Darla menghela napas, matanya tak berhenti mendapati para tamu melirik ke arahnya dan Alex sembari berbisik-bisik. Tampaknya kabar bahwa pamannya jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit semalam sudah mulai tersebar di kalangan keluarga atas. Mungkin mereka merasa heran, Padma sedang terguncang atas tumbangnya sang kepala keluarga. Seharusnya saat ini setiap anggota keluarga Padma akan membatalkan acara-acara mereka dan tidak muncul di publik untuk sementara waktu. Kemunculan ia dan Alex saat ini pasti menimbulkan tanda tanya.
Benarkah pemimpin keluarga Padma tumbang atau Alex tidak lagi begitu memedulikan kondisi ayahnya hingga memilih berkeliaran di acara perjamuan mewah seperti saat ini.
"Kakak cek, jadwal kamu mulai minggu depan udah padat untuk persiapan fashion week." Gumaman pelan Alex barusan, menyadarkan Darla dari lamunan. Menoleh ke arah kakak sepupunya yang masih memasang raut wajah biasa saja. Tidak terganggu sama sekali akan bisik-bisik dan lirikan yang tertuju pada mereka. "Kalau begitu kamu nggak perlu maksain diri buat dampingin Kakak lagi."
"Aku bakal nemenin Kakak sampai akhir," ujar Darla meraih gelas berisikan sparkling wine di atas meja. Membasuh mulut dan tenggorokannya yang sedikit terasa berminyak karena pasta yang dihidangkan. "Biar dia tidak perlu merasa diburu-buru oleh waktu untuk mempersiapkan kepulangannya ke sini."
Sudut bibir Alex terangkat, tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa senang. Walaupun memiliki tempramen yang meledak-ledak, dan sulit menyembunyikan ekspresi. Sebagai orang yang mendampingi Alex ke dalam acara-acara semenjak Adelia pergi ke Zurich, Darla melakukan tugasnya dengan sangat baik. Meski sekali-kali mengernyitkan dahi dan memasang ekspresi muak yang muncul dalam beberapa detik, Darla tidak pernah kelepasan untuk berbicara tidak sopan atau mencari keributan. Ia sudah benar-benar menahan diri dengan sangat baik. Terlebih ketika...
"Malam, Pak Alex. Saya tidak menyangka akan bertemu dengan anda di sini."
Benar, terlebih ketika mereka berhadapan dengan keluarga Sukma.
Sudah satu tahun berlalu sejak pernikahan dadakan antara Januar dan Emi digelar. Selama itu pula terjadi banyak sekali perubahan di tubuh kepemimpinan bisnis keluarga tersebut. Kendra Sukma lengser, membuat Emi maju sebagai komisaris utama di dampingi oleh suaminya sebagai wakil. Pasangan itu tidak melewatkan satupun acara di mana mereka diundang. Entah itu perjamuan, pernikahan atau bahkan acara amal. Ditambah akan fakta bahwa Januar ternyata cukup ahli bersosialisasi, membuat pengaruhnya di lingkungan kelas atas meningkat pesat.
"Halo, kalian baru datang?" tanya Alex jelas hanya berbasa-basi. "Kami sudah di sini cukup lama, dan sedang bersiap untuk kembali."
"Anda sudah mau pulang?" balas Januar dengan ekspresi terkejut. "Padahal saya kira kali ini bisa bercakap-cakap dengan anda. Secara sejak anda memutus kontrak bisnis dengan beberapa keluarga, anda jadi semakin sulit untuk di temui."
Alex masih mempertahankan ekspresi tenangnya. Berbanding terbalik dengan Darla yang terlihat tidak nyaman, menahan diri untuk tidak menerjang pasangan yang menjadi penyebab jungkir balik kehidupan sepupunya itu. "Sayang sekali ya, saya memang sedang sibuk menebang dahan-dahan busuk di taman kami."
"Bagaimana kabar Adelia?"
Setelah selama ini, baik keluarga Padma maupun keluarga Sukma seolah sepakat untuk tidak mengonfrontasi satu sama lain secara langsung. Akhirnya saat ini tiba. Alex tau bahwa di saat Adelia diberi perintah untuk bergegas kembali. Maka hanya tinggal menunggu keberadaan sang puan diketahui. Pertanyaan yang diajukan Emi barusan bukanlah sebuah pertanyaan yang dikatakan dengan sembarang. Alex sangat yakin kalau keluarga Sukma sepertinya sudah tau dimana keberadaan sang adik dan mungkin sejauh apa kondisi Adelia saat ini.
"Baik, penyembuhannya terus berkembang pesat." Alex berujar dengan nada sedikit naik. Sengaja mencuri perhatian para tamu di sekeliling mereka untuk mendengarkan pembicaraan mereka. "Adik saya bahkan sedang bersiap untuk kembali. Ah, saya sebenarnya masih sedikit kecewa pada keluarga Sukma soal ini."
Emi mengernyitkan dahi. "Kenapa begitu? Keluarga kami tidak terlibat sama sekali akan kejadian penculikan itu kan."
"Benar, saya hanya kecewa karena para pekerja di bawah naungan Pak Januar saat itu tidak begitu cakap." Suara kekehan lolos dari bibir Alex. "Dari laporan galeri tempat penculikan itu terjadi, mereka bersaksi bahwa ada orang-orang Sukma di sekitar area kamar mandi. Saya menyalahkan kecakapan para pekerja anda yang bahkan tidak sadar kalau ada orang mencurigakan di sekitar kamar mandi saat itu."
Berbeda dengan Emi yang terlihat tersentak, Januar hanya menipiskan bibir. Masih menyunggingkan senyum, namun keramahan palsu yang ia tunjukkan kini terasa semakin jelas. Seolah membalut perasaan tidak senang dan kesal yang mengisi dasar hati sang pria. Memang, fakta bahwa tempat Adelia disekap adalah properti milik keluarga Sukma. Menjadi sebuah fakta yang ditutup rapat oleh keluarga Padma, entah kenapa. Mungkin sengaja untuk menyisakan perasaan tidak tenang di keluarga itu, sebab informasi itu bisa dijatuhkan keluarga Padma kapan saja. Namun, sekeping informasi itu adalah informasi yang menjadi pisau bermata dua. Sepertinya Padma sadar kalau mereka menjatuhkan informasi ini ke publik, maka tidak mungkin keluarga-keluarga yang sudah berpaling dari Padma dan bersatu dengan Sukma. Menjadi kepingan informasi itu sebagai bahan untuk menguliti dan memakan hidup-hidup cara kerja keluarga Padma selama ini.
Bagaimanapun, mereka semua adalah orang-orang yang berkubang di dalam lumpur. Bermain-main dengan hal kotor untuk bisa naik hingga ke titik mereka saat ini. Itulah kenapa masing-masing mereka berhati-hati, memastikan tidak menjadi pihak yang kehilangan paling banyak hal dalam 'perang' ini.
Alex mendorong kursinya ke belakang, seraya berdiri diikuti oleh Darla. Laki-laki itu seraya mengancingkan kancingnya mulai melirik ke arah Emi. Entah apa yang tersirat di dalam sorot pandangannya itu. "Kalau saya jadi anda, saya akan berhati-hati dengan siapa pun."
"Apa Adelia akan kembali ke galeri? Kalau iya, sayang sekali kalau begitu. Sebab saya dan suami saya, jelas tidak akan sering bertemu dengannya kalau begitu."
"Tidak perlu khawatir Emi." Sahutan itu justru datang dari Darla yang seolah menanti waktu yang tepat untuk membuka mulut. "Adelia tidak kembali untuk mengurus galeri. Kami punya posisi yang lebih cocok untuknya."
"Maksud kamu?"
Darla tidak menjawab, hanya tersenyum. Membiarkan pertanyaan itu menimbulkan tanda tanya besar di kepala orang-orang, seraya ia berjalan mengekori Alex. Keluar dari dalam ballroom hotel yang sedikit terasa tegang. Saat itu orang-orang tidak tau, bukan hanya putri bungsu Heri Padmana saja yang akan kembali dan bergabung dalam 'permainan' panjang ini. Ada orang lain yang akan ikut bergabung. Jauh lebih siap dan kuat. Siap menjadi sisi yang memangsa habis mereka yang berniat bermain dengan tidak adil.
***
"Galeri akan tetap aku kasih Kak Kevin untuk diurus."
Adelia mendorong tumpukan map dan berkas di atas meja ke arah Rafi. Pria yang sedang mengunyah coklat dari dalam toples yang entah ke berapa untuk hari ini itu, meraihnya tanpa banyak bicara. "Para tetua sudah suruh aku untuk ambil posisi di bidang lain. Mas juga harus mulai belajar ya soal dinamika acara-acara yang terkait dengan posisiku nanti. Secara kamu adalah orang yang akan ikut aku kemana pun."
"Kalau begitu, saya akan menggantikan posisi Elisa?"
Sudut bibir Adelia terangkat membentuk senyuman jahil. "Kalau Kak Elisa dengar itu, kamu pasti diamuk sekarang Mas." Fokus sang puan kembali tertuju pada berkas yang sedang ia pelajari di tangan. "Untuk Kak Elisa dia akan urus semua urusan pekerjaan dan jadwal resmiku. Dia akan mengurus segala urusan profesional, sementara Mas bagian yang lebih pribadi. Oke? Bagaimanapun, aku udah janji sama Kak Elisa untuk selalu bawa dia sama aku."
Rafi ikut terkekeh. "Baiklah saya mengerti."
Seolah teringat sesuatu, Adelia mengalihkan pandang dari berkas dan kini menatap Rafi tenang. "Mas kamu tuh punya pacar nggak sih?"
Pertanyaan pribadi yang mendadak disuarakan itu jelas membuat Rafi langsung terbatuk. Sedikit tersedak oleh pecahan-pecahan kecil yang masih tersisa di dalam mulutnya. Pria itu bergegas meraih botol minum, sebelum menatap sang Nona dengan ekspresi tenang. Seolah tidak baru saja nyaris mati karena tersedak coklat. "Kenapa kamu nanya gitu?"
Mendengar bagaimana kosa kata Rafi kembali terkesan santai, Adelia tergelak. "Kepo aja sih Mas. Kalau aku perhatiin setiap asisten pribadi yang ditunjuk untuk anggota keluarga Padma, rata-rata menikah sedikit telat. Mereka baru akan menikah kalau orang yang mereka layani menikah lebih dahulu. Karena Kak Elisa udah nikah, aku nggak perlu khawatirin dia. Kamu yang benar-benar asisten pribadi yang ditunjuk dari keluargaku, yang harus aku khawatirin."
Sebenarnya Rafi tidak mengerti kenapa hal itu menjadi sesuatu yang harus dikhawatirkan oleh Adelia. Secara ia memang tidak sedang menjalin suatu hubungan atau bahkan tertarik mulai menjalin hubungan dalam waktu dekat. Jadi seharusnya Adelia tidak merasa resah bahwa dia akan mengganggu kehidupan percintaan dirinya kan?
"Kalau kamu ketemu sama seseorang yang kamu suka Mas. Kejar dan jalinlah hubungan. Nggak perlu nunggu sampai aku punya pasangan dulu." Adelia bangkit dan sedikit goyah, karena nyeri yang sedikit terasa di kaki sebelah kirinya. Berjalan menuju jendela, memperhatikan langit kota Zurich yang perlahan-lahan menggelap.
"Sebab aku nggak akan pernah jalin hubungan sama siapapun lagi. Jadi jangan sampai aku jadi penghalang buat kamu ya Mas."