“Lukisan di sebelah sana agak miring, coba dibenerin lagi ya. Oh iya, vas di lorong depan belum diisi sama bunga yang saya bawa? Tolong segera taruh di sana ya.”
Hari ini galeri Serenade d’Amore lebih sibuk dari biasanya. Sebagai sebuah galeri seni di mana pameran para seniman ternama memamerkan karya mereka. Biasanya galeri itu hanya akan sibuk di hari-hari persiapan atau penutupan pameran. Masalahnya adalah galeri ini baru saja menyelesaikan projek pameran seorang seniman beberapa hari lalu, dan sedang memasuki masa ‘libur’. Sangat aneh bagaimana sebuah galeri sedang dalam masa ‘libur’ menjadi sedemikian sibuk.
Di tengah-tengah kesibukan para pekerja galeri, seorang pria berdiri tegap. Tak henti memberi masukan perihal tata letak dekorasi galeri atau lukisan yang dirasa kurang benar untuknya. Di dadanya tersemat sebuah pin berbentuk bunga teratai, sama seperti para pekerja lain. Namun, pinnya terbuat dari bahan emas. Menunjukkan bahwa ia adalah orang ‘terpercaya’ bagi pemilik asli galeri tersebut.
“Pak Kevin!”
Panggilan itu membuat sang pria menoleh, tersenyum hangat kala menyadari yang memanggil adalah sang sekretaris yang menemaninya selama satu tahun ini. “Halo, Mbak Elisa.” Menyadari ada yang berbeda dari perempuan itu, tanpa bisa dicegah Kevin tersenyum. “Mbak potong rambut?”
Ditanyai seperti itu, refleks Elisa memegangi ujung rambutnya seraya tertawa kecil. “Haha, iya. Ganti suasana?” balas Elisa memegangi rambutnya yang dipotong bob pendek sebatas leher. “Atasan saya akan memulai awal yang baru, jadi saya juga merasa harus memberikan kesan baru selama mendampinginya.”
Tau kalau atasan yang dimaksudkan Elisa bukanlah dirinya, Kevin mengangguk mengerti. Bagaimana pun, mereka berdua adalah orang yang mengabdi pada satu orang yang sama. Rasa tanggung jawab dan pengabdian itu muncul bukan serta merta karena yang mereka layani berasal dari keluarga yang paling disegani dalam strata sosial mereka. Melainkan murni dari rasa hormat yang timbul pada perempuan tersebut. Terbukti dari pin beraksen sama yang tersemat di d**a mereka.
“Menurut Mbak, Adelia akan suka sama hadiah sambutan ku nggak ya?”
Tatapan Elisa lantas teralih pada lukisan baru yang terpajang di lorong utama. Lukisan yang menyambut para pengunjung di detik pertama mereka memasuki area galeri. Sebuah lukisan baru yang berdampingan dengan lukisan sang pendiri, Nuria, mendiang istri Heri Padmana. Lukisan cat minyak yang menunjukkan potret Nuria dan Adelia. Sebuah pemandangan yang jelas terasa hangat namun juga janggal. Mengingat kedua perempuan itu tidak pernah bertemu karena lebih dulu terpisahkan oleh kematian.
Sebuah lukisan yang dibuat selama berbulan-bulan dengan penuh ketelitian, untuk dipersembahkan sebagai hadiah kembalinya Adelia ke tanah air meski saat itu ia belum tau kapan sang puan akan kembali. Dibawa langsung oleh Kevin sendiri.
“Pasti suka, Pak.” Elisa menghela napas. “Tapi saya masih nggak setuju kenapa Adelia bersikeras langsung mengunjungi galeri ini tepat setelah perjalanan panjangnya. Bukannya seharusnya dia pulang aja?”
Sudut bibir Kevin terangkat membentuk senyuman. “Bagaimana pun, Adelia pergi tanpa sempat mengunjungi tempat ini. Wajar saja kalau dia kangen kan Mbak?”
Atensi keduanya teralih kala ponsel masing-masing berdering di waktu yang bersamaan. Mereka bertukar pandang sesaat sebelum sama-sama menjauh ke sisi berbeda. Membuka pesan yang berasal dari orang berbeda.
Pak Andri: Saya dan Adelia baru mendarat. Kami akan ke galeri setelah makan siang.
Membaca itu senyum Elisa kembali merekah. Berbunga-bunga dan senang bukan main karena sebentar lagi akan bertemu dengan Adelia. Ia sangat merindukan bekerja di bawah perempuan itu, dan penasaran sudah sejauh apa Adelia memulihkan diri. Perasaan senang yang membuncah di d**a, membuat Elisa memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku dalam blazer lantas kembali membantu Kevin dalam membenahi area galeri. Jelas ingin menunjukkan kepada Adelia bahwa galeri yang ditinggalkannya masih beroperasi dengan sangat baik.
Sementara itu Kevin dibuat terdiam membaca pesan yang baru saja ia terima. Berasal dari sebaris angka tak dikenal, namun intuisinya tau betul siapa pengirim pesan tersebut. Orang yang sama menitipkan lukisan baru untuk menyambut Adelia hari ini. Pria itu memejamkan mata, merasakan konflik batin untuk membalas pesan tersebut. Bagaimana pun ia telah menjadi bagian orang terpercaya keluarga Padma, itu berarti kesetian dan dedikasinya ditunjukkan pada anggota keluarga itu seorang. Namun di satu sisi, pengirim pesan itu adalah orang yang ia hutang budi hingga kapanpun. Kevin menghela napas, menyakinkan diri bahwa ini akan jadi kali pterakhir ia menanggapi pesan tersebut.
Kevin: Hari ini Adelia juga pulang dan akan mengunjungi galeri.
Kevin: Maaf, hanya itu informasi yang aku bisa kasih ke Mas.
***
Jakarta tidak terlalu terik ketika Adelia dan Andri tiba di tanah air. Setelah mengurusi banyak sekali berkas-berkas, mengingat barang bawaan mereka terbilang cukup banyak. Andri langsung menariknya menuju sebuah restoran langganan keluarga. Memaksa Adelia untuk melahap makan siang terlebih dahulu sebelum berkunjung ke galeri, sambil menyerahkan ponsel terbaru untuknya. Katanya titipan dari Alex yang tau benar, bahwa ponsel Adelia rusak di hari perempuan itu tiba di Zurich.
Jalanan Jakarta selepas jam makan siang, bisa terbilang cukup padat. Di beberapa titik, mobil yang membawa Adelia dan Andri terhenti karena kemacetan yang ada. Melihat itu, Adelia hanya bisa tersenyum. Jakarta dan macetnya membuat ia tersadar bahwa dia telah benar-benar kembali.
Ketika mobil tersebut akhirnya tiba di galeri Serenade d’Amore, Adelia tidak bisa menampik seberapa gugup ia. Saking gugupnya, ia tanpa sadar mencengkram tangan Andri cukup erat. Sadar bahwa adiknya sedang gelisah, Andri menoleh menatap tangannya yang dicengkram begitu kuat. Sebelum mulai mengaduh, sukses menyadarkan Adelia dari lamunan dan melepas cengkraman tangannya.
“Maaf Mas!” ujar Adelia tampak panik, kala sadar cengkramannya barusan meninggalkan bekas cengkraman di lengan sang kakak. Andri hanya terkekeh, menyentil pelan dahi sang adik sebagai tanda bahwa ia tidak marah akan tindakan adiknya barusan. Bertepatan dengan pintu mobil di samping Adelia telah dibukakan oleh Rafi yang entah sejak kapan sudah turun.
Adelia menarik napas dalam, meyakinkan diri sebelum perlahan menggerakkan kakinya untuk keluar dari dalam mobil. Ia sempat mengernyit akan rasa nyeri yang sedikit terasa, namun menyadari kalau Andri melihat ia kesakitan sedikit akan langsung memaksanya berhenti berjalan. Dengan cepat ekspresinya berubah lebih tenang.
Ketika Adelia keluar dari dalam mobil, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum lebar. Bagaimana tidak, di hadapannya tampak barisan para manajer galeri dengan Kevin dan Elisa di baris terdepan. Kedua orang itu tersenyum, terlebih Elisa tampak memeluk sebuah buket bunga kecil dengan ekspresi riang.
“Ha-“
“Selamat datang kembali, Bu Adelia.”
Seruan itu disampaikan dengan kompak. Mata Adelia mengerjap sesaat, sebelum tersenyum lebar. Menerima buket bunga yang diulurkan Elisa, tampak sekali tidak menyangka akan disambut oleh para pekerja galeri. “Terima kasih ucapannya. Saya harap kalian semua sehat selama saya tidak ada di tempat ya.”
“Tenang aja bu, berkat Pak Kevin galeri kita terus mengalami keuntungan besar.”
Sahutan itu datang dari salah satu manajer keuangan galerinya, tampak tidak sabar memamerkan seberapa banyak Serenade d’Amore berkembang selama absensinya. Adelia tersenyum, lantas menatap Kevin yang langsung paham arti dari tatapan itu.
“Saya mau mendengar apa saja yang saya lewatkan bersama Pak Kevin dan Bu Elisa. Untuk yang lain silahkan kembali bekerja.” Adelia lantas menoleh ke arah Rafi. “Mas, tolong pesenin makanan dan minuman buat seluruh karyawan galeri ya.”
Ucapan itu jelas membuat para manajer tersenyum lebar, siapa yang tidak akan senang mendapat makanan gratis di siang bolong bukan? Apalagi itu diberikan oleh direktur galeri yang selama ini mereka rindukan. Tak butuh waktu lama sampai para manajer itu membubarkan diri, kembali ke ruangan masing-masing. Tak sabar memberitahu staff yang lain bahwa hari ini mereka akan ditraktir besar-besaran.
Sementara itu, Kevin dan Elisa bergegas menemani Adelia menuju ruangan direktur. Entah kenapa keduanya bersikeras agar Adelia berjalan lebih dahulu. Beralasan bahwa tidak mungkin Adelia sudah lupa dimana letak ruangan tersebut, terlebih Kevin langsung menyorongkan kartu akses utama yang selama ini dipegang olehnya.
Langkah Adelia lantas terhenti, terusik akan pemandangan asing di dinding lorong utama. Sesuatu yang hanya ia pandang dari sudut mata. Perempuan itu terdiam, menoleh dan tidak bisa menampik betapa ia tersentak akan apa yang ia pandang saat ini. Berdampingan dengan potret Nuria, sang ibu, terdapat lukisan cat minyak yang tampak begitu nyata. Lukisan yang menampilkan sosok sang ibu duduk di sebuah kursi, dengan dirinya memeluk sang ibu dari belakang.
Pemandangan yang jelas menyentuh, terutama bagi siapapun yang tau bahwa pada dasarnya hingga akhir hayatnya Nuria bahkan tidak sempat memeluk sang anak yang baru ia lahirkan. Bukan hanya Adelia yang terpaku, Andri yang menghabiskan masa kecil yang cukup singkat dengan Nuria. Membuat ingatan akan paras sang ibu tidak begitu jelas. Lukisan itu jelas membangkitkan kembali memori-memori yang terkubur begitu dalam di dalam kepalanya.
“Ini….”
“Saya yang bawa lukisan ini.” Kevin menyahut lebih dulu. Sukses menyita perhatian kedua bersaudara itu. “Ini hadiah saya untuk Anda.”
Adelia terdiam sesaat, sebelum sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman kecil. “Wah, padahal aku sengaja kembali dengan pemberitahuan yang singkat. Tapi sambutannya aja semeriah ini ya.” Perempuan itu lantas memandang Kevin. “Terima kasih ya Kak.”
“Sama-sama, kalau begitu-“
“Seingatku aliran lukisan Kak Kevin lebih ke Fauvisme.” Kevin dibuat terdiam mendengar ucapan Adelia. Entah kenapa mulai merasa gugup. Perempuan yang lebih muda darinya itu terdiam sebentar sebelum menatap Kevin teramat tenang.
“Aku nggak tau kalau Kakak ngelukis aliran naturalisme juga. Jujur aja Kak, ini bukan lukisanmu kan?”
Hening melanda, Andri ikut menatap Kevin dengan tatapan penuh penasaran. Benar juga, Kevin tadi hanya bilang bahwa dialah yang membawa lukisan ini. Namun tidak ada pernyataan apapun kalau pria itulah yang membuat karya menghangatkan hati di depan mereka sekarang. Kevin menghela napas, lantas tersenyum tipis. "Anda tau?"
"Setiap orang memiliki gaya melukisnya sendiri." Lukisan itu kembali Adelia pandangi lekat-lekat. "Walau hanya melihat beberapa, aku bisa tau siapa yang buat lukisan ini."
Baik Andri, Rafi atau bahkan Elisa mengernyitkan dahi. Tidak begitu memahami siapa orang yang sedang kedua orang itu bicarakan. Sampai sebuah nama tersebut, dan mereka baru sadar apa yang terjadi.
"Sampaikan pada Fira, aku suka sekali dengan lukisannya."