Sekitar pukul delapan pagi, Nando telah siap menuju Universitas Borneo Tarakan. Tentu setelah sarapan pagi. Tak lupa dia membawa sekaleng milo di dalam tas.
“Mak, aku jalan dulu,” ucap Nando pada Susi setelah mencium tangan ibunya. “Kalau mau nitip dibelikan apa-apa, telpon atau sms aja ya?”
“Iya, Sayang. Hati-hati di jalan ya?”
Nando meninggalkan rumah dengan perasaan bahagia. Melajukan motor dengan kecepatan rendah seraya bersenandung kecil. Sesekali dia melirik spion motor, sekedar untuk melihat pengendara di belakang.
Empat puluh lima menit kemudian, dia telah memasuki gerbang bertuliskan Universitas Borneo Tarakan. Melewati Fakultas Hukum lalu Fakultas Ekonomi. Dia membelokkan motor ke kiri lalu memilih parkir di seberang gedung Dekan Fakultas Ekonomi. Tapi, baru saja dia ingin menurunkan standar motor, seseorang yang sangat dia kenal sedang bercengkerama dengan beberapa orang di halaman Rektorat.
“Astaga, kenapa pula itu anak nangkring disana?”
Baru saja ingin menghidupkan motor, ada sebuah motor yang sangat dia kenal pula sedang terparkir tak jauh darinya. Tanpa berpikir panjang, Nando kembali melajukan motor. Bukan untuk pulang, Nando memilih mencari tempat yang aman. Tempat dimana dia bisa melihat orang yang sedang dia hindari tersebut dari kejauhan. Nando ingin memastikan orang itu pergi, barulah dia memasuki gedung Rektorat.
“Aaah, heran aku kenapa tuh anak selalu muncul pas lagi dihindari?” bergumam rendah, Nando memilih membelokkan motornya ke kiri, menuju gedung Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Setelah memarkirkan motor, setengah berlari dia menaiki tangga. Tujuannya adalah lantai tiga gedung tersebut. Setelah sampai di lantai tiga, dia menatap parkiran di depan gedung Dekan Fakultas Ekonomi. Mengedarkan pandangan lalu matanya fokus pada sebuah motor milik sepupunya, Ipung.
Lima menit
Sepuluh menit
Lima belas menit
Tiga puluh menit
Sudah cukup lama Nando berdiri tapi Ipung tak juga muncul. Sedikit frustasi, Nando memilih mengisi tenggorokannya yang terasa kosong. Mungkin karena berlari cukup jauh atau mungkin karena berdiri terlaluu lama. Atau karena keduanya.
Lebih dari itu, Nando merasa kakinya sudah cukup lelah. Meneliti sekitar, tak ada tempat duduk. “Aah, in kan WC, mana ada tempat duduk. Yang ada tempat buat jongkok. Hahaha.”
Nando mulai berpikir. Apa dia hrus menunggu Ipung pergi atau dia pulang saja? Cukup lama dia berpikir, Nando memilih menelpon Ipung.
Tuut tuuut tuuut
“Kenapa, Do?” suara di seberang terdengar.
Nando terkesiap. Bingung harus menjawab apa. “Oooh itu..” kalimatnya menggantung.
“Kenapa sih? Ganggu aja bah. Bilang mau apa?”
“Kau dimana?”
“Kenapa juga tanya-tanya?”
Astaga, igin rasanya Nando mengumpat tapi dia urungkan. Memilih tetap sabar menghadapi sepupunya. “Carikan aku nomernya Putri bah.”
Bukannya langsung menjawab, Ipung malah menggerutu. “Kau ni. Cuma mau nanya itu?”
“Aku mau nanya kapan kau pulang?” pertanyaan itu hnya apu Nnando ucapkan dalam hati. “Tolong ya? Kau kan jagonya masalah cewek.”
“Nantilah. Aku di borneo ni tapi mau pulang sudah.”
Kalimat terakhir Ipung membuat Nnado menghembuskan napasnya denga kasar. “Ngapain kau kesana lagi? bukannya harian tuh sudah daftar?” tanya Nando sekedar basa-basi.
“Si Rizki minta temani, berkasnya belum lengkap kemarin tuh jadi baru hari ini dia daftar,” jelas Ipung.
“Oooh,” gumam Nando. “Okelah pale, hati-hati di jalan. Jangan lupa carikan nomer Putri. Oke?”
“Cerewet. Sudahlah.”
Ipung mematikan sambungan telpon secara sepihak. Tapi tak membuat Nando marah. Dia malah tersenyum lebar.
“Pulang sana pulang, hihihi,” gumam Nando.
Beberapa menit kemudian, Ipung terlihat sedang jalan bersisian dengan seorang lelaki. Mengendarai motor berbeda, dua lelaki itu meninggalkan halaman parkir. Setelah memastikan dua orang tersebut pergi, Nando menuruni tangga perlahan seraya bersenandung pelan
Satu satu aku sayang Yasmin
Dua dua juga sayang Putri
Tiga tiga sayang Septiananda
Satu dua tiga sayang dia selamanyaaa
Sekilas, orang yang melihat Nando pasti mengira dia gila. Untung saja, tak ada satu orang pun di gedung tersebut. Mungkin karena perkuliahan masih libur.
Setelah sampai di lantai satu, Nando menghentikan lagunya karena melihat beberapa orang terlihat sedang hilir mudik di Gedung Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Melewati gedung dekan tersebut, Nando memasuki gedung Rektorat melalui pintu belakang.
Banyak orang terlihat sedang mengantri. Beberapa di antaranya sibuk memeriksa berkas. Adapula yang hanya bersenda gurau dengan temannya. Nando memutuskan ikut mengantri. Di depannya terdapat tiga orang yang juga sedang mengantri. Di sebelah kiri, dua baris orang juga sedang mengantri.
Setelah menyerahkan berkas miliknya dan menyelesaikan semua hal terkait pedaftaran, Nando bergegas meninggalkan gedung tersebut. “Lebih cepat, lebih baik. Mana tau si kunyuk itu muncul lagi. Hehe,” pikirnya.
Sepanjang jalan, Nando terus tersenyum. Aura bahagia terpancar jelas dari raut wajahnya. Terlebih saat di lampu lalu lintas, tanpa sengaja dia melihat Putri dan Lina memasuki mall yang letaknya tak jauh dari jalan raya.
“Eh, ada kesayanganku,” batin Nando. Tak membuang kesempatan, Nando yang tadinya ingin pulang, memutuskan mengikuti Putri.
Setelah memarkirkan motornya di lahan parkir yang terletak di basement gedung, Nando menaiki tangga. Memeriksa sekitar, mencari sosok gadis berbaju putih dengan celana denim. Tapi Nando tak menemukan sosok yang dia cari.
Tanpa buang waktu lagi, dia menggunakan eskalator untuk sampai ke lantai dua. “Mungkin dia kesini.”
Nando memasuki toko buku yang pernah membuatnya malu karena ulah Ipung. Meski agak ragu, Nando tetap masuk. “Ahh, ndak mungkin juga kan aku ketemu mantan Ipung lagi disini.”
Dan, deg.
Sosok yang sedang dia cari terlihat tertawa bahagia. Gadis itu membaca sebuah buku kecil, di hadapannya seorang gadis telihat ikut membaca buku tersebut lalu tertawa pula. Nando tersenyum.
“Kok dia bisa semanis itu pas ketawa ya?” lirihnya. “Dia emang mirip cendol, maniiis. Hehe.”
“Ada yang bisa dibantu, Mas?” tanya seseorang. “Mau cari buku apa? Biar saya bantu.”
Nando terkesiap. Baru kali ini dia disapa oleh penjaga Gramedia. Biasanya hanya dengan kasir dia berinteraksi. “Saya lagi cari teman, Mba. Permisi.”
Nando meninggalkan penjaga itu begitu saja lalu berpura-pura sedang mencari buku. Tapi matanya tertuju pada gadis yang masih betah berdiri sembari memeriksa satiap buku di hadapannya. Lalu, mata si gadis tiba-tiba tertuju padanya.
Deg deg deg. Jantung Nnado serasa akan copot. Dengan sigap dia meraih buku di hadapannya lalu mencari tempat untuk duduk. Kemudian ekor matanya melirik pada gadis itu lagi, si gadis tengah asyik bercengkerama dengan temannya.
“Eh,” Nando kaget saat melihat tulisan dan gambar dari buku yang dia pegang. Gambar kartun anak dan seekor kancil. “Aku jadi kayak mau belikan anak buku. Serasa tua banget.”
Drrrrrt drrrrrt drrrrrt
Sebuah benda bergetar di saku celana Nando. “Iya Mak,” ucapnya perlahan dengan mata masih tertuju pada Putri. “Iya, ini sudah mau pulang. Oke oke.”
“Kenapa mamak musti jenguk orang hari ini sih?” gerutu Nando. “Siapa juga yang sakit?” tanyanya dalam hati.
Dengan langkah gontai, dia berjalan menuju ke luar Gramedia. Namun sebelum itu, dia melirik ke arah Putri lalu bergumam “Kita pasti bakal ketemu lagi nanti. Jaga diri ya, Yasminku.”
Benar saja, mereka bertemu lagi saat ujian. Hal yang lebih menyenangkan lagi adalah warna pakaian mereka senada. Nando menggunakan kemeja putih bercorak abstrak dan celana jeans berwarna biru tua. Begitu pula dengan Putri, gadis itu menggunakan kemeja putih bercorak bunga dengan celana jeans berwarna biru tua pula.
Hal tersebut membuat Nando tak hentinya tersenyum. Mungkin senyumnya itu akan terus mengembang jika tak ada yang menyapa pagi itu.
“Nando?”
“Eh, Anto? Kau daftar disini juga?”
“Iya,” jawab lelaki berkemeja hitam dan celana dengan warna yang sama. “Kukira kau sudah diterima di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya? Kampus yang di Malang itu kan?”
Nando terdiam sejenak. Kampus dan jurusan itu memang impiannya tapi pertemuan dengan Putri mengubah mimpinya. “Hehe iya, aku ndak yakin bisa betah disana tanpa orangtua. Jadi yah, gini lah,” ujarnya mencoba berbohong.
“Iya sih, kuliah diluar itu memang ada plus minusnya. Bisa bebas tapi ndak ada yang urusin dari makan sampai pakaian. Kalau kuliah disini mah enak, ada yang urusin.”
Nando tersenyum mendengar penuturan teman sekelasnya saat SMA. “Bisa kurus aku kalau kelamaan kuliah di kampung orang, hahaha.”
“Nah, makanya aku lebih pilih kuliah disini. Bisa kaget nanti mamakku kalau tiba-tiba aku kurus. Hahahaha.” Lelaki bertubuh gempal itu tertawa. Nando juga ikut tertawa.
Lalu matanya tertuju pada Putri yang duduk di sebelah kanannya, terpisah oleh dua tempat duduk. Gadis itu terlihat sedang menikmati setiap kata dari buku di hadapannya. Tanpa sadar Nando tersenyum. Anto yang melihat senyum Nando bertanya, “Kenal sama cewek itu”
“Ha?” Nando tergagap.
“Kayaknya dari awal masuk sini aku perhatikan kau lirik dia terus bah,” ucapnya pelan.
“Oh itu?” Nnado berusaha mencari jawaban yang tepat agar Anto tak lagi mencurigainya. “Eh tunggu, kau perhatikan aku daritadi? Jangan bilang..”
“Asem kau.” Anto memukul bahu Nnado. “Aku normal ya. Aku juga ndak sengaja liat kau di depan pintu. Jelas aku setengah ndak percaya kalau itu kau karena setahuku kau sudah diterima di kampus lain.”
Nando terkekeh. “Iya sih.” Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal sama sekali.
“Mau aku kenalin sama cewek itu kah?” tanya Anto seraya melirik Putri. “Seleramu cewek kalem kah memang? Pantas aja pas sekolah dulu banyak cewek yang dekati tapi ndak ada satupun yang ditanggapi.”
“Dia buka cuma kalem tapi mempesona.”
Ups, Nando menutup mulut dengan kedua tangan sementara Anto tertawa terbahak. Seisi ruangan menatap mereka berdua, termasuk Putri.
Nando menundukkan wajah. Eh, si Anto malah cengengesan.
“Kau ni, To.”
“Hehe, maaf. Kelepasan,” lirih Anto. “Tapi kau serius suka sama dia?”
“Hust, diam!” Nando menempelkan telunjuknya di bibir. “Belajar dulu sana, nanti pulang kita ngobrol lagi, oke?”
Anto menempelkan telunjuk dengan jempol membentuk lingkaran lalu berbalik. Nando menghembuskan napas. Lega. Dia tak lagi diburu dengan pertanyaan dari Anto.
Melirik ke kanan. Tatapan Nando bertemu dengan Putri. Hal itu membuat Nando tersenyum kikuk hingga membuat Putri mengerutkan dahi.
“Apa senyumku aneh? Atau aku keliatan jelek? Ah, ndak mungkin. Cuma orang gila yang bilang aku jelek. Dia masih waras kan?” tanya Nando dalam hati. “Atau dia heran ada cowok secakep aku di dunia ini? Hahaha.”
Senyum Nando semakin terkembang. Selaras dengan kerut di dahi Putri yang semakin terlihat.
“Kok kayak pernah liat dia sebelumnya ya?” pikir Putri. “Liat dimana? Kok ndak asing?”