2.1

2320 Kata
Deril bersiul genit kepada siswi yang lewat di depannya. Bukan tanpa alasan, lihat saja pakaian yang dikenakan gadis kelas 12 itu. Seragam atas yang sangat ketat, rok diatas lutut, sepatu hitam tetapi memiliki heels, belum lagi dengan lipstik merah merekah di bibirnya. Viga, nama cewek itu menoleh tersipu ke arah Deril, membuat Deril menyeringai karena terlalu mudah menggoda perempuan semacam Viga. Andi dan Dava sudah geleng-geleng kepala. Sedangkan teman Deril yang satunya, Agas, sedang sibuk berdendang dengan tangan menepuk-nepuk meja kantin. Deril dan segala sikap brengseknya telah kembali. Jika yang kalian harapkan sikap buruk Deril adalah semacam pemabuk, pelanggan kelab malam, dan pergaulan bebas, kalian salah besar. Kadar keberengsekan Deril hanya sebatas merokok dan menggoda perempuan. Orang tua Deril berhasil mendidik laki-laki itu agar menjauhi apa yang memang seharusnya dijauhi. Walaupun Deril dikenal kelewat usil, seperti pernah mencubit pipi kepala sekolah saat Deril dimarahi di tengah lapangan, atau ketika Deril menggoda guru Geografi yang cantiknya luar biasa, tapi sekali lagi, Deril tak pernah kelewat batas. "Ada korek, gak?" tanya Deril setelah meraba kantong celananya dan tak menemukan apa yang dicari. Dava melempar korek ke atas meja, yang langsung disambut baik oleh Deril. "Jangan ngerokok sekarang, lah. Nanti aja di Mak Ijah pulang sekolah," ujar Andi, laki-laki paling normal diantara yang lain. Tapi Deril tak peduli. Ia malah menghembuskan asap rokoknya dengan kepala mendongak, menikmati pemandangan asap yang melingkar membentuk cincin-cincin. "Gas, diem sih!" tegur Deril karena Agas masih menggepuk-gepuk meja. "Dih, sensi amat." Dava menyeringai, "Biarin, gas, biarin. Kalau abis putus emang emosinya gak stabil macem hormon ibu hamil." Andi dan Agas tertawa, kemudian terhenti karena bunyi ponsel Dava yang berdering. Seluruh cowok yang ada di meja itu menoleh serentak. Terpampang nama Gisel disana, Gisel kekasih Dava. Diantara Deril, Andi, Agas, dan Dava, memang Dava-lah yang paling bucin. Lelaki itu bisa membatalkan janji dengan siapapun jika sudah menyangkut Gisel. Seperti saat ini, baru berapa detik ponselnya bergetar, Dava bergegas menekan tombol hijau. "Kenapa, Sayang?" sapa Dava dengan ponsel ditelinga, sembari berpamitan lewat kode kepada teman-teman dimejanya. "Jadi putus lo? Gue kira berantem-berantem doang kayak biasanya." tanya Andi setelah Dava pergi. Deril mengedikkan bahunya tak ingin menanggapi banyak. Pandangannya mengitari seisi luasnya kantin. Hingga tiba-tiba ia menegang kala matanya menemukan sosok cantik yang belakangan membuatnya kehilangan semangat hidup. Shara Fressia. "Halal gak, sih, ngeliatin mantan segitunya?" sindir Agas, lagi. Deril mengalihkan pandangan ke arah lain. Mencoba tak memperdulikan kedatangan Shara dan Intan, teman dekat mantan kekasihnya. Disisi lain, Shara sama menegangnya kala tak sengaja menemukan keberadaan satu geng yang familiar dihidupnya. Shara memang tak bertatap dengan wajah Deril barusan, tapi Shara tahu Deril pasti ada diantara kerumunan tersebut. "Disini aja, Sha." ujar Intan yang diangguki Shara. Keduanya duduk bersebelahan pada kursi panjang di tengah-tengah kantin. Shara terlihat diam, padahal sebelumnya perempuan itu baik-saja sebelum ke kantin. Intan menyenggol lengan Shara, "Kenapa sih?" "Apanya?" "Mendadak diem gitu, elo." Shara memutar bola matanya malas, "Gue emang gini, kan, Tan?" "Elo cuek, bukan pendiem." elak Intan, "Cerita kek, ada apaan." Shara diam, jemarinya mengetuk meja berkali-kali, terlihat berpikir. Ia menoleh pada Intan disampingnya, "Gue kok tiba-tiba kangen Deril, ya?" Intan melotot, "Ha? Serius lo? Bukannya waktu lo mutusin Deril lo malah ngerasa lega banget?" "Iya, Tan. Gue kira juga begitu. Lepas dari Deril awalnya emang kayak ngerasa biasa aja. I mean, emang gak ada yang bakal bikin sedih. Gue sama Deril minim kenangan." Shara menunduk, "Tapi sekarang kayak sedih aja, gitu." Intan menepuk-nepuk lengan Shara, "Kan baru berapa minggu, Sha. Mungkin lama-kelamaan bakal terbiasa, kok." Shara melirik ke meja Deril, kemudian cepat-cepat mengalihkan wajah ke Intan kembali akibat menemukan Deril yang memandangnya lekat. Shara membuang nafasnya kasar. * * * * * Shara mengamati bapak penjual nasi goreng yang sedang menghidupkan kompor. Karena mamanya yang menyuruh ia membeli nasi goreng, Shara tak punya pilihan selain mengambil jaket dan berjalan kaki ke komplek depan. Beruntung kali ini tak terlalu ramai, mungkin karena sudah terlalu malam. Kaki Shara bergerak-gerak, ia bosan menunggu nasi goreng yang tak jadi-jadi. Mendadak ingatannya berjalan mundur mengenang Deril. Nasi goreng ini juga kesukaan lelaki itu. "Aku gak bisa masak." ujar Shara ketika Deril minta dibekalkan makanan. Namun suara Deril ditelepon meminta Shara tetap membawakan masakan hasil tangannya sendiri. Sekali-kali, kata Deril. "Aku beliin nasi goreng aja deh, ya?" tawar Shara, "Ada tuh di depan komplek. Lumayan buat ganjel perut sebelum main futsal." Deril akhirnya mengiyakan. Tak butuh waktu lama, Shara datang ke lapangan futsal tempat Deril bermain. Cowok itu menghampiri Shara, tangannya terulur mengambil bekal yang dibawa kekasihnya, "Kamu udah makan?" tanya Deril. Shara mengangguk, "Makan aja." Deril menyendokkan satu suapan ke mulutnya, seketika matanya berbinar, "Enak parah. Beli dimana?" Lebay banget, batin Shara terkekeh geli. "Kapan-kapan bawain lagi, ya." kata Deril lagi, "Kamu mau balik sekarang?" "Iya." "Oke. Hati-hati." Hati Shara tersenyum miris mengingat itu. Ia pikir-pikir lagi, mengapa ia harus merasa sedih berpisah dengan Deril sedangkan cowok itu tidak pernah bersikap manis padanya selama 2 tahun menjalin hubungan? Deril cuek, terlalu cuek. Shara saja yang dari lahir punya sifat cuek, tidak secuek Deril. Lelaki itu hangat kepada teman-temannya, kenapa ke Shara tidak begitu? "Ngelamun aja." Teguran itu mengejutkan Shara. Ia mendongak, menemukan Andi, teman perkumpulan Deril, dengan tersenyum geli melihat Shara. "Eh, ngapain disini?" sapa Shara. Shara tidak begitu mengenal Andi, hanya sekedar tahu nama karena beberapa kali bertemu lelaki jangkung itu ketika ia bersama Deril. Andi menunjuk gerobak nasi goreng dengan dagunya, "Tadi gue udah pesen nasi goreng. Sekarang tinggal ambil." lalu Shara ber-ooh ria, "Tapi kayaknya belum selesai juga." "Boleh duduk sini?" "Duduk aja, kali." Andi menaruh kunci sepeda motornya di meja, kemudian duduk dengan tenang. Kepalanya menoleh pada Shara, "Ngelamunin Deril ya lo?" Shara tertawa, "Apaan sih?" "Ck, sama-sama gamon kenapa gak balikan aja?" "Gue gak gamon." "Keliatan, kali." Andi mengambil kemasan air mineral dan menusuknya dengan sedotan, "Deril juga uring-uringan mulu dikelas." "Eh gak dikelas doang, sih. Di kantin, di grup chat, di rumah, di markas. Dimana-mana." jelas Andi. Shara tertegun mendengarnya. Apakah Andi bercanda? Mana mungkin Deril begitu? Shara tidak memberi kabar berhari-hari ketika mereka masih berpacaran saja, Deril tak pernah sibuk mencari. Apalagi uring-uringan karenanya? "Lo ternyata cerewet juga," ujar Shara mengalihkan topik. "Gue kira lo dingin, pendiem gitu." Andi hanya menggeleng-geleng, kemudian suara besar bapak penjual nasi goreng yang memanggil nama Andi membuat lelaki itu beranjak dari kursi. "Sha, gue duluan, ya." Andi mendekat pada Shara yang masih duduk, tangannya menepuk kepala gadis itu pelan, "Kalau butuh temen cerita, gue siap." Shara tersenyum kaku. "Iya." * * * * * Agas melambaikan tangannya heboh, ketika menemukan Hanin--mama cantik Deril, yang menyambutnya ketika membukakan pintu. Dibelakang Agas, ada Andi dan Dava yang senantiasa mengelus d**a melihat kelakuan satu temannya itu. "Ini benar rumahnya Deril Ardito Zain?" tanya Agas mendadak formal dan kaku, kedua tangannya ia letakkan didepan badan. "Saya kira ini surga. Soalnya yang nyambut saya bidadari." Hanin tertawa kencang mendengar gombalan Agas, beda lagi dengan Dava yang sudah mendorong kepala Agas dari belakang. Kericuhan itu hanya terjadi sesaat, karena Agas mendadak berpindah dibelakang punggung Andi ketika suami Hanin, yang Agas ketahui bernama Adam, muncul tiba-tiba dari lantai atas. "Bidadari yang kamu maksud sudah bersuami dan beranak dua, kalau-kalau kamu lupa." tegur Adam yang kini berdiri disamping Hanin. Agas meringis, "Saya sama Cinta aja deh, Om. Gimana?" Cinta itu adik Deril. Usianya terpaut 2 tahun lebih muda daripada sang kakak yang berarti kini gadis cantik yang wajahnya menurun dari sang Mama itu masih duduk dibangku 3 SMP. "Saya gak mau punya menantu slengean kayak kamu." ujar Adam asal kemudian menarik lengan istrinya. "Mau kemana, sih ah?" tanya Hanin karena Adam tiba-tiba menyeretnya. "Tau, nih, si Om. Masih siang ini!" "Deril di kamar. Langsung masuk aja," ujar Hanin sebelum meninggalkan teman-teman putranya. Sepeninggal orang tua Deril, Andi dan Dava tak tahan untuk mengumpat, "Lo bisa gak sih punya malu dikit aja, Gas? Heran gue." "Nyokap temen sendiri digodain. Sinting," Agas tak merespon. Ia malah meloncat-loncat memasuki rumah luas milik Deril. "Riiiil, main yuuuuk!" * * * * * Deril duduk tenang diatas ranjangnya mengamati Agas dan Andi yang bertanding dengan jemari yang asik menekan-nekan tombol stik. Kamar Deril yang baru saja dibersihkan oleh sang Mama, kini sudah berubah layaknya kapal pecah. Makanan-makanan yang disediakan sudah berhamburan kesana kemari. Oh, jangan lupakan Agas yang tangannya masih berlumur saos dan sekarang menggenggam stik PS milik Deril. Deril memijat pelipisnya, ia terjebak dalam pertemanan empat orang yang berbeda kepribadian. Jika Deril adalah pribadi yang usil namun tahu waktu, Dava adalah si bucin--hidupnya tidak jauh-jauh dari nama Gisel, kemudian Andi adalah yang paling normal. Dia tenang dan tegas, yang paling bisa diandalkan daripada yang lainnya. Sedangkan Agas, tidak ada yang benar didalam otak lelaki satu itu. Hidupnya kelewat santai, bebas, seperti bocah, bermulut cablak, dan masih banyak aib-aib Agas lainnya. Tapi dibalik itu semua, Deril tak mengerti kenapa Agaslah yang paling diincar oleh para gadis. Agas tak pernah memiliki satu kekasih. Minimal ya dua atau tiga, lah. Pening karena melihat situasi kamar yang berantakan, Deril memilih meraih ponselnya disaku celana. Jemarinya menekan tombol untuk menghidupkan layar, kemudian niatnya untuk membuka aplikasi chatting terurung. Deril mengamati foto Shara di wallpaper ponselnya. Senyum perempuan itu manis dan memikat. Tanpa sadar jemarinya mengusap lembut foto Shara diponselnya. Deril tersenyum miris ketika ingatannya terlempar pada saat Deril mengambil foto itu. Shara menjalani foto pemotretan kala itu. Entah bagaimana ceritanya sampai Shara bisa ditunjuk sebagai model majalah remaja. Gadis itu memaksa Deril menemaninya ke tempat pemotretan. Dengan malas-malasan, Deril pun mengiyakan. "Bentar, aku mau ganti kostum." Shara berlari meninggalkan Deril yang berada diluar ruangan. Membutuhkan waktu sekitar 30 menit hingga akhirnya Shara kembali menemui Deril dengan wajahnya yang sudah di make over. Tatapan Deril turun ke kostum yang digunakan kekasihnya. "Bajunya emang pake ini?" Shara mengangguk, "Kenapa?" "Enggak." Deril tidak tahu apakah semua model akan menggunakan pakaian semacam ini--dress dengan lengan pendek dan roknya diatas lutut, sedangkan bagian punggung terlihat jelas--atau hanya Shara saja. Tapi Deril tidak nyaman melihat Shara yang terbiasa menggunakan jeans dan atasan biasa, tiba-tiba memakai pakaian terbuka. "Kamu take jam berapa?" tanya Deril gusar sendiri. "15 menit lagi kayaknya." Deril buru-buru membuka jaket yang ia pakai, mengulurkannya kepada Shara, "Pakai ini dulu." "Bentar lagi udah take," "Pake aja, Cala. Emang kamu gak takut kulit kamu jadi gosong kena matahari langsung gini?" Deril beralasan. Shara mau tak mau memakai jaket kebesaran milik Deril. Tanpa mendekatkan hidung Shara ke jaket hijau tersebut, wangi Deril langsung menguar. Ia merogoh jaket Deril dan menemukan ponsel lelaki itu. Sebelum memberikan ponsel kepada sang pemilik, Shara berujar, "Fotoin, dong." Tangannya mengulurkan ponsel milik Deril. "Pake hape aku?" Shara menganggguk. Deril pun langsung menekan fitur kamera dan mengambil beberapa jepretan foto kekasihnya. "Udah?" Deril mengangguk, tangannya hendak memasukkan ponsel ke saku celana sebelum Shara merebut ponselnya, hanya sesaat karena Shara langsung mengembalikan kepada cowok itu lagi. Deril mengangkat alisnya tinggi-tinggi, ia membuka ponselnya dan menemukan foto Shara sebagai wallpaper barunya. Deril melengos, namun tak berniat menggantinya. "Dipelototin doang gak bakal bikin kalian balikan, kali, Ril." ujar Dava membuat Deril tersentak. Deril buru-buru membalikkan ponselnya, tetapi sepertinya terlambat karena Dava kini menatapnya dengan seringai jahil. "Kalau udah putus aja baru nyesel." Deril tak menjawab. Lelah juga terus-terusan menutupi perasaan dari teman-temannya bahwa Deril kini merasa kesepian tanpa Shara. Hari dimana Shara meminta putus dengannya, Deril memang terkejut. Tapi hanya sekedar terkejut sebelum menyetujui keputusan Shara tanpa berpikir panjang. Hingga beberapa minggu kemudian, Deril merasa aneh dengan dirinya sendiri. Ia sering melamun dan tiba-tiba teringat Shara. Deril menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan bayangan perempuan itu dari kepala. Agas yang berada di karpet mendongak berbalik menghadap Deril, ""Udahlah, ngapain sih ngelak-ngelak. Lo cowok, bukan? Kalau suka ya ajak balikan, kalau gak suka gak usah mikirin dia. Gak gentle amat lo." "Gue aja ya, Ril, pas mau macarin Gisel, gak perlu tuh mikirin yang lain-lain. Gue suka dia dari pertama liat, detik itu juga gue bilang gue mau dia jadi pacar gue." ujar Dava dengan nada sombong, "Take it or leave it." "Terus gue musti ngapain?" tanya Deril lirih, yang disambut gelak tawa dari tema-temannya. "Gue serius, anjing. Bingung banget ini." "Gas, ajarin Deril ngegebet cewek, Gas." kata Dava sambil tertawa. Agas mem-pause game-nya, menoleh lagi kepada Deril, "Chat." * * * * * Deril Ardito Z : Cala? sent. * * * * * Deril berulang kali membenahi posisi duduknya, entah karena tidak nyaman atau lelaki itu sedang gusar. Berkali-kali ia melirik kepada papanya, namun matanya kembali ke depan membuat sang papa curiga. "Ngapain ngelirik-ngelirik Papa?" "Siapa yang lirik-lirik sih?" Adam kembali acuh, pria itu mencomot keripik kentang didepannya sembari tangan kiri yang mengganti channel televisi. Deril yang sudah tak tahan akhirnya memilih memanggil sang papa, "Pa." "Apa? Mau pinjem mobil?" "Bukan, elah." Deril menyugar rambutnya ke belakang, "Mau tanya serius, nih." "Cepetan." "Jangan diburu-buru. Pertanyaan penting ini." Adam mendengus, badannya menyamping menghadap sang putra yang Adam akui lebih tampan dari dirinya, "Kenapa?" "Mama pernah cerita dulu kalian sempet putus, ya?" Sontak Adam melotot, hanya sepersekian detik sebelum buru-buru mengubah ekspresi menjadi sok tak peduli, "Mama cerita alasannya ke kamu, gak?" "Enggak." Deril mengangkat satu kakinya ke atas sofa yang ia duduki, "Bukan itu poinnya, Pa. Dengerin dulu napa." "Iya-iya kenapa? Kamu ngomong bertele-tele." "Dulu Papa ngajakin Mama balikannya gimana?" "Ngajakin balikan yang pertama apa yang kedua?" Deril memajukan wajahnya, "Papa putus sama Mama dua kali?" "Hm." "Yang paling parah putus gara-gara apa?" Deril buru-buru mengganti pertanyaannya, "Gak, bukan itu yang mau ditanyain Deril. Caranya, Pa, caranya. Yang pertama kek yang kedua kek, terserah. Bagi tips!" "Emang kamu mau nembak cewek?" "Mau ngajak balikan." ralat Deril. "Kamu putus sama pacar kamu? Siapa namanya? Sa...rah?" "Shara." ralat Deril lagi. "Jadi gimana, Pa?" Papanya menegakkan punggung, matanya menyorot sang anak dengan serius. "Ya kejar aja." "Anj-" Deril hampir mengumpat didepan sang papa ketika mendengar jawaban-yang-sangat-bermutu dari mulut tersebut. "Spesifik, please?" "Cewek itu maunya dikejar, Ril. Nolak atau nerima, itu urusan belakang. Kamu tau istilah petrus? Bukan cewek kalau gak baper setelah dipepet terus." * * * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN