Tujuh

1486 Kata
Natawirya tidak terbentuk karena adanya ikatan darah. Keluarga itu sesungguhnya kumpulan orang-orang yang semulanya terbuang dari masyarakat, baik secara ekonomi maupun sosial. Perasaan dikucilkan dan diremehkan itulah yang menjadi dasar bagi orang-orang itu berkumpul dan membentuk ikatan kuat selayaknya keluarga dengan sebuah nama Natawirya. Pemimpin pertama keluarga Natawirya dikenal sebagai pria dingin nan ambisius. Pria itu tidak segan-segan memainkan nyawa jika itu berarti ia bisa melenggang menuju tujuan utamanya. Berkat keahlian pria itu dalam mengakali para petugas, sedikit demi sedikit keuntungan yang di dapat dari ‘projek’ kecil-kecilannya berubah menjadi gunungan harta yang membuat siapapun jelas tergiur. Termasuk para keluarga kalangan atas yang akhirnya melirik keberadaan Natawirya yang sebelumnya hanya dianggap kelompok orang-orang tidak bernilai. Oleh itulah, di awal-awal masa berdirinya keluarga Natawirya. Mereka lebih sering sebagai pihak yang ‘diserang’ alih-alih menyerang. Keluarga kalangan atas dan para pejabat yang serakah, selalu mencari celah untuk menjatuhkan kekuasaan yang perlahan menguasai perdagangan gelap saat itu. Alasannya apalagi kalau bukan untuk mengambil alih apa yang telah dibangun oleh mereka. Sayangnya alih-alih mengambil alih, keluarga-keluarga itu satu persatu tumbang dan hancur. Dan sejak itulah, keluarga kalangan atas sepakat untuk membiarkan Natawirya hidup dan dianggap setara seperti mereka. Sayangnya walaupun pemimpin pertama keluarga Natawirya begitu disegani dan ditakuti kala itu. Pria itu suka tidak suka harus menghadapi masalah baru yang mengancam keberlangsungan Natawirya saat itu. Dan selayaknya permasalahan umum dari seorang penguasa tanpa penerus, masalah itu adalah siapa yang akan meneruskan kursi kepemimpinannya ketika pria itu tiada. Semua orang mulai bertanya-tanya, semua orang mulai mengawasi. Hingga suatu hari, pria itu membawa pulang seorang anak jalanan. Anak berpakaian lusuh dan kurus kering. Seorang anak yang bahkan tidak memiliki nama dan hanya dipanggil si copet bule oleh warga pasar di mana anak itu biasanya berkeliaran. Pria yang hingga hari ini akhirnya dikenal sebagai Julian Natawirya. "Yah?" Panggilan itu membangunkan Julian dari mimpi singkatnya. Ia menoleh, mendapati Dikta sudah berdiri di depan pintu mobil tepat di sebelahnya. Baru menyadari bahwa mereka telah tiba di pelataran parkir rumah sakit milik keluarga Padma. Kabar bahwa Heri Padmana belum kembali dari rumah sakit, baru sampai di telinga mereka. Itulah kenapa di tengah-tengah perjalanan mereka memutuskan untuk singgah dan menjenguk pria itu. Lagipula Dikta juga memiliki urusan penting dengan pria itu. "Oh, kita sudah sampai?" tanya Julian seraya melepas sabuk pengaman dan bersiap untuk keluar. Namun, anaknya itu justru menundukkan badan dan sedikit bersandar pada jendela mobil yang terbuka. "Ada Adelia dan Andri di dalam. Kita di minta untuk menunggu." Pria itu lantas melirik ke arah Fira yang kini sudah berpindah mobil dan duduk di sebelah sang ayah. "Kalian duluan saja. Aku dengar para tetua keluarga Padma bukan orang yang cukup sabar soal menunggu seseorang." "Adelia?" Fira mengernyitkan dahi. "Padahal Mas Alex bilang kalau dia akan ada di galeri seharian ini. Itulah kenapa pertemuan kita dengan tetua Padma dimajuin kan?" "Mungkin dia sudah terlalu khawatir akan kondisi Heri." Julian menghela napas, lantas menatap putranya tenang. "Baiklah kalau gitu, kami akan pergi lebih dulu. Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak hadir keputusan apapun yang keluar dari pertemuan ini. Kamu tidak bisa menolaknya." Dikta terkekeh. "Baik Yah, aku mengerti." Berbeda dengan Fira yang sepertinya masih tidak paham akan apa tujuan dari pertemuan mereka dengan keluarga Padma kali ini. Baik Julian maupun Dikta sama-sama sudah menduga apa yang akan dibicarakan. Terlebih pertemuan ini melibatkan para tetua keluarga besar itu yang dikenal sebagai pembuat keputusan tertinggi ketika Heri Padmana sedang tidak bisa bertanggung jawab. Tak butuh waktu lama sampai mobil milik Heri Padmana kembali melaju meninggalkan pelataran parkir tersebut. Sementara itu, Dikta memutuskan kembali ke dalam mobil. Kembali berkutat dengan dokumen-dokumen bisnis yang tiada habisnya untuk ia baca. Seolah tersadar sesuatu, Dikta merogoh dompetnya dan menyerahkannya pada Daren yang duduk di kursi penumpang depan. "Daren, ajak yang lain makan di luar sekarang." Dahi asisten pribadinya itu mengernyit. "Ya Tuan Muda?" Dikta berdecak, masih tidak senang setiap kali Dikta memanggilnya demikian. "Di sebelah rumah sakit ada restoran, bawa anak-anak ke sana buat makan. Kita akan menunggu lama di sini. Kamu juga belum makan kan?" "Lalu siapa yang akan menjaga anda di sini?" Sang tuan muda tidak menjawab, memilih kembali menyandarkan punggung ke kursi seraya membolak-balik kertas di tangan. "Saya belum lapar." "Kalau begitu saya-" "Daren." Nada bicara Dikta terdengar dingin, dan jelas sekali penuh peringatan. Tau bahwa dia tidak bisa menyanggah lebih jauh. Pria itu mengangguk patuh, dan bergegas keluar dari mobil. "Kalau begitu saya akan membawakan anda boba milk tea dan roti coklat nanti." Mendengar itu, Dikta terdiam sesaat sebelum ia mulai tertawa geli. Benar, ia terlalu sibuk bepergian dan hanya mengandalkan secangkir kopi agar terus terjaga tiap malamnya. Tidak menyangka Daren masih mengingat jelas preferensi minuman manis yang kerap ia pilih selama ini. Pelataran rumah sakit di sore hari masih tampak ramai. Setiap ada slot parkiran yang kosong, maka slot itu akan diisi dengan cepat oleh pengunjung lainnya. Dikta menghela napas, memejamkan mata karena rasa pening yang kini terasa. Meski sudah terbiasa bepergian dari negara ke negara yang memiliki perbedaan waktu jauh berbeda. Tetap saja Dikta belum terbiasa akan jetlag yang melanda. Ketukan di jendela mobil, membuat Dikta membuka mata. Melirik ke arah sosok yang dengan santainya bersandar di mobil. Tampak acuh tak acuh. Tangan Dikta bergerak menurunkan kaca jendela, di saat sosok itu merogoh saku celana. Menyalakan rokok yang tampak ia hisap dalam-dalam. "Kenapa nggak masuk?" Dikta terdiam cukup lama, sebelum terkekeh. "Dengan adanya Adelia di dalam, menurut lo dia nggak akan murka kalau lihat gue?" Andri tersenyum tipis, lantas menyodorkan bungkus rokok di tangannya ke pria itu. Sesuatu yang dengan cepat di tolak oleh Dikta. "Bukannya lo nggak ngerokok ya? Sejak kapan?" "Sejak tinggal di Zurich," balas Andri tenang. "Menjadi seorang caregiver bukan suatu hal yang mudah. Ada banyak hal yang gue tahan untuk diomongin, biar Adelia nggak kehilangan semangat buat sembuh." Hening melanda keduanya. Hanya ada sayup-sayup deru mesin kendaraan yang silih berganti melewati mereka. Andri melirik Dikta dari sudut matanya. "Lo nggak mau nanya soal keadaan dia?" "Gue..." "Oh iya, lo udah liat kondisi dia secara langsung kan waktu di Zurich." Andri tertawa kecil. "Lo pikir gue nggak akan tau lo bersekongkol sama Kak Alex buat biarin Adelia keluar dari mansion lewat Rafi?" "I know you know (Aku tau kamu tau)." Dikta ikut terkekeh. "Terima kasih juga karena lo memilih tutup mata dan membiarkan itu." "Gue tipikal adik yang sangat menghormati keputusan kakaknya. Kalau Kak Alex izinin, gue nggak akan nolak." Rokok yang ada di tangan, Andri jatuhkan ke tanah dan menginjaknya hingga api tidak padam. Pria itu lantas berbalik. Menatap serius Dikta dengan kedua tangan di saku celana. "Jadi? Adik lo bakal beneran nikah sama Kak Alex?" *** Walaupun Adelia ingin sekali tinggal lebih lama di rumah sakit, Heri menentang itu. Bagaimanapun kedua anaknya tersebut baru saja melakukan perjalanan panjang nan melelahkan. Terlebih pria itu juga tau, bahwa besok Adelia sudah dihadapkan dengan banyak sekali hal. Pertemuan demi pertemuan, dan belum lagi para tetua yang meminta untuk dikunjungi sebelum mereka memberi perintah secara ‘resmi’ di mana Adelia akan diletakkan dalam jajaran penggerak bisnis keluarga mereka. Sesuatu yang sebenarnya sudah diberi tau lebih dahulu beberapa minggu sebelum Adelia dan Andri benar-benar bertolak kembali ke tanah air. “Terima kasih karena sudah menjaga Papa selama ini, Pak Bakti.” Tepat di depan pintu lift yang masih tertutup. Adelia dan Andri sama-sama membungkuk, memberi hormat. Sikap yang jelas membuat Bakti gelagapan sendiri. Bagaimana pun, walau kedua orang di depannya jauh lebih muda darinya. Mereka tetaplah bagian dari keluarga tempatnya mengabdi selama berpuluh-puluh tahun. Tidak bahkan sejak ia pertama kali dilahirkan ke dunia ini, secara keluarga Bakti termasuk dari orang-orang yang telah mengabdi pada keluarga Padma sejak generasi pertama. “Tolong jangan seperti ini Andri, Adelia.” Bakti cepat-cepat menyahut, mencegah kedua orang tersebut menunduk semakin dalam. “Ini sudah menjadi tugas saya. Selain karena saya mengabdi pada keluarga ini sejak la ma. Bagi saya Heri bukan sekedar tuan melainkan keluarga saya. Saudara saya, sebab kami berdua dalam beberapa hal diajarkan oleh satu orang yang sama.” Tanpa dijelaskan lebih lanjut, dua kakak-beradik tersebut sudah paham maksud kalimat Bakti. Sebelum pria itu menjadi tangan kanan sang ayah, Heri Padmana dulu didampingi oleh ayah dari Pak Bakti. Tangan kanan dari kakeknya dulu. Pria yang dingin nan kaku itu, bahkan terus memberikan nasehat dan arahan hingga akhir hayatnya. Sungguh-sungguh memastikan bahwa ketika ia meninggalkan dunia ini, segala pengalaman dan ilmu yang ia miliki sudah diwariskan kepada Bakti dan Heri. “Kalau begitu kita pulang dulu ya Pak, katanya Andre bakal balik lagi kesini sebentar lagi,” pamit Andri bersamaan dengan suara pintu lift terbuka terdengar. Keduanya mengembangkan senyum, lantas bersamaan melambaikan tangan sebagai bentuk berpamitan. Ketika pintu lift tersebut tertutup. Seolah sudah direncanakan oleh takdir, pintu lift lainnya yang berada tepat di sebelah lift tersebut terbuka. Menunjukkan dua sosok yang sudah Bakti tunggu kehadirannya. Ekspresi Bakti yang semula ramah dan bersahaja kembali berubah datar. Seperti biasanya. “Selamat datang Pak Dikta, mari saya antar ke ruangan Bapak.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN