“Kenapa dia pake acara senyum-senyum ndak jelas gitu?” Putri bergidik. “Gila kali ya?”
Merasa tak perlu meladeni lelaki yang kelihatan aneh tersebut, Putri kembali fokus dengan buku di hadapannya. Tapi entah mengapa dia merasa lelaki itu masih menatapnya. Benar saja, saat Putri melirik ke kiri, Nando masih betah menatap dirinya.
“Astaga,” gumam Putri. “Ganggu aja.” Putri menutup wajah kirinya dengan sebuah buku lalu kembali membaca bukunya.
Lima belas menit kemudian, ujian dimulai. Putri fokus menjawab setiap pertanyaan dalam ujian, begitu pula dengan Nando. Tapi, sesekali Nando melirik pada Putri.
“Dia serius gitu aja keliatan cantik,” pikir Nando. “Tapi emang ya biar diliat dari sisi mana pun, dia memang cantik sih. Do, kau memang jago milih cewek. Hehe.”
“Sudah selesai?” sebuah suara memaksa Nando menghentikan lamunannya. “Kalau sudah, silahkan dikumpul di meja saya.”
Nando tergagap. “ Oh itu...” Dia tersenyum. “Belum Pak, sedikit lagi.”
“Kalau belum, dikerjain. Jangan melamun!” tegas pengawas ujian.
Semua mata tertuju pada Nando. Tapi hanya sedetik, mereka kembali fokus dengan kertas ujian di hadapannya. Tapi tidak dengan Putri. Dia menatap Nando cukup lama.
“Kok cowok aneh ini kayak familiar gitu?” Putri meulai berpikir. “Dia bukan saudara jauh aku kan? Sepupu gitu? Tapi ndak deh, ndak ada keluargaku yang mukanya kayak dia.”
Lalu, deg. Tatapan mereka bertemu. Nando tersenyum, Putri malah memalingkan wajah lalu mencoba fokus dengan kertas ujiannya.
“Eh, malah menghindar,” gumam Nando.
“Ehem,” terdengar suara deheman dari pengawas Ujian.
Nando terdiam lalu menunduk. “Oke Do, fokus dulu sama ujiannya. Kalau kau diterima disini, bakal bisa ngeliatin Yasminmu itu sampai puas,” ujarnya dalam hati.
Suasana hening hingga ujian selesai.
“Keluar yuk, Do,” aja Anto begitu pengawas ujian keluar dari ruangan.
“Ndak, aku disini aja,” jawab Nando sembari melirik Putri.
Anto berdiri. “Oke deh.”
Lalu Putri juga terlihat berdiri.
“Eh,” Nando ikut berdiri. “Kukira bakal disini aja belajar. Kan bisa belajar bareng, hehe,” pikirnya.
Tanpa sadar, Nando mengikuti langkah Putri. Namun baru beberapa langkah, Putri berhenti lalu berbalik. Menatap Nando. Manik mata mereka bertemu. Nando tersenyum dan lagi lagi Putri mengernyitkan dahi.
Baru saja Putri membuka mulut ingin berkata sesuatu tapi Anto datang. Dengan santai menggandeng bahu Nando.
“Tadi bilangnya mau di ruangan aja. Mau keluar juga? Yuklah sama-sama,” ucap Anto. Tapi Nando malah diam. “Kau kenapa?” tanya Anto lagi lalu melihat kemana arah mata Nando tertuju.
Anto menggelengkan kepala. Bergantian dia melihat ke arah Nando lalu Putri. Dia kemudian mengganggukkan kepala sembari memegang dagu. Seolah mengerti dengan situasi yang sedang terjadi saat ini. Putri pun tak lagi terlihat. Gadis itu memasuki gedung di hadapan mereka. Sebuah gedung yang bertulis “Fakultas Ekonomi”
“Do,” sapa Anto. ”Do Do.” Tapi Nando masih terdiam.
Anto berusaha untuk menyadarkan Nando dengan cara menjepit lehernya. Namun dia kesulitan karena tubuh Nando yang lebih tunggi darinya. Dia pun menggantungkan kedua tangannya pada Nando, seolah ingin digendong.
Nando terkesiap. “Eh, kau ngapain?” tanyanya. “Ngapain kau menggantung kayak monyet? Aneh. ”
Anto tertawa lalu melepaskan diri dari Nando. “Kau yang aneh.”
“Aku?” Nando heran dengan pernyataan Anto.
“Aku tau kau suka banget sama cewek itu. Tapi ndak gitu juga kali ngeliatnya. Hahaha.” Sekali lagi Anto terbahak tapi suaranya lebih keras. Membuat beberapa calon mahasiswa di tempat itu melihat ke arah mereka.
Dengan sigap, Nando menarik Anto dalam posisi tangan di leher Anto.
“Do, lepas. Kau gila ya? Mau bunuh aku?”
Nando melepaskan rangkulannya, Lalu tangannya kanannya menarik tangan kiri Anto.
“Loh?” Anto makin kaget. “Ini kok kayak dia lagi gandeng tanganku ya? Astaga.” Dengan cepat dia menarik tangannya.
“Kok dilepas?”
“Kau yang kenapa narik-narik tanganku?”
“Biar kau ndak malu diliatin sama orang-orang disana.”
“Loh bukannya kebalik?” Anto menyenderkan badan pada dinding. “Aku yang nyelamatin kau supaya ndak malu diliatin orang lagi natap cewek sampai ndak bekedip. Untung ndak beliuran,” jelas Anto.
“Serius tadi aku begitu?”
Anto menepuk dahi. “Kau beneran gila kayaknya bah. Segitunya efek jatuh cinta di kau? Astagaa.” Anto menggelengkan kepala dengan penuh irama.
Nando tersenyum malu. Membuat Anto bergidik.
“Lebih enakan liat kau yang cool daripada yang gini loh, Do. Sumpah.”
“Hehehe.” Nando malah cengengesan. “Kentara banget ya kalau aku suka dia?”
Anto menggangguk, pertanda setuju dengan pernyaataan Nando barusan. “Tapi alangkah lebih baiknya kalau kau berusaha bersikap biasa aja kalau ketemu dia. Cewek itu lebih tertarik sama cowok yang keliatan cool bukan sama cowok yang mengejar-ngejar dia.”
“Serius?”
“Coba kau pikir? Pas sekolah dulu pernah kau ngejar cewek? Nembak cewek? Ndak kan?”
Nando menggelengkan kepala.
“Terus, coba liat ada berapa banyak cewek yang suka dan ngejar-ngejar kau?”
Nando mulai berpikir.
“Pasti kau susah hitung sangking banyaknya kan?”
“Kau ingat teman sekelas kita si Ari?”
“Ari yang anak band itu?”
“Iya, yang gantengnya kurang lebih kau.”
“Eh, aku lebih ganteng ya kemana-mana,” ralat Nando.
“Itu menurutmu. Menurutku sih kurang lebih aja. Bedanya, dia dari kelas satu sampai lulus seolah terus mengejar cinta Serli. Tapi ndak pernah ditanggapi sama sekali.”
Perlahan, Nando mengganggukkan kepala.
“Coba liat, ada berapa cewek yang dekati dia? Ndak ada kan?”
“Nda ada.”
“Kau mau tau kenapa?”
“Kenapa?”
“Karena beberapa cewek justru ilfell sama cowok yang terlalu mengejar.”
“Jadi, menurutmu aku musti gimana?”
“Astaga, aku ndak nyangka loh bisa mendapat pertanyaan seperti itu dari cowok sehebat kau?”
“Kau ya, aku nanya loh ini.”
Anto tersenyum. “Jadilah cowok yang cool, sama kayak pas kau sekolah dulu. Sesuka apapun kau sama dia, jangan terlalu ditunjukkan. Ingat, tarik ulur itu penting dalam hubungan.”
“Tarik ulur?” Nando semakin bingung. “Cewek juga suka main layangan maksudmu?”
Anto tertawa terbahak sembari memegang perutnya. Tampak bulir air di pelupuk matanya. Nando menatapnya dengan sinis.
“Maaf, maaf,” ujar Anto setelah tawanya mereda.
“Sudah puas ketawanya?”
“Belum Do, masih geli-geli kurasa. Hahaha.”
Nando membalikkan badan, bermaksud untuk pergi namun tangannya ditahan oleh Anto. Lalu dia melepaskan tangannya kemudian bersedekap menatap Anto yang masih tertawa dengan suara pelan. Tapi, baru saja Anto ingin bersuara, Putri terlihat berjalan ke arah mereka..
“Eh, kok dia malah muncul? Aku ndak salah liat kan?” Nando mengusap kedua matanya. “Itu beneran dia rupanya. Dia bukan lagi mau nyamperin aku kan ya?” pikirnya.
Anto yang melihat bagaimana Nando menatap Putri, hanya terdiam. Dia menunggu bagaimana reaksi Nando selanjutnya.
Nando menatap Putri semakin intens. Bayangan Putri yang sedang tersenyum ke arahnya sembari melambaikan tangan. Mau tak mau, membuat Nnado juga mengangkat tangan kanannya. Tersenyum sembari melambai dengan perlahan.
Tapi itu hanya bayangan Nnado saja. Nyatanya Putri menatap penuh heran pada Nando. Terlebih saat Nando mengangkat tangan, tanpa aba-aba Putri melihat ke kiri dan ke kanan. Tak ada siapapun.
“Apa maksudnya melambai kayak gitu ke aku? Manggil aku? Buat apa?” Putri mencoba mengabaikan Nando. Dia terus berjalan. “Sudah Put, anggap aja ndak liat apa-apa.”
Tanpa basa-basi atau menoleh sedikitpun, Putri melewati Nando dan Anto. Dia langsung masuk ke dalam ruangan ujian. “Gila kali tuh cowok,” pikirnya lalu duduk di kursi yang menyatu dengan meja.
Sementara Nando masih tersenyum dengan tangan terangkat ke atas. Tak pelak, hal itu membuat Anto terbahak. Suara tawa yang lebih besar dari sbelumnya, membuat Nando tersadar dari lamunannya.
“Kenapa kau ketawa?”
Anto tak menjawab. Dia masih saja tertawa seraya memegang perutnya. Dia terpingkal-pingkal berselang beberapa menit, tangan kanannya terulur, menyentuh bahu Nando. Dengan susah payah dia menghentikan tawanya.
“Sumpah Do, kau musti ke rumah sakit jiwa. Periksa kesehatan jiwamu. Hahahah.” Dia kembali tertawa.
Nando tak terima dengan saran Anto. Dia merasa baik-baik saja. “Kau tuh yang gila, dari tadi ketawa ndak jelas.”
“Hahahaha. Aku tau.” Anto menghentikan tawanya. “Bagus kau ke dokter cinta aja. Hhahaha.” Tawanya kembali membahana.
Nando yang kesal memutuskan masuk ke dalam ruangan saja. Untuk apa mengurus orang yang lagi stres, pikirnya.
Di luar, Anto masih tertawa. Beberapa orang yang melihatnya, merasa heran. Tak ayal, ada pula berkilah, “Baru ujian hari pertama, sudah gila.”
Anto yang mendengar kata-kata dari gadis berjilbab pink, terdiam seketika. ”Ehm ehm,” gumamnya lalu menetralkan perasaan geli yang masih sulit dia hilangkan.
“Gara-gara Nando nih aku disangak gila,” gumamnya lalu masuk pula ke dalam ruangan. Di depan pintu, sekilas dia melihat ke arah Putri lalu ke arah Nando yang sesekali melirik ke arah pujaan hatinya. Hal itu membuat senyum Anto kembali terkembang. Tapi sebuah lirikan tajam, membuat wajahnya berubah serius.
“Harusnya dia pake jilbab warna merah, bukan pink. Serem amat tatapannya,” pikir Anto lalu beranjak kemudian duduk di depan Nando. “Do, pulang dari sini, ayo ke..”
Tanpa menunggu Anto menyelesaikan kalimatnya, Nando berkata, “Ke rumah sakit jiwa? Aku ogah. Kau aja yang kesana sedniri. Kau yang gila, bukan aku.” Dia berbicara tanpa jeda.
Anto mengulum senyum. “Iih, ngambek kayak cewek.”
“Sudahah, aku malas ngomong sama kau. Bawaanya pengen marah.”
Perkataan Nando membuat senyum Anto semakin mengembang. “Efek jatuh cinta memang hebat. Aku ndak nyangka bisa jadi salah satu saksi dari gilanya cintamu itu.”
“Antoooo,” ucap Nnado penuh penekanan, “Jangan lagi sebut kata gila, oke?”
Anto mengangguk tapi masih dengan wajah yang tersenyum. Yah, bukan tersenyum sih. Lebih tepatnya, sedang menahan tawa. Hingga bel berbunyi, pertanda ujian sebentar lagi dimulai.
Setelah ujian selesai, Nando tak langsung beranjak. Dia menunggu Putri berdiri terlebih dahulu. “Aku harus ngikutin dia,” pikir Nando.
Anto yang tau apa yang Nando pikirkan, turut melangkahkan kaki di belakang Nando. “Jangan sampai dia kembali mempermalukan dirinya. Untuk apa coba dia ngikutin cewek itu? Mau nguntit?” pikir Anto.
Putri yang tidak menyadari ada dua lelaki yang sedang mengikutinya, memilih duduk di tangga gedung fakultas. Tangga selebar empat meter tersebut, memang biasa digunakan oleh mahasiswa untuk duduk. Entah untuk bercengkerama, membaca buku atau menunggu jemputan. Begitu pun dengan Putri, dia sedang menunggu Lina menjemputnya.
Anto dan Nando turut duduk di anak tangga yang terpisah sekitar satu dua meter dari Putri.
“Do, kau yakin mau ikuti dia?”
“Hust, diam! Nanti dia dengar.”
“Ya kali dia dengar. Disini ribut, ndak mungkin dia dengar kalau aku berbisik gini ke kau.”
Putri melambaikan tangan pada seseorang. Anto dan Nando memperhatikan kemana arah mata Putri tertuju. Nando yang familiar dengan wajah Lina karena sering meihat postingan foto Putri, dimana Lina juga turut di dalamnya.
Nando memperhatikan Lina hingga gadis itu menghentikan motor. Putri terlihat berdiri lalu menghampiri Lina.
“Do, kau dijemput juga sama Ipung?” tanya Anto. “Kukira kau bawa motor sendiri tadi?”
“Ha? Apa?” Nando melirik Anto lalu menghamburkan pandangannya pada beberapa orang yang mungkin saja sedang dilihat Anto. “Astaga, kenapa dia muncul sekarang?”