Lukisan yang dibawa oleh Kevin pada dasarnya bukanlah karyanya sendiri ataupun sang kakak. 4 bulan lalu, tepat beberapa hari setelah ia diberi tahu bahwa operasi terakhir Adelia berhasil dilaksanakan. Lukisan itu tiba di studio keluarganya, asal usulnya tak jelas kecuali sepucuk surat berisikan satu kalimat.
‘Ku serahkan sisanya padamu. Tertanda, D.’
Kevin tidak bodoh. Sebaris pesan dan inisal nama tersebut, cukup membuatnya tau siapa pengirim lukisan tersebut. Siapa lagi kalau bukan nama orang yang mendadak hilang ditelan bumi. Meninggalkan Serenade d’Amore dan Padma tanpa penjelasan. Setidaknya itulah yang Kevin tau.
Awalnya ia tidak berniat memboyong lukisan itu ke galeri. Namun, bagaimana pun ia berhutang budi kepada sang pengirim. Itulah kenapa, ia memutuskan untuk membiarkan lukisan indah itu terpajang di dinding utama galeri. Berharap bahwa ketika Adelia kembali, perempuan itu akan merasa senang alih-alih curiga.
Tatapan Adelia memang pada dasarnya tenang dan tidak menuduh. Hanya saja, entah kenapa Kevin bisa merasakan tenggorokannya mendadak mengering. Menjadi gugup kala sadar bahwa Adelia bisa mengetahui dengan cepat bahwa lukisan ini tidak berasal dari tangannya maupun tangan sang kakak. Lukisan itu memang dikirim oleh Dikta, namun jelas sekali bukan pria itulah yang melukis. Goresan dan permainan warna yang ada, menunjukkan jelas bahwa ini adalah karya adik laki-laki pria itu. Fira.
Kevin kira Adelia akan meminta untuk menurunkan lukisan tersebut, mengingat sentimen yang ia miliki terhadap keluarga Natawirya belakangan ini. Namun sepertinya kemarahan dan kekecewaan yang dimiliki Adelia hanya berakar pada satu individu dari keluarga itu saja. Sepertinya tidak mengatakan bahwa yang mengirimkan lukisan adalah Dikta, menjadi pilihan terbaik untuk saat ini.
Setelahnya Adelia kembali berjalan, menuju ruang kerja direktur. Langkahnya sempat terhenti di ambang pintu, melirik sekilas ke arah pintu ruangan yang berhadapan dengan ruang direktur. Apalagi kalau bukan ruangan kurator seni. Entah kenapa mulai teringat bagaimana seseorang keluar masuk dari ruangan itu, hanya untuk membawa berkas-berkasnya ke ruangannya. Membuat ruangan direktur yang sudah tampak sesak oleh tumpukan berkas menjadi semakin menyesakkan karena berkas-berkas orang itu.
Tanpa sadar tangan Adelia mulai mengepal. Merasa tak senang akan perasaan rindu dan kecewa bercampur aduk di dalam hatinya. Ia menghela napas, lantas mulai masuk ke dalam ruangan direktur.
Tidak banyak hal berubah di dalam ruangan direktur galeri tersebut. Meski penghuninya berganti, susunan barang-barang di ruangan itu tidak banyak berubah. Hanya deretan vas berisi bunga yang kerap ia isi, kini berganti dengan deretan patung-patung unik yang terbuat dari bahan beraneka ragam. Perunggu, perak, kayu hingga tanah liat. Persis dengan selera Kevin.
“Tempat ini sengaja tidak saya ubah.” Ucapan Kevin barusan membuat Adelia menoleh. “Saya tidak minum kopi tapi mesin kopi kamu, saya rawat dengan sangat baik. Untuk lemari pendinginnya, ya mungkin isinya akan sedikit berbeda? Lebih banyak soda yang mengisi?”
“Dan alkohol.”
Seolah merasa terkhianati, Kevin tersentak. Memandang tak berkedip Elisa yang baru saja membongkar rahasianya. Adelia tanpa bisa menahan diri, mulai terkekeh. “Nggak masalah Kak Kevin, aku sadar kok kalau kerjaan di galeri ini bisa cukup melelahkan. Oh dan tolong berhenti berbicara terlalu formal. Hanya ada kita di sini sekarang.”
Langkah Adelia lantas mulai mendekat ke meja utama di ruangan tersebut. Menatap plakat nama yang terletak di atas meja. Entah kenapa tidak merasakan perasaan apapun melihat plakat itu tidak tertera namanya sebagai direktur galeri. “Melihat kondisi galeri saat ini, sepertinya aku sudah menemukan pengganti yang tepat.”
Ucapan Adelia barusan jelas membuat Elisa dan Kevin sama-sama mengernyitkan dahi. Tidak paham kemana pembicaraan ini mengarah. Adelia, lantas berbalik. Menyandarkan tubuhnya ke tepian meja, dengan kedua tangan bertumpu di sana. “Aku tidak akan mengurus galeri ini lagi.”
Pernyataan tersebut jelas membuat Elisa dan Kevin tersentak. Tidak menyangka bahwa akhirnya Adelia sungguh melepaskan posisinya di galeri yang menjadi simbol kasih sayang keluarganya itu. Elisa adalah orang yang paling terkejut. Bagaimanapun ia adalah asisten pribadi dan tangan kanan yang ditunjuk untuk Adelia. Namun, ia bahkan tidak tau akan keputusan ini.
Melihat wajah Elisa dan Kevin yang berubah pucat. Adelia baru sadar bahwa ia sepertinya salah menyusun kalimat. “Sebentar. Maksudku bukannya aku benar-benar meninggalkan lingkungan kalangan kelas atas dan tidak mengambil bagian dalam apa yang sedang Padma lakukan saat ini. Cuman, aku butuh batu loncatan yang lebih kokoh dari galeri ini. Kalian lebih tau kondisi sosial di sini, dan sudah tau seperti apa citra keluarga Padma di mata orang-orang bukan?”
Baik Elisa maupun Kevin hanya bisa mengangguk. Jelas tidak enak jika berterus terang mengatakan bahwa semenjak Adelia pergi, citra Padma di lingkungan sosial sedikit memburuk. Selain tingkat partisipasi publik mereka yang berkurang, ada banyak sekali rumor yang menyebar tanpa kebenaran yang pasti. Sehingga walaupun rumor itu tidak masuk akal, semakin banyak orang membicarakannya. Maka rumor-rumor itu akan terasa seperti kebenaran. Pelakunya sudah jelas siapa.
“Selain itu aku sudah berjanji. Setelah kondisiku pulih, aku akan bantu pekerjaan Mas Andri.” Tatapan Adelia kini tertuju pada Kevin. “Kak Kevin sudah menunjukkan hasil yang memuaskan. Jadi keluargaku setuju untuk pertahanin kakak di posisi direktur galeri. Itupun kalau Kak Kevin tidak keberatan.”
Kevin cepat-cepat menjawab. “Tidak. Saya tidak keberatan Adelia. Sebuah kehormatan saya diberikan kepercayaan sebesar ini oleh keluarga Padma.”
Kini tatapan itu beralih pada Elisa. “Dan aku minta maaf Kak El.”
“Kenapa minta maaf Adelia?” tanya Elisa tidak mengerti kenapa Nona mudanya itu mendadak meminta maaf.
“Sebab berbeda dari Kak Kevin yang punya pilihan.” Kalimat Adelia sengaja dibuat menggantung. “Aku nggak bisa kasih pilihan ke kamu. Suka nggak suka, kamu harus ikut aku Kak El. Aku butuh kamu dan Mas Rafi di sisiku.”
Terdiam. Elisa mengerjapkan mata, wajahnya yang semula panik kini tampak sedikit lega. “Bahkan kalau kamu kasih aku pilihan. Aku akan pilih untuk ikutin kamu Adelia.”
Adelia terkekeh. “Kalau begitu mohon bantuannya ya.”
“Berarti kamu akan urus apa Adelia?” tanya Kevin tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
Tak ada jawaban Adelia hanya tersenyum simpul.
***
Lantai di mana Heri Padmana di rawat memang sengaja dikosongkan. Membuat lantai itu menjadi tempat paling eksklusif di gedung rawat inap mewah berlantai 5 tersebut. Siapa pun yang hendak mengakses lantai tersebut harus memiliki izin atau setidaknya sudah dikonfirmasi kehadirannya oleh asisten pribadi pria tersebut, Bakti.
Seperti saat ini, Bakti baru saja kembali dari toilet ketika ponselnya mendadak berdering. Bukan ponsel khusus untuk pekerjaan melainkan ponsel yang diperuntukan untuk keperluan pribadi. Pria itu menelan ludah, mendapati ada sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Ia membaca pesan itu dengan seksama, sebelum menghela napas. Memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celana, sebelum berjalan semakin cepat menuju kamar di mana tuan besarnya itu dirawat.
Ketika Bakti membuka pintu geser tersebut. Tak ia dapati Arkana maupun Andre di dalam sana. Dua pria yang bergantian menjaga ayah mereka tersebut, untuk pertama kali absen dari tempat mereka biasa menunggu yaitu kursi di sebelah ranjang Heri. Entah sambil bertukar cerita dengan sang ayah atau sedang mengupaskan buah sebagai cemilan pria tersebut.
“Andre bilang ada urusan mendadak.” Seolah menyadari tatapan kebingungan dari tangan kanannya itu, Heri berucap tenang. “Selain itu Arkana masih kejebak macet, jadi dia akan terlambat tiba di sini.”
“Tuan.”
Menyadari nada bicara Bakti yang terdengar berbeda, Heri mengalihkan atensinya dari layar televisi. Menatap tangan kanannya itu tenang. “Julian?”
“Putranya.”
Ucapan Bakti barusan, sukses membuat Heri melebarkan mata. Tidak percaya bahwa kembalinya pria itu bersamaan dengan saat putrinya kembali ke sini. “Dia sudah disini?”
“Ia menunggu kita mengizinkan-“
“Papa.”
Ucapan Bakti terhenti, bersamaan dengan pintu digeser terbuka. Menampilkan sosok yang seharian ini ia tunggu kedatangannya. Ekspresi Heri melembut, pria itu tampak tertegun kala melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa kesembuhan si bungsu bukan sekedar kabar yang dibuat untuk menyenangkan hatinya saja.
Putrinya itu telah kembali. Adelia kembali dengan kedua kaki yang telah kembali kuat untuk berdiri.
***
“Jadi kamu sudah sembuh total nak?”
Pertanyaan sang ayah sukses membuat Adelia otomatis menolehkan kepala ke arah Andri. Pria yang sedang asyik melahap kue kering hasil ‘rampasan’ dari pemberian kolega sang ayah yang menjenguk bergegas berdeham. “Belum Pah, Adelia masih suka rasain sakit di bekas operasinya kalau udah terlalu lama berdiri atau jalan. Jadi aku minta Rafi untuk siaga bawa tongkatnya si Adelia setiap pergi kemana-mana. Dan usahain adek nggak dalam keadaan berdiri terlalu lama.”
Heri mengangguk, lantas mengelus puncak kepala Adelia. “Maaf ya karena keadaan di sini buat kamu mau nggak mau harus pulang sebelum sembuh total.”
Kata Profesor Reto, untuk penyembuhan total akan butuh waktu bertahun-tahun Pah. Semakin banyak aku berjalan maka ketahanan kakiku juga akan semakin meningkat. Jadi memang terapi terbaik itu dengan aku semakin banyak berjalan. Nggak perlu merasa bersalah karena harus minta aku pulang. Lagipula sebelum Kak Alex hubungin aku sama Mas Andri, kita berdua memang udah ada rencana untuk pulang lebih cepat.”
Sudut bibir Heri terangkat membentuk senyum tipis, putrinya itu sangat mirip sekali dengan mendiang sang istri. Baik paras maupun kepribadian, itulah kenapa jika berhadapan dengannya seperti ada sesuatu yang meremas hati Heri. Pemikiran bahwa semua ini terjadi karena kegagalannya dalam mencurahkan kasih sayang kepada putrinya tersebut kembali bermunculan. Adelia tidak akan membuang segala kehidupannya sebagai bagian dari keluarga Padma dengan begitu mudahnya demi cinta pria tidak jelas itu. Kalau saja si bungsu merasa cukup akan segala kasih sayang yang ia dapatkan di rumah.
Apa yang terjadi selama ini, bukanlah karena Adelia yang membuat keputusan bodoh. Melainkan karena ia yang gagal mempertahankan putrinya untuk tetap tinggal.
Seolah sadar apa yang ada di dalam pikiran ayahnya itu. Adelia meletakkan kembali piring dan jeruk yang setengah terkupas di pangkuannya kembali ke atas nakas. Lantas mencondongkan badan untuk memeluk ayahnya itu teramat erat. Tidak ada kalimat apapun yang terucap. Hanya bagaimana perempuan itu mencengkram erat bagian belakang pakaian sang ayah. Menunjukkan seberapa cemas ia kalau pria itu diambil dari sisinya.
“Pah, maaf karena Adelia selalu bikin Papa khawatir. Mulai sekarang Adelia nggak akan ulangin itu. Jadi Papa tolong jaga kesehatan ya.”
Hidup yang lama Pah, untuk Adek.”