"Sumpah, ya, Ca, gue gak perlu ngerjain tugas kayak begini juga udah pinter dari sononya." Deril berujar seperti itu untuk kesekian kalinya. Dan Shara berkali-kali pula mendengus dan berkata, "iya, gue tau lo pinter. Tapi apa salahnya sih, Ril, ngerjain PR?"
"Males, Ca, lagi maleees."
Deril memilih berbaring di sofa ruang tengah rumah milik Shara sementara si perempuan duduk di karpet tebal bawah shofa dengan tangan yang sudah sibuk membuka buku paket.
"Tiga hari lagi ujian semester. Gue gak tanggung jawab, ya, kalau nilai lo bermasalah."
"Gak bakal bermasalah. Sans."
Kemudian Deril memilih menutup matanya, berniat untuk tidur. Tapi baru ia benar-benar akan terlelap, Shara memukul lengannya dengan buku. Lumayan keras hingga Deril terlonjak dan refleks duduk.
"Ca, kaget!"
"Ya, elo, kok malah tidur, sih!"
Deril berdecak. "Gue numpang mandi boleh, gak, sih?"
Mata Shara memicing. "Ngapain lo mandi?"
Deril mendorong kening Shara menjauh, "mikir apaan sih lo. Gue pengep abis OR tadi."
Shara memutar bola matanya. "Abis mandi kerjain tuh sosiologinya."
"Iye, bawel."
Deril beranjak dari sofa, sedangkan Shara tetap berkutat dengan buku tebal dan pensil yang ia apit dijemarinya. Mencoba menyelesaikan tugasnya secepat mungkin agar ia bisa segera membantu Deril. Karena jika Deril tidak dibantu, ia yakin Deril akan mengulur-ngulur waktu dan Shara tidak segera marathon.
Tak butuh waktu lama bagi Shara menyelesaikan tugasnya. Iseng, ia membuka fitur kamera lewat laptopnya. Bahkan ia tak tahu Deril sudah keluar dari kamar mandi dan berjalan mendekat kearahnya kalau saja lelaki itu tak bersuara.
"Udah selesai?"
Deril melongok melihat pekerjaan Shara di laptop. "Ye, malah selfie!"
"Ye, suka-suka dong. Gue selfie tapi tugas gue udah selesai."
Deril menyisir rambutnya dengan jemari. Ia mencolek lengan Shara, "Ca, sinian dong. Cowoknya udah wangi nih."
Shara tak peduli dan kembali menatap fokus pada kamera laptop, mengulas senyum untuk ia abadikan. Tapi kemudian Deril mengalah. Memilih duduk dibelakang Shara, menjadikan sofa yang lebarnya tak seberapa itu terasa sempit karena Deril memaksa duduk disana.
"Ril, sempit ini."
"Bodo."
Deril malah menaruh dagunya di bahu kanan Shara, lalu berujar, "foto sama gue."
Shara mengangguk menuruti. Dengan Deril yang hanya terlihat setengah wajahnya karena tenggelam di bahu Shara, gadia itu tetap memencet tombol potret.
"Wangi banget, sih, Ca? Padahal belom mandi." Kata lelaki itu setelah sekali mencium pundak kekasihnya.
"Iya dong. Gue mah wangi terus."
"Gue gerai aja, ya, rambut lo?"
Deril menjauh dari pundak Shara, tangannya bergerak mencopot karet gelang Shara.
"Jangan! Gerah kalau digerai."
Tapi bukan Deril namanya kalau dilarang malah nurut. Pemuda itu tetap mengambil karet gelang dari rambut Shara. "Salfok mulu gue kalau lo dikuncir. Tinggi banget lagi nguncirnya."
Jemari Shara bergerak mengetikkan nama film dilaptopnya yang akan ia tonton. Tak berniat menjawab apapun.
"Mau lo gue cupang?"
Tak peduli bahwa Deril dibelakang punggungnya, Shara menoleh dan menampar pipi Deril keras. "DASAR YA RIL OTAK LO!"
* * * * *
"Anak-anak mau kesini, gak papa?"
"Anak siapa?" Tanya Shara tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop. Posisinya sudah nyaman dengan badan jatuh ke d**a Deril dan laki-laki itu merangkul bahunya.
"Agas sama yang lain. Ya kali anak kita?"
Shara ber-oh ria. "Iya, gak papa. Lagian bokap nyokap gue juga pulang malem."
"Tumben?"
Shara mengedikkan bahu. "Katanya ada reuni gitu sama temen kampus."
"ASSALAMUALAIKUM, WOE, DENGAN ABANG AGAS DISINI TOLONG OPEN THE DOOR!"
Teriakan diiringi gedoran pintu yang tak ada santai-santainya itu mengejutkan keduanya. Deril mendengus, "bisa gak sih Agas tuh normal sehari aja?" gerutunya.
Shara tertawa, kakinya beranjak melanglah ke ruang tamu dan membukakan pintu. Agas, Dava, dan Gisel disana.
"Sharaaaaa!"
Gisel mendorong kekasihnya untuk minggir sedangkan ia langsung memeluk Shara. "Kapan terakhir kali kita ketemu? Gila, ya, gue kangen banget!"
Shara tertawa lagi. "Dua bulan yang lalu gak, sih? Pas gak sengaja ketemu di salon?" Shara membawa Gisel untuk menepi, lalu menyambut yang lain. "Yuk, masuk. Udah gue sediain jajan, tuh. Tapi gak banyak."
"Loh, Shar, gue gak dipeluk?" kata Agas sembari merentangkan kedua tangan lebar-lebar. Deril maju hanya untuk memberi tinju kecil di perut Agas. "Anjing, sakit, babiiiiik!" teriak Agas.
Mereka berlima masuk ke ruang tengah. Mengambil duduk di sofa. Beda lagi dengan Dava yang memilih duduk dikarpet, dibawah Gisel yang memilih duduk di sofa.
"Babe, pijetin pundak bentar, ya?" ujar Dava mendongak pada Gisel. "Sumpah, capek."
Gisel mengangguk. Dengan tangan sibuk memijat pundak Dava yang ada dibawahnya, ia berceloteh ria dengan Shara.
"Berarti kenaikan kelas dong, ya, baru pindah?" tanya Shara setelah mendengar Gisel yang bilang ia benar akan pindah sekolah.
Gisel mengangguk. "Bentar lagi kan udah ujian. Gak sempet lah kalau ujiannya di sekolah baru. Jadi ya sekalian aja."
"Eh, Andi kemana sih? Gak join?" Gisel menoleh pada teman-temannya.
Agas yang sedang mengecek ponsel mendongak. "Bentar lagi. Tadi sih udah bilang OTW."
"Ngapain dah tuh anak gak ikut futsal tadi?" Sekarang Dava yang bertanya seiring ia memiringkan lehernya, meminta Gisel memijat bagian itu. Memang, tadi ia sempat terjatuh ketika tanding, dan entah bagaimana posisinya sehingga lehernya terasa sakit dan pegal semua.
"Ngejar diskon Roti Boy."
Semuanya menoleh pada Agas. "HAH?"
Gisel sudah terbahak. "Sumpah lo?"
Agas mengangguk. "Sumpah. Bukan dia yang ngejar diskon, dia cuman nganterin si itu tuh, temennya Shara, si Intan. Tau deh, belakangan Andi kemana-mana ngajak itu mercon mulu. Kemarin aja nih, malem-malem pas gue mau mampir ke rumah dia abis dari cocola, gue chat kan dia, 'lagi dimana lo? gue otw rumah lo', terus dia jawab lagi di rumah sakit. Gue udah panik tuh, kirain dia kenapa. Ternyata dia bilang nganterin Intan jenguk ponakannya yang lagi tipes, dong."
Kini gantian Shara yang terkejut sempurna, menahan senyum agar tak melengkung kian lebar.
Wow, sudah sejauh mana Andi dan Intan?
* * * * *
Pintu utama memang tak ditutup oleh si pemilik rumah, Shara. Jadi ketika tak ada suara apapun yang terdengar dari dalam ruang tengah tempat teman-temannya berkumpul, mereka terkejut ketika tiba-tiba sosok Andi dan gadis imut disampingnya datang.
"UHUK UHUK YA ALLAH TEMEN GUE ABIS DARI MANA NIH BERDUAAN MULU!"
Suara berat Agas mengawali koor riuh yang selanjutnya datang dari bibir Deril, Dava, Shara, dan Gisel.
Andi menggeleng pelan, tak berniat menjawab atau mengelak apapun. Beda lagi dengan Intan yang pipinya memerah setelah tadi sempat kebingungan karena Agas heboh menggoda mereka berdua.
Andi mengambil duduk di sofa lalu menepuk sisi sampingnya meminta Intan duduk disana. Tindakan yang salah karena Agas kembali bersorak menyebalkan menggoda Andi. Sedangkan Intan jadi malu sendiri, berlari kecil menghampiri Shara dan menenggelamkan wajahnya di bahu teman dekatnya.
Shara tertawa. "Bisa salting juga, lo."
Seakan ketagihan menjadi bahan bully, Andi malah memerotes pada Intan yang memilih duduk dengan Shara dan Deril. "Loh, kok ke situ sih? Sini."
"ADUH SUMPAH YA NDI LO NGEGAS AMAT."
"Apaan bacot."
Intan menggeleng sebagai jawaban, tak ingin Agas dan yang lain semakin menjadi-jadi.
"Mumpung full team, ToD kuy." Gisel bersuara, yang kemudian dibalas decakan oleh sang kekasih. "We ain't kids no more."
"Ye, kalau bocah mah bukan main ToD kali, Dap. Main bola bekel!" Agas membela Gisel. "Udah lo kalau kagak mau join sana minggat aja."
Dava melirik sebal pada Agas tapi berakhir ikut bergabung pada lingkaran yang terbentuk oleh teman-temannya. Mereka duduk di bawah sofa, sedangkan meja dan makanan-makanan ringan sudah dipindahkan agar tempat lebih luas.
Seiring Agas yang masih berkutat di dapur Shara karena diperintah Andi untuk mencari botol atau apapun yang bisa menjadi alat memutar, Shara tiba-tiba melingkarkan lengannya dipinggang Deril membuat Deril otomatis menyandarkan dagunya di kepala Shara setelah mengecup pelipisnya.
"Botolnya masih ada isinya semua, pakai pensil aja kali, ya?" ujar Agas yang muncul dari arah dapur dan membawa pensil kayu, entah mengambil dimana.
Tidak ada yang menjawab Agas, dan Agas tak peduli juga jika ada yang protes. Ia duduk disamping Intan, menaruh pensil ditengah. Tapi kemudian ia mengangkat kepala menoleh pada teman-temannya ; Andi dan Intan yang sedang tertawa bersama— entah menertawakan apa, Shara yang menyandar pada bahu Deril, dan Dava yang sekarang malah memberikan kecupan dipipi Gisel.
Agas mendengus. "Woi, ayo mulai! Kurang ajar, ya, lo semua pada pacaran. Gue gak bawa cewek ini."
Pensil diputar oleh Andi, butuh beberapa detik hingga berhenti berputar dan mengarah pada Dava. Semuanya bersorak. Tanpa ditanya, Dava sudah memotong, "Gue truth."
"Cupu, Dav." Deril bersuara, membuat Dava menoleh pada Deril dan mengacungkan jari tengahnya. "Don't care. Gue apal, ya, kelakuan lo-lo pada."
"Gue yang ngasih pertanyaan!" Intan mengacungkan telunjuknya seperti siswa sedang diabsen di kelas. Agas menyilangkan tangannya. "Gak-gak. Gue aja. Kalau lo yang tanya pasti pertanyaan dasar. Gak seru."
Intan merengut. Memang Agas tahu Intan akan bertanya apa? Huh.
"Dav." Agas memanggil. Bibirnya membentuk seringaian membuat Dava menghela nafas tahu benar bahwa Agas akan bertanya aneh-aneh. "Gue sebenernya udah yakin sih sama jawaban lo. Cuman mau mastiin aja."
"Jangan aneh-aneh."
Agas memperlihatkan giginya. Sengaja mengulur waktu membuat seisi ruangan jadi menyuruhnya cepat-cepat karena tak sabar dan penasaran.
"Have you ever had s*x with Gisel?"
Butuh waktu sedikit lama untuk Dava mengangguk sebagai sebagai jawaban. Gisel memerah.
Tak puas, Agas melempar pertanyaan lagi. "Terakhir kapan?"
Dava melirik Gisel yang sudah menunduk dalam-dalam. "2 hari yang lalu di apartemen lo."
Agas melotot. "APARTEMEN GUE???????"
Deril terbahak, "anjiiiing, gokil."
Andi berdecak melihat Intan disampingnya yang terperangah tak percaya. Lelaki itu mendekatkan bibirnya ke telinga Intan, berbisik pelan. "Gak nyaman, ya, kumpul sama anak-anak?"
Intan meringis. "It's okay, kok. Hehe. Cuman kaget aja." Andi tersenyum kecil dan Intan memilih mengajukan pertanyaan. "Emang kalau pacaran harus gituan, ya?"
"Gituan apa?"
"Eng— s*x?"
"Ck, enggaklah. Dava aja yang sinting."
Selanjutnya yang terdengar adalah Gisel terbahak keras. "Mampus lo, Gas."
Ternyata yang ditertawakan Gisel adalah hasil putaran pensilnya yang menunjuk ke arah Agas. "Truth or Dare?"
"Dare. Gue gak cupu kayak cowok lo."
Gisel melirik ke langit-langit, memikirkan dare yang cocok diberikan untuk Agas. "Bikin snapgram, klarifikasi siapa aja cewek yang lo pacarin detik ini. Gak cuman satu, kan, pasti?"
"YE, YANG BENER AJA LO." Agas ngegas, membuat yang lain tertawa. "Gak, gak. Ganti—"
Dava memotong cepat. "Gak ada ganti-ganti, enak aja. Terima resiko, dong?"
"Shit."
Agas merogoh sakunya, mengambil ponsel dengan perasaan ragu. Ya kali gitu loh ngaku di snapgram? Tapi Agas tak bisa ingkar. Jadi dengan berat hati, dia harus merelakan pipinya besok untuk ditampar.
"Udah, nih!"
Gisel mendekat untuk melihat ponsel Agas yang menampilkan status barunya di akun i********:. Sembari masih tertawa, Gisel mengangguk. "Good job, brother."
Setelah memilih mematikan jaringan ponsel, Agas meraih pensilnya mendekat. Memutar dengan kencang dan menunggu hasil. Mereka bertujuh dengan wajah serius menatap pergerakan pensil yang semakin lama semakin pelan. Hingga akhirnya...
"HAHAHAHA, RIL, TRUTH OR DARE?"
Intan yang disamping Agas otomatis menutup telinga kanannya terkejut karena Agas tiba-tiba berteriak.
Deril menghela nafas lelah. "Truth."
"g****k. Tadi aja ngata-ngatain gue." Balas Dava yang tak dipedulikan Deril. Sebenarnya Deril juga lebih suka memilih dare karena lebih seru. Tapi mengingat Agas dan Dava suka memberi tantangan yang aneh dan tak lazim, ditambah Gisel yang suka memperparah, jadi lebih baik ia cari aman saja.
"Siapa nih yang mau ngasih pertanyaan?"
"Gue aja." Dava mengambil bungkus rokok di paha Gisel, merogoh isinya dan mengambil pemantik api. "Gue tau lo gak pernah aneh-aneh sama Shara. So, ceritain first kiss lo sama dia aja."
"Asik didongengin." Agas merapatkan tubuh ke samping kanan. Bersiap mendengarkan. Deril berdeham, tenggorokannya tiba-tiba kering. Shara sendiri sudah malu tak karuan. Hhh, kenapa sih harus cerita-cerita?
"Jadi..."
"Sekali lagi thanks, ya, Ca." Deril baru sampai didepan pagar rumah Shara setelah dari kafe. Kali ini lelaki itu memasang senyum manis. Tak seperti Deril yang setiap hari biasanya tak pernah berperilaku seperti itu kepada Shara.
Usai merayakan ulang tahun Deril secara kecil-kecilan dan mengundang teman-teman dekat, Shara memang minta dintar pulang langsung, karena jam sudah memunjukkan pukul sembilan dan Shara akan dimarahi sang Papa jika tidak segera kembali.
"Lo udah ngomong itu jutaan kali." Shara terkekeh kecil. Tangannya menepuk punggung tangan Deril yang memegang stir mobil. "Thanks juga udah dianterin. Gue turun dulu, ya." Tangan kiri Shara sudah bersiap membuka pintu jika Deril tidak menahan lengan kanannya.
"Kenapa, Ril?"
Deril tak menjawab. Namun gerakan kepala Deril yang tiba-tiba maju mendekat hingga hidung keduanya nyaris bersentuhan membuat Shara gemetar setengah mati. Shara semakin berkeringat ketika merasakan tangan Deril merayap dipinggangnya. Matanya mengikuti gerak bola mata Shara.
"... boleh?"
Shara tak mampu menjawab. Demi Tuhan gadis itu merasa jantungnya seperti akan meloncat keluar karena berdetak terlalu cepat.
"Boleh, gak?" ulang Deril.
Shara membalas tatapan Deril, menikmati iris mata lelaki itu seiring ia mencari jawaban apakah ini memang saat yang tepat. Kepalanya mengangguk ragu sebagai jawaban, yang tak lama bibir lembut milik Deril langsung jatuh diatas bibirnya. Bau nikotin dicampur mint dari nafas Deril membuat Shara gila. Bibir lelaki itu dingin, mungkin karena malam sudah larut. Tapi ketika Shara merasakan Deril mulai bergerak melumat bibirnya, Shara bisa menarik kesimpulan bahwa Deril pandai membuatnya melayang.
Ciuman mereka berjalan tak sampai setengah menit. Deril menarik kepalanya menjauh diiringi nafas putus-putus dari kedua insan didalam mobil itu.
"That was my first." Shara memberitahu dengan suara lirih.
Deril tersenyum, masih tak punya niat menjauhkan dahinya dari dahi Shara. Lelaki itu melirik bibir yang baru dikulumnya. "Was that good? My kiss?"
"The greatest kiss. Ever."
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
"Pokoknya selama seminggu ke depan lo gak boleh gangguin gue!"
Deril yang mendengar kalimat itu jadi seperti langsung tersambar petir di siang bolong. Ia menoleh pada Shara yang sedang memakan kerupuk. "Kenapa gitu?"
"Gue mau fokus ujian, Ril. Kalau sampai nilai gue lebih rendah dari semester kemarin, bisa-bisa gue dimarahin mama." Shara menyedot air putih kemasannya. "Jadi, elo gak boleh ngechat gue. Gak boleh ngajak main, gak boleh deket-deket juga. Dan kalau soal antar-jemput, gue bisa pakai supir."
Deril mengernyit. "Ca, ini berlebihan banget gak, sih?"
"Ril, emang lo mau kalau sampai nilai gue berantakan, mama malah nyalahin hubungan kita? Gue gak mau nyokap jadi mikir jelek sejak gue pacaran sama elo. Lagian cuman satu minggu doang, kan. Eh- malah cuman lima hari, senin sampai jumat."
"Tapi, Ca, kayaknya gak perlu yang gimana-gimana."
"Deril, please. Ini cuman lima hari doang tapi elo udah sekhawatir ini gimana kalau kita beneran putus, coba?" Shara menyela kalimat Deril.
Jemari Deril terangkat untuk menyentil bibir Shara. Pelan, tapi bisa dipastikan Shara akan langsung mengaduh. "Amit-amit, ngawur banget, Ca, ngomongnya?! Ya jangan sampai putuslah."
Deril menoleh ke abang tukang mi pangsit yang tak jauh dari mereka. Merasa tak akan ada yang memperhatikan, Deril tiba-tiba mendekat membuat Shara panik. "Heeeeh, mau ngapain?!"
Deril tersenyum jahil. Ada seringai geli di bibirnya. "Mau cium, lah? Sini maju dikit cepetan, keburu abangnya noleh."
Shara langsung menutup mulut Deril dan mendorong lelaki itu menjauh. "Nggak boleeeeh! Sinting, ya, Ril?!"
Melihat wajah panik Shara, Deril langsung tertawa terbahak-bahak. Sebenarnya Deril tidak benar-benar ingin mencium Shara, sebatas menggoda perempuan itu karena Deril jengkel dengan keinginan Shara barusan. Apa lagi ini di warung pinggir jalan, di gerobak mi pangsit, siapapun bisa saja tidak sengaja memperhatikan mereka. Tapi sebenarnya lagi, kalau Shara tak menolak, Deril tentu akan langsung melancarkan aksinya.
"Berarti besok masih boleh ke rumah?" Tanya Deril penuh harap. Wajahnya memelas mengingat besok sudah hari minggu dan kemungkinan besar Shara akan menghabiskan waktu untuk belajar.
Shara menggeleng, tepat seperti dugaan Deril. "Besok, kan, harus belajar buat hari Senin."
"Yah, Ca, berarti hari ini terakhir ketemu?" Tanya Deril lagi.
Kali ini Shara mengangguk. Melihat lelaki di sampingnya terlihat benar-benar sedih dengan keputusannya, Shara jadi ikut sedih. Ia menghela nafas pelan seiring tangannya terangkat untuk mengusap pipi Deril sekilas. "Jangan sedih gitu, dong, mukanya. Sengaja, ya, biar gue gak tega?"
Deril mengambil tangan Shara di pipinya lalu memberi kecupan disana. "Lagian. Berasa lagi break sama pacar tau, gak, seminggu gak kasih kabar dan gak ketemuan gini."
"Ya terus gimana, Riiil? Lo bisa bayangin sendiri, kan, kalau kita tetep kayak biasanya, pasti akunya juga gak bisa fokus belajar."
Deril juga bisa membayangkan. Pasti keberadaannya di sekitar Shara selama hari-hari ujian juga akan menganggu. Apa lagi belakang ini Deril memang terlalu menempel pada Shara. Jika perempuan itu tak memberi keputusan seperti ini, pasti Deril tidak akan memperdulikan ujian mereka dan tetap ke rumah Shara, mengajak perempuan itu keluar, meneleponnya di setiap malam, dan lain-lain.
"Iya, deh." Ujar Deril akhirnya. "Lima hari doang, kan, Ca? Gak lebih-lebih?"
"Iya, lima hari doang. Eh, enam hari, dong, ngitungnya, kan, mulai minggu?"
"Iya, pokoknya, sampai Jum'at."
Shara mengangguk-angguk meyakinkan Deril.
"Berarti hari ini lo gue pulangin agak maleman, ya?"
Alis Shara terangkat satu. "Kenapa gitu?"
"Ini, kan, hari terakhir sebelum kita pisah lima hari. Jadi gue mau ngabisin malem ini sama lo. Lagian ini masih..." Deril mengangkat tangan kirinya, melihat jam tangan yang terpasang di pergelangannya. "Masih jam tiga sore. Gue ajak jalan-jalan, ya, sampai malem, ya?"
Shara tersenyum dan mengangguk. "Pulangnya jam sembilan aja. Jangan kemaleman."
"Iya, nona."
Mereka berdua berdiri dari kursi kayu yang diduduki. Deril membayar mi pangsit dan es teh pesanan mereka, mengucapkan terimakasih, lalu menyusul Shara yang sudah berdiri di samping motor besar miliknya, sedang memakai helm.
"Sekarang mau kemana?" Tanya Shara ketika Deril sudah menaiki motornya dan meminta Shara untuk segera naik juga.
"Ke rumah gue dulu."
Shara menginjak tempat pijakan di samping kiri motor, berpegangan pada pundak lebar Deril, lalu naik. "Lah? Ngapain?"
"Mau ambil mobil. Kita tuker aja, jalannya pake mobil, biar gak panas-panasan begini."
Deril menghidupkan mesin motornya seiring dengan Shara yang memeluk pinggang lelaki itu dari belakang, menumpukan dagunya di bahu Deril. "Yah, padahal gue lagi pingin meluk gini. Pake motor aja, Ril."
Deril tertawa. Tumben-tumbenan mendengar Shara manja seperti itu. "Tapi kalau pakai motor jadi gak bisa ciuman, Ca."
Lalu satu cubitan di perut Deril hadir. "Dasar!"
* * * * *
"Mau kemana emangnya kok sampe tukeran mobil?" Tanya Adam, sang papa, ketika Deril menanyakan dimana letak kunci mobilnya. Adam tanya iseng, sih, gak berniat menghalang-halangi apalagi sampai sepenasaran itu.
Deril merebut kunci mobil dari tangan sang papa, lalu melangkah ke ruang tamu menemui Shara yang duduk manis disana dan diikuti sang papa dari belakang punggungnya.
"Mau ke pantai, Pa." Jawab Deril. Lelaki itu meminta Shara untuk berdiri. "Ca, gue anterin ke rumah lo dulu apa beli baju ganti disana?"
Deril dan sifatnya yang tidak tertebak kadang membuat Shara pusing sendiri. Seperti kali ini. Belum bilang mau kemana pada Shara, tahu-tahu udah ngomongin baju ganti.
"Ya udah beli disana aja." Ujar Deril tanpa bertanya lagi. Kemudian ia menarik tangan Shara agar berdiri dari duduknya. Shara segera menyalimi tangan Adam.
"Ada bensinnya, gak, Pa?"
"Baru Papa isi tadi." Jawab Adam sambil mengekori sang anak dan kekasihnya dari belakang. "Sarah, nanti diingetin Derilnya jangan pulang malem-malem, ya. Soalnya tante Hanin ngomelnya suka ke Om." Pesan Adam yang dibalas dengusan oleh Deril dan ringisan oleh Shara.
"Shara, Pa, Shara. Sarah siapa, sih, elah? Papa punya selingkuhan, nih, jangan-jangan?"
"Heh." Adam panik sendiri. Pria itu langsung menoleh ke belakang, mungkin memastikan bahwa Hanin masih tertidur pulas di kamar. "Kalau mamamu denger, kamu ya, Ril, yang Papa tendang dari rumah."
Deril tertawa jumawa. "Yok, ah, Shar, ngomong sama bapak-bapak, nih, emang suka ngalor ngidul gak ada habisnya."
"Om, pamit!" Teriak Shara karena Deril langsung menyeret tangannya menuju carport.
* * * * *
Tepat pukul lima lebih sedikit, dimana langit sudah mulai berwarna kuning campur oren, sedang indah-indahnya, Deril dan Shara berjalan menyusuri tepi pantai. Kedua tangan mereka saling terikat mengenggam dengan eratnya. Sore itu memang tak terlalu ramai walaupun sebenarnya hari Sabtu.
"Padahal gue kira lo mau ngajakin dinner atau kemana gitu."
"Ya, nanti, kan, abis dari pantai juga dinner, Ca." Deril menoleh pada Shara yang terlihat cantik padahal hanya dari samping. Perpaduan antara suara ombak, langit oranye, angin pantai, dan rambut Shara yang berterbangan, adalah definisi keindahan sesungguhnya. "Gak mau main air?"
Shara menggeleng. "Udah jam segini juga. Kecuali kalau kesininya siangan, pasti gue main air."
"Ya udah kapan-kapan kesini lagi kalau siang."
Shara hanya manggut-manggut. Mereka berhenti ketika dirasa sampai di pasir yang tak terlalu dekat dengan pantai. Shara duduk di pasir putih, disusul Deril yang mengikutinya. Mereka menghadap ke lautan membuat keheningan jadi tercipta.
Lelaki yang dibalut kaos hitam dengan jaket yang ia sampirkan di pundak itu mendekat lagi ke samping Shara, lalu tangannya bergerak merangkul pundak gadis itu, menyuruh Shara meletakkan kepalanya di bahunya.
"Gue gak nyangka, tau, bisa balikan sama lo." Kata Shara tiba-tiba. "Gue ngiranya selepas putus, ya udah, gue mungkin bakal sempet gamon tapi gak kepikiran buat balikan."
Deril diam sesaat seiring dengan tangannya yang mengusap-usap bahu Shara. "Gue juga gak tau kalau gue bisa gamon lo pas abis putus." Jawabnya sambil terkekeh kecil di akhir.
"Bener kata bokap." Lanjut Deril. "Bokap pernah bilang- sebenernya ini kalimat ada di mana-mana, sih, kayaknya. Cuman gue nemu kalimat ini dari bokap.- Dia bilang kalau kita gak pernah sadar dengan apa yang kita punya kalau kita belum kehilangan."
"Gue gak sadar kalau gue sesayang itu sama elo, Ca, sampai akhirnya seminggu setelah kita putus kayak jadi hari-hari paling berat karena ngeliatin elo di meja kantin tanpa bisa semeja bareng lo lagi. Atau kayak pas gue gak bawa dasi padahal upacara, terus sempet kepikiran buat ke kelas lo karena lo biasanya bawain cadangan buat gue- tapi gue lupa kalau kita udah putus."
Shara menegakkan duduknya, menjauh dari Deril, membuat lelaki itu juga melepaskan rangkulannya. "Gue udah pernah bilang belum sih, kalau gue juga sesayang itu sama elo, Ril?"
Ketika Dava dulu pernah bilang bahwa mengajak Gisel kemanapun akan terasa berbeda ketika mengajak kekasihnya ke pantai berdua, Deril tak paham artinya. Tapi saat ini, Deril tahu. Makna lain dari kalimat tersebut adalah dalamnya perasaan bisa diukur dari sana. Melamun sembari memandang deburan ombak dengan kekasih di samping, membuat suasananya terasa beda. Rasanya film-film seperti Romeo dan Juliet kalah romantis dengan situasinya saat ini.
Deril menahan bibirnya agar tak tersenyum semakin lebar mendengar kalimat pertanyaan retoris Shara. Lelaki itu hanya menggerakkan tangannya, merapikan rambut Shara yang berantakan karena angin, lalu jemarinya berhenti di pipi Shara, mengusapnya disana lama sebelum berpindah ke sudut bibir gadis itu.
Deril berani bersumpah kalau setiap kali ia tak sengaja memandang bibir Shara, hal yang selalu ia ingin lakukan adalah melumat habis-habisan benda lunak tersebut. Tak heran Agas selalu mengatainya m***m padahal Deril kira antara Agas dan dirinya juga sama-sama m***m. Tapi anehnya, gejolak di dalam diri Deril hanya keluar saat bersama Shara. Dia gak pernah, gak sengaja liat bibir Intan terus tiba-tiba pingin nyosor. Beda, kan, dengan Agas yang kalau ketemu p****t langsung pingin nyenggol?
Shara berdecak ketika ia tahu bahwa fokus Deril sudah tak pada kalimatnya tapi mata lelaki itu asik memandang bibirnya. "Deril, mulai, deh."
Deril mengalihkan perhatiannya. Ia menatap Shara sambil tersenyum geli. Wajahnya mendekat seiring ia kembali bersuara. "Boleh, ya, Ca? Hari terakhir, nih, besok-besok udah gak bisa cium."
Apa yang bisa dilakukan Shara selain sama mendekatnya ketika Deril sudah menyeringai?
Tapi bohong jika Deril bilang ini yang terakhir. Karena malam ketika lelaki itu memberhentikan mobil di depan pagar rumah Shara, Deril tetap meminta lagi. Bahkan lebih liar. Lebih lama.
Deril dan segala cara menciumnya yang memabukkan.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Padahal cuma lima hari tapi Deril bersumpah rasanya seperti lima tahun. Lelaki itu jadi heran mengapa dulu dirinya bisa baik-baik saja saat diputuskan Shara sedangkan sekarang mereka hanya sedang menjaga jarak selama hari ujian saja rasanya Deril ingin membenturkan kepala ke dinding.
Di hari Senin alias hari pertama ujian, Deril sebenarnya sudah memaksa Shara agar berangkat dengannya. Tapi Shara menolak mentah-mentah, perempuan itu bilang ingin berangkat sendiri. Tak hanya itu, bahkan ketika Deril sudah di depan pagar rumah Shara saja dengan teganya Shara tetap mengusir.
Tapi jauh dari dalam lubuk hati Deril, ia mengakui bahwa Shara yang memutuskan untuk begini sebenarnya ada untungnya juga. Karena dengan tak berada di radar Shara selama lima hari, Deril akhirnya memutuskan untuk belajar juga untuk hari ujiannya. Mungkin lelaki itu bingung harus apa karena Shara melarangnya menelepon, mengirim pesan, dan berkunjung ke rumahnya, jadi Deril akhirnya membuka buku dan mempelajari materi untuk ujian.
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu Deril. Senin sampai Jum'at sudah ia lewati dengan baik, hari Sabtunya Deril gunakan untuk ikut Papa dan Mamanya menginap di rumah nenek— padahal sebenarnya Deril tidak mau karena ia trauma pernah disukai oleh sepupunya sendiri. Apa lagi malam minggu seperti ini tentu lebih enak digunakan untuk apel ke rumah pacarnya.
Jadilah di hari minggu, pagi-pagi sekali, Deril sudah berada di depan pintu rumah Shara dengan keranjang besar di tangan kanannya. Keranjang yang berisi kol, wortel, tomat, dan sayur-sayuran yang lain. Sekedar info, Deril terpaksa membawa ini karena mamanya yang menyuruh. Karena kemarin mereka berkunjung ke rumah nenek, neneknya membawakan sayuran dari kebun yang membuat Deril pagi ini jadi seperti paman dari desa.
Sialan.
Ia pencet sekali lagi bel rumah milik Shara dengan tidak sabaran. Kemana, sih, nih cewek?!
Tak cukup memencet bel, kali ini Deril mengetuk pintu rumah Shara seakan-akan rumahnya sendiri. Menggedor-gedornya kuat. "Ca!"
Lalu pintu terbuka dari dalam menampilkan Shara dalam balutan piyama bertema bulan dan bintang. Wajahnya benar-benar muka bantal. Dengan mata mencoba untuk terbuka, Shara berdecak. "Ngapain, sih, pagi-pagi udah disini?!"
"Nih." Deril menunjuk keranjang yang ia bawa. "Dari mertua. Katanya suruh ngasih ke menantu biar gak makan junk-food mulu." Ledeknya sembari memakai nama mamanya sebagai alasan ia datang kesini.
Shara mengambil alih keranjang di tangan Deril yang ternyata berat sekali. ".... banyak banget?"
Deril meringis. Tak berniat menanggapi, ia malah mengintip ke dalam rumah Shara. "Lo sendirian?"
"Iya. Bukannya gue udah bilang sebelum ujian kalau mulai Jum'at gue bakalan home alone sampe minggu depannya lagi?"
Shara melengos ketika mendapati Deril langsung senyum-senyum. "Apa, deh, mukanya gitu banget?"
Deril tak menjawab melainkan langsung ikut masuk membuntuti Shara. Mereka berdua melangkah ke dapur. Shara sibuk menaruh sayuran yang dibawa Deril ke dalam kulkas sedangkan laki-laki itu sedang membuka tudung saji di meja makan.
"Lo baru bangun beneran, Ca? Sumpah jam segini gak ada makanan?"
Deril mengedarkan pandangan mencari jam dinding, memastikan jam tangannya tidak mati karena demi apapun ini sudah pukul sepuluh siang.
Deril menggeleng-gelengkan kepalanya dramatis. "Untung lo nikahnya bakal sama gue, Ca. Kalau sama cowok lain, mungkin udah dipegat gara-gara malesnya gak ketulungan."
"Ew, ngomong sana sama p****t panci."
Deril berbalik dan menghampiri Shara yang masih berjongkok di depan lemari pendingin. "Haduh pedes banget ngomongnya, sini coba gue icip mulutnya."
"Stooo— hmph!"
* * * * *
"Apa-apaan, nih?!"
Shara melongok ikut memperhatikan apa yang dilihat Deril di ponsel casing merah muda miliknya. Deril melirik Shara sinis, melepas rangkulannya di bahu Shara. "Nih, nih."
Shara merebut ponselnya dari Deril agar bisa melihat dengan jelas apa yang dimaksud lelaki itu. Disana ada pesan masuk di i********: Shara, laki-laki yang bernama Bimo mengirimi 'hai' padanya.
"Ye, mana gue tahu."
"Apanya yang mana gue tahu?"
"Ya gue gak tahu kenapa lo tiba-tiba ngomel."
"Kalau ada cowok nge-chat jangan diladenin, dong, Ca."
"Gue kira itu penting. Lagian si Bimo kan wakil ketua OSIS, makanya gue ngiranya dia mau ngomong apa, kek, urusan sekolah."
"Kalau ngechatnya hai berarti mau sepik." Balas Deril dongkol.
"Iya kalau iya? Kalau enggak?"
"Iya!"
Deril jadi sebal. Shara yang kelewat cuek membuat lelaki itu jadi was-was dan panik sendiri. Takut kalau tiba-tiba ada yang mendekati kekasihnya dan ia tak tahu— atau tahu belakangan. Deril tak mau begitu.
Kalau Deril tak melihat isi ponsel Shara, pasti ia tidak tahu bahwa belakangan ini banyak akun laki-laki yang mengikuti akun i********: Shara, dengan alibi minta follow back berujung meminta nomor Whats App. Halah, Deril sudah hafal modus-modus siluman kadal seperti Agas begitu.
"Ca, kalau gue lagi ngomong serius gini elo-nya jangan main hape dulu." Deril merebut ponsel di tangan Shara, meletakkannya asal di meja sebelum duduk bersila menghadap Shara.
"Iya, apa?"
"Beneran jangan asal balesin chat cowok. Udah tahu gue cemburuan, suka banget bikin gue marah-marah."
"Iya, iya."
"Kalau aku ngomong jangan dianggep angin lalu gitu."
Kalau Deril sudah merubah lo gue-nya jadi aku-kamu begini, Shara selalu tak bisa menahan senyum geli. Ia yang duduk bersila sama seperti Deril jadi mendekat, memeluk pinggang Deril dari depan dan menyandarkan kepala pada d**a pacarnya. "Iya, sayaaaang."
Deril balas melingkarkan kedua lengan kekarnya mengelilingi leher Shara. "Jangan genit-genit jadi cewek."
"Enak aja genit!"
Deril tertawa kencang. "Besok jangan lupa ke lapangan, Ca, jam sepuluh."
Di pelukannya, Shara mengangguk kecil sambil bergumam. Ia menghirup wangi Deril disana. "Iya, udah gue alarm biar gak lupa."
"Sumpah sampe lo pasang alarm?"
"Kagaklah, lebay amat!"
Deril mendengus di atas puncak kepala sang kekasih.
"Ril, jangan ngendus-ngendus rambut, gue belum keramas satu abad."
Deril tak mengindahkan larangan Shara. Ia malah mengecupi rambut Shara berulang kali sambil mengeratkan pelukannya pada leher Shara. "Pantesan ada sarang laba-labanya."
Shara langsung mendorong d**a Deril kencang agar Deril menjauh. "Jangan meluk-meluk lagi. Awas aja, lo."
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *