Cendol, I'm Coming

2100 Kata
“Nandooo,” panggil seseorang dari balik pintu. “Ya ampun, malah tidur.” Melangkah masuk ke dalam kamar. “Yasmiiiiiin, kembalikan hatiku.” “Eh?” Wanita berusia sekitar tiga puluh tujuh tahun itu mempercepat langkahnya. “Bangun, Nak,” ucapnya lembut seraya menepuk lengan Nando. Perlahan Nando membuka matanya. “Mamak?” “Iya Nak, mamak bukan Yasmin,” ucapnya sembari tersenyum. “Yasmin? Mamak tau Yasmin? Jangan bilang dia datang ke rumah?” “Bukan ke rumah tapi ke mimpimu.” “Mimpi? Jadi aku mimpi tadi?” “Iya Nak, mimpi indahmu.” “Kok mamak tau kalau aku mimpiin dia? Tadi kayaknya mamak ndak ada di dalam mimpiku?” tanyanya semakin bingung. “Iiih, kenapa mamak pake baju warna putih? Serem aku liatnya.” “Loh, ini kan daster yang kau belikan pas ke Balikpapan kemarin?” “Hehe, lupa,” ujarnya sembari meregangkan tubuh. “Aku mau mandi dulu aah.” “Mandilah baru pergi makan,” ucap wanita bernama Susi tersebut. “Jangan lupa, kapan-kapan bawa Yasmin kesini. Mamak mau ketemu sama dia.” “Apa sih, Mak. Sudah ah, aku mau mandi.” Wanita itu menggelengkan kepalanya sembari tersenyum. Dia kembali melangkahkan kaki. Kali ini menuju kamar anak keduanya. “Makan yuk, Sayang!” ajaknya saat memasuki kamar. “Bentar Mak, aku simpun buku dulu ya? Bentar aja,” ujar gadis bertubuh mungil dengan jepit rambut warna pink di atas kepalanya. “Abang sudah bangun, Mak?” “Sudah tapi mau mandi dulu. Mandinya kan lama sekali, jangan ditungguin. Kita makan duluan aja. Mamak lapar sudah.” “Oke bos, yuk lah makan. Nanti aja Nindi simpun. Entar mamakku sakit gara-gara telat makan, bapak sedih lagi. Hahaha.” “Kalau bapak sedih, langsung pulang dia tuh,” tambahnya “Pulang naik apa, Mak? Naik kepiting? Hahahahhaha.” Mereka tertawa bersama layaknya teman sebaya. Yah begitulah kehidupan keluarga Nando. Memiliki orangtua yang baik dan sangat mengerti dengan keinginan anak-anaknya, memperlakukan anak selayaknya sahabat. Namun tetap tegas dalam memberi hukuman. Ayah Nando bernama Teguh. Beliau mengelola tambak, sementara Susi pure ibu rumah tangga. Mereka menikah saat Susi baru saja lulus SMA sementara Teguh saat itu telah bekerja. Setelah menikah, orang tua Teguh memberi sebidang tanah pertambakan untuk dikelola. Tak salah memang jika dikatakan menikah akan membuka pintu rejeki. Pada kenyataannya, tambak yang sebelumnya hanya menghasilkan beberapa kilogram udang, saat dikelola oleh Teguh mampu menghasilkan hingga 200 kg. Terlebih saat anak pertama mereka lahir yaitu Nando, penghasilan mereka semakin berlimpah. Meski telah memiliki pekerja yang menjaga dan mengelola tambaknya, Teguh yang pada dasarnya pekerja keras, memilih untuk ikut membantu pekerjanya. Dalam sebulan, terhitung lebih dari empat kali Teguh pulang pergi ke tambak. Seperti hari ini, beliau tak berada di rumah. Walau pun jarang berada di rumah, bukan berarti Nando menjadi anak yang suka keluyuran. Justru karena ayahnya tak ada, dia lebih memilih di rumah menemani ibu dan adiknya. Dia juga merasa bertanggung jawab menjaga adiknya yang sedang memasuki masa remaja itu. Tapi, mungkin beberapa minggu lagi dia harus meninggalkan kota kelahirannya karena harus melanjutkan kuliah di luar pulau Kalimantan. Bukan tanpa sebab, dia ingin menjadi seorang pengacara hebat karena itu dia memilih Universitas Indonesia yang terletak di Jawa Barat. Dia pun sudah diterima melalui jalur prestasi. Andai saja Ipung tak mengajaknya ke kampus, bisa dipastikan seharian ini dia berada di rumah. Meski hanya membaca beberapa buku dan ngobrol dengan dua perempuan kesayangannya, hal tersebut lebih baik menurutnya daripada harus keluyuran di jalan. Tapi kejadian sore tadi seolah mengubah kebiasaannya. Setelah makan malam, biasanya dia bercengkrama dengan keluarganya. Tapi malam ini dia memilih masuk ke kamar, bukan untuk membaca buku. Namun dia asyik memandang langit-langit kamarnya. “Apa aku harus cari cewek itu ya? Yah sekedar kenalan gitu?” lirih Nando dengan menatap langit-langit kamarnya. “Eh, siapa tadi namanya? Yasmin Putri Septiananda. Nama yang cantik, kayak orangnya. Hehe.” “Bagusnya dipanggil Yasmin, Putri atau Septi aja ya?” Nando mulai berpikir.”Aah, aku tau. Panggil sayang aja lah. Hahahahaha.” Dia tertawa terbahak-bahak. “Aduh Sayang, aku kok jadi kangen. Ups!!” Nando terlonjak. Kaget dengan apa yang baru saja dia katakan. Bukan hanya dia yang kaget. Nindi yang sejak tadi berdiri di depan kamar kakaknya spontan menutup mulut. Gadis itu memilih berlari menghampiri ibunya. “Mak, mak,” ucap Nindi setelah melihat sosok ibunya di depan Televisi. “Tau ndak tadi aku liat apa?” “Liat apa memang?” “Serem deh pokoknya. Aku aja langsung lari sangking takutnya.” “Oh ya? Memangnya anak mamak yang cantik ini abis liat apa?” tanya wanita berkulit putih itu. “Sudah kasih tau abang kah, suruh beli martabak?” “Nah itu mak, abang jadi aneh. Masak tadi dia bicara sendiri, ketawa ndak jelas. Eh, tiba-tiba bilang sayang. Padahal ndak ada orang lain di kamar selain dia. Jangan-jangan abang bisa liat hantu trus dia kerasukan. Iiih, sereem.” Nindi mengusap-usap lengannya “Panggil uztad mak, biar abang diruqyah.” “Hahahahhaha.” Susi tertawa. Tak menyangka anaknya bisa menarik kesimpulan seperti itu. “Abang bukan kerasukan tapi lagi jatuh cinta.” “Abang sudah punya pacar? Kok ndak bilang ke Nindi?” Gadis itu cemberut. “Padahal abang sudah janji sebelum milih pacar, dia mau kenalin ke aku Nindi dulu. Katanya pacar abang harus sayang juga sama Nindi, sayang sama mamak juga.” “Jatuh cinta bukan berarti sudah punya pacar loh, Nin.” “Jadi belum pacaran? Ooh, untunglah. Hampir aku ngamuk ke abang.” Nindi tersenyum. “Tapi abang suka sama siapa, Mak? Abang cerita sama mamak?” “Ndak ada cerita tapi mamak dengar abangmu ngigau. Kalau ndak salah namanya Yasmin.” “Yasmin? Kayaknya dari sederetan fans abang, ndak ada yang namanya Yasmin.” “Abang cerita ke Nindi?” “Ndak sih, Nindi tau aja. Kan kadang datang ke rumah tuh tapi ndak dibolehin masuk sama abang.” “Terus tau namanya dari mana?” “Dari seragamnya dong , Mak.” Nindi mencoba menyembunyikan kebiasaannya “Serius cuma dari situ?” Ibu Susi menyipitkan matanya. “Bukan karna Nindi suka ngecek kamar Bang Nando kan?” “Ndak kok, Mak. Aku ndak pernah gitu.” “Nindi sayang, aku ini mamakmu loh. Sering mamak liat Nindi masuk kamar abang Nando.” “Iiiih, mamak ngintip ya?” “Loh kok jadi mamak yang dibilang ngintip? Awas loh ya, durhaka sama orangtua. Mau nih dikutuk jadiiiii...” Belum selesai Ibu Susi berbicara, Nindi langsung berceloteh, “Iya iya, Nindi ngaku. Nindi memang suka ke kamar abang ngambil coklat dari fans abang. Hehe.” “Nindi Nindi, ndak boleh gitu loh.” “Abang ndak marah kok. Malah Bang Nando suka ngasih ke Nindi, plus surat cintanya pula. Hahahaha.” Sementara mereka membicarakan kehidupan percintaan Nando, orang yang lagi diceritain malah sibuk bicara dengan dirinya sendiri. Hingga sebuah ide terlintas di kepala Nando. Aku harus ketemu dia lagi, pikirnya. “Tapi bagaimana caranya? Aku cuma tau nama dan,” Nando mencoba mengingat sesuatu yang tertulis di formulir pendaftaran milik gadis berkemeja putih. “Bimbingan konseling?” Itu sejenis jurusan atau doi mau bimbingan konseling ya tadi? Astaga, aku musti ke borneo besok biar bisa mastiin. Tapi buat apa ketemu dia? Terus kalau ketemu mau ngapain coba? Mau kenalan? Mau terang-terangan PDKT? NO, bukan Nando namanya kalau sampai ngejar-ngejar cewek. Emangnya dia layangan putus yang musti dikejar? Mending aku tidur biar ndak kepikiran dia terus. Nando berusaha mengistirahatkan otaknya tapi tak bisa. Wajah gadis itu selalu muncul di ingatannya. “Aaaah,” teriaknya mulai frustasi. ”Mending baca buku.” Nando pun beranjak dari tempat tidurnya. Namun baru saja ingin memilih buku yang akan dia baca, wajah gadis itu kembali terlihat di rak buku. “Astaga, kok gini amat ya? Amat aja ndak begini kayaknya kalau lagi jatuh cinta,” lirihnya. Cinta? Apa yang tadi aku bilang? Cinta? Jatuh cinta? Cinta itu apa sih? Apa sejenis makanan? Aaah iya, cindolo’ na tape? Hahahahaha... Eh, tapi cendol itu minuman bukan ya? Dueh, kok aku jadi mikirin si cendol sih. Awas kamu cendol, tak seruput nanti sampai habis. Btw, cendol itu diseruput atau dihisap ya? Dihisap kali ya? Emang cuma bibir yang bisa dihisap? “Astagaa.” Nando bahkan tak habis pikir dengan jalan pikirannya sendiri. Mungkin Yasmin memang sejenis cendol yang siap untuk dihisap. Ups, hehe. *** Pagi ini Nando sudah bersiap. Mengenakan kemeja kotak merah hitam dan jeans hitam, tak lupa tas ransel dengan warna hitam pula. Dia ingin menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang bertengger di otaknya. “Mau kemana, Nak?” “Jalan-jalan Mak, mau hirup udara segar diluar. Hehe,” jawabnya seraya menghampiri ibunya. “Aku jalan dulu ya, Mak.” Nando mencium tangan ibunya lalu pergi. Ibu Susi tersenyum melihat kepergian anak sulungnya. “Dasar anak muda!!” Nando mengendarai motor Ninja RR 2-Tak miliknya dengan perasaan gusar. Meski telah memantapkan diri untuk menuju Universitas Boreno Tarakan, tapi dia masih tidak tau hal apa yang harus dia lakukan begitu sampai disana. Begitulah yang terjadi, turun dari motor, dia melihat beberapa orang sibuk mempersiapkan berkas. Beberapa lainnya tersenyum lega setelah keluar dari gedung berlantai tujuh di hadapannya. “Akhirnya Gus, selesai sudah ngurus pendaftaran,” ucap perempuan berjilbab biru. “Iya Nis, capek juga bolak balik. Semoga kita diterima ya.” Lelaki bertubuh tambun itu memasangkan helm pada lawan bicaranya. “Ingat jangan genit-genit nanti sama teman kamu di kelas.” “Kamu juga jangan genit sama temanmu nanti.” “Ndak mungkin aku genit sama temanku. Kan di fakultasku cowok semua. Gila aja aku genitin cowok. Hahahaha,” ujarnya sembari menaiki motor. “Di jurusanmu banyak cowok kan? Awas aja. Jurusan apa itu? Lupa.” “Bimbingan konseling, Sayang.” “Nah itu, serasa anak sekolahan pake bimbingan gitu. Baru tau ternyata Guru BP juga kuliah, ada pula jurusannya. Hehe.” “Udah ah, jalan. Aku lapar, belum sarapan.” “Oke, Cintaaa.” Mereka pun meninggalkan parkiran. Sementara Nando tersenyum senang, “Memang ndak salah aku datang kesini pagi-pagi. Nando gitu loh.” Jadi sekarang aku musti gimana coba? Setelah tau si Cendol kuliah di jurusan itu, aku musti ngapain lagi? Eh, kok Cendol sih? Ah, daripada mba Kunti. Hahahaha. “Pantes aja dia manis banget pas senyum ternyata cendol. Hehe,” lirihnya. Berpikir sejenak, Nando memutuskan pergi dari situ. Berhubung dia belum makan apapun saat meninggalkan rumah tadi, dia memutuskan mencari sarapan terlebih dahulu. Otaknya tak bisa bekerja tanpa asupan nutrisi apalagi musti memikirkan si Cendol. Memilih nasi kuning sebagai sarapannya pagi ini. Nando lantas menelpon ibunya, mungkin saja beliau juga ingin makan nasi kuning seperti dia. Dan ternyata juga mau. Setelah membayar dua porsi nasi kuning, Nando bergegas pulang. “Tadi dari mana, Nak? Kok cepet pulangnya?” Bu Susi memberikan Nando piring dan juga sendok. Sementara beliau membuka bungkus nasi kuningnya. “Mamak kira bakal sampai siang jalannya.” “Dari hirup udara segar aja bah, Mak. Kalau siang, bukan udara segar lagi yang dihirup.” Nando menggigit ayam di tangan kirinya. ”Enak kan, Mak?” “Iya, enak. Beli dimana? Besok beli lagi ya tapi tiga, buat sarapan Nindi juga sebelum ke sekolah.” “Siap, Bos.” Mereka menikmati sarapan pagi itu sambil membicarakan hal-hal ringan. Termasuk rencana keberangkatan Nando beberapa minggu lagi. Disinggung mengenai hal tersebut, membuat Nando terdiam. Entah mengapa hatinya berbisik, seolah berkata. “Aku mau kuliah disini aja.” Susi yang melihat perubahan raut wajah anaknya, langsung bertanya, “Kenapa Nak? Ndak mau kuliah diluar? Masih berat yah ninggalin mamak sama Nindi?” “Hm, ndak tau lah, Mak. Kemarin-kemarin aku sudah yakin tapi kenapa sekarang jadi ndak yakin gitu.” “Keputusan di tanganmu, Nak. Kalau kau kuliah diluar, mungkin bapak akan lebih sering di rumah.” “Iya sih, itu mungkin aja.” Nando berpikir sejenak. Meletakkan piring kotornya di wastafel lalu mencuci tangannya. “Kalau aku kuliah disini aja, gimana?” “Yah boleh dong, malah mamak senang.” “Tapi bukan jurusan hukum tapi jurusan lain.” “Jurusan apa memangnya?” “Yah kurang lebih kayak hukum juga sih, ada konsultasinya juga.” “Jurusan apa itu?” “Bimbingan Konseling.” “Ooh ada jurusan begitu di Tarakan? Di Borneo juga?” “Iya, Mak.” “Ya sudah, jadi kapan mau daftar? Minggu depan?” “Besok Mak, aku siapin berkasnya hari ini.” Tersenyum bahagia, Nando memasuki kamar lantas berbaring. Menatap langit-langit kamar dengan senyum yang tak juga luntur. “Ya ampun, aku pikir bakal banyak drama pas ngasih tau mamak. Ternyataaa, aah, mamakku memang is the best. Paling ngerti sama anaknya.” Cendol, I’m coming
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN