mimpi kita balikan." Deril menoleh pada Shara yang terlebih dahulu menatapnya. Diakhiri dengan tawa kecil, Deril melanjutkan. "t*i banget cuman mimpi." Giliran Shara yang tertawa. "Gak ngerti, ah, mau komen apa." Deril mengambil beberapa helai rambut Shara untuk dimainkan ketika gadis itu memilih fokus pada ponselnya. Pemuda itu diam dengan jemari terus menggulung rambut gadis disampingnya, mempertimbangkan apakah seharusnya ia katakan saja mengenai kesepakatan yang ia buat dengan Andi atau tidak. Tapi setelah Deril pikir-pikir, menutupi sesuatu dari Shara bukan pilihan yang tepat. Ia tak ingin Shara tahu dari orang lain dan malah jadi kesalahpahaman diantara keduanya seperti di sinetron-sinetron. Deril berdeham. Tubuhnya yang duduk miring menghadap Shara ia buat semakin mendekat lalu menaruh dagu pada pundak gadis itu. Sempat mengecup bahu disana satu kali sebelum Deril memanggil namanya. "Ca." Shara melirik sekilas, alisnya terangkat satu, lalu pandangannya kembali pada layar ponsel. "Mau gue kasih tau gak?" tanya Deril yang kembali tak digubris Shara. "Tapi jangan marah. Ini gue kasih tau elo biar lo gak tau dari orang lain." Shara meletakkan ponselnya diatas paha. Tangannya bergerak mendorong wajah Deril dari pundaknya. "Apaan?" "Andi ngajakin gue tanding sportif." "Ha? Ada tanding futsal lagi di sekolah?" "Ck, bukaaan." "Terus?" "Buat dapetin elo." Hingga tiga detik kemudian, Shara masih diam dan tak bergeming membuat Deril langsung meraih lengan gadis itu. "Marah, ya?" Manik mata Shara kembali pada Deril. Ia menggeleng. "Bukan. Gue kira Andi udah mundur dari lama. Eung- i mean, gue udah pernah bilang ke dia kalau gue lebih nyaman berteman sama dia. As we did before." Deril ikut mengernyit bingung, "That's why you being super kind to him lately?" Shara mengangguk polos. Deril berdecak. "Gak gitu konsepnya, sayaaang." "Heh apasih sayang-sayang?!" Deril tak menggubris gertakan Shara. "Andi mana nurut sama lo. Kayak gak tau aja dia ambisnya gimana." "Ca, gini ya. Hubungan antara cewek sama cowok itu gak segampang yang lo pikirin. Gini nih kalau lo gak pernah pacaran sama cowok selain gue. Jadinya lo anggep semua cowok bakal simpel kayak gue." Shara menatap jengah pada Deril. "So, the point is?" "If you don't have any feeling for him, then say no and act like you should be. Jangan cuman bilang enggak tapi lo mau-mau aja dianter dijemput. It doesn't mean i'm jealous or-" "Pret," ejek Shara memotong. "Okay-okay." Deril menyugar rambutnya ke belakang sambil terkekeh. "I'm jealous with you both but what's matter is Andi bakal mikir kalau dia punya kesempatan. Get it?" Shara mengatupkan bibirnya. Tahu benar bahwa ia tak bisa mengelak. Tapi ia berani bersumpah bahwa ia tidak punya niat untuk membuat semuanya semakin rumit. Shara membalas tatapan Deril, bibirnya mengerucut lucu. "Should i say sorry to him?" Deril menggeleng. "No, you don't have to. Just remember that you should make a space and boundaries with him." Deril mengusap kepala Shara ketika ia menemukan Shara masih dengan raut wajah bersalahnya. "Makanya balikan sama gue. Emangnya elo gak kasihan apa sama Intan kalau Andi masih suka gak tau batasan sama lo?" "Kasihanlah. Tapi gue gak mau balikan sama lo, gimana dong?" "Duh, kok gitu?" "Ya emang gini?" "Serius dong, Ca. Masa gak mau balikan sama gue?" tanya Deril memelas. "Sedih banget denger lo ngomong gitu." Tangan Shara terangkat untuk mendorong wajah Deril ke belakang. "Hahaha. Mukanya gitu banget." "Lo beneran gak mau balikan?" Shara tersenyum jahil, kepalanya menggeleng. "Caaaaa," "Apa sih, Ril?" Shara semakin terbahak ketika Deril dengan wajah memberengut jadi mendekat ke arahnya dan meringsut pada badan Shara. "Balikan kuy?" ajak Deril sekali lagi. "Bentar mau mikir dulu." "Lo mau apa deh gue turutin," rayu Deril. "Mau mas kawin." Shara menjawab asal. Alisnya terangkat menantang Deril. "Iya, tapi nunggu lulus dulu, dong?" "Gue baru tahu kalau lo bisa manja, loh, Ril." Tangan Shara terangkat merapikan rambut Deril yang kepalanya bersandar pada bahu Shara. "Dulu mana pernah lo kayak gini. Ngomong aja kayak pakai kartu esia, singkat banget." Deril menghela nafas malas. "Males, deh, kalau ungkit-ungkit yang dulu. Bikin ngerasa bersalah aja." "Biarin." "Deril yang sekarang bucin head over heels sama elo, Ca." "Masa sih?" Deril mengangguk. "Makanya. Balikan, ya?" "Ada jaminan gak kalau elo gak bakal balik kayak Deril yang dulu?" Deril menegakkan punggungnya. Duduk tegap menghadap Shara seperti semula. "Gak bisa jamin apa-apa. Cuman diusahain jadi pasangan yang baik buat Cala, kayak yang Cala mau." Shara tersenyum manis mendengar jawaban pemuda itu. Sempat pula terlintas dipikirannya bahwa alasan kedua jika ia benar menerima Deril selain alasan sayang adalah karena ia ingin Andi benar-benar mundur. Shara tak ingin menyakiti sahabatnya lebih jauh lagi. "Ya udah iya, balikan." Mata Deril terbuka lebih lebar. Pancaran gembira tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Serius?!" Shara mengangguk lagi, masih dengan senyuman yang tak kunjung luntur dibibirnya. "Cium dulu dong, Ca. Mastiin ini mimpi apa bukan." Mungkin Deril takut ini masih bagian dari mimpinya semalam. Tapi naas sekali yang ia dapat pada detik berikutnya adalah tamparan di pipi kirinya. "Tuh, sakit, kan? Bukan mimpi." Deril mengusap pipi yang ditampar gadis itu, ia yakin pasti memerah. Tapi lelaki itu tak mempermasalahkan sakitnya. Ia malah tersenyum gemas sembari mencubit hidung Shara. "Duh jahatnya pacar gue." Rasanya lama sekali Shara tak merasakan debaran hangat dihatinya seperti saat ini. Mungkin semenjak satu tahun yang lalu. Jadi ketika Deril merengkuh tubuhnya untuk dipeluk erat oleh lelaki itu, Shara tak ragu untuk membalas sama eratnya. Senyum Shara kian melebar ketika dirasa Deril menghirup bahunya lama diiringi ucapan terimakasih. "Sayang banget gue sama lo. Makasih, ya, udah dikasih kesempatan lagi." * * * * * Tepat ketika Intan mendorong pintu supermarket setelah membeli beberapa makanan ringan untuk menemaninya marathon drama korea, ia menoleh ke samping kiri dan menemukan Andi duduk dikursi yang disediakan supermarket. Ada satu cup cokelat hangat didepan lelaki itu. Intan bertahan sedikit lebih lama untuk mengamati Andi yang diam melamun. Setelah mempertimbangkan, Intan memilih untuk mendekat. Bahkan ketika gadis itu sudah menyeret kursi plastik didepan Andi dan duduk disana, pria itu masih tak sadar. Tatapannya kosong memandang jalan raya. Intan mengetuk meja dua kali, mencoba menyadarkan Andi. "Tok-tok." Intan menyuarakan bunyi pintu yang diketuk. "Boleh duduk disini, gak, Mas?" ujar gadis itu bercanda. Andi menoleh dan terkejut menemukan gadis imut tiba-tiba muncul didepannya. Hanya beberapa detik sebelum Andi mengulas senyum dan terkekeh. "Kan udah duduk, Dek?" balasnya ikut menanggapi candaan Intan, walaupun tawa Andi tak bisa menutupi perasaan sedihnya. Intan tak perlu menguras otak untuk memikirkan apa yang membuat Andi berubah jadi sad boy begini. Tak lain dan tak bukan pasti karena postingan i********: Deril satu jam yang lalu. Bak memenangkan giveaway iphone X, Deril mengumumkan kebahagiaannya lewat berbagai akun. Memposting fotonya bersama Shara dengan caption yang menurut Intan sangat bukan Deril. "Sendirian?" tanya Andi membuat Intan bangun dari lamunannya. Gadis itu mengangguk lucu. "Lo juga sendiri?" Gantian Andi yang mengangguk. Intan menaruh kedua tangannya bersedekap diatas meja. "Lo sendiri. Gue sendiri. Jangan-jangan..." Andi yang mendengar kalimat Intan jadi tersenyum usil menunggu lanjutannya. "Jangan-jangan?" Kemudian gadis itu menyengir, "jangan-jangan jomblo? hehehe." Andi tertawa. Melihat bagaimana lucunya ekspresi Intan, atau juga karena kalimat Intan yang diluar prakiranya, juga ada rasa syukur karena Intan mampu membuatnya tersenyum saat rasanya ia hancur karena tertolak padahal baru sehari ia akan berjuang untuk Shara. "Lagi sedih, ya?" tanya Intan tak gentar. "Hm? Enggak." "Gue pikir-pikir, elo jahat banget, deh, jadi manusia. Masa gak percaya sama janji Tuhan kalau jodoh gak bakal kemana? Heh, please, Tuhan aja gak elo percaya? Jelas aja lo bawaannya sad mulu." Kalimat yang dikeluarkan Intan dalam sekali tarikan nafas itu mampu membungkam Andi. Lelaki itu membalas tatapan Intan. Sedikit kagum karena pemikirannya jauh lebih dewasa. "Lo gak sendiri, tahu, Ndi. Bukannya sok deket, ya. But you have me on your side." Intan menarik senyum dibibirnya seiring satu persatu kata yang keluar. "Kalau lo patah karena Shara, lo bisa lampiasin ke gue. Daripada galau disini kayak pengangguran gak jelas, mending jalan-jalan sama gue. Mau gak? Biar gak sedih-sedih lagi." Andi membalas senyum Intan tak kalah manisnya. Tangan Andi bergerak mengusap rambut Intan, refleks saja. Tak tahu bahwa jantung Intan seperti pindah tempat ketika Andi melakukannya. "Temenin ke paralayang, mau?" * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Dari kemarin sore, lalu malamnya, hingga pagi tadi,  suasana hati Shara terlalu baik. Hatinya menghangat setiap ingat bahwa ia dan Deril kembali bersama. Bahkan membaca pesan selamat pagi dari pemuda itu saja bisa membuat Shara tersenyum diatas meja makan, membuat Papa dan Mamanya menggoda ia habis-habisan. "Seneng banget kayaknya. Kenapa sih?" Shara mengangkat kepalanya, menemukan Papa dan Mama yang tersenyum menggoda. Shara tertawa, "apa sih, Ma? Orang biasa aja gini." Tak mendengarkan, Papanya memilih terus menggali informasi. "Punya pacar baru, ya?" Papanya jelas tahu bahwa Shara pernah putus dengan Deril. Walaupun tidak sering, tapi Deril masih pernah beberapa kali ke rumah untuk mengantarnya. Tapi digarisbawahi, bahwa Deril dulu sangat-sangat jarang mengantarnya pulang. Beruntung Papa Shara bukan tipe bapak posesif, jadi ketika Shara menceritakan keputusannya untuk berpisah dengan Deril dulu, Papa hanya bergerak mendekat untuk memeluknya. "Jangan sedih, dong. Diikhlasin aja Derilnya. Nanti dia juga nyesel udah kecewain anak papa." Kata Papanya dulu. "Atau balikan sama Deril?" tebak Mama tak mau menyerah. Mendengar nama Deril disebut, sontak Shara melotot kecil. Lalu terdengar tawa renyah dari kedua orang tuanya, mengerti betul bahwa tebakan sang Mama benar. "Oh, balikaaan?" "Duh, Papa." Shara memegang kedua pipinya yang memanas. "Jangan diledekin, dong." Papanya tertawa lagi. "Loh, siapa yang ngeledek?" "Tau ah." Tetapi, suasana hati Shara yang cerah tadi berubah 180 derajat ketika ia sampai di sekolah. Baru ia dan Deril memasuki koridor sekolah, terdengar grusak-grusuk dari beberapa siswi. "Belakangan bukannya sering bareng Andi, ya? Kok malah balikan sama Deril?" "Gue kira dia cewek baik-baik, dong. Eh murahan, ternyata." "Mentang-mentang cantik." "Realistis ajalah. Siapa sih yang gak mau sama Andi atau Deril? Kalau bisa dua-duanya kenapa enggak?" Shara menghentikan langkahnya ketika suara tersebut terdengar. Ia baru saja akan berbalik badan dan mencari sumber suara. Namun Deril yang tiba-tiba merangkul bahunya erat membuat Shara mengurungkan niatnya. "Udah, gak usah didengerin." "Gimana gak didengerin sih, Ril, orang ngomongnya aja deket gini?" "Ya udah gue tutup aja telinganya." Tangan Deril terangkat menutup telinga Shara. Membuat keduanya jadi seperti bermain kereta api dimana Shara berjalan lebih dulu dan Deril dibelakang punggung Shara dengan tangan ditelinga gadis itu. Mau tak mau Shara tertawa. "Dasar sinting." Deril ikut tertawa. "Lagian gabut banget apa mau ngurusin omongan orang? Biar ajalah mereka nilai elo gimana." "Tapi kalau orang lain denger jadi salah paham. Dikira gue emang mau-mau aja dideketin Andi." "Yang penting guenya gak salah paham, kan? Gue tahu lo sukanya sama siapa." "Iya, harusnya mereka tahu kalau gue sukanya cuman sama Niall Horan." Deril terbahak. "Muka gue mirip Niall sih emang." "Idiiiih, jauuuh," ujar Shara sambil mengibaskan tangannya kemudian berjalan cepat mendahului Deril. "Hahahaha, Ca, ngapain sih jalan cepet banget!" * * * * * "Lucky bener gak sih beberapa hari ini sekolah kita kayak banyak free nya? Berasa abis ujian terus classmeet dah." Cerocos Intan begitu Bu Dewi keluar dari kelas mereka. "Sebenernya kalau tahu gini mending diliburin sih. Dua hari kita sekolah ternyata di sekolah gak ngapa-ngapain cuman dikasih tugas buat PR ." Intan mengangguk menyetujui. "Kantin ajalah, ayo!" "Lah, jam segini kantin?" Intan mendongak melihat jam dinding yang baru menunjukkan pukul setengah 9. "Daripada dikelas malah ngapain?" "Tiduran." "Tidur mah dirumah juga bisa, Sha!" "Iya iya, kantin." Ujar Shara akhirnya. Keduanya berjalan keluar kelas setelah mendapati gelengan dari teman-teman yang lain usai ditawari menitip makanan apa. Menaiki tangga yang merupakan alternatif lain menuju kantin, Intan dan Shara berpapasan dengan empat cowok dari kelas IPS. Siapa lagi kalau bukan Deril, Agas, Andi, dan Dava membuat keenam dari mereka langsung berhenti bersamaan. "Eh, Intan!" sapa Agas tiba-tiba membuat semuanya menoleh pada lelaki itu. Sedangkan Intan terbengong.  Gak jelas banget sih ini orang? Tapi mau tak mau Intan jadi sok akrab juga dengan membalas sapaan Agas. "Mau kemana?" tanya Deril pada Shara dihadapannya. "Kantin." Jawab Shara singkat. "Ya udah duluan aja nanti aku nyusul." "Emang lo mau kemana?" "Disuruh Joko ngambilin matras." Mendengar jawaban Deril, Agas kemudian mendorong kepala Deril, "Joka-joko, lo kira dia adek lo." Deril menampilkan ekspresi datarnya sedangkan yang lain tertawa saja. Tak sengaja, Intan yang sedang melirik ke arah Andi mendapati pemuda itu sedang menatap Shara diam-diam. Jadi Intan memilih segera menarik lengan Shara, "Ya udah kita duluan, ya, boys. Bye, titip salam ke Pak Joko bilangin Intan gak kangen." Katanya asal. Setelah keduanya sampai di bangku kosong yang berada dekat kios makanan sehat, Intan menyenggol lengan Shara. "Pajak jadian dong, kak." Shara membuka botolnya dengan alis terangkat. "Ogah. Gak inget dulu lo pernah gue kasih PJ pas awal jadian sama Deril malah ujungnya gue putus sama dia." "Ye, itu mah takdir aja kali. Gak ada hubungannya lo nraktir apa kagak." seloroh Intan. "Eh btw, Sha, gue udah cerita belum, sih, kalau kemarin gue jalan sama Andi?" Shara hampir saya menyemburkan minumannya. "Ha?  Serius? Demi apa lo?" Intan mengangguk. "Demi Lovato. Perasaan elo kemarin liat story IG gue, deh?" "Yang di Paralayang?" Intan mengangguk lagi. "Itu sama Andi." Mata Shara berbinar, senyumnya mengembang lebar. "Gila sih, parah lo baru cerita sekarang. Terus gimana? Kemajuannya sampai mana?" "Dia mulai terbuka, sih. Kayak mau cerita-cerita gitu ke gue. Padahal sebenernya gue kan bisa dibilang orang asing, ya? Dia aja cerita kalau sebenernya dia pingin masuk SMK ambil teknik tapi sama bokapnya dipaksa masuk SMA. Kasihan banget, kan?" "Itu tugas lo, Tan, biar dia ngerasa didukung." Intan mengangguk setuju. "Semoga aja dia bisa buka hati buat gue." "HAYO dia siapa?!" "ANJ— ASTAGHFIRULLAH." Intan terkejut bukan main ketika tiba-tiba pundaknya dipukul ringan dengan suara kencang ditelinganya. Ia menoleh kesal pada Deril yang tiba-tiba muncul dari belakang punggungnya. "Heh lo jangan mentang-mentang sekarang udah pacaran sama temen gue jadi semena-mena sama gue lo, ya?!" Deril menggosok telinganya sambil duduk disamping Shara. "Lo nge-rap, Tan? Cepet banget ngomongnya." Diikuti Andi, Agas, dan Dava yang mengambil duduk di kursi panjang, Intan tiba-tiba merasa canggung ketika Andi mengambil duduk tepat disampingnya. Pipi Intan hampir saja bersemu jika ia tidak sadar bahwa Andi mengambil tempat duduk disanpingnya karena bisa berhadapan dengan Shara. "Lo pesen apaan?" tanya Deril pada Shara. "Siomay." "Gue pesenin juga dong." "Pesen sendiri, dong." Deril mendengus, "ye, ya udah gue sepiring berdua aja sama lo." Agas terbahak. "Sepiring berdua katanya. Lo kira ini lagu dangdut?" Deril tak mendengarkan. Ia malah sibuk menggoda Shara. Entah mencubit pipinya, mencolek dagunya, atau tiba-tiba tangannya melingkar dipinggang Shara. Laki-laki itu tak bisa diam. Dan lagi-lagi ketika Intan menemukan Andi yang menatap Shara, Intan akhirnya turun tangan untuk mengalihkan perhatian laki-laki itu. "Eh, kalian gak pesen?" tanya Intan pada Agas, Dava, dan Andi. "Lo nanya kita bertiga apa Andi doang?" goda Agas sambil menyeringai. "Apaan dah, orang gue bilangnya kalian berarti ya orang banyak yang ditanya," jawab Intan walau tak bisa menyembunyikan senyum malu-malunya. "Gue liat-liat kalian cocok juga." Tambah Dava mengompori Intan dan Andi. Padahal daritadi Intan dan Andi tak berinteraksi, kenapa Agas dan Dava seperti menjadi makcomblang mereka berdua? Intan tak habis pikir. "Cocoknya jadi adek gue. Lucu banget orangnya." Jleb. Kalimat sederhana yang keluar dari bibir Andi membuat orang-orang dimeja tersebut menegang. Agas tak segan langsung menendang tulang kaki Andi dari bawah meja, mengumpati tanpa suara. "Coba jadi lebih, dong, Ndi." Deril menimpali. "Mana bisa ngomongin perasaan dicoba-coba." Merasa situasi berubah jadi tak enak, Dava berdeham.  Mengalihkan perhatian. "Cewek gue mau pindah kesini." Semuanya membelalak tak percaya. "Gisel?" tanya Deril. Dava memutar bola matanya, "cewek gue ada berapa sih, njing?" Shara menoleh excited,  "Serius, Dav?" Dava mengangguk. "Iya. Tan, lo juga kenal Gisel, kan?" Intan yang sedang mengaduk es teh itu mendongak. "Gak sedeket Shara, sih." "Ya gak papa. Maksud gue kalau dia udah fiks pindah, mau gue bilangin ke nyokap biar dia dimasukin sekelas sama kalian aja." Agas segera menimpali, "YE MENTANG-MENTANG NYOKAP LO PUNYA PENGARUH GEDE, YA, MONYET." Dava menoyor jidat Agas, "Biar ada yang jagain aja, maksud gue tuh." "Kenapa gak sekalian ke kelas kita aja kalau gitu?" tanya Andi ikut masuk dalam pembicaraan. Deril menyaut, "Yang ada Dava nemplok mulu kayak gulkol soalnya takut Gisel dicengin Agas. "Lah kok gue?!" Agas tak terima. "Heh, cicak, denger ya. Aku memang pencinta wanita, tapi gue gak doyan punya temen. Kecuali dah pegat." Katanya diakhiri cengiran. "Iyalah. Jangan kalau punya temen sendiri." ujar Deril kalem. Tak sadar bahwa kalimatnya membuat seisi meja jadi menegang lagi. Hhh, Intan mendesah lelah. Tahu benar bahwa Deril menyindir Andi. * * * * * "Ada PR gak hari ini?" Deril yang berjalan santai disamping Shara ke arah lapangan parkir jadi menolah. Menyugar rambutnya sekali, ia mencoba mengingat. "Ada. Sosiologi." "Ya udah sekalian nanti kerjain di rumah gue aja." Deril mengernyit, "Katanya mau movie marathon?" "Kerjain PR dulu." "Duh, itu nanti-nanti juga bisa." "Gak bakal lo kerjain kalau nanti-nanti. Percaya deh sama gue." Agas yang sedari tadi berjalan dibelakang keduanya jadi berdecak, "Gak paham gue sama lo, Ril. Cewek kayak Shara pernah disia-siain. Hadeh." "Bacot, babiiik." "Lah, Ril, berarti lo gak jadi ikut kita futsal, dong?" Shara mengernyit, menoleh pada Deril. "Lo ada futsal?" "Ada. Tapi keburu kok kalau nyusul." Deril meringis. "Udah terlanjur janji nemenin lo marathon, kan?" "Duh, gak papa gak usah ditemenin. Gue juga gak minta, kan? Udah futsal aja." Deril kembali menatap Agas dengan tangan disaku mengambil kunci sepeda motornya, "gue gak join gak masalah, kan, Gas?" "Serah lo aje." Jawab Agas acuh. "Penganten baru emang begini sih. Lagi manis-manisnya." Shara meringis. * * * * * * * * * * * * * * * * * * 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN