Dua

1540 Kata
Mansion keluarga Padma di Zurich, bisa dibilang adalah satu dari beberapa properti tertua yang mereka miliki. Tempat itu dibeli oleh Tyaga Padmana, pendiri sekaligus pemimpin pertama keluarga sebagai tempat untuk berbulan madu. Bangunan megah itu, dibelinya dari salah seorang bangsawan Inggris yang sedang mengalami kebangkrutan. Membelinya dalam harga yang cukup murah, namun kini bernilai milyaran dolar. Satu dari sekian banyak properti keluarga yang harganya selangit. Dulu Adelia hanya pernah mendengar kemegahan mansion ini dari cerita-cerita para tetua saja. Secara tempat ini biasanya dihuni untuk keluarganya yang berniat berbulan madu di Eropa sebagai tempat untuk tinggal sementara. Namun, seiring semakin banyak properti keluarga yang dimiliki. Tidak banyak keluarganya yang berminat untuk tinggal di sana. Bahkan Fedri lebih memilih pergi ke Harbin untuk berbulan madu, membuat tidak ada satupun generasi ke-4 Padma yang pernah menginjakkan kaki di mansion ini. Siapa sangka Adelia justru tinggal di mansion megah ini selama hampir satu tahun penuh. "Kamu mau kemana?" Adelia tersentak, tertangkap basah mengendap-ngendap untuk keluar dari mansion. Ia menelah ludah, lantas berbalik menemukan Andri sudah menatapnya lurus dengan tangan menyilang. Matanya mulai memperhatikan penampilan sang adik dari atas hingga bawah. Sweater berwarna merah dengan rok panjang kotak-kotak, serta topi baret berwarna senada. Pakaian yang terlalu rapi untuk digunakan oleh seseorang yang hanya menghabiskan hari di rumah. "Ada pasar rakyat 10 menit dari mansion. Saya mau ajak Adelia untuk ke sana Mas." Jawaban itu justru datang dari Rafi yang memasang ekspresi datar. Muncul entah dari mana, mengenakan pakaian hitam berpadu abu-abu. Pakaiannya jelas jauh lebih tebal dari apa yang dikenakan Adelia, mengingat laki-laki itu tidak terbiasa akan cuaca Zurich yang jauh dari kata hangat. "Setahun aku tinggal di sini Mas, tapi nggak pernah keliling-" "Kamu pergi ke Budapest beberapa bulan lalu." Helaan napas berat keluar dari celah bibir Adelia. "Ya tapi itu waktu aku masih di kursi roda kan? Sekarang aku udah bisa jalan lagi Mas. Aku mau keliling." Tau kalau Adelia sedang berperilaku keras kepala, Andri memijat dahinya. Melirik jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul 6 sore, tapi di luar sana masih terang benderang. Ia terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk. "Kalau kamu berniat pergi dengan berjalan kaki, hanya ke sekitaran pasar itu saja. Tapi kalau kamu mau pergi lebih jauh, bawa mobil. Jangan paksain kaki kamu." "Oke, kalau gitu aku pergi ya Mas." Tanpa menunggu lagi, Adelia bergegas keluar. Diikuti oleh Rafi yang setia menemani perempuan itu kemanapun. Tak ingin kecolongan untuk kali ke sekian. Namun, apa yang menjadi keresahan Andri bukanlah keamaan Adelia saja. Pesan yang diberikan Alex beberapa saat lalu lah yang menjadi kekhawatirannya. Alasan terbesar ia memilih Swiss sebagai negara pelarian sementara sang adik untuk memulihkan diri adalah tak banyak orang tau bahwa Padma pemilik properti ini. Ukurannya yang luas dan diisi oleh pekerja yang berdedikasi penuh pada keluarga, membuat tempat ini bisa menutup rapat perkembangan kesehatan Adelia. Informasi yang jelas sangat dinantikan oleh para keluarga kalangan atas di tanah airnya saat ini. Masalahnya persiapan menjelang kembalinya sang adik sudah mulai dilakukan. Itu berarti kabar tersebut juga sudah mulai sayup-sayup terdengar di kalangan sosialita. Di luar sana, pasti banyak 'mata' yang mencari dan menunggu hingga Adelia muncul di ruang publik. Hendak menyaksikan sebesar apa perubahan Adelia hingga sudah siap kembali setelah satu tahun lebih. Andri menghela napas, lantas memutuskan kembali ke ruang kerja. Berharap keputusannya barusan tidak akan berakibat fatal akan rencana keluarga mereka. *** Satu tahun lebih tinggal di Zurich, ini kali pertama Adelia sungguh-sungguh merasakan atmosfer dari kota tersebut. Sebagian besar waktunya di sini dihabiskan meringkuk akan rasa nyeri di kaki dan bekas operasi di kepala. Antara ia terbaring di kasur dan menghabiskan sebagian besar hari dengan tertidur, atau berjalan-jalan di sekitaran taman belakang mansionnya. Adelia bahkan melewatkan festival natal dan tahun baru di kota yang digadang-gadang menjadi atraksi turis termegah dan terbesar di negara ini. "Terima kasih udah berinisiatif nemenin aku ya Mas," ujar Adelia di sela-sela perjalanan mereka menuju pasar raya. Senyumnya terkembang lebar, tampak begitu bersemangat. Ini mungkin kali pertama perempuan itu berekspresi sedemikian ceria sejak insiden yang menimpa dirinya terjadi. Mungkin karena gegap gempita jalan yang mereka susuri, berhasil membangkitkan suasana hari perempuan itu begitu saja. "Bahkan kalau Mas Andri nggak nangkap basah kamu, saya bakal ngekorin kamu diam-diam Del," balas Rafi tenang. Walaupun terlihat seperti pria lesu, hanya Adelia yang tau kalau asisten pribadi yang ditunjuk keluarganya ini mengamati sekitar dengan pandangan awas. Pasar raya yang Adelia curi dengar dari salah satu pekerja rumahnya, ternyata tidak berjarak terlalu jauh dari mansion. Ramainya persis seperti festival di hari-hari besar ataupun libur panjang. Tenda-tenda kios berdiri berhimpitan di jalanan lebar di dekat deretan toko-toko. Wangi makanan yang menguar di udara, entah kenapa berhasil menggugah selera makan Adelia yang selama ini jauh berkurang dari biasanya. Selain deretan penjual makanan, Adelia bisa menangkap para penjual sayur segar dan bahkan bunga segar. "Silahkan berkeliling Adelia, saya akan mengawasi anda dari jauh." Dahi Adelia mengernyit. "Mas nggak ikut aku?" Rafi tersenyum tipis seraya menggeleng. "Selama ini anda diawasi ketat, pasti anda ingin punya waktu untuk diri sendiri kan? Silahkan, anda berkeliling. Saya dan yang lain tidak akan mengekori anda terlalu dekat." Mendengar kata 'yang lain' Adelia mulai melirik ke sekeliling pasar raya. Baru sadar ada beberapa wajah yang tak asing baginya. Siapa lagi kalau bukan deretan para penjaga keamanan yang selalu berjaga di mansion nya itu. Berjaga di tengah kerumunan, dengan menyamarkan diri sebagai wisatawan. Harusnya Adelia paham kalau izin yang ia terima, tidak mungkin diberikan semudah itu hanya karena Rafi menemaninya. Tapi ya sudahlah, Adelia tidak bisa banyak protes. Terakhir kali ia terlalu percaya diri bisa menjaga diri, ia kehilangan sesuatu yang begitu sulit untuk didapatkannya kembali. Ketika Adelia mulai berjalan menjauh, Rafi menekan interkom yang setia terpasang di telinga kirinya. Memberi arahan penjagaan si bungsu keluarga Padma kepada anggota timnya yang lain. Setelah memastikan bahwa Adelia tidak lagi fokus ke arahnya, Rafi memutuskan untuk berjalan. Mendekati deretan mobil-mobil yang terparkir di depan pertokoan di dekat pasar raya. Secara spesifik, mendekati sebuah mobil berwarna hitam dengan kaca yang sama gelapnya. Tidak memungkinkan siapa pun untuk melihat ke dalam. Berdiri tepat di sisi pintu penumpang. "Apa jarak sejauh ini cukup?" Pertanyaan itu dibalas dengan pintu kaca kursi penumpang perlahan bergerak turun. Menampakkan sosok pria berjas biru dongker yang berperawakan tak jauh berbeda dari terakhir kali mereka berjumpa. Apa yang menjadi pembeda hanyalah bagaimana pakaian dan penampilan pria itu sungguh menggambarkan bahwa ia adalah bagian dari kelas sosial yang sama dari Nona yang ia layani, dan sorot mata yang sepenuhnya dingin. Siapa lagi kalau bukan Dikta. "Saya terkejut anda tidak keberatan memenuhi permintaan kurang ajar ini." "Tuan Alex sudah memberi izin, saya tidak mungkin menentang permintaannya," balas Rafi tenang. Ini mungkin kali pertama ia berinteraksi dengan tata bahasa teramat resmi dengan pria itu. "Walau saya tidak mengerti kenapa anda meminta untuk bisa melihat Nona dari jarak jauh, ketika yang dia inginkan adalah anda muncul dan memohon maaf karena meninggalkannya tanpa mengatakan apa-apa." Dikta tidak menjawab. Memilih memusatkan fokus pada sosok perempuan yang sedang mengantri di depan kedai yang menjajakan Rosti. Senyumnya tampak cerah dan kini sedang bercakap-cakap dengan beberapa anak kecil yang mendekatinya. Mungkin tertarik akan mainan baling-baling yang ada di tangan perempuan itu. Dari cermin di atas dashboard Daren memperhatikan air muka sang tuan muda. Menerka-nerka apa yang terbesit di dalam isi pikiran pria itu, melihat kembali perempuan yang menjadi alasan mereka pergi ke berbeda-beda negara dan tempat. Memburu semua orang yang terlibat atas kejadian dulu dan membalasnya dengan cara yang sama. Menjatuhkan mereka semua dari tebing tinggi. "Ayo kita pergi, Daren." Kalimat itu jelas membuat Daren terkejut bukan main. "Sekarang? Anda baru melihatnya selama 5 menit?" Mereka melakukan perjalanan berjam-jam dari Budapest ke Zurich, hanya untuk melihat sang puan selama 5 menit saja? "Semakin lama disini saya hanya akan semakin ingin menghampirinya." Dikta menghela napas, lantas kembali menoleh ke depan. "Tugas kita belum selesai, jadi saya tidak merasa pantas untuk muncul di hadapannya." Hening cukup lama sebelum Dikta kembali melanjutkan. "Lagipula kita akan lebih sering berpapasan lagi mulai sekarang." Dikta menoleh ke arah Rafi, kemudian tersenyum tipis. "Sampai jumpa di Indonesia, Rafi." *** Suara deru mobil yang terdengar teramat pelan, mengalihkan fokus Fira dari buku-bukunya. Perempuan itu bangkit, melepaskan kacamata seraya melirik ke luar melalui jendela besar di kamarnya. Mendapati barisan mobil, berjalan memasuki kediamannya. Tak butuh waktu lama sampai ia bisa melihat sosok sang kakak keluar dari salah satu mobil dengan raut wajah lelah. Fira melirik ke jam di atas nakas, mendapati kalau saat ini pukul 4 pagi. "Kakak habis dari mana?" Gumaman yang masih bisa terdengar itu, dibalas oleh Arlen. "Mas Daren bilang, tadi siang Tuan Muda meminta disiapkan pesawat." "Pesawat? Dia pergi sama ayah?" tanya Fira dengan dahi mengernyit. Arlen yang sedang mengingat-ingat segala informasi terbaru tentang kondisi sosial di tanah air, mengalihkan fokus. Menatap Fira dengan sorot tatapan penuh ketenangannya. "Tidak. Hanya tuan muda dan orang-orangnya saja." Hening melanda, Fira menatap langit gelap kota Budapest dengan dahi mengernyit. Mendadak ia teringat dengan isi email yang baru saja ia terima beberapa jam lalu. Email dari seorang Alex Padmana yang entah dari mana mendapat alamat emailnya. Seolah sudah tau bahwa perlahan Natawirya telah menyudahi masa bersembunyi mereka dan bersiap untuk kembali. Sudut bibir Fira terangkat membentuk senyum kecil, sebelum kembali duduk di kursinya. "Ya, bagaimanapun rindu bukanlah sesuatu yang bisa kita tahan dalam waktu lama."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN