2.2

4755 Kata
Deril berguling-guling diranjangnya tanpa tahu apa yang harus ia lakukan. Sebal karena dari kemarin sore Shara tidak membalas pesannya, Deril jadi emosi sendiri. Apa jari Shara sedang bengkak sehingga tidak bisa mengetik? Lagipula, Deril sebenarnya tidak begitu memahami alasan mengapa kala itu Shara mengajaknya berpisah. Shara bilang ia tidak terima karena dua bulan terakhir sebelum putus, Deril tak memiliki waktu untuknya. Padahal seingat Deril, sebelum dua bulan itu pun, mereka memang jarang bertemu kan? Maksud Deril, memang begitulah hubungan mereka. Mengapa baru dipermasalahkan Shara setelah dua tahun kemudian? Malas menebak-nebak, Deril mengingat petuah dari Sang Baginda. Pepet terus, katanya. Baiklah kalau itu yang Shara mau. Mungkin kali ini Deril harus berusaha keras untuk mendapatkan hati mantan kekasihnya itu. Tak apa. Deril A.Z : di read doang? serius, cala? sent. Satu menit, dua menit, hingga lima menit kemudian tak kunjung mendapat jawaban, bahkan kali ini tak ada tanda bahwa perempuan itu membacanya, Deril melempar ponselnya. "Argh! Begini banget gagal move on." Deril bangun begitu terdengar suara dentingan dari ponsel yang ia geletakkan di bawah kaki. Shara Fressia : Apa, Ril? Senyum Deril merekah. Uh, mengapa hanya membaca dua kata tersebut jantung Deril terasa meletup-letup? Deril merebahkan punggungnya ke ranjang lagi, masih dengan senyum yang terpatri di bibirnya. "Bales paan, nih?" gumam Deril. Mata Deril melihat sekeliling kamarnya, berusaha mencari ide untuk menjawab balasan Shara. Naas, konsentrasinya buyar ketika Cinta mengetuk kamarnya dengan keras, dan belum sempat Deril mengatakan apapun pada pengetuk pintu, adiknya itu sudah membuka kamar. "Bang," Deril mengibaskan tangannya mengusir Cinta. “Gue sibuk, jangan ganggu." "Bang serius, nih. Anterin ke toko buku!" "Lo baru beli novel dua hari yang lalu ya, Dek. Jangan ngabisin duit jajan gue, kenapa?" Bukan Deril pelit, tapi setiap kali Deril mengantar Cinta ke toko buku, Cinta pasti meminta Deril membayarkan bonnya. Tak apa jika satu buku, jika empat buku yang dibeli oleh Cinta? Demi Tuhan, uang saku Deril bisa lenyap jika menuruti kemauan adiknya terus-menerus. "Gak. Kali ini pakai uang gue, serius!" "Lo pikir gue percaya?" Tak kehabisan cara, Cinta berteriak, "MA ABANG GAK MAU NGANTERIN KE TOKO BUKU!" "Mama gak ada." jawab Deril santai. Tapi kemudian mata lelaki itu berbinar, "Oi dek, gini deh. Gue mau nganterin lo tapi pinjemin mobil ke Papa. Oke?" Cinta mendengus. "Dari tadi, kek." Perempuan manis itu keluar dari kamar sang kakak, "Cepetan ganti baju. Aku tunggu di bawah." Deril tak menghiraukan. Jemarinya asik mengetik cepat diatas layar ponsel. Deril Ardito Z : anterin ke toko buku, yuk? Tak peduli dengan kemungkinan penolakan yang akan ia terima, Deril segera mengambil jaket dan mengantongi ponselnya. Ia bersiul senang sembari menuruni tangga. Ah, Shara. Membayangkan ia akan ke toko buku bersama gadis itu saja membuat Deril kegirangan. Kemana perginya Deril yang alergi dekat-dekat buku? * * * * * Deril membekap mulut adiknya yang sedari tadi protes karena mobil tidak mengarah pada toko buku. Dan kini, setelah mobil Deril berhenti didepan pagar rumah mantan kekasihnya, Deril meminta Cinta untuk pindah duduk ke belakang. "Tunggu disini bentar," pesan Deril ketika tangannya hendak membuka pintu mobil. "Jangan bilang abang mau nongkrong dulu?!" Cinta bersungut, "Bang, sumpah ya, anterin gue dulu ke tempat buku, anjir!" "Bacot." Deril melangkahkan kakinya memasuki pekarangan, menyapa tukang kebun yang sudah tak asing pula dimatanya. Namun dibalik itu, Deril sebenarnya gugup, tangannya berulang kali saling menggosok, menenangkan debaran jantung, takut jika penolakan yang akan ia dapatkan. Tapi lebih dari itu, Deril takut Shara akan mengusirnya bahkan sebelum Deril mengatakan apapun. Tak apa, jurus petrus dari sang Papa pasti akan membuahkan hasil. Batin Deril menyemangati. Memencet bel satu kali, yang pertama kali muncul adalah sosok perempuan dengan rambut digulung asal dan memakai apron berwarna merah jambu. Senyum Deril melebar, sempat-sempatnya membayangkan Shara yang kelak akan berada di dapur rumahnya setiap pagi untuk memasak sarapan mereka. "Loh? Ril?" Deril berdeham, "Hai. Kok belum siap-siap?" Shara mengangkat alisnya tinggi-tinggi, "Siap-siap apa?" Whisk pengaduk adonan kue yang berada di tangan kanan perempuan itu menunjuk wajah Deril, "Ini lo ngapain, sih, disini?" Sial, kayaknya dia belum baca chat. "Gue tadi ngechat lo, ngajakin ke toko buku. Gue kira lo udah baca jadi gue kesini buat jemput, tapi ternyata lo kayaknya belum siap-siap. It's okay, gue bisa nunggu-" "Siapa yang bilang gue mau?" Wajah Deril memias, "Lo gak mau?" "Enggak." "Lo gak tertarik sama promo gede-gedean di rak novel teenlit?" Deril masih berusaha. Shara diam, Deril menyeringai. "Enggak." Shit. "Cala-" Shara tertawa mengejek. "You have no right to call me with that name." "Okay-okay. Shar—“ "BANG!" Deril menoleh ke belakang, dimana Cinta sudah menunjukkan raut murka di wajahnya. Deril menghela nafas kasar, merasa bahwa kesempatan mengajak Shara keluar sudah gagal. Namun kemudian, dengan tak disangka-sangka, mata Cinta berubah menjadi berbinar, lalu berlari tergesa-gesa ke arahnya. "Kak Shara, astaga, kangen bangeeet." Deril melotot, kemudian menepuk dahinya pelan, lupa kalau Shara dan Cinta sangat dekat. Bodoh! Kenapa Deril tidak dari tadi saja memanfaatkan Cinta? * * * * * Oke. Disinilah Deril sekarang berada. Berjalan dibelakang dua perempuan yang bersemangat memilih buku, dan mengacuhkan Deril seakan-akan Deril hanyalah debu kecil tak terlihat. Setelah adegan berpelukan antara adik dan mantan kekasihnya tadi, Cinta memaksa Shara agar mau ikut dengannya, yang tentu saja Deril mengangguk puas karena Shara tak mungkin menolak lagi. Namun sialnya, jika dibayangan Deril kali ini ia bisa memperbaiki hubungan dengan Shara, yang ada ini hanya berupa temu-kangen antara Shara dan Cinta. Deril mendengus, merasa ingin menenggelamkan Cinta ke pantai selatan saja. Deril mendekat ke arah Shara yang sedang membaca sinopsis buku di cover belakang. Memanfaatkan Cinta yang sedang menelusuri rak-rak, Deril berdeham, "Cari buku yang kayak gimana?" Berasa jadi karyawan toko bukunya. Alih-alih Shara menjawab, menoleh saja tidak. Namun Deril tak menyerah. Ketika matanya menemukan satu buku yang menarik perhatian, ia segera ambil itu dan membaca judulnya. "Gue harus beli ini gak, sih, biar bisa dapetin hati lo lagi?" Shara menoleh cepat, menatap pada mata Deril kemudian beralih melihat buku yang dipegang lelaki itu. How To Get Her Heart Back. Shara mendengus, "Kenapa? Nyeselnya baru sekarang pas udah putus, ya, Mas?" Bukannya tersinggung, Deril malah tertawa. "Iya, nih, Mbak. Mau ngajarin caranya biar bisa balik kayak dulu lagi, gak?" Shara terdiam. Tak menyangka Deril akan sejujur ini. Oke, kemana perginya Deril yang cuek selama mereka berpacaran dulu? Shara memutuskan untuk menjauh dari Deril, menyusul Cinta yang sedang asik memasukkan buku ke dalam keranjang belanja. "Banyak banget," Shara terkekeh melihat Cinta yang memborong buku. Cinta meringis, "Suka kalap kalau di toko buku gini, Kak." "Kakak dapet buku apa?" tanya Cinta kemudian. Shara mengangkat satu buku ditangan kanannya, Cinta mengangguk-angguk. "Satu aja? Kalau ada buku lain yang Kakak pengen, ambil aja. Mumpung hari ini kita dibayarin Abang, tuh." Deril yang berada dibelakang Shara sontak melotot pada sang adik. Matanya menatap ngeri ke arah keranjang Cinta yang Deril tebak ada sekitar tujuh atau delapan buku didalamnya. Adiknya memang pandai mencari kesempatan! "Iya, Ca, ambil aja." ujar Deril akhirnya. Shara menoleh ke belakang, "Ca siapa?" "Cala, kan?" jawab Deril kali ini tak peduli dengan tatapan nyalang yang diberikan Shara kepadanya. "Kalau udah, ke kasir sekarang aja." Deril mengambil dompet disaku celananya, mengeluarkan kartu ATM dan memberikannya pada sang adik, "Punya Shara sekalian bayarin. Kita tunggu di mobil." Deril menarik tangan Shara setelah meletakkan buku perempuan itu ke keranjang Cinta. Sedangkan Shara mati-matian berusaha menepis tangan Deril. "Ngapain sih gandeng-gandeng?" "Biar gak ilang." jawab Deril asal. Setelah membukakan pintu mobil untuk Shara, ia mundur sedikir, "Gih, masuk." Shara mendengus, langkahnya ia hentakkan kencang membuat Deril terkekeh geli melihat kelakuan Shara. Ia memutari mobil dan membuka pintu kemudi, masuk ke dalam dan duduk disana. Tubuhnya miring menghadap Shara penuh. "Gue kangen," ujar Deril tiba-tiba. Shara belagak tuli. Perempuan itu masih bersedekap, tatapannya menghadap mobil-mobil yang terparkir didepan. "Cala?" "Mau apa sih, Ril?!" Shara meledak tiba-tiba, "Apa maksud lo kayak gini ke gue? Dua bulan setelah kita putus, lo baik-baik aja, kok, gak ada gue. Kenapa sekarang begini?" "Karena gue kangen. Gue kangen." ulang Deril. Tangannya meraih lengan Shara, membuat tubuh Shara memiring pula menghadap sang mantan, "Maafin gue, please?" Shara menggeliatkan tangannya, berusaha menepis tangan besar Deril yang melingkup hangat pada kedua tangannya. "Gue udah maafin lo dari jauh-jauh hari." "You were not. Kalau udah, harusnya lo gak ketus ke gue begini." "Terus lo mau gue gimana?" "Jadi Cala kayak dulu." Shara menatap Deril, "Cala yang dulu itu b**o. Mau aja bertahan sama cowok yang gak nganggep dia." "Demi Tuhan, Ca. Gue gak begitu." Deril menaruh sikunya di kemudi, "Kalau gue gak nganggep elo, dari dulu gue minta udahan. Ngapain banget gue stuck in relationship yang gak gue suka, kan?" "Whatever, Ril. Gue males bahas yang dulu-dulu." "Cala, please." "Apa lagi?!" Shara yang lembut dan sabar dulu kemana, sih? Batin Deril mendecak. Sepertinya kali ini Deril yang harus ekstra sabar menghadapi Shara yang mudah meledak begini. "Give me fuckin' one more chance." Shara menggeleng, "I won't. Ngasih kita kesempatan kedua itu sia-sia, Ril. Kayak kita baca buku yang sama, endingnya gak bakal berubah, kan? Dulu lo juga gini, semangat banget ngejar gue tapi struggle lo cuman diawal doang-" Kecupan ringan jatuh ke bibir Shara, membuat gadis itu hilang kalimat dan terdiam begitu saja. Sesaat ia hanya mengerjapkan mata, kemudian mulutnya terbuka, bersiap mengomel sebelum Deril mendahului. "Obat berisik lo masih tetep ternyata, ya." kekeh Deril, tangannya berlabuh di puncak kepala gadis itu, mengacaknya hingga berantakan. "Nyebelin banget, sih?!" amuk Shara. Sebenarnya banyak kalimat yang siap ia lemparkan, tapi sungguh ia masih terkejut. Bagaimana bisa Deril mengecupnya disaat hubungan mereka saja bahkan tidak bisa dikatakan teman karena Shara tidak sudi berteman dengan lelaki yang pernah menyakiti hatinya itu. "Cala," panggil Deril. "Dengerin." Shara menoleh, kali ini entah mengapa ia mau menurut begitu saja. "Kita bakalan punya ending yang beda dari sebelumnya. Karena gue, gak mau baca buku lama, gue mau nulis buku yang baru. Paham?" * * * * * Cinta tertidur pulas di jok belakang ketika mobil Deril sudah berhenti tepat didepan rumah Shara. Mengingat agenda mereka hanya membeli buku, Deril dapat mengantar Shara pulang sebelum matahari terbenam. Shara melepas sabuk pengamannya, ia menggumamkan ucapan terimakasih kepada Deril yang dibalas anggukan saja. "Gue perlu mampir, gak?" Shara memutar bola matanya jengah, "Gak." "Ya udah, besok ke sekolah gue jemput." "Apaan sih?" "Bensin gue penuh banget, gak tau mau dikemanain." jawab Deril asal. "Tenang aja, gue bakal berangkat pagi biar gak telat upacara." "Gue gak mau berangkat sama lo." "Kenapa?" Kenapa, katanya? "Gue berangkat sama Pak Jojo." "Bodo amat. Gue bakal jemput lo subuh." Shara tak merespon banyak. Ia membereskan bungkus permen yang ia taruh di dashboard mobil. Deril menoleh ke belakang, memastikan adiknya benar-benar terlelap. Lelaki itu kembali menghadap Shara. "Kiss bye, dong?" Entah Deril berniat menggoda saja atau memang serius, yang pasti Shara langsung mendorong kening Deril menjauh kemudian membuka pintu mobil dan buru-buru keluar. * * * * * * * * * * * * * * * Hari Senin bagi Shara sudah cukup menyebalkan karena menjadi hari pembuka pada satu pekan, jadi mengapa pula Deril harus membuat Shara semakin mengumpati hari tersebut? Dimulai dari Deril yang benar-benar menjemputnya pagi tadi-walaupun bukan saat shubuh seperti yang dikatakan Deril tempo hari, kemudian upacara yang membuatnya berkeringat, dilanjut dengan Bu Ninil yang menyuruhnya untuk piket ulang sebelum memasuki jam pelajaran, Shara benar-benar emosi! Bu Ninil adalah guru yang mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris. Tadi setelah upacara dibubarkan, Shara dan Intan langsung kembali ke kelas tanpa mampir ke kantin seperti biasanya. Mereka berdua adalah orang pertama yang sampai dikelas. Sialnya, Bu Ninil kemudian datang dan langsung marah-marah karena kelas terlihat kotor. Ia menyuruh Shara dan Intan untuk menyapu dan mengepel. Yang benar saja? Rasa lelah yang hinggap di badan Shara hari ini menjadi alasan mengapa Shara akhirnya memilih menelungkupkan kepala diatas meja ketika Bu Ninil menjelaskan materi di depan. Naas sekali, lagi-lagi kesialan menimpanya, Bu Ninil memergoki Shara yang tidak memperhatikan pelajaran dan menyuruh Shara keluar. "Kamu yang tadi saya suruh piket, kan? Sudah nyapunya tidak bersih, sekarang malah malas-malasan dikelas!" ujar guru berbadan seperti cikgu besar di serial Upin Ipin tersebut. Shara hanya diam, walau dalam hati sudah mendengus memerotes. Hei, bahkan ini bukan hari piketnya! Shara berjalan lunglai ke arah kantin. Tak peduli misal ia bertemu guru kedisiplinan yang mungkin saja sedang berkeliaran disana. Setelah membayar minuman dingin, Shara duduk di kursi panjang depan koperasi. Ia memandang kosong ke arah depan dan hatinya berkali-kali mengumpati semua yang terjadi hari ini. "Cala?" panggil seseorang membuat lamunannya buyar. Shara tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang memakai nama itu untuk memanggilnya. Ia hanya bergeser karena lelaki itu mengambil duduk terlalu dekat dengannya. "Lo bolos?" tanya Deril, "Gak mungkin sih, bolos. Lo jamkos, ya? Kok gak sama Intan?" "Diusir." Deril terhenyak, "Serius?" Shara mengangguk. "Kok bisa?" "Ketiduran." Shara menoleh menghadap Deril, "Lo ngapain disini?" Deril mengarahkan telunjuknya ke arah kantin, "Jamkos, jadi ke kantin aja sama anak-anak." Deril menatap Shara yang memandang lurus ke arah depan dengan mengangguk-angguk merespon jawabannya. "Lo keringetan," kata Deril sembari menunjuk pelipis Shara. Shara mengusap peluhnya, kemudian meringis "Capek." keluhnya begitu saja. "Masih pagi ini." "Masih pagi tapi gue udah disuruh nyapu dan ngepel kelas berdua doang sama Intan." "Siapa yang nyuruh?" "Bu Ninil." "Sialan." gumam Deril lirih, nyaris tak terdengar jika saja keadaan disana tak sepi. "Ha? Sialan kenapa?" "Seenaknya aja bikin cewek gue kecapekan." Shara memandang risih ke arah lelaki disampingnya, "Idih?????" Deril tertawa melihat respon mantan kekasihnya. "Gitu banget?" "Ngomong sana sama tembok." Shara menyugar rambutnya, "Segala nyebut cewek gue-cewek gue." Deril baru akan mendebat Shara ketika suara berisik dari arah kantin menginterupsi. "Oh mantan kekasihkuuu! Jangaaan kau lupaaakan akuu!" Deril tahu Agas memakai lagu itu untuk menyindirnya, tapi mana peduli ia dengan teman bobroknya satu itu? Tapi kemudian datang Dava yang juga ikut bersiul menggoda, "Aduh, gue mencium bau-bau cinta lama belum kelar." Shara beranjak dari kursinya, membuat Deril refleks menarik lengan Shara, "Mau kemana?" "Ke toilet." "Gue anterin." putusnya kemudian ikut berdiri. Shara mendengus, tak peduli banyak. Keduanya pun berjalan meninggalkan teman-teman Deril yang bersorak heboh. Tidak. Hanya Agas saja yang heboh. "Hadoooooh, buciiiiin!" Deril menoleh ke belakang, menyeringai ke arah teman-temannya dan mengacungkan jari tengah. Mereka tak ada yang sadar, diantara sorak ramai tersebut, ada Andi yang matanya menyorot ke arah punggung Shara yang menjauh. Tatapan yang entah apa maknanya. * * * * * "Sumpah sih, Ril, gue kayak gak kenal lo yang sekarang." ujar Agas menggebu-gebu. SMA Delite sudah membunyikan bel pulang lima menit yang lalu. Deril, Dava, Agas, dan Andi kini berada di warung Mak Ijah seperti biasanya. "Deril dulu cuek parah sama Shara. Inget gak, Dav?" Dava yang berkutat dengan ponsel jadi menoleh pada Agas, "Parah." tanggapnya begitu saja, kemudian kembali dengan ponselnya. "Urusin cewek-cewek lo sendiri sana." semprot Deril pada Agas. Selebihnya, Deril tak menanggapi lagi. Membiarkan teman-temannya berasumsi sendiri mengapa Deril bisa berubah jadi bucin mendadak begini. Ia memandangi ponselnya yang menampilkan kolom chatnya dengan Shara siang tadi. Deril Ardito berangkat sama gue, balik sama gue Shara Fressia ogah Deril Ardito Cala please Deril Ardito Gue lagi ga mood debat Shara Fressia ? Deril Ardito biasanya Intan juga jajan di mak ijah sebelum balik kan Deril Ardito ikut kesana aja, gue di emak Shara Fressia berisik Beruntung diantara kecemasan yang ia rasakan karena takut Shara pulang lebih dulu, nyatanya sosok yang ditunggu muncul di pintu warung. Deril tersenyum sumringah menyambutnya, terlebih ketika mata Shara dengan cekatan menemukan posisinya dan langsung menghampiri Deril. Tak membiarkan teman-temannya menggoda gadis itu kedua kali setelah tadi pagi, Deril langsung berpamitan untuk pulang dan menarik lengan Shara untuk mengikutinya. Dering ponsel di saku celana Deril membuat cowok itu mengurungkan niat untuk menaiki motornya. Deril menoleh pada Shara yang mengangkat alisnya tinggi. "Kenapa, Ma?" tanya Deril setelah panggilan dari sang Mama ia terima. "Kamu dimana?" "Ini mau balik." "Titip beliin es doger, dong, Ril, yang ditempat biasanya." Deril mendengus, "Itu deket sekolah Cinta. Kenapa gak nyuruh dia aja?" "Cinta mau jalan sama temen-temennya." "Aku juga mau jalan sama cewekku, Ma." balas Deril sedikit dongkol. Shara yang mendengar itu langsung mencubit keras pinggang Deril membuat Deril berjengit dan sedikit menjauh dari cewek itu. "Iya-iya. Aku beliin gerobaknya sekalian. Assalamualaikum." putusnya. Deril berbalik menatap Shara yang diam menunggu lelaki itu selesai dengan telepon, "Ke permai dulu, ya, Ca?" "Terserah lo." "Apa gue anterin lo dulu ke rumah, ya?" gumam Deril pada dirinya sendiri. "Gue pulang sendiri ajalah. Lo malah kayak setrika jalan kalau nganterin gue balik dulu." "Enak aja. Lo mesti balik sama gue." "Duh, udah deh jangan batu!" ujar Shara malah sewot. "Lo yang batu!" balas Deril tak kalah nyolot. Deril naik ke atas motornya, memasang helm kemudian menoleh pada Shara yang tak bergerak dari tempat berdirinya. "Lo minta gue gendong dulu baru naik?" Shara mendorong helm Deril hingga cowok itu terantuk ke depan. "Gue gak mau ngerepotin lo kalau lo ada urusan dulu. Gue pulang sendiri kenapa sih?" Deril mengulurkan tanga agar Shara bisa naik ke motor besarnya, yang diterima Shara cuma-cuma. "Lagian sejak gue mutusin ngejar lo lagi, gue udah terima segala resiko buat lo repotin seumur idup." kata Deril membuat pipi Shara memanas tiba-tiba. Deril sialan. * * * * * "Gue gak bisa mampir." ujar Deril ketika sampai didepan pagar rumah Shara, "doger mama keburu gak enak kalau kelamaan." Shara memutar bola matanya jengah, "Siapa juga yang ngajak lo mampir? Inget ya, Ril, lo gak boleh jemput gue lagi mulai besok!" "Bodo." "Awas lo berani jemput!" ancam Shara dengan mata melotot dan menunjukkan kepalan tangan didepan wajah Deril. Deril tertawa ngakak, lalu pandangannya menatap netra Shara, "Jangan lucu-lucu." katanya. "Kecuali kalau lo mau gue ngelakuin itu disini." Shara mengernyit, "Ngelakuin apa?" "Sesuatu yang bisa bikin lo diem. Kayak kemarin." Seketika Shara mengalihkan pandangannya, ia yakin pipinya sudah memerah. "Jangan sembarangan." "Kenapa? Itu salah lo." "Salah gue?" Shara membeo. "Jangan pake apapun di bibir lo." Shara mengernyit makin dalam, tak paham dengan yang diucapkan Deril. Deril menarik lengan Shara, membuat cewek itu maju hampir menabrak setir motor. Tangannya mengangkat dagu Shara, lalu secepat kilat memberi dua kali kecupan di sudut bibir gadis itu. "Bibir lo kemaren ada rasa stroberinya." Deril mengulum bibirnya sendiri, "Bikin kepikiran. Bikin nagih." Kemudian motor Deril meninggalkan pekarangan rumahnya begitu saja, meninggalkan Shara yang berdebar tak karuan. Kenapa Shara baru tahu kalau mantannya itu sangat m***m?! * * * * * Langit diluar sudah semakin menggelap, sedangkan Shara masih asik didalam kamar Intan, menggosip segala hal. Usai pulang sekolah, Intan mengajak temannya itu untuk ke rumah. "Mami bikin cookies banyak!" rayunya setelah mendengar bel pulang sekolah siang tadi. Padahal tanpa diberi iming-iming cookies, Shara selalu bersedia diajak Intan kerumahnya. Bukan ia tak betah dirumahnya sendiri, tapi kalau bersama Intan, memang bisa semenyenangkan itu. "Ada kemajuan gak, sama Deril?" tanya Intan dengan membawakan jus jambu untuk temannya. Shara mengenyit menatap pertanyaan Intan, mengangkat alisnya tinggi-tinggi, "Kemajuan apaan?" "Belakangan dia kan ngintilin lo mulu." Intan melempar kacang ke atas dan menangkapnya dengan mulut, "Jangan ngeles deh." Shara memiringkan kepalanya, mengingat kembali hal-hal yang terjadi antara ia dan Deril semenjak cowok itu mengajaknya ke toko buku. "Dia pernah minta balikan- eh, bukan minta balikan, sih. Cuman bilang kalau dia kangen. Tapi.." "Tapi?" "Tapi gue masih gak yakin sama Deril. Lo saksi idup gimana dulu gue sama Deril pacaran, kan? Gak mudah bisa nerima dia lagi." "Dan perasaan lo ke dia masih sama?" Shara membalas tatapan menyelidik Intan, "Dibilang masih sama sih, enggak. Gue gak sepeduli dulu sama Deril." "Tapi?" Shara mendengus, "Tapi-tapi mulu lo." "Ye, serius nih gue." "Ya tapi kalau lagi bareng masih suka deg-degan." Apalagi kalau dia tiba-tiba cium-cium, tambah Shara dalam hati. Shara mengambil boneka penguin besar milik Intan untuk dipeluknya, "Lo sendiri gimana? Mau sampai kapan jadi secret admirrer?" Intan tertawa miris, "Emang gue bisa apa sih, Shar? Kartini nyelametin martabat perempuan dijamannya bukan cuma buat liat gue sebagai rakyatnya mau bersimpuh ngemis cinta didepan cowok, kan?" "Gue gak nyuruh lo nembak dia, kali. Kodein aja dulu." "Lo kira gue pernah ngobrol sama dia?" sindir Intan, "Kecuali nih ya, gue secantik elo. Gue tinggi, langsing, cantik kayak lo, pede dah gue mepetin doi." Shara melotot, "Heh, lo kok ngomong gitu, sih? Astaga, Tan, lo cantik, anjir!" Shara menatap tak percaya pada sahabatnya. Kenapa bisa Intan tidak percaya diri dengan fisiknya padahal Shara saja suka gemas melihat penampilan Intan yang kelewat imut. "Iya, makasih atas kalimat penghiburnya." balas Intan sarkas. Shara berdecak, "Lagian Andi baik, kok. Apalagi dia pendiem dan tertutup- maksud gue diantara Deril, Agas, sama Dava, kan yang paling diem ya Andi, kan? Cocoklah sama elo yang rempong abis." Intan memasang senyum alay, "Aduh, jadi malu." katanya, "Doain, dong, biar Andi cepet peka. Ya kali gue bakalan jadi pengagum rahasianya dia doang selama berabad-abad." Pintu kamar Intan tiba-tiba terbuka lebar, menampilkan wanita berjilbab yang kemudian menghampiri sang putri. "Tan, anterin Mami ke rumah sakit. Adri tipes." "Ih, sama Pak Hadi aja, Mi. Shara kan lagi disini juga. Gimana sih?" Mami Intan menoleh pada Shara sedetik, lalu kembali menghadap Intan, "Ya udah cariin taksi atau grab car, deh." Shara yang merasa tak enak, kemudian berdiri, "Jangan, Tante. Intan aja yang nganterin. Saya juga udah mau pulang. Keburu maghrib." Intan mendelik, "Loh?!" "Besok gantian ke rumah gue. Oke?" Shara bergegas membereskan buku-bukunya yang keluar dari tas dan menyalami ibu Intan. "Lo pulang bareng siapa, woy?" tanya Intan. "Gampanglah," Shara mengibaskan tangannya, menandakan ia tak apa dengan itu, "Gue balik, ya. Assalamualaikum." * * * * * Shara melambaikan tangannya pada mobil Intan yang melaju didepannya barusan. Setelah ia meyakinkan ibu temannya bahwa ia akan dijemput oleh sopir-padahal tidak, ia pun berjalan kaki ke arah keramaian. Rumah Intan tak jauh dari pusat kota, maka dari itu Shara memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Mobil silver berhenti tepat disamping Shara yang sedang berjalan pelan, membuat gadis berseragam yang terbalut jaket itu jadi berhenti dan menoleh. Kaca mobil terbuka, menampilkan Andi Pramana yang tersenyum menyapa, "Loh, Shar, ngapain jalan sendirian?" Shara meringis, "Abis dari rumah temen gue." Andi mengangguk, "Bareng gue aja baliknya." "Gue mau jajan di suhat, sih." Shara menggaruk pipinya yang tak gatal, "Lo duluan aja." "Gue anterin." "Ha?" Andi mengangguk meyakinkan, ia keluar dan mengitari mobil, membukakan pintu untuk Shara, "Gue temenin cari jajan." "Eh-eh, serius? Gak ngerepotin, nih?" Andi tersenyum, "Gue malah seneng." * * * * * Jalanan yang ramai, lampu warna-warni yang tersorot mata, para pedagang yang berjajar rapi, serta suara keramaian menemani Shara dan Andi yang duduk diatas kap mobil yang terparkir tak jauh dari alun-alun kota. Keduanya baru selesai keliling alun-alun, sesekali berhenti di tempat duduk yang menyajikan tontonan topeng monyet atau memainkan alat musik. Kini mereka sama-sama memegang semangkuk angsle, asik menikmati jalanan ramai dalam diam. "Lo sering kesini?" tanya Andi memecah keheningan. Shara mengangguk, "Dulu." "Oh, sama Deril?" "Enggak, anjir. Sama bokap-nyokap." Shara meletakkan mangkuknya yang sudah kosong diatas kap mobil. "Lo jomblo, kan?" Andi tersedak begitu saja mendengarkan pertanyaan Shara, ia membuka botol air mineral dan meneguknya, "Apa?" "Lo jomblo?" ulang Shara. "Kenapa tanya gitu?" "Gue mau kenalin lo sama temen gue." Shara meringis, "Cantik dia. Pinter, lucu, asik." Andi mendengus. Kirain kenapa nanyain status. "Gak minat gue." "Ih, belum dicoba juga! Intan cocok tau sama lo." ungkap Shara menggebu-gebu. Gadis itu bersemangat membantu sahabatnya agar ter-notice. "Oh, si Intan?" "Iya. Lo tahu, kan? Dia sering sama gue." "Iya, tau." Andi menoleh ke kiri menghadap Shara, "Tapi lo mau gue jadiin Intan pelampiasan?" "Ha?" "Gue suka sama cewek lain." * * * * * "Sekali lagi makasih, ya." ujar Shara sebelum mobil Andi benar-benar meninggalkan halaman rumahnya. Andi mengangguk lalu berlalu. Shara yang berjalan memasuki rumah sambil memandangi sepatunya jadi tersentak ketika ada sepasang sepatu yang berdiri dihadapannya. Ia mendongak, menemukan lelaki jangkung yang menatapnya intens. "Loh?" Shara menjauh dari Deril, "Lo ngapain disini?" Kemudian Shara menemukan motor besar Deril terparkir di garasi rumahnya, "Lo disini dari kapan?" "Lo abis keluar sama Andi?" "Gak sengaja ketemu dijalan." Shara berlalu dari hadapan Deril, kakinya melangkah masuk ke dalam rumah. "Ketemu dimana?" "Kepo lo." Shara menaruh tasnya di sofa ruang tengah, kemudian matanya menyusuri keadaan rumah yang sangat sepi. Mengerti kebingungan Shara, Deri berdeham, "Nyokap lo barusan keluar. Katanya nemenin bokap lo lembur." "Lembur di kantor?" "Iya." "Oke. Tutup pintunya." Deril menghentikan langkahnya, "Hah?" "Iya. Lo bisa pulang sekarang, tutup pintunya dari luar." ujar Shara. Elah, kirain. Batin Deril gemas. Tak mengindahkan ucapan Shara, Deril memilih duduk di sofa, tatapannya mengikuti Shara yang sedang mengambil air di dalam lemari pendingin. "Langsung dianterin pulang sama Andi?" "Jalan dulu bentar." "Jalan? Kemana?" Shara menaruh gelasnya di atas meja dapur keras hingga menimbulkan suara benturan gelas dan meja keramik cukup keras, "Ngapain sih nanya-nanya? Gak ada urusannya sama elo, kali." "Oh, jelas ada." Deril menegakkan punggungnya, ada emosi yang terlihat jelas dimatanya, "Andi temen gue." "So?" "Lo gak bisa giniin gue, Ca. Lo kepingin bikin gue cemburu? Lo mau bikin gue nonjok temen gue sendiri?" "Lo ngaco." "Lo yang ngaco!" sentak Deril. Deril tahu ada yang janggal disini. Andi bukan tipe lelaki sebaik itu hingga mengantar Shara pulang, apalagi menemani Shara jalan-jalan. Ia tidak bodoh semenjak Andi tidak pernah mau ikut mengeluarkan suara ketika Dava dan Agas membahas hubungannya dan Shara. Andi terlalu bodoh jika lelaki itu berpikir bahwa Deril tak menyadari arti tatapan yang ditujukan ketika ada Shara disekitarnya. Deril tahu artinya. Shara berjalan menghampiri Deril. Perempuan itu menatap tajam kearahnya. Ada tatapan sinis yang dilemparkan padanya. "Lo kira lo ada hak buat ngelarang-ngelarang gue?" Sebenarnya Shara tidak bermaksud memanas-manasi Deril. Tapi Deril yang egois dan berani mengaturnya membuat Shara marah dan tak terima. Apa hak lelaki itu hingga berani berbicara begitu dan membentaknya? "Lo siapa, Ril? Lo gak ada hak buat ngatur gue. Jangan egois." "Ca-" "Pulang." "Cala," "Pulang, Ril. Gue males liat lo." * * * * * * * * * * * * * * * Di antara kegelapan yang tercipta didalam bioskop, suara keras dari film yang masuk ke telinga, juga degup jantung Intan dan Shara yang berantakan karena genre horror yang ditontonnya, membuat kedua gadis cantik itu menumpahkan fokus kesana. Tapi semuanya berakhir ketika dengan bodohnya Shara lupa menggunakan mode diam pada ponselnya. Dengan begitu, ketika satu panggilan telepon masuk, semua orang di bioskop- dari sebelah kanan, kiri, atas, dan bawah Shara, jadi menoleh. Intan melotot pada temannya, kemudian dagunya mengedik menyuruh Shara mengganti mode ponsel. Shara meringis dan menurut, ia mengotak-atik ponselnya di tengah ketegangan adegan film yang sedang berlangsung. Namun, pesan singkat masuk berturut-turut pada detik selanjutnya. Shara mengernyit menatap ponselnya yang menampakkan nama Deril dengan tulisan, "Ca? Bisa kesini?" Biasanya Shara akan menghiraukan pesan-pesan dari Deril- karena pria itu sering mengirimi pesan tidak penting. Sebenarnya kali ini, pesan Deril juga terlihat mengandung acuh-able. Tapi entah mengapa, Shara tiba-tiba merasa khawatir. Kernyitan di dahinya semakin nyata, sehingga ia menelepon Deril dan pada sekali tunggu, panggilannya terjawab. Shara berbisik pelan, mengingat ia masih didalam bioskop."Ril?" panggilnya. "Ca? Ca, g-gue.." "Ril, ngomong yang jelas!" Shara membentak, tak sabar ingin tahu apa yang akan dikatakan Deril. Shara panik tiba-tiba. "Gue tabrakan sama orang. Ini.. gue lagi di.." Deril terdengar bertanya kepada seseorang, yang Shara tebak adalah Andi karena suaranya terdengar jelas, "di RSIP." Tepat seperti perasaan Shara yang mendadak tak enak barusan, nyatanya ini benar. Gadis itu langsung berdiri dan menarik tangan Intan, keluar dari bioskop dengan berlari kecil. Jantungnya tak karuan, paniknya bertambah berkali-kali lipat. * * * * * Shara memelankan langkahnya ketika kakinya memasuki UGD. Dari pintu masuk, ia bisa melihat bahwa ada Deril dan Andi yang terduduk lemas di ruang tunggu, sedangkan didepan mereka ada orang tua Deril yang sedang mengobrol dengan raut sama paniknya. Shara dan Intan mendekat membuat empat orang disana menoleh. Dengan tanggap, kedua gadis tersebut menyalimi orang tua Deril. Mereka tak banyak berbincang karena situasi masih sangat tegang. Shara pun tak berani bertanya ada apa. Ia mengambil duduk disamping Deril, diikuti Intan yang disamping kirinya. Shara menyentuh pundak lelaki itu, yang tak disangka langsung disambut pelukan tiba-tiba. Shara diam, tak berani juga tak tega mendorong seperti biasanya. Ia tahu Deril sedang kalut. Nafas lelaki itu berantakan. "Gue yang salah, Ca. Gue ngebut." Tangan Shara bergerak ke atas, mengusap punggung Deril pelan, "Tenangin diri lo. It's okay, orangnya lagi ditanganin didalem, kan?" "Kalau aja gue bisa nyetir lebih pelan-" "Udah, Ril." Shara mengusap leher lelaki itu, "Udah. Stop nyalahin diri sendiri." Shara yang merasakan Deril mengeratkan dekapannya membuat ia merasa terpukul. Ia tak tahu bagaimana tepatnya yang dirasakan Deril saat ini, tapi perempuan itu jelas tahu bagaimana perasaan bersalah bersarang dibenak manusia. Deril menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Shara, tak peduli sepulang dari sini ia akan kena cecar omelan sang ibu karena tak tahu tempat. Yang pasti, setiap kalimat Shara berhasil menenangkannya. * * * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN