Kediaman Mayang Padmasari, adalah satu dari beberapa kediaman terbesar di kompleks perumahan keluarga Padma. Jika kediaman keluarga Heri, di d******i oleh warna hitam dan putih. Maka rumah salah satu tetua yang paling dihormati keluarga Padma itu, di d******i oleh warna-warna pastel nan menghangatkan. Seolah memberi kesan bahwa rumah itu menerima siapa pun yang mencari tempat untuk istirahat ataupun tempat ‘pulang’.
Untuk kali pertama rumah yang terkesan hangat itu, kini tampak sedikit menakutkan bagi Alex. Pria itu yang memang sejak awal tidak begitu banyak berbicara, menjadi lebih pendiam dari biasa. Sukses membuat Bima, berkali-kali melirik atasannya itu dari kaca di atas dashboard. Memastikan bahwa Alex tidak sedang mengalami stress yang cukup parah. Bagaimana pun, sebagai seseorang yang setia mengikuti Alex kemanapun. Ia paling tau bahwa pria itu sudah hampir mencapai batas, dan bisa saja tumbang seperti Heri Padmana.
Ketika pria itu keluar dari dalam mobil. Ia bisa mendengar suara cempreng anak kecil memanggil namanya dengan lantang. Tak butuh waktu lama sampai ia mendapati seorang anak lelaki berlari kecil ke arahnya seraya membawa sebuah mainan berbentuk pesawat. Mata Alex sedikit melebar, bergegas berbalik dan memeriksa penampilannya di kaca spion. Memastikan bahwa dia tampak rapi dan baik-baik saja di depan keponakannya satu itu.
“Om Alex!”
“Daffa!” sahut Alex tak kalah semangat. Membawa anak berusia 8 tahun yang berlari ke arahnya itu masuk ke dalam pelukan, lantas menggendongnya. “Aduh, aduh! Ternyata Mas Daffa udah gede banget ya? Sampai kesusahan nih Om gendong kamu.”
“Daffa yang tambah berat, atau Om aja yang udah ketuaan?”
Alex tau betul kalau pertanyaan itu disuarakan murni karena rasa penasaran saja. Namun, pertanyaan itu jelas membuat Alex tersentak, dan tanpa menoleh pun bisa mendengar suara tawa tertahan dari Bima. Tidak menyangka akan ada hari di mana ia menyaksikan atasannya itu diejek ‘ketuaan’ oleh keponakan tersayangnya satu itu.
“Mas Daffa kenapa di sini? Ayah sama Bunda mana?” tanya Alex mengabaikan pertanyaan Daffa sebelumnya. Lantas menyadari bahwa keponakannya itu masih mengenakan seragam sekolahnya.
“Oh aku nggak-“
“Gue lagi jemput Daffa waktu Oma telpon.”
Tak butuh waktu lama sampai Fedri muncul, ekspresinya tampak sama lelahnya dengan Alex saat ini. Pria itu lantas mengacak rambut anaknya seraya tersenyum lembut. “Mas tadi janji nggak akan ngerepotin siapapun di sini selama Ayah ngobrol sama keluarga yang lain kan? Sekarang Mas, masuk ya. Ada Kak Wili sama Septian di dalam.”
Mendengar nama dua sepupunya itu, sorot mata Daffa berubah berbinar-binar. Tak butuh waktu lama sampai ia meronta agar diturunkan dari gendongan, lantas berlari lebih dulu ke dalam rumah besar milik Sang Oma. Ketika anak laki-laki itu benar-benar sudah masuk ke dalam bangunan besar tersebut. Barulah Fedri menghela napas berat dan bertukar pandang dengan Alex.
“Om Heri gimana?”
Pertanyaan itu disuarakan oleh Fedri saat keduanya mulai berjalan beriringan memasuki rumah itu. Ketika melewati pintu mereka bisa mendengar suara ramai dari celotehan anak-anak di ruang tamu, asalnya sudah pasti dari para cicit dari garis darah sang Oma. Mengingat ini adalah hari dimana keluarga sang Oma berkumpul.
“Untungnya itu bukan serangan jantung ke-2.” Alex menghela napas berat. “Tapi Papa tetap harus istirahat lama mulai sekarang.”
“Memang udah waktunya Om Heri istirahat. Kalau bukan karena tingkah keluarga lain yang nargetin keluarga kita kayak sekarang. Beliau pasti udah lengser dan diganti sama lo.”
“Sebenarnya kenapa sih lo nggak mau maju jadi pemimpin keluarga ini?”
Pertanyaan tiba-tiba Alex, membuat Fedri menghentikan langkah. Berdiri tepat di tengah-tengah anak tangga melingkar yang sedang mereka naiki. Pria itu terdiam lama, sebelum sudut bibirnya terangkat membentuk senyum jahil. “Kenapa tiba-tiba nanyain ini? Lo mendadak nggak berniat jadi pemimpin?”
“Kalau itu bisa menyelesaikan dilema para tetua kenapa nggak?” balas Alex teramat tenang. “Lo tau betul kan, urusan pewaris ini jadi berbelit-belit karena para tetua kurang suka kalau gue yang maju. Jadi kenapa kita nggak selesaiin ini sekarang aja, dan lo maju jadi pemimpin? Biar Papa bisa-“
Ucapan Alex terhenti, karena tiba-tiba kerah kemejanya dicengkram erat. Ekspresi Fedri yang kerap bersahaja, kini berubah keruh dan terkesan dingin. “Jangan berani-beraninya lo lari dari tanggung jawab ini, Alex.”
“Nggak ada yang lari-“
“Sejak awal, semua orang juga tau kalau Om Heri mendidik lo sebagai pewaris dia nanti. Kursi kepemimpinan itu, milik lo sejak awal.” Cengkraman di kerah kemeja itu Fedri lepas asal. Entah kenapa jadi merasa kesal. “Jangan pernah bahas soal gue yang jadi pemimpin keluarga ini. Secintanya gue sama Padma, gue nggak mau maju jadi pemimpin dan biarin anak-anak gue terkekang sama segala penilaian tetua.”
“Kalau begitu mau sampai kapan Fedri?” Alex memijat pelipisnya pening. “Papa kelelahan karena semua masalah yang muncul belakangan ini. Beliau nggak akan mau kalau disuruh lepas tangan tanpa ada kepastian siapa yang akan duduk di kursi pewaris.”
“Kalau begitu kenapa lo nggak bilang aja sama tetua, kalau lo siap-“
“Dri, para tetua baru mau gue jadi pemimpin kalau gue udah nikah.”
Hening. Fedri mengerjapkan mata beberapa kali, lantas mengernyitkan dahi. “Hah? Para tetua bilang gitu ke lo?”
“Menurut lo kenapa para tetua ragu buat jadiin gue ketua?” ujar Alex seraya kembali menaiki anak tangga. Bergerak menuju ruang pertemuan yang ada di lantai 2. “Lo tau para tetua itu masih kolot, dan mereka mengedepankan kemampuan tiap keturunan. Lo udah punya Daffa, dan siapapun mengakui kecerdasan anak lo satu itu. Sementara gue? Nggak ada sesuatu yang bisa membuktikan kalau keturunan gue nanti akan jadi salah satu Padma unggulan. Seperti bagaimana para tetua melihat gue, lo dan Adelia.”
Fedri menghela napas. “Kayaknya lo salah persepsi sama kenapa para tetua selalu ragu buat jadiin lo ketua, Lex.” Pria itu berusaha menyamakan langkah dengan Alex yang entah kenapa jadi berjalan begitu tergesa-gesa. “Mereka bukan ragu karena lo belum nikah dan punya anak, Lex. Kalau itu penilaian terpenting, udah sejak lama gue dijadiin ketua tanpa harus kita lakuin berbagai projek penilaian setahun lalu. Sejak awal lo bahkan nggak akan dipertimbankan untuk duduk di kursi itu. Tapi, kita berdua lihat sendiri gimana para tetua sempat mempertimbangkan kembali Adelia masuk dalam jajaran kandidat terkuat sebagai pemimpin sejak dia kembali ke dalam keluarga.”
“Kalau begitu apa Dri?” Alex berdecak. “Gue cuman mau Papa cepat-cepat lengser biar dia bisa nikmatin hari tua beliau. Papa udah pernah kena serangan jantung sekali, dan kita semua tau kalau beliau kena serangan kedua. Kita semua nggak bisa pastiin beliau bakal tetap baik-baik saja.”
Suara helaan napas berat terdengar, dan bahu Alex ditarik. Lebih tepatnya dipaksa oleh Fedri untuk menghentikan langkah. Memaksa agar keduanya berbicara serius sebelum benar-benar memasuki ruang pertemuan dan berhadapan dengan para tetua yang jelas akan menguras tenaga untuk mereka.
“Seperti bagaimana keluarga kita memimpin keluarga kalangan atas lainnya dalam urusan bisnis. Para tetua mau kita punya kendali penuh sama kondisi sosial yang ada.” Fedri mengetuk dagunya, baru kali ini mengetahui bahwa para tetua keluarganya tidak menjadikan Alex pemimpin keluarga baru hanya karena alasan sesepela pernikahan. “Gue rasa alasan para tetua mau orang yang mimpin keluarga ini adalah orang yang sudah menikah. Itu semua karena mereka mau pemimpin keluarga berikutnya bukan hanya fokus mengembangkan bisnis tapi juga pengaruh di lingkungan sosial kita. Dan lo tau betul kan, kalau urusan kegiatan sosial itu biasanya urusan pasangan kita.”
“Tunggu, kalau-“
“Kalian sudah sampai?”
Perbincangan kedua pria itu berhenti, ketika sebuah suara berat terdengar. Bergegas menoleh, dan mendapati Tri yang sudah berdiri di belakang mereka. Seperti biasa memasang ekspresi teramat datar.
“Papa.”
“Om Tri.”
Tri tersenyum tipis, lantas memusatkan pandang pada Alex. “Papa kamu gimana keadaannya sekarang?”
“Untungnya bukan serangan jantung ke-2 Om, cuman penegangan otot jantung aja. Tapi tetap disuruh istirahat panjang sama dokter.”
Kakak dari ayahnya itu mengangguk-angguk kecil, sebelum akhirnya maju membukakan pintu. Menunjukkan bahwa di dalam ruangan itu sudah dipenuhi oleh para tetua keluarga mereka yang sudah duduk menunggu.
“Kalau gitu kita mulai pembicaraannya sekarang?”
***
Zurich
Adelia menggigit bibir, mulai merasakan nyeri di area kaki yang menjalar hingga ke tulang belakangnya. Menandakan sudah waktunya untuk menyudahi ‘latihan’ berjalannya, dan kembali menduduki kursi roda yang dibawa oleh salah satu ART yang ikut berjalan bersamanya. Seolah menyadari keanehan dari perempuan itu, Rafi yang memang diboyong dari Jakarta bergegas mendekat.
“Del, mau udahan?”
“Sebentar Mas, kayaknya aku masih kuat buat jalan.” Tangan Adelia terangkat, memberi kode agar Rafi tidak memberi perintah untuk mendudukannya ke kursi roda.
Jawaban itu, jelas membuat Rafi menipiskan bibir. Sebagai seseorang yang kerap menemani Adelia dalam sesi terapi dan latihan berjalannya, pria itu sangat hapal kalau sang puan bisa menjadi sedemikian keras kepala. Namun, ia tidak bisa mengatakan apa-apa sebab bagaimana pun Rafi adalah salah satu orang yang memiliki pemikiran kolot. Pemikiran bahwa ia tidak bisa menentang Adelia yang notabene bagian dari keluarga tempatnya mengabdi. Membuat pria itu merasa dilema di saat seperti ini.
Kalau sudah seperti ini biasanya-
“Oke, sudah 1 jam.”
Suara itu mengalihkan perhatian semua orang di sana, tidak sadar sejak kapan Andri yang hanya memperhatikan dari kejauhan sudah mendekat ke arah mereka. Benar, jika Adelia sudah keras kepala seperti ini biasanya Andri akan muncul dan menghentikannya. Entah bagaimana walau selalu memperhatikan dari jarak yang cukup jauh. Pria itu selalu bisa tau kapan rasa sakit di kaki adiknya itu mulai terasa di tengah-tengah latihannya dan Adelia memaksakan diri.
“Mas aku masih-“
“Aku tau kamu masih bisa lanjut.” Andri terkekeh, namun memutuskan untuk berjongkok di hadapan sang adik. Memberi isyarat agar adiknya itu naik ke punggungnya agar bisa ia gendong. “Tapi, udah 1 jam kamu keliling taman. Orang-orang yang ikutin kamu pasti udah kecapekan.”
Tak ada jawaban, Adelia melirik ke para ART dan perawat yang terus bersamanya selama ada di Zurich. Sesuatu yang diharuskan oleh Andri dan tidak bisa diganggu gugat, meski ia sudah menyuarakan protes berkali-kali. “Kalian bisa pergi.”
Perintah itu dipatuhi oleh mereka semua dengan cepat. Kecuali Rafi yang tetap berdiri dengan wajah datarnya. Adelia menggaruk tengkuknya yang tidak merasa gatal. Ini bukan kali pertama ia digendong oleh Andri, namun mengingat usia mereka yang sama-sama sudah dewasa. Rasanya canggung saja, kakaknya itu masih memperlakukannya seperti anak kecil. Perempuan itu menghela napas, lantas dengan berat hati naik ke punggung sang kakak.
Perjalanan menuju mansion diisi oleh keheningan. Hanya ada suara gemerisik dedaunan pohon yang saling bergesekan ketika semilir angin bertiup. Zurich di musim semi, memiliki suhu udara yang lebih hangat dari biasanya. Namun, Adelia masih belum terbiasa akan suhu ‘hangat’ di negara 4 musim tersebut. Baginya suhu saat ini masih tergolong cukup dingin, itulah kenapa dia memakai pakaian yang lebih tebal dari biasanya. Semilir angin yang bertiup, sempat membuatnya merasa sedikit merinding.
“Sepertinya ucapan kamu semalam benar.” Ucapan tiba-tiba Andri, mengalihkan fokus Adelia yang sedari tadi menatap pemandangan pekarangan yang teramat damai. Untuk sesaat mengalihkan pikirannya akan fakta, di tanah air sana keluarganya sedang berperang dengan banyak hal.
“Apa maksud Mas?”
“Ayo kita pulang Adel.”