“Ha?” Satu kata itu terlontar begitu saja dari mulut Nando. Dia kehabisan kata-kata. Pertanyaan yang dilayangkan oleh lelaki berjaket jeans di hadapannya terlalu sulit untuk dijawab.
“Ha, apa?” Ipung malah bertanya kembali. “Daripada kau ha he ho ndak jelas, bagus kita jalan. Ayolah!!” Ipung ternyata tidak menyerah.
Dalam hati, Nando bersyukur karena Ipung tak lagi mempermasalahkan baju yang lupa dia lepaskan. Namun permintaan Ipung, sangat tidak ingin dia turuti. Bukan hanya karena tak ingin terlibat dengan percintaan Ipung. Tapi juga karena dia ingin menyerahkan berkas pendaftarannya hari ini, mengingat hari ini Jumat. Jika tak selesai hari ini, sudah pasti Nando harus menunggu hari Senin.
“Do, ayo!” Sekali lagi Ipung mengajak Nando.
“Pung, aku lagi males kemana-mana. Lagipula nanti mau Jum’atan.”
“Sebelum Jum’atan kita balik.”
“Nda ah, aku males. Lagian kau, kayak ndak punya teman lain yang bisa diajak.”
“Bukannya gitu. Aku sudah janji bakal ngajak cowok ganteng buat dikenalin ke temennya Sita,” ujar Ipung. “Tau lah kan, selain aku, kau cowok ganteng di Tarakan ini. Hahahaha.”
“Ndak temakan aku sama gombalan recehmu itu, Pung.” Nando masih kekeh dengan pendiriannya. “Siapa tadi? Sita? Namanya aja Sita. Jangan-jangan temannya Setan. Iiiiih.” Nando bergidik.
“Asem kau.”
“Sudah lah, aku ndak mau temani kau. Titik.”
“Yakin? Padahal aku punya info yang bagus buat kau loh.”
“Apalagi? Kau ni bah, ganggu tidurku aja.”
“Yakin?” Ipung tersenyum penuh arti lalu mencari sesuatu di dalam tasnya. “Aku tau loh akun f*******: cewek berlesung pipi itu.”
Dahi Nando kembali berkerut. Dia merasa heran dengan tingkah makhluk di depannya. Benar-benar tipe manusia yang pantang menyerah.
“Tadinya aku mau ngasih tau setelah kau temani aku,” ujar Ipung seraya mengotak-atik benda pipih di tangannya. “Liat. Ini foto siapa?”
Deg. Jantung Nando serasa berhenti sejenak. Wajah seorang perempuan yang selalu hadir di mimpinya sejak pertemuan mereka, terlihat sedang tersenyum.
Ya Tuhan Yasmin, jangan senyum semanis itu ke aku. Aku kan jadi malu.
“Eh si Kunyuk malah senyum ndak jelas.” Ipung geleng-geleng kepala melihat Nando. Belum lagi hilang keterkejutan Ipung, tiba-tiba Nando beranjak. Dengan sigap mengambil celana jeans yang tergantung di belakang pintu.
“Ayo jalan!!”
“Eh...”
“Mau ditemani atau ndak nih?”
Ipung berdiri. Menyusul Nando yang telah lebih dulu meninggalkan kamar. Sebenarnya dia ingin mengumpat tapi diurungkan. Daripada Nando berubah pikiran, alangkah lebih baik mereka begegas sekarang.
“Mak, aku jalan dulu. Nanti aku kenalkan sama calon mantu. Hehe.” Nando tersenyum lalu mencium tangan ibunya.
“Loh?” Susi mematung.
“Cil, kami jalan dulu ya.” Ipung juga mencium tangan Susi.
“Kalian mau kemana? Nando kenapa jadi aneh begitu?”
“Begitu lah Cil kalau baru mengenal cinta. Hahahaha.”
Ipung terbahak-bahak. Dia mempercepat langkahnya, mengejar Nando yang sudah lebih dulu duduk di atas motor.
“Ini kok kayak dia yang ngebet ketemuan ya. Heran deh.” Ipung menggelengkan kepala. “Astaga, kenapa dia masih senyum-senyum gak jelas.
“Buruan!!” Nando berteriak pada Ipung yang masih berdiri di depan pintu.
“Sana. Aku yang bawa motor, bukan kau.”
Nando mundur. Membiarkan Ipung duduk di depan, Nando masih terbayang wajah dari pujaan hatinya. Ipung yang tak ingin kegilaan Nando berlanjut, mencoba menegurnya.
“Do, kau sudah makan kah?”
Tak ada jawaban.
“Do.” Sekali lagi Ipung memanggil nama Nando tapi masih tak ada jawaban. Perlahan, Ipung menepi lalu menghentikan motor. Dari kaca spion, dia melihat Nando yang masih tersenyum. Ipung menghembuskan napas panjang.
Memegang paha Nando dengan tangan kiri, Ipung mengatakan sesuatu yang membuat Nando tersadar dari lamunannya. “Do, ndak ada cewek yang suka sama cowok gila. Apalagi cewek sekelas Putri.”
“Hah? Putri? Putri Yasmin kah maksudmu? Mana dia?”
Kali ini, bukan hanya paha yang Ipung pegang. Tangannya juga melayang tepat di kepala Nando. “Sadar Do, belum apa-apa sudah gila. Bagaimana kau bisa dekat dengan dia? Bagaimana kau bisa buat dia suka juga sama kau kalau tingkahmu begitu. Yang ada dia illfell tau.”
“Iya kah?”
“Oon memang ini cowok. Pantas ndak punya pacar sampai sekarang.”
“Eh, banyak loh cewek yang dekati aku tapi ndak gubris. Kalau aku mau, tinggal pilih aja. Tapi ndak ada satu pun dari mereka yang sesuai dengan seleraku.”
“Nah, itu sudah mulai sadar. Makanya, karena sudah ketemu dengan cewek yang sesuai dengan seleramu, yah kau harus lebih cool lagi. Jangan lagi tampakkan kebodohanmu di hadapan dia. Kau cowok, Do. Bukan cewek yang bawaannya pake hati. Pake otakmu, Do. Pake!”
Tak hanya itu. Ipung kembali bersuara “Ingat, ada aku yang bisa jadi penasehat cintamu. Meskipun kau lebih ganteng dari aku, yah kita 11 12 lah. Tapi kau kan belum pernah pacaran selama ini.”
Sebuah kenyataan yang diluar dugaan. Tak ayal membuat Nando mengganggukkan kepala, membenarkan setiap kata yang keluar dari mulut Ipung.
“Sudah lah. Intinya kau musti waras biar bisa dapatkan hatinya. Oke?”
Nando mengangguk. Pertanda dia paham dengan apa yang Ipung utarakan. Dengan senyum mengembang Ipung kembali melajukan motornya. Menemui gebetan yang telah menunggu.
Lima belas menit kemudian mereka tiba sebuah taman bunga berbentuk oval. Taman yang biasa dijadikan tempat nongkrong anak muda di Kota Tarakan.
Ipung mengedarkan pandangan. Mencari sosok perempuan yang mengenakan baju berwarna merah, sesuai dengan isi pesan yang dikirimkan padanya.
“Oh itu dia,” kilah Ipung tepat saat matanya menangkap sosok perempuan mengenakan t-shirt merah dengan rambut tergerai hingga pundak. “Yuk, Do!” Nando mengikuti langkah Ipung.
“Hei!” sapa Ipung seraya menyentuh pundak perempuan yang membelakanginya.
Perempuan itu berbalik lalu berdiri. “Hei juga! Kamu Ipung kan?” Dia tersenyum sambil mendekatkan tangan kanannya pada Ipung.
Ipung menyambut tangan itu dengan senyum yang tak kalah lebar. “Kok sendiri? Temen kamu mana?”
“Dia balik duluan. Dijemput kakaknya tadi.”
“Oh gitu, jadi kita bertiga aja ni?” Ipung melirik ke arah Nando. “Kenalin ini sepupu aku.”
Nando tersenyum. “Kalau gitu, aku duduk disana aja.” Menunjuk kursi yang jaraknya sekitar sepuluh meter dari posisi mereka sekarang. “Kalian lanjut aja ngobrolnya.”
Ipung menepuk lengan Nando. “Paling pengertian memang Nando bah. Ini sambil mengisi waktumu biar ndak bosan menunggu.” Dia menyerahkan handphone miliknya kepada Nando.
“Aku juga punya hape, Pung.”
“Kau mau liat f*******: Putri kan? Cek aja di pencarian terakhirku.”
Tanpa berkata apapun, Nando meraih benda tersebut. Lalu meninggalkan dua sejoli itu.
“Putri siapa, Pung?” Perempuan berkulit putih itu bertanya.
“Putri Indonesia. Hahahaha.” Ipung tertawa. Perempuan itu ikut tertawa. Mereka pun mulai membicarakan banyak hal. Sementara Nando, tentu saja sedang dalam fase gila. Hihi...
Membuka media sosial, senyum Nando tak juga surut. Justru senyumnya semakin mengembang saat melihat foto profil seorang gadis di layar. Dia mulai menyusuri setiap postingan dari gadis tersebut.
Tak luput membaca informasi pribadi si pemilik akun. “Ooh, dia alumni SMADA. Pantes ndak pernah lihat sebelumnya.” Nando bergumam. “Ooooh, ndak lama lagi ulang tahun. Eh, kayaknya pas kuliah ni. Semoga aku diterima di kelas yang sama dengan dia. Kapan lagi rayakan ulang tahun sama cewek kesayangan. Hihi.”
“Apa aku harus bikin kejutan buat dia?” Nando terlihat berpikir keras. “Dia suka kado apa ya kira-kira? Kayaknya aku musti nabung nih mulai sekarang. Kali aja dia suka emas atau berlian. Atau jangan-jangan dia suka cendol. Hahahaha.”
Nando tertawa terbahak-bahak. Dua sejoli yang sedang bercerita kaget mendengar suara tawa Nando. Mereka berpaling ke arah sumber suara.
“Dia kenapa?”
“Hehe, sepupuku memang agak gila. Untung ganteng kan?”
Sita terkekeh. “Kamu ganteng tapi ndak gila.”
Ups!!
“Aku ganteng? Ehm, sayang sekali kamu orang ke 99 yang bilang aku ganteng. Tapi kalau bilang aku sayang kamu ke aku, belum ada sih.” Ipung mulai melancarkan rayuannya.
Sita tersipu. “Aah, kamu bisa aja. Bohong banget deh.”
“Aku gak bohong. Coba aja tanya sepupu aku.”
“Ngapain tanya orang yang ndak waras. Hehe.”
Mereka tertawa.
“Kita memang cocok ya, Ta?”
Satu kalimat itu mampu membuat Sita terdiam. Tak ada balasan kata. Hanya ada senyum malu-malu. Berbeda jauh dengan lelaki di sekitar mereka, dia tersenyum sangat lebar sembari menatap ponselnya. Efek jatuh cinta memang berbeda bagi setiap orang.
Dua jam berlalu. Mereka memutuskan untuk pulang karena Nando dan Ipung ingin bersiap melaksanakan sholat Jum’at. Membiarkan Sita pulang terlebih dahulu baru kemudian mereka meninggalkan tempat tersebut.
“Yuk Do, balik dulu baru sholat bareng,” ajak Ipung. “Aku pinjam baju kokomu ya, oke?”
“Kau ndak pulang ke rumahmu?” tanya Nando lalu naik ke atas motor.
Ipung melajukan motornya dengan kecepatan rendah. “Iya, lagi males di rumah.”
Nando teringat rencana yang sudah dia susun sejak semalam. “Tapi...” Kalimat Nando tergantung, dia bingung harus mengatakan apa.
“Tapi apa lagi?” Ipung bertanya seraya melirik ke spion, melihat ekspresi Nando yang tiba-tiba berubah.