Persiapan menuju Jakarta, ternyata jauh lebih banyak dari yang diperkirakan. Berbeda dengan sebelumnya, di mana Andri maupun Adelia membawa kebutuhan seadanya saja. Sekarang, mereka punya banyak hal yang harus diurus. Mulai dari buku-buku yang Adelia beli selama berada di Zurich, peralatan rehabilitasi hingga deretan aksesoris yang kerap Andri beli di hari-hari di mana sang adik tidak bisa keluar dan menikmati suasana liburan di kota itu.
baru
Terima kasih berkat memiliki hubungan dengan salah satu keluarga pemilik maskapai di tanah air. Untuk urusan logistik dan tiket pesawat Andri tidak perlu khawatir akan hal itu. Pemimpin maskapai yang notabene adalah kakak kelas dari Alex selama ia berkuliah di Amsterdam dulu, memberikan pelayanan khusus untuk Adelia dan Andri. Kedua keturunan keluarga Padma itu diberi tempat di kelas bisnis yang sengaja dikosongkan untuk mereka saja. Sebisa mungkin mengurangi interaksi dengan orang-orang yang kemungkinan mengenali Adelia dan Ardi. Jelas tidak mau membuat sang puan merasa lelah dalam perjalanan panjang tersebut.
Andri menghela napas, memegang bagiang belakang lehernya. Sedikit merasa pegal karena berjam-jam terpaku pada layar laptopnya. Beberapa saat lalu, terdengar pengumuman bahwa pesawat yang mereka tumpangi akan segera mendarat di Singapura. Tempat transit beberapa jam sebelum mereka benar-benar kembali ke tanah air.
Pria itu sedang membereskan perlengkapannya, sampai ia menyadari ada sinar-sinar samar dari sebelahnya. Ia menoleh, mendapati bahwa jendela yang semula tertutup selama penerbangan malam telah terbuka. Menunjukkan pemandangan matahari terbit di tengah-tengah lautan awan putih. Pemandangan yang jelas menakjubkan dan jarang di dapati oleh orang-orang. Pantas saja para penumpang lain ikut membuka tirai dan mengabadikan pemandangan yang langka untuk mereka saksikan itu.
Namun, apa yang menjadi fokus Andri bukanlah keindahan pemandangan itu. Melainkan fakta bahwa adiknya sedang terpaku. Entah sejak kapan Adelia yang tertidur selama penerbangan terbangun. Perempuan itu menatap dalam pemandangan tersebut, seolah membersihkan segala carut marut yang ada di dalam kepalanya selama ini. Tanpa bisa ditahan sudut bibir Andri terangkat, membentuk senyuman lantas memegang hangat tangan sang adik.
“Mas yakin kamu bisa memenangkan semua ini, dek.”
Tak ada jawaban. Adelia masih terpaku ke jendela. Namun, Andri tau kalau adiknya itu mendengar setiap kata-katanya. Andri adalah saksi mata bagaimana adiknya itu terpuruk. Dari seseorang yang menangis deras karena kesakitan dan kesulitan untuk sekedar mengangkat kaki. Menjadi seseorang yang kembali bisa berjalan walau tidak dalam kurun waktu cukup lama dan sebebas dulu.
Apa pun yang akan dihadapi adiknya nanti, Andri akan memastikan adiknya tidak kembali merana seperti setahun yang lalu.
Sementara itu di sisi lain pesawat, lebih tepatnya Rafi yang duduk di deret belakang kursi bisnis. Menatap serius berkas yang baru saja dikirimkan Bima padanya. Berkas berisikan foto dan data diri dari orang-orang yang telah menyakiti Adelia satu tahun lalu. Foto-foto itu dipotret dengan sangat jelas, memperlihatkan seberapa tersiksa orang-orang itu dibuat sebelum mereka kehilangan nyawa karena dijatuhkan dari tebing. Walau tebing yang dijadikan tempat 'eksekusi' berada di tempat bahkan negara berbeda-beda, semuanya memiliki kesamaan tinggi. Tidak butuh waktu lama sampai Rafi menyadari siapa orang yang mampu melakukan hal sekeji ini. Tentu bukan salah satu tuannya di Padma. Sekarang ia bisa mengerti kalimat 'tugas kita belum selesai' yang digumamkan oleh Dikta saat itu.
Jadi inilah tugas yang selama ini pria itu kerjakan, sebagai tuntut balas akan apa yang terjadi pada Adelia dulu. Namun, Adelia menyadari bahwa ada beberapa nama yang belum ada di dalam berkas-berkas itu. Tampaknya bahkan orang-orang berpengalaman keluarga Natawirya kesulitan untuk menangkap para babi-babi kotor ini. Namun, berkas-berkas terkait orang-orang itu sudah mulai terkumpul. Membentuk pola pergerakan yang kini bisa dibaca kemana mereka pergi.
Menuju titik awal dari semua masalah ini bermula.
Rafi menatap barisan pesan yang dikirim langsung oleh Alex padanya.
"Apa kamu bersedia mengotori tanganmu untuk membereskan hal satu ini? Seperti dia?"
***
Setelah setahun lebih tinggal di negara 4 musim, yang bahkan suhu terpanasnya masih terasa sejuk. Cuaca panas Asia Tenggara yang terasa, menyadarkan Fira bahwa ia tidak berhalusinasi. Ia benar-benar kembali ke tanah air. Sebuah keputusan tepat ia memilih mengenakan kaus lengan pendek di balik jaketnya, walau angin musim semi Budapest membuatnya kedinginan sepanjang perjalanan. Lihat bahkan jaketnya itu hanya teronggok di atas tumpukan tas tangan yang ia letakkan di atas koper besar yang ia geret.
Berbanding terbalik dengan Fira yang tampak begitu bahagia bisa menginjakkan kaki kembali ke tanah air. Kakaknya hanya berekspresi datar, berjalan dengan langkah lebar-lebar melewati pintu kedatangan internasional dan deretan kios yang menyambut mereka. Jika Fira terlihat seperti seorang wisatawan yang baru kembali dari berlibur panjang di eropa, maka Dikta, Daren dan Arlen lebih terlihat seperti para pebisnis yang baru saja melakukan perjalanan baru. Membuat Fira terlihat mencolok di antara keempatnya.
Keempatnya melangkah dengan tempo yang sama menuju satu titik. Menghampiri dua pria yang sudah menunggu mereka dengan senyuman lebar. “Selamat datang kembali anak-anakku.”
Suara berat Julian Natawirya terdengar begitu tenang. Menyambut kedua anaknya kembali ke negeri yang mereka tinggalkan demi ‘menyiapkan’ diri akan segala problematika yang akan menanti ke depannya. Seolah sudah lama sekali ia terpisahkan oleh putra-putrinya. Padahal pria itu hanya kembali lebih cepat dibanding keduanya, apalagi kalau bukan untuk mempersiapkan tempat tinggal dan segala hal yang mereka butuhkan di sini.
Sudah satu tahun berlalu sejak ketiganya hidup sebagai satu keluarga, namun baik Dikta maupun Fira masih suka dibuat terkekeh akan reaksi sang ayah yang terkadang berlebihan.
“Selamat datang kembali Dikta, Fira.”
Perhatian kedua orang itu teralih ke sosok Faisal yang sudah tersenyum lembut ke arah mereka. Tangan kanan ayahnya itu sudah mau maju dan mengambil alih koper di tangan dua anak majikannya itu. Sampai Dikta lebih cepat mengangkat tangan, memberi isyarat bahwa ia menolak barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain.
Nampaknya, meski sudah satu tahu ia belajar seperti apa kehidupan sebagai seorang ‘Natawirya’. Pria itu masih tidak terbiasa akan perlakuan khusus dan terlalu hormat yang ditunjukkan setiap orang-orang yang mengabdi pada keluarganya itu. Dikta menghela napas, lantas menatap Julian serius. “Kita bisa pulang sekarang?”
“Kenapa terburu-buru sekali Nak?” tanya Julian penasaran, namun ia tetap mulai melangkahkan kaki menuju area pick up penumpang. Di mana mobil dan orang-orangnya sudah menunggu. “Setahun penuh kamu memutus komunikasi akan semua hal yang ada di sini. Kamu mau langsung kembali? Tidakkah kamu penasaran akan sesuatu? Tidak ingin menemui seseorang? Ayah dengar dia juga kembali ke sini hari ini.”
“Aku sama Fira sepakat untuk ziarah ke makam Ibu-“
“Kamu tau betul bukan itu yang Ayah maksud Nak.”
Tak ada jawaban. Fira yang berdiri di sisi lain sang ayah, diam-diam ikut melirik ke arah sang kakak. Berbeda dengannya yang meninggalkan negara ini dengan pesan yang jelas sebelum benar-benar menghilang seolah di telan bumi. Kakaknya itu hanya meninggalkan sepucuk surat yang ia tulis dengan tergesa-gesa di detik-detik terakhir sebelum mereka benar-benar pergi. Membuat ia tidak tau apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran dan hati kakaknya tersebut.
“Ada banyak hal yang ingin saya laporkan Ayah. Jadi bisa kita segera kembali saja?”
Terkadang di saat seperti ini, Julian menyayangkan kenapa putranya itu mengambil cukup banyak kemiripan dengan dirinya. Pria tersebut hanya bisa menghela napas, jelas tidak ingin memaksa Dikta memberi tahu apa yang sedang ia tidak ingin katakan. Melihat kedatangan Julian dan anak-anaknya, dengan serempak para pria yang sudah menunggu di dekat mobil mendekat. Langsung mengambil alih barang bawaan tuan dan nona muda mereka untuk dimasukkan ke bagasi.
“Aku akan pakai mobil yang lain saja. Sepertinya kalian akan membicarakan hal-hal yang membosankan.” Menyadari bahwa ada banyak hal yang ingin dibicarakan oleh Julian dan Dikta. Fira dengan cepat membuat keputusan untuk menggunakan mobil yang berbeda dari ketiganya. Bergegas masuk ke dalam mobil yang lebih kecil, bergabung dengan Arlen di sana.
“Alasan saja,” gumam Dikta seraya mulai masuk ke dalam mobil. Terbiasa akan suhu Budapest yang selalu sejuk meski di musim panas, udara Jakarta saat ini cukup untuk membuat pria itu mulai berkeringat. Padahal baru beberapa menit sejak ia merasakan kembali suhu kota terpadat di negerinya itu.
“Jangan samakan Fira denganmu Nak.” Julian terkekeh. “Bagaimanapun sejak awal ia pergi dengan mengetahui ada seseorang yang menantikan kepulangannya ke sini. Wajar kalau Fira antusias untuk melakukan banyak hal ketika kembali. Dia harus menunjukkan seberapa dia pantas sekarang untuk bersanding dengan pria yang ia sukai itu bukan?”
“Kadang aku masih nggak paham kenapa dia sesuka itu dengan Alex.”
Julian tak menjawab, memandang putranya sesaat sebelum kembali berbicara. “Lantas bagaimana dengan kamu?”
“Hm?”
“Nak, bukan hanya Fira yang tergila-gila dengan anak Heri Padmana. Kamu juga begitu kan?”
“Yah, berapa kali sudah kubilang kalau semua ini kulakuin cuman untuk balas-“
“Siapa yang mau kamu bohongi Dikta?” tanya Julian tenang. Menatap map yang baru anaknya itu keluarkan dari dalam tas. Siap untuk diberikan padanya.
“Kamu menghabiskan setahun penuh, memburu setiap orang yang terlibat akan insiden malam itu. Baiklah, ayah akan percaya kalau semua ini bentuk balas budi kamu terhadap keluarga Padma karena sudah membantu kamu dan Fira beradaptasi dengan lingkungan kelas atas.” Jeda sejenak. Bahkan sebelum map-map itu diserahkan padanya. Ia sudah tau apa saja isi laporan tersebut.
Sebab bagaimanapun, ia masihlah kepala keluarga Natawirya. Tidak ada satupun yang luput dari pengamatannya.
“Sebelum kamu menghabisi semua orang itu, kamu akan menjatuhkan mereka semua dari tebing. Dan kamu mau Ayah percaya kalau kamu sedang tidak dikuasai amarah karena mereka melukai orang yang kamu cintai?”