“Do, itu sepupumu kan? Anak IPS 3 dulu?” tanya Anto.
Bukannya menjawab, Nando tanpa aba-aba berlari menuju motornya. “Kenapa tuh anak datang di saat penting seperti ini sih?” gumamnya lalu menyalakan motor. “Jangan sampai dia keceplosan dan buat aku malu.”
“Do, tunggu!” teriak Anto.
Nando mengangkat tangan kanan. “Sampai ketemu besok ya,. Dahh.” Dia melajukan motor. Membunyikan klakson saat mendekati Ipung.
Ipung yang mengerti maksud dari klakson itu, mengikuti Nando dari belakang. Setelah melewati gerbang, Nando menghentikan motor. Begitu pula dengan Ipung.
“Kita ke rumahku atau rumahmu?”
“Rumahmu lah. Kau kan sudah tau kalau aku paling malas di rumah, bawaanya badmood kalau di rumahku.”
“Oke, ayolah ke tempatku.”
“Tapi jawab dulu, kenapa kau disini?”
“Sudah lah, nanti di rumah kujelaskan,” jawab Nnado. “Atau kau mau duduk disini sampai sore?”
Ipung melihat sekitar. Beberapa orang berlalu lalang di bawah panas terik. “Ayolah pale.”
***
“Jadi?” Tanpa basa-basi Ipung lalu bertanya pada Nando.
Nando melepaskan tas ransel di punggungnya, menggantung benda itu di belakang pintu kamar. Lalu membaringkan tubuhnya di kasur. “Sabar, aku mau rebahan dulu baru makan. Nah, nanti abis makan baru kujelaskan.”
Ipung ikut baring di sisi Nando. “Aku juga capek sih. Aku tidur dulu lah. Ngantuk betul aku bah.”
Nando menghembuskan napas. Sedikit lega karena dia bisa memikirkan jawaban yang logis untuk pertanyaan Ipung saat di kampus tadi. Meski sebenarnya selama perjalanan dia terus memikirkan apa alasan yang tepat tapi tak juga ditemukan.
“Kau ndak mau makan dulu kah baru tidur?”tawar Nando.
Ipung menarik guling, “Entar aja, masih kenyang. Tadi sudah makan aku pas istirahat.”
“Okelah, aku makan dulu pale ya. Kau tidurlah.”
Nando meninggalkan kamar lalu menuju dapur. Mengambil piring, gelas serta air dingin di kulkas. Meletakkan ketiga benda tersebut di meja makan lalu membuka tudung saji. “Kesukaan aku banget nih,” ujarnya lalu meraih sepotong udang goreng yang dibaluri tepung.
Setelah menyelesaikan makan siang, Nando menuju ruang keluarga. Dia menyalakan televisi sembari memakan beberapa camilanyang tersedia di toples. “Aku musti bilang apa ke Ipung ya?” pikirnya. “Atau aku jujur aja? Tapi kan malu kalau sudah jujur tapi malah ndak diterima?”
Nando mengacak-acak rambutnya. “ Aaah, bikin pusing aja,” ujarnya sedikit frustasi. “Tapi, apa mungkin aku ndak diterima? Masak anak pintar kayak aku ndak diterima sih. Hehe.”
“Loh Ipung mana?” tanya Susi yang tiba-tiba datang.
“Tidur, Mak.”
“Besok masih ujian kan?”
“Masih, Mak,” jawab Nando singkat karena otaknya masih memikirkan jawaban untuk Ipung.
“Trus kenapa kau ndak belajar?”
“Istirahat dulu dong, Mak. Entar malam aja belajarnya. Hehe,” jelas Nando. “Lagipula tadi pertanyaan pas ujian tadi kurang lebih sama buku SNMPTN yang aku pelajari.”
“Anak mamak memang pintar. Cepat tangkap dan gampang mengingat.”
“Kan rajin makan ikan, hehe.”
Mereka tertawa. Lalu Susi berdiri.
“Loh, mamak mau kemana?”
“Mau tidur.”
“Kukira tadi mau nonton sama aku?”
“Tadinya sih tapi ngeliat kau nonton chanel hewan-hewanan, bikin mamak males liat TV.” Susi berdiri. “Kalau mau dibuatkan sesuatu, ketuk aja kamar mamak ya?”
“Oke Mak.” Nando mengacungkan jempol.
Sepeninggal ibunya, Nando kembali larut dengan pikirannya. Televisi yang harusnya ditonton malah menonton Nando yang sedang merebahkan kepala di sandaran sofa. “Aku jujur aja lah kali daripada pusing. Bagus aku cari cara dekati Yasmin daripada cari-cari alasan ke Ipung.”
Nando lalu masuk ke dalam kamar. Melihat Ipung yang terlelap, Nando turut membaringkan tubuhnya. Tak lama, dia juga ikut terlelap bersama sepupunya itu.
Menjelang sore, dua lelaki itu baru terbangun dari tidurnya. Ipung yang lebih dulu bangun memilih mencuci muka terlebih dahulu baru menuju dapur. Sementara Nando berkutat dengan ponsel miliknya. Jangan tanya apa yang sedang dia lakukan. Tentu mengstalking f*******: Putri.
“Aah, jadi teringat senyum dia tadi.” Nando tersenyum malu. “Kok bisa ada cewek semanis dia sih?”
Dua puluh menit kemudian, Ipung masuk ke dalam kamar. Tanpa permisi langsung merebahkan tubuhnya. Tak lama, matanya terpejam.
“Loh kau mau tidur lagi?”
“Iya, semalam aku begadang belajar kan. Efek ngantuknya masih ada,” ucapnya dengan mata terpejam. “Kalau bukan karena lapar, bukan aku bangun tadi.”
“Alah, kau memang tidur aja kau kerja. Alasan lagi bilang belajar.” Nando beranjak dari tempat tidur. “Aku ke depan lah pale. Tidur lah yang nyenyak.”
Dalam hati, Nando bersorak kegirangan karena Ipung tak lagi bertanya padanya. Mungkin Ipung lupa, pikir Nando.
Malam itu, setelah menyelesaikan makan malam, Nando belajar untuk persiapan ujian esok hari. Begitu juga Ipung, dia pun turut belajar bersama.
“Kau ndak pulang?” tanya Nando di sela aktivitas mereka. “Jangan bilang mau tidur disini? Kau betengkar lagi sama bapakmu?”
Ipung melepaskan buku di tangannya. Dia terpaku, pandangannya terlihat kosong, “Aku ngekos sudah, Do.”
“Ngekos?” ucap Nando seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Males aku ketemu si Jenal.”
Jenal adalah ayah tiri Ipung. Lima tahun lalu ibunya menikah lagi dengan lelaki yang jauh lebih muda. Terpaut lima belas tahun dari ibunya..Sejak saat itu, dia lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah.
“Astaga, segitu bencinya kau sama bapak tirimu. Padahal semua fasilitasmu itu dari dia. motor, uang jajan, belum lagi biaya kuliahmu.”
“Itu uang mamakku ya, bukan uangnya,” tegas Ipung. “Kalau dia ndak nikah sama mamakku, belum tentu dia bisa uang banyak. Kan itu tambak mamakku.”
Nando menggelengkan kepala. “Iya iya. Sudah lah, jangan bahas itu. Bagus kita belajar.” Nando kembali fokus dengan buku tebal di tangannya.
Tak hanya mereka berdua. Di tempat lain, dua orang gadis juga terlihat fokus dengan beberapa buku tebal di hadapannya. Tak ada yang berbicara, hanya suara kertas yang sesekali terdengar. Menjelang tengah malam, barulah mereka memutuskan untuk beristirahat.
“Put, aku ngantuk bah.” Lina menyatukan jemari tangannya meregangkan ke depan lalu ke atas. “Tidur yuk!”
“Hoaaaam.” Putri menguap. “Aku juga ngantuk berat sudah.”
Mereka membereskan buku yang berserakan di lantai. Lalu bersama-sama menuju kamar mandi untuk membersihkan wajah dan menyikat gigi.
“Langsung ndak ngantuk aku abis cuci muka.”
“Aku juga, Put.”
Mereka merebahkan tubuh di kasur. Lina berbaring menghadap Putri dengan tangan kanan menopang kepala. “By the way, cowok yang tadi siang itu cowok yang ngeliatin kau waktu itu kan?”
“Iya.” Putri memejamkan matanya.
“Daritadi aku mau nanya kau tapi lupa terus karena bahas ujian tadi.”
“Aku ngantuk, Lin.”
“Iiiiisssh, tadi bilang ndak ngantuk.”
“Tapi sekarang aku ngantuk,” ungkap Putri dengan maya masih tertutup.
“Alah, kenapa ndak mau dibahas? Mulai suka sama cowok itu?”
Putri membuka mata lalu menatap Lina. “Aku kasih tau ya, aku males banget bahas itu orang. Sumpah, dia rese betul.”
“Oh ya?”
“Tau ndak, tadi dia ngeliatin aku terus.”
“Ciee ciee.”
“Aku ndak suka diliatin kayak gitu.” jelas Putri.
“Tapi dia ganteng kan?”
“Iya sih, tapi pecuma kalau kelakuannya minus gitu. Curiga aku dia begitu memang kalau liatin cewek.”
Lina tertawa.
“Kenapa kau ketawa?”
“Lucu aja bah,” ujar Lina terkekeh. “Ndak pernah aku liat cowok yang begitu, Put. Apalagi cowok seganteng dia. biasanya cowok itu ngajak kenalan. Nah ini, ngeliatin aja terus. Kayak orang yang baru liat cewek aja bah. Hahahaha.”
“Nah itu, curiga aku dia orang kampung yang baru datang ke kota. Jadi liat cewek cantik dikit, langsung bersinar matanya.”
“Dan kau cewek pertama yang dia liat. Hahahaha.”
“Asem kau, Lin. Semoga aja aku ndak ketemu dia lagi setelah ujian.”
“Pasti lah ketemu kalau dia diterima. Yah, walau sesekali karena beda fakultas.”
“Semoga dia ndak diterima, aamiin.”
“Eh, bagaimana kalau ternyata kita satu fakultas atau malah satu kelas. Nah, ayo kau.”
“Astaga, malah mendoakan yang ndak-ndak nih anak”
“Bukan mendoakan tapi beranda-andai bah, Put.”
“Sudah ah, aku mau tidur.” Putri menutup mata lalu memeluk guling. Tak lupa menarik selimut hingga menutupi bahu.
Lina tersenyum. “Mimpi indah ya, Put. Mimpi ketemu cowok ganteng. Hahaha.”
Bug, Putri memukul Lina dengan guling. “Diam, aku mau tidur,” ucap Putri. “Lina lebih rese dari cowok itu. Jangan sampai aku keceplosan bilang kalau kami seruangan ujiannya,” pikir Putri.
Lina menahan tawa. Tak lama mereka pun terlelap.
***
Pagi hari, Putri dan Lina telah bersiap menuju kampus. Seperti biasa Putri mengenakan kemeja putih. Tapi pagi ini kemejanya berbalut cardigan pink. Lina juga mengenakan cardigan yang sama.
“Bagus kan, Put?”
“Iya, modelnya simpel.”
“Aku tau seleramu , Put. Hehe.”
“Sampaikan ucapan terima kasihku buat mamakmu ya?”
“Oke, nanti pulang ke rumah aku sampaikan.”
“Kita jadi kayak pasangan. Hahaha.”
Mereka tertawa.
Di tempat lain, dua lelaki sedang tertidur pulas. Lalu seorang gadis datang.
“Bang, bangun,” ucapnya di depan kamar. “Aku sudah mandi. Abang mandi lah sudah,” ucapnya lagi lalu berjalan meninggalkan kamar. Tapi, gadis membalikkan badan karena tak terdengar suara dari dalam kamar yang terbuka lebar tersebut..
“Astagaa, masih tidur bah.” Ninidi menggelengkan kepala. “Bang, bangun bangun.” Dia mengguncang tubuh. Tapi Nnando tak bergerak sama sekali.
Nindi mencubit lengan Nando.
“Auuw,” rintih Nnado. ”Sakit tau.” Mengusap lengannya yang masih terasa sakit.
“Abang masih ujian kan hari ini?” tanya gadis berseragam putih abu-abu dengan bando pink di kepalanya.
“Iya, Dek. Makasih sudah bangunin abang.” Nando meregangkan badan lalu bangun.
“Oke Bng, aku mau sarapan dulu.” Nindi meninggalkan kamar kakaknya.
Setelah mengambil handuk yang bergantung di belakang pintu kamar, Nando bergegas menuju kamar mandi yang letaknya tak jauh dari dapur.
“Makan yang banyak, Dek,” ucap Nando begitu melihat Nindi di meja makan.
Nindi yang sedang menyantap soto beserta nasi hanya tersenyum melihat ke arah Nando.
***
“Astagaa, aku terlambat.” Ipung terlonjak dari tempat tidur. “Nando mana? Jangan bilang dia tinggalkan aku. Astagaa.”