Dua orang perempuan terlihat sibuk di dapur. Perempuan berusia sekitar 40 tahun memasukkan segelas tepung terigu ke dalam adonan. Sementara perempuan yang lebih muda berdiri di depan oven, bersiap membuka benda di hadapannya. Wangi makanan yang berbahan dasar coklat menguar di penjuru ruangan.
“Mak, ini sudah matang.” Putri mengeluarkan brownies berbentuk hati. “Pesanan siapa ini?”
“Ooh, itu pesanan orang di gang sebelah. Si Aldi, kakak kelasmu pas SMA dulu.”
“Yang kuliah di PPKIA kah, Mak?”
“Ndak tau lah juga, Put. Pokoknya belajar komputer-komputer gitu lah.”
“Betul sudah, Mak. PPKIA memang kampus yang jurusannya berkaitan dengan dunia komputer,” jelas Putri sembari meletakkan brownies tersebut di meja berukuran (3x1,5) m. Meja yang dipesan khusus oleh ibu Putri, Siti Darwati, untuk memudahkannya menyelesaikan semua pesanan yang dia terima setiap hari. “Kenapa bentuknya begini?”
“Buat pacar katanya.” Siti terkekeh.
Putri tertawa. Tak habis pikir dengan inisiatif Aldi. “Pacarnya ulang tahun? Kenapa ndak pesan cake aja?”
“Bukan buat ulang tahun. Katanya sih, pacarnya pecinta cokelat jadi ini buat cemilan aja.”
“Baik banget ya kak Aldi, Mak.”
“Kenapa? Kau mau punya pacar sebaik dia juga kah?”
“Apa sih mamak ini. Aku ndak mau pacar-pacaran, mau fokus belajar.”
Siti tersenyum sembari menggelengkan kepala. “Punya pacar juga ndak papa. Mamak ndak marah asal bisa jaga diri.”
Putri hanya diam. Tak berniat membalas perkataan ibunya. Dia membungkus brownies tersebut dengan kertas khusus. Kemudian memasukkannya dalam kemasan berbentuk segiempat. Tak lupa menuliskan nama si pemesan di sebuah kertas. Lalu menempelkannya di kemasan berwarna coklat tersebut.
“Aku masukkan ya, Mak.” Putri meraih loyang dari tangan ibunya. Dengan sigap memasukkan dua loyang lainnya di oven yang berbeda. “Masih banyak pesanan yang mau dibuat untuk besok kah, Mak?”
“Itu yang terakhir.”
“Yaah, aku ndak banyak bantu mamak hari ini.” Putri duduk di sebelah ibunya. “Maaf ya, Mak.”
“Ndak papa, Sayang. Mamak tau kau pasti capek urus kuliahmu,” ujar Siti sembari melepaskan apron dari tubuhnya. “Bagaimana? Sudah selesai pendaftarannya?”
“Sudah Mak, tinggal tunggu pengumuman lolos berkas atau ndak. Kalau lolos, baru tes tertulis. Abis tuh, wawancara deh.”
“Semoga diterima ya, Nak,” ucap Siti sembari mengelus rambut anaknya. “Eh, rambutmu jadi kotor. Maaf ya, Sayang.”
Putri tersenyum. “Ndak perlu minta maaf, Mak. Tapi aku minta jajanku ditambah ya. Hahahaha.” Putri tertawa. Membuat Siti tak mampu menahan tawanya juga.
“Nambah goceng, mau?”
“Mamak kira aku mau beli es krim di KFC.”
Putri mencibir tapi sedekit kemudian kembali tertawa bersama ibunya. Namun dia mengingat sesuatu yang berkaitan dengan restoran waralaba tersebut. “By the way, sudah lama kita ndak ke KFC, Mak.”
“Mau kesana?”
Putri mengangguk dengan senyum mengembang. “Jadi kapan?”
“Tunggu kau diterima jadi mahasiswa baru kesana.”
“Kok gitu? Masih lama loh itu, Mak.” Putri memajukan bibirnya. “Ileran nanti aku kasian.”
Siti tertawa. “Biar sudah ke KFC, tetap kau ileran kalau tidur, Put.”
“Astagaa, mamak ni. Bisa-bisanya ngomong begitu ke anaknya yang cantik dan manis ini.”
“Cantik tapi ndak punya pacar.”
“Biarpun ndak punya pacar tapi yang naksir banyak loh, Mak.”
“Tapi yang naksir ndak ada yang ganteng. Hahahaha.” Siti tak mampu menahan tawanya. Sementara putri terdiam.
“Eh, tunggu, Mak.” Putri kembali mengingat sesuatu. “Ada loh cowok super ganteng yang naksir aku.”
“Oh ya? Siapa? Kayaknya selama ini ndak ada cowok ganteng yang datang ke rumah nyari kau.”
“Astaga.” Putri seolah tak percaya dengan kalimat yang dilontarkan ibunya. “Bisa-bisanya mamak bilang begitu.”
“Jadi mamak musti bilang apa, Sayang”
“Males ah.” Putri memajukan bibir, berpura-pura marah.
“Hahaha, iya iya. Jadi betulan ada cowok ganteng yang naksir sama anak mamak yang cantik ini?””
“Males ah.” Putri masih berpura-pura marah. “Ketawa aja terus.”
Siti terdiam. Tangannya menangkup pipi anak semata wayangnya. “Anak mamak jangan marah dong. Entar makin manis loh.”
“Aku ndak marah lagi asal besok ditraktir ayam goreng KFC.” Putri tersenyum manis, memperlihatkan lesung pipi miliknya.
“Iya Nak, besok kita makan-makan. Ajak Lina juga biar rame.”
“Oke, Boss.” Putri mengacungkan jempol
“Ajak juga calon pacarmu yang katanya ganteng itu. Hahaha.”
“Mamak ni, aku ndak mau pacar-pacaran seganteng apapun cowok yang nembak aku.”
“Ndak boleh ngomong gitu. Kita ndak tau masa depan akan seperti apa.” Siti menasehati Putri. “Tapi bukan berarti mamak bakal langsung setuju kalau Putri punya pacar. Kenalin dulu biar mamak tau cowok seperti apa yang bakal bantu mamak jagain kau.”
“Mamaaak..” Putri menggantungkan kalimatnya. Dia tak tahu lagi harus mengatakan apa. Dia menatap sendu pada ibunya.
“Kau sudah besar, Nak. Sudah cukup dewasa untuk memilih apa yang terbaik buat masa depanmu. Kau sudah sangat membanggakan mamak selama ini. Mesti tak pernah rangking satu. Tapi mamak tau bagaimana usahamu supaya bisa masuk sepuluh besar.”
“Mak.”
“Jangan terus-terusan mencoba membahagiakan mamak. Kamu juga harus bahagia. Jalan-jalan kalau mau, bukan cuma di rumah bantu mamak. Termasuk punya pacar, kalau memang ada cowok yang kau suka.”
“Aku senang kok bantuin mamak. Lagipula sampai sekarang belum ada niatku pacaran.”
“Serius?”
“Serius Mak, hidup berdua dengan mamak sudah sangat membahagiakan. Mamak itu mamak terbaik di dunia.”
“Wah, hampir melayang mamak. Besok pagi-pagi sekali kita ke KFC deh.”
“Serius?”
“Ajak cowok yang katamu super ganteng itu.”
“Apa sih, Mak.”
“Loh, mamak kan mau liat seganteng apa dia.”
“Aku ndak kenal sama dia, Mak.”
“Loh, bagaimana ceritanya kau tau kalau dia naksir padahal ndak kenal.”
“Tau lah, tuh cowok ndak bekedip pas liat aku. Kayak orang terpesona gitu. Hahaha.” Putri tertawa mengingat ekspresi Nando. “Padahal kan, aku ndak cantik-cantik banget.”
“Mungkin dia kira kau hantu makanya ndak berkedip. Hahahaha.”
“Mamak bah.”
Siti menghentikan tawanya. “Memang dia seganteng apa?”
“Seganteng Minho-ku. Hehe.”
Siti tersenyum mendengar pengakuan anaknya. “Minho yang posternya kau pasang di kamar?”
Putri mengangguk dengan senyum mengembang. “Ganteng kan, Mak? Sudah ganteng, baik pula. Suaranya bagus, jago ngerapp. Paket komplit deh pokoknya.”
Siti mendengar dengan seksama bagaimana Putri menceritakan idolanya itu. “Kalau Minho Tarakan, bagaimana?”
“Ndak tau, kan baru ketemu sekali.”
“Tapi serius cowok itu ngeliat kau sampai ndak berkedip?”
“Iya Mak, aku aja heran. Aku jadi ngerasa sekelas artis padahal penampilanku biasa aja. Hehe.”
“Anak mamak memang mempesona kok. Keliatan kalem tapi makin dilihat, makin keliatan pesonanya.”
“Aah Mamak nih, aku lah yang traktir mamak besok.”
Siti terkekeh, begitu pun dengan Putri.
“Mamak cek brownies dulu ya.”
“Aku cek yang di sebelahnya, Mak.”
Setelah semua pesanan untuk besok telah selesai dipacking. Mereka mulai membersihkan dapur. Lalu mencuci perkakas dapur yang kotor.
“Ajak Lina juga besok ya, Put,” titah Siti sembari menyerahkan stick mixer yang telah dibaluri sabun.
“Oke Mak, senang Lina tuh ditraktir makan biar dia makin gendut.”
Mereka tertawa lalu kembali melanjutkan pekerjaan. Sesekali bercerita mengenai banyak hal. Seperti tak ada habisnya bahan pembicaraan kedua perempuan berbeda generasi itu. Setelah memastikan dapur bersih. Mereka memutuskan untuk beristirahat. Masuk ke dalam kamar masing-masing.
Putri tak lupa mengirim pesan pada Lina. Si penerima pesan tentu saja sangat senang. Manusia mana coba yang tidak suka ditraktir. Hihi.
Keesokan hari, tepat pukul 10 pagi, mereka bertiga telah berada di sebuah resto berdinding kaca. Memilih datang sebelum jam makan siang. Berharap tak perlu terlalu lama mengantri. Tapi tetap saja Putri dan Lina musti berdiri cukup lama. Mungkin karena efek tanggal muda yang bertepatan dengan akhir minggu.
Menikmati sarapan yang terlambat sekaligus makan siang yang terlalu cepat, tiga perempuan itu terlihat sangat bahagia. Tak ayal, lebih dari tiga jam mereka baru meninggalkan tempat tersebut. Maklum saja, durasi berbicara dan tertawa lebih lama daripada makan.
Sementara di tempat lain, Nando sedang berkutat dengan berkas pendaftaran. Meski sejak pagi dia telah memastikan semua berkas telah lengkap dan siap untuk dibawa ke kampus. Tetap saja ada kendala.
Orang tua mendukung. Berkas telah siap. Eh, Ipung malah datang. Setengah berlari, Nando kembali memasuki rumah. Padahal dia telah berada di ambang pintu.
“Mak, jangan bilang sama Ipung kalau aku mau daftar di borneo juga. Oke?”
“Loh, kenapa?” Susi tidak mengerti mengapa Nando harus merahasiakan hal tersebut. “Bukannya bagus, jadi kau bisa minta temani dia ke borneo?”
“Aku ndak bilang ke dia. Males jelasin sekarang ke tuh anak. Entaran aja kalau sudah pasti diterima baru aku kasih tau dia, Mak.”
Susi mengangguk. “Oke.” Dia menggelengkan kepala seraya tersenyum geli.
Nando memasuki kamar. Dengan sigap membuka celana jeans yang dia gunakan, menggantinya dengan celana boxer. Lalu berbaring di kasur, berpura-pura tidur.
“Do, sudah bangun belum?” Ipung berteriak diluar.
Rese banget sih tuh anak. Mana pake teriak segala lagi. Emangnya aku maling diteriakin?
“Loh, masih tidur?” ucap Ipung saat melihat Nando berbalut selimut dengan mata terpejam. “Bangun woy.” Dia berteriak di telinga Nando.
Tampak kesal, Nando membuka mata lalu melempar bantal ke wajah Ipung. “Bisa ndak sih, ndak usah ganggu aku.” Bukannya bangun, Nando malah menutupi wajahnya dengan selimut.
“Temani aku bah bentar.”
“Temani kemana lagi?”
“Aku mau ketemuan.”
Nando menyibak selimutnya. “Astaga, kau gila? Cewek mana yang ngajak ketemuan sepagi ini?” Dia bergidik. Matanya menatap tajam pada sepupunya.
“Ikut aja. Dia bawa teman juga loh. Mana tau temannya itu jodohmu.”
“Eh, kalau gila jangan ngajak-ngajak aku ya? Aku ngantuk. Ndak berminat sama tawaranmu.”
“Ayolah bah. Cewek ini cantik banget tau.”
“Terus? Kan itu calon korbanmu, yah kau lah yang ketemuan. Aku males berurusan lagi sama para korban cintamu.”
Nando teringat peristiwa beberapa pekan lalu. Saat itu, Nando sedang menemani adiknya mencari buku di Gramedia. Tiba-tiba dua orang perempuan mendekatinya. Salah satu dari mereka menangis sesenggukan dan meminta nomor handphone Ipung yang terbaru. Maklum saja, Ipung selalu berganti nomor setiap kali putus. Perempuan itu mengaku masih sangat mencintai Ipung. Tapi malah ditinggalkan tanpa penjelasan.
Saat itu, Nando mengaku sudah lama tak bertemu Ipung. Dia tak ingin mengambil resiko dari hubungan percintaan yang sudah jelas akhirnya. Tapi, Nindi malah mengacaukan semua. Adiknya malah mengaku kalau Ipung hampir tiap hari ke rumah mereka.
Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya keadaan saat itu. Nando tak ingin lagi jadi pihak yang disalahkan padahal sudah jelas siapa penjahatnya.
“Alah, gitu aja marah.” Ipung membuyarkan lamunan Nando. “Aku janji, ini yang terakhir. Dia tipe aku banget. Ndak mungkin aku lepasin.”
“Pung, jangan maksa aku ya? Aku bener-bener ndak mau lagi terlibat. Kau yang enak, aku yang kena batunya.”
“Nanti kucarikan nomer cewek berlesung pipi yang kau suka itu. Gimana?”
“Cewek yang mana?” Dahi Nando berkerut. Dia merasa tak pernah sekali pun bercerita pada Ipung mengenai perempuan. Bukan apa, hubungan percintaan Ipung saja sudah sangat ruwet. Nando tak ingin menambah keruwetan itu.
“Dey, pura-pura lupa lagi.” Ipung tersenyum jahil sembari menggerakkan alisnya penuh irama. “Pulpen pulpen, masa lupa sih?”
Nando terkekeh. Sekilas terlihat senyum malu-malu tersungging di bibirnya. Tapi sedetik kemudian dia tersadar. “Alah, aku ndak percaya.”
“Aow, kami kan nanti kuliah di tempat yang sama. Gampang aja minta nomernya nanti.”
“Masih lama, Ndul. Itu pun kalau kau diterima. Kalau ndak?”
“Eh, tunggu.” Ipung menarik selimut Nando. “Tumben tidur pake baju.”
Mampus aku, pikir Nando