Max masih diam seribu bahasa, kejadian tadi begitu cepat. Anak Evelyn itu membuatnya tersadar. Anak-anak itu memang darah dagingnya, mereka triplets. Max terkekeh pelan, gen keluarganya memang sangat bagus, ia cuma melakukan dengan Evelyn hari itu dan kini mereka sudah besar.
Banyak hal yang Max lewatkan, kehampaan yang kemarin ia rasakan kini hilang. Ada rasa aneh menggelung perasaanya. Melihat anak-anak itu membuat cahaya yang dulu redup dalam hidup Max kembali hidup.
Max menggeleng samar, ini tidak mungkin. Rasa yang dulu mati, kenapa sekarang bangkit lagi. "Jangan goyah Max." Max bergumam pelan, namun ia tidak bisa menyangkalnya.
Kali ini Max membiarkan Evelyn dan ketiga anak bebas, hanya untuk sementara.
...
"Akhirnya kita sampai di rumah juga." Daya melemparkan begitu saja tas yang ia bawa, perjalanan yang melelahkan.
"Seandainya aku tau kalau menginap di hotel itu semisterius tadi malam, aku lebih memilih untuk tidak pergi," celetuk Devian, Evelyn yang baru saja masuk ke dalam rumah, dalam hatinya ia menyetujui ucapaan puteranya, seandainya mereka tetap di rumah Max pasti tidak akan menemukannya.
Namun nampak hidup Evelyn tidak akan tenang saat ini, cepat atau lambat Max pasti akan menemukannya, lelaki itu memiliki kekuasaan. "Mom, bisakah aku mendapatkan sarapan yang enak?" Devian berdiri di hadapannya, anak itu mengeluarkan jurusan andalannya merayu ibunya.
"Tentu, lebih baik kalian merapikan pakaian dan aku membuat sarapan." Devian mengangguk, "Thank you." Evelyn tersenyum kecil.
"Mom, bolehkah aku membantu?" Evelyn menaikan sebelah alisnya, ini pertama kalinya Daya ingin membantunya di dapur, sebelumnya puterinya itu enggan ikut ke dapur.
"Tentu sayang, kau mau membuat sarapan apa?" Daya nampak berpikir keras, kerutan keningnya tertapak dengan jelas. "Bagaimana roti isi mom? Aku sangat lapar." Evelyn terkekeh lalu mengangguk singkat. "Nampak mom punya semua bahannya di kulkas." Daya berseru senang, anak itu bergegas ke dapur, meninggalkan ibunya.
"Mom apakah kau mengenal lelaki aneh tadi?" Evelyn mengerutkan dahinya, "Pak tua tadi mom, dia sangat seram mom." Evelyn tertawa, andai Daya tahu kalau lelaki yang dia panggil pak tua adalah ayahnya.
"Mungkin dia sedang mabuk," jawab Evelyn asal, namun kali ini Daya yang mengerutkan dahi, "tidak mungkin mom, aku dengar tadi dia bertanya ayah kami siapa?" Piring yang dibawa Evelyn meluncur ke bawah, suara pecahan tidak terhindarkan.
"Kau pasti mengenalnya bukan?" Daya ikut berjongkok, memungut pecahan piring yang Evelyn jatuhkan.
Wajah Evelyn berubah pucat, tatapan mata wanita itu kosong, "biarkan aku saja mom." Daya mencegah tangan Evelyn yang ingin mengambil pecahan piring tersebut.
"Aku tidak ingin mom terluka." Evelyn berdiri, lalu menyandarkan tubuhnya di kulkas. Pertanyaan Daya malah membuatnya kehilangan fokus, ia tidak mengerti kenapa mendadak ia kehilangan kontrol akan dirinya.
"Entah apa masalah kalian, aku ingin lelaki itu tidak muncul lagi." Daya berkata sambil tersenyum lebar, namun satu hal yang Evelyn yakini, Max pasti akan mencarinya.
...
"Kau yakin dia tinggal di tempat itu?" Tanya Max pada asistennya, ia tidak percaya Evelyn tinggal di sana, untuk apa wanita itu tinggal di desa? Max berdecak kesal, uang yang Evelyn curi darinya, memungkinkan wanita itu membeli rumah di perkotaan.
"Tentu, Sir. Saya sudah memantaunya selama 3 hari berturut-turut, dan sangat dipastikan Evelyn benar-benar tinggal di sana bersama ketiga anaknya." Max berdehem, lalu menyuruh asistennya untuk keluar.
"Mari kita bermain Eve, game-nya baru di mulai." Max menyeringai, ia harus mempersiapkan diri sebelum memenangkan permainan ini.
"Kau dan ketiga bocah sialan itu akan menerima kejutan dariku," seru Max saat menatap foto Evelyn dengan ketiga anaknya.
...
"Mom--" Kepala Dean menyembul dari balik pintu ruang kerja Evelyn. "Ada apa sayang?" Evelyn bangkit dari kursinya, lalu menghampiri Dean, puteranya itu baru pulang dari sekolah.
"Bisa besok aku libur?" Cicit Dean pelan, kepalanya menunduk. Evelyn menyentuh dagu Dean, membuat puteranya itu mendongak, "Coba cerita kepada mom, apa yang membuatmu ingin libur." Evelyn mengajak Dean duduk di sofa, bibir Dean mengerucut, membuat Evelyn gemas melihat tingkah anaknya.
"Besok aku mendapatkan matematika, dan itu sangat tidak seru mom." Spontan Evelyn tertawa, ternyata Dean juga sama sepertinya. Dean menyipitkan mata, "Ini sama sekali tidak lucu mom," seru Dean.
"Dear, kau tidak boleh bolos okey, bukankan Devian bisa membantumu untuk belajar di rumah." Evelyn mengusap rambut tebal Dean, "Please mom, Devian tidak mau mengajariku." Suara Dean berubah serak, membuat Evelyn memeluk puteranya itu, "Nanti mom yang akan menyuruh Devian, jadi anak ganteng mom ini besok harus sekolah okey?" Dean mendongak.
"Sekali saja mom." Evelyn terdiam sejenak, “Bisa namun, setelah Devian pulang kau harus mau belajar bersama, dan jatah bolosmu sudah habis untuk tahun ini,” wajah sendu Dean berubah cepat, “Terima kasih Mom, aku sayang mommy.” Dean Semakin mengeratkan pelukannya, membuat Evelyn sedikit merasa sesak, tangannya mengusap pelan kepala Dean, “my pleasure, Honey, ingat jatah sudah habis.” Dean menggumam, anak itu terlalu senang, besok ia bisa tidur dengar puas tanpa perlu pusing memikirkan matematika.
"Mom akan membujuk Devian untuk mengajarimu, jangan takut." Dean mengangguk singkat, kemudian pamit masuk ke dalam kamarnya.
Evelyn menghela nafas panjang, ia melirik meja kerjanya, ia sama sekali tidak bersemangat untuk melanjutkan pekerjaan, bertemu dengan Max membuat semuanya kacau, lelaki itu masih bisa membuatnya ketakutan.
"Tuhan jauhkan Max dari hidupku." Evelyn memejamkan matanya, berdoa pada Tuhan untuk menjauhkan Max dari hidupnya, beberapa hari ini rutinitasnya kembali seperti biasa, namun hal itu tidak membuatnya tenang, hatinya gelisah, apalagi saat mendengar dari tetangganya jika ada seseorang yang mengawasi Evelyn.
TBC...