Kangen

1851 Kata
“Gimana? Sudah lengkap semua?” Seorang wanita dengan gamis berwarna coklat dan jilbab warna senada terlihat sedang meneliti setiap benda di hadapannya. Meski usianya telah lebih dari empat puluh tahun, wajahnya masih terlihat mulus tanpa kerutan. “Makanan sama minumannya sudah. Gelas, piring, sendok. Hm, apa lagi yang belum ya?” Gadis yang sedang duduk di sampingnya menoleh sembari meletakkan telepon seluler yang sejak tadi dia genggam. “Tisu belum, Mak. Bentar aku ambil di dalam dulu.” Baru sekali melangkah, ibunya kembali bersuara. Membuat gadis itu menghentikan langkahnya kemudian berbalik. “Tikar, gimana?” “Ooh itu? Lina yang bawa. Sebentar dia datang.” Dia bergegas masuk ke dalam. “Selain tisu, apalagi ya?” Sembari terus berpikir, gadis itu menuju dapur lalu mengambil sebungkus tisu yang terletak di meja makan. “Eh, ini juga wajib dibawa,” ujarnya lalu meraih sebotol kecap. Kemudian kembali ke ruang tamu. “Lina kok belum datang, Put?” “Masih besiap tadi dia pas aku sms, Mak.” Putri mengambil handphone. “Tadi hapeku bunyi kah, Mak?” Dia mulai mengotak-atik benda di tangannya. “Ndak ada.” “Tunggulah, bentar kesini juga tuh.” Putri duduk di samping ibunya lalu menyandarkan kepala di bahu wanita yang telah melahirkannya delapan belas tahun lalu. Beberapa saat, mereka menikmati kebersamaan hingga terdengar suara ketukan. “Assalamu’alaikum.” Terdengar seseorang mengucapkan salam. Tanpa dilihat pun, hanya mendengar suara saja, terasa sekali si pemilik suara sedang tersenyum bahagia. “Tante,” sapanya kemudian meraih tangan Siti lalu menciumnya. “Lama betul bah kau.” Putri berdiri lalu mengangkat dua plastik besar. “Tikarnya mana?” “Di motor.” Lina mengikuti langkah Putri, tak lupa mengambil satu plastik besar yang terletak di atas meja. Begitu pula Siti, dia mengikuti langkah kedua gadis di hadapannya. Setelah mengunci pintu, Siti menuju motor berwarna putih lalu duduk di belakang Putri. “Oke, Mak?” Putri memastikan ibunya telah duduk nyaman di belakangnya. Siti menepuk pundak anaknya.”Yuk jalan!” Mereka pun menuju tempat rekreasi favorit masyarakat Kota Tarakan. Sebagai satu-satunya pantai di kota yang memiliki luas 657,3 km2, Pantai Amal tentu menjadi wisata paling ramai di saat akhir pekan. Tak ayal, banyak manusia yang datang ke tempat ini sekedar untuk berjalan-jalan dan menikmati semilir angin bersama pasangan, sahabat maupun kerabat. Seperti yang dilakukan mereka bertiga. Lina, Putri dan juga ibunya. Setelah mendapat tempat yang nyaman, di bawah pohon yang cukup rindang, mereka menggelar tikar plastik. Lalu menata berbagai macam makanan dan minuman kemudian duduk santai menikmati angin yang berhembus. “Aaah, segarnyaa.” Lina menghabiskan minuman dinginnya dalam sekali tegukan. “Panas banget ya, Put?” Di sebelahnya, Putri duduk dengan kaki terjulur lurus ke depan. Pandangannya tertuju pada dua orang anak yang sedang berlarian di bibir pantai. Dia tersenyum saat melihat anak yang lebih besar berhasil menangkap anak yang bertubuh lebih kecil. “Minum, Put?” Putri menoleh pada sumber suara. “Boleh deh.” Dia meraih gelas plastik bermotif polkadot. Meminum isinya perlahan hingga tandas. “Jalan-jalan yuk?!” Lina berdiri kemudian mengulurkan tangannya pada Putri. Tapi Putri tak menyambut, dia menggelengkan kepala. “Entar aja, masih panas betul bah,” tolak Putri lalu mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas miliknya. “Aku mau selesaikan novel ini dulu.” Lina cemberut lalu duduk di tempatnya semula. “Ndak asyik bah. Orang tuh...”Kalimatnya menggantung karena ponsel miliknya berdering. “Halo Bang, iya, aku baru sampai...” Perlahan Lina berjalan menjauhi Putri dan ibunya. “Siapa, Put? Bukannya dia ndak punya kakak laki-laki?” Siti heran karena sepengetahuannya, Lina hanya memiliki kakak perempuan dan dua orang adik laki-laki. Apa adiknya dia sebut abang, pikir Siti. “Biasa Mak, pacar.” Jawaban Putri berhasil memuaskan rasa penasaran Siti. “Pacar? Sudah pintar pacar-pacaran rupanya dia. Bakal jarang ke rumah nanti dia tuh.” “Siapa bilang? Orang pacarnya jauh kok” “Oooh, kukira anak mamak bakal ditinggal malam mingguan. Hahaha.” “Apa sih, Mak.” Putri memajukan mulutnya. “Aku mau baca dulu ah” “Eh, trus yang temani mamak ngomong siapa?” Putri menatap ibunya. “Hm, bentar Lina selesai ngobrol juga tuh. Mana pernah dia ngobrol lama kalau siang gini karena pacarnya kerja sambil kuliah juga. Malam baru mereka telponan sampai tetidur.” “Minggu juga kerja?” “Oh iya, ini hari Minggu ya? Hehe.” Putri cengengesan. “Lupa, Mak.” “Eh lupa juga mamak kasih tau. Minggu depan mau panen ikan. Kau ikut kah?” Selain menjual brownies, Siti juga memperoleh penghasilan dari tambak yang diberikan oleh mantan suaminya. Tambak tersebut dikelola oleh adik laki-lakinya. Setiap tiga bulan, Siti selalu masuk ke dalam panen untuk mengecek keadaan tambak sekaligus panen. “Minggu depan?” Putri mencoba mengingat jadwal ujian. “Minggu depan kayaknya belum ujian deh. Aku ikut ya, Mak.” “Iya dong, bagus lagi. biar ada yang bantu-bantu mamak nanti.” “Aku ajak Lina, boleh kan?” “Kalau dia mau, boleh lah. Masa ndak boleh. Asal dia tahan aja digigit nyamuk.” “Sudah biasa dia, Mak. Hahaha.” Mereka tertawa sementara Lina tanpa sadar berjalan semakin menjauh. Efek jatuh cinta memang dahsyat, kita kadang tak sadar akan banyak hal. Hehe. Sekitar tiga puluh menit, baru lah Lina menghampiri Putri dan ibunya yang sedang berbicara sambil menyantap kudapan atau biasa disebut camilan. “Sudah puas ngobrolnya?” goda Putri begitu Lina duduk. Lina terkekeh. “Aku sih ndak bakal puas ngorol sama ayang bebebku.” Putri bergidik. “Iiiish, jijay.” “Eleh, belum tau ni gimana rasanya punya pacar.” Lina menatap Putri. “Curiga aku kalau kau bakal lebih parah daripada aku.” “Ndak bakalan,” tegas Putri. “Eh eh eh,” Siti mengintrupsi pembicaraan mereka. “Daripada bahas yang ndak penting, mending kita makan nasi. Tante rasanya lapar.” “Aku masih agak kenyang bah, Mak.” “Aku laper, Tante.” Lina memamerkan senyumnya. “Ayok makan sekarang!” Putri menahan tangan Lina yang telah siap membuka tutup tupperware. “Kita beli kapah dulu yuk?!” Putri berdiri lalu menarik tangan Lina. “Mak, bentar ya.” Siti membalas dengan anggukan.  Tak jauh dari sana, tiga orang manusia juga sedang bersenda gurau menikmati seafood yang menjadi primadona disana yaitu kapah. Kerang berdaging kenyal berwarna putih ini, bercita rasa gurih dan berbentuk lebih besar dari tudai. Disajikan dengan cara direbus ditemani sambal jeruk yang menggugah selera. Hewan yang hidup di bawah permukaan pasir pantai tersebut memang tak terlihat saat kita menyusuri pantai. Dibutuhkan alat berupa besi yang ujungnya dibengkokkan agar kita bisa mengetahui keberadaannya lalu menariknya keluar setelah digali. “Pedas, Mak.” Nindi meraih gelas yang berada di hadapan ibunya. “Eh?” Susi terkesiap. “Kok diambil? Pesan lagi sana. Mamak juga kepedasan loh ini.” Nindi cemberut. “Iya iya, bentar aku pesan.” Baru saja Nindi ingin beranjak, Nando memegang tangan adiknya itu. “Biar aku aja. Mau nambah kapah lagi sama gorengan.” Nindi memamerkan barisan giginya yang putih lalu mengacungkan jempol. “Abang memang the best. Terbaiklah pokoknya.” Nando hanya mengedipkan sebelah mata lalu berjalan menuju rumah yang juga merupakan warung makan. Setelah memberitahu pesanannya, Nando datang membawa sepiring gorengan. Tak lama setelahnya, pelayan datang membawa pesanan mereka. Tak tanggung-tanggung, satu bakul nasi, dua piring kapah, satu teko air es serta dua gelas es kelapa baru saja tersaji. Susi terpaku. Begitu juga dengan Nindi. “Bang?” “Abang yakin bisa habisin ini semua” Susi bertanya pada anaknya untuk memastikan. Nando tersenyum lalu meraih satu buah kapah. Memisahkan daging dari cangkangnya. Kemudian mencelupkan daging kapah tersebut pada sambel jeruk lalu memasukkan ke dalam mulut. Mengunyah dengan penuh irama. Tak lama, Nando mengisi piringnya yang kosong dengan dua sendok penuh nasi. Kembali menikmati kapah miliknya dengan sepiring nasi hangat dan air dingin. Sesekali dia menyeruput es kelapa di hadapannya. Nindi dan Susi melongo. Belum habis rasa terkejut mereka, Nando dengan santai mengambil sepotong sanggar atau yang biasa disebut pisang goreng. Lalu menambahkan satu sendok sambel tomat di atas sanggar. Menghabiskannya dalam tiga gigitan. Mereka semakin melongo. “Wah.” Nindi menggelengkan kepala. “Abang doyan atau lapar?” “Lapar, Dek. Abis berenang,” jawab Nando dengan santai. “Segitunya laparnya?” Susi ikut bertanya. “Beda Mak, laparnya abis berenang di kolam sama di pantai. Kalau di pantai, butuh lebih banyak tenaga.” Nando kembali memasukkan kapah yang telah berlumuran sambal ke dalam mulutnya. “Kekenyangan bikin ngantuk loh. Alamat kau ketiduran nanti, bukannya jalan-jalan.” Benar saja, setelah menghabiskan dua piring kapah dan beberapa gorengan, Nando memilih beristirahat sejenak. Hingga tanpa sadar, dia terlelap. Benar-benar terlelap hingga tak menyadari Putri dan Lina melewati mobil yang menjadi tempatnya beristirahat. “Yuk, Put! Warung yang itu.” Lina menarik tangan Putri.mereka melewati meja yang diiisi oleh Ninidi dan Siti. “Disini sambelnya paling juara.” Mereka membongkokkan badan dan tersenyum saat melewati keluarga Nando. “Misi.” Nindi dan Susi membalas senyum mereka. “Coba cek abangmu. Jangan-jangan dia ketiduran,” titah Susi pada anak bungsunya itu. Gadis yang menggunakan t-shirt berwarna pink dengan jeans biru muda itu kemudian berdiri. Dia berjalan menuju mobil berwarna merah yang terparkir tak jauh dari tempat mereka duduk. Dengan wajah cemberut Nindi melihat Nando tertidur di kursi belakang. “Iiih abang, ndak jadi lagi aku belanja gara-gara dia.” Masih dengan wajah tertekuk, Nindi menghampiri ibunya dan memberitahu apa yang telah dia lihat. “Jadi kapan lah kita belanja, Mak?” “Malam aja, gimana?” tawar Susi. “Biar aja abangmu tidur.” “Iish abang, gagal deh beli baju baru.” Nindi bersedekap. Susi tersenyum. “Kan nanti malam bisa belanja. Nanti malam minta antar sama abang lah jadi ada yang bawakan belanjaan kita, gimana?” Seketika raut wajah Nindi berubah. Dia tersenyum sangat lebar. “Yes!” Putri dan Lina yang baru saja keluar dari warung, langsung menuju tempat mereka bersantai. Mereka membeli dua porsi kapah untuk dimakan bersama-sama. Tepat di samping mobil, Putri mengatakan sesuatu yang membuat Nando terbangun dari mimpi indahnya. “By the way, kalau kuliah nanti, kita pasti bakal sering kesini. Iyakan?” Lina mengangguk dengan cepat. “Pasti bakal menyenangkan. Apalagi kau? Anak laut yang suka pantai. Hahaha.” Putri turut tertawa. Memang benar. Tempat tinggal mereka memang di atas laut. Pemukiman yang letaknya cukup jauh dari jalan raya. Melewati gang kecil yang berbelok-belok. Bahkan mobil pun tak bisa masuk dalam gang tersebut. Nando meregangkan badan lalu mebuka mata perlahan. Mengerjapkan mata dua kali, dia lalu mencari asal suara yang telah mengganggu tidurnya. “Aaah, siapa sih ketawa-ketawa?” Dia menoleh ke kiri. “Kok suaranya kayak ndak asing ya?” ucap Nando. “Aaah, ganggu aja.” Perlahan, Nando bangun dari tidunya. Memilih duduk, dia melihat ke kanan mobil. Tak ada siapa-siapa. “Kok aku berasa dengar suara Yasmin yah? Atau tadi aku mimpi?” gumam Nando. “Tidur lagi ah, mana tau ketemu. Kangen soalnya. Hihi.” Nando meraih ponsel yang berada di dashbord mobil. Membuka galeri lalu melihat sebuah foto seorang gadis. Nando tersenyum lalu memeluk ponsel miliknya. Tak lama, dia kembali terlelap. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN