Wajah itu...

2018 Kata
Tidak semua apa yang kita inginkan, berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Itulah yang sedang di alami oleh diriku saat ini. Disaat ekspekstasiku yang berharap pada awal mengajar ini aku mendapatkan tingkah anak murid yang seperti malaikat, nyatanya aku langsung mendapat titisan dedemit di awal hari pertama mengajar. Dengan tidak sopannya, manusia dedemit bernama Gerald, masuk dan membuka pintu secara paksa. dan terjadilah suara benturan yang sangat keras. Aku langsung berlonjak kaget. Semua yang ada di dalam kelas pun mengalami hal yang sama. Kebetulan pintu kelas aku masuk sengaja di tutup biar tidak kedengaran seandainya murid-muridku berisik, dan kedengaran oleh rekan-rekan guru yang lain. Maklum sebagai guru baru harus menjaga image-ku. Yang membuatku menelan ludah, bukan kelakukan kurang ajarnya. Tapi, wajahnya. Wajah yang hadir, dalam setiap khayalanku. Bule! Ya, anak orang yang 'tidak sopan' ini berwajah bule. Gile! Antara, mempertahankan image guru, atau mengejar masa depan bule. Aku yakin, bule ini punya abang. Dengan begitu, ia bisa menjadi adik iparku. Tubuhnya begitu tinggi, dan badannya begitu pas. Rambutnya begitu tebal, rambut dengan warna coklat tembaga. Ingin rasanya, aku meremas rambut itu. Astaga! Aku menggeleng. Hidungnya begitu mancung. Ini, wajah yang ku impikan. Bule dengan hidung mancung, dan rambut pirang. Apa nih anak bule nyasar? Apa dia bisa berbicara Bahasa Indonesia? Aku takut, Bahasa Inggris milikku, kalah keren dengan bule ini. Aku ingin merengkuh tubuhnya, dan membisikan ke dia bahwa. Dia boleh mengajakku, ke negara asalnya dan ia bisa mencarikanku keluarganya buat menikah dengan salah satu mereka. Ugh... Rara. Please, snap out of it. Melihat wajah, anak bule ini, imaginasi liarku berkelana. Rasanya jiwaku sudah pergi keluar negri. Bolehakah aku langsung tanya, dimana negara asalnya? Aku pun langsung mengumpulkan keberanianku dan berdehem. "Ehem... kamu, yang baru masuk, sini kedepan." Tapi, aku sedang mengajar sekarang. Urusan bule nanti saja. Itu masalah pribadi. Siapa tahu, aku bisa akrab dengan bule ini, dan ia mengenalkan abangnya padaku. Aku yakin, ia punya abang, yang mungkin seumuran denganku. Astaga, astaga. Aku sudah membanyangkan, seperti wajah anakku. Dengan rambut pirang, dan mata biru. Aku memperhatikan mata bule ini. Matanya berwarna, perpaduan coklat dan hijau. Matanya berwarna hazel. Aku hanyut, melihat mata itu. Tapi, anak bule ini mendekat ke arahku. Dan apesnya, ia lebih tinggi daripadaku. Aku hanya sebatas dadanya. Bahkan, aku cocok jadi adiknya. Dunia memang tidak adil. "Siapa namamu?" Ku perhatikan, penampilannya. Memang acak-acakan, tapi semuanya nampak 'sempurna dimataku.' "Gerald," jawabnya dengan singkat dan santai. Ya, namanya saja bule. Pasti, lahirnya juga diluar negri. Jiwa kepoku, meronta-ronta, ingin tahu dimana negara asalnya. Antara Eropa dan America nih bule. Atau dari Canada? Atau Australia? Sepertinya, ia besar disini. Ia tidak terlihat, aksen bulenya. Bicaranya seperti orang lokal. "Kenapa baru masuk?" "Bukan urusanmu!" Ketusnya. daebak!  baru kali aku di tantang oleh anak kecil, luar biasa saudara-saudara. Aku langsung bertepuk tangan, semua grup kelas terdiam dan menyaksikan drama apa yang tengah dimainkan oleh guru barunya dan titisan dedemit, yang sialnya tampan ini. Aku seperti, berada dengan aktor Hollywood. Entah siapa artis itu, tapi bule ini sangat tampan. "Bagus! mulai sekarang kalau belajar Bahasa Inggris, kamu duduk di depan di samping Miss," si dedemit bule hanya terdiam . "Miss suka dia," itu adalah kata sarkas, buat menyidir dedemit, dia langsung diam menatapku. Si anak bule ini, suka menatap orang lain tanpa berkedip. Sepertinya ia ingin mengintimidasiku. "Ok, kamu boleh duduk, pulang sekolah kamu ada urusan dengan Miss." "Allright everyone, please open your book, our lesson today is about recount text," aku pun mulai memberikan penjelasan, dan di adakan sesi pertanyaan, dan aku pun memberi tugas kepada mereka. Tak terasa bel pun berbunyi. "Kumpulkan tugas kalian," kataku dan semuanya berhamburan kedepan dan mengumpulkan tugasnya masing-masing. Ku perhatikan semuanya, maju ke depan tapi dedemit tak mengumpulkan tugasnya. "Kamu, kenapa tidak mengumpulkan tugasnya?" Bule dedemit pun acuh tak acuh melewatiku dan keluar kelas . Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah anak muridku yang satu ini. Untung saja, bakal adik ipar. Kalau saja, wajahnya jelek sudah ku tendang tadi. "Baiklah, tolong antarkan buku kalian ke ruangan saya." *** Aku pun menuju ruanganku, disana sudah terdapat rekan-rekan guru, aku pun hanya tersenyum. "Rara kan? Ini waktunya istirahat, mau barengan? kita mau sarapan. soalnya belum sarapan, takut keburu telat," kata si cewek yang kulihat name tag-nya bernama, Sheilla Amanda. Aku pun hanya mengangguk, lumayan dapat teman baru di hari pertama kerja. Ini nih, orang dalamnya. Si Sheilla ini, punya pacar dan pacarnya Sheilla ini masih saudaraan dengan Mas Rangga. Intinya, hubungan keluarga yang rumit. Kami pun tiba di kantin, ramai sekali suasana kantin, maklum sedang istirahat, jadi semuanya berkumpul di kantin. Kantin di sekolah ini juga, memberi ruang khusus bagi guru-guru jadi kalau guru-guru yang ingin makan, tidak perlu khawatir akan berdesak-desakan dengan para siswa. Dan disini juga jika ingin memesan makanan kita yang harus mengantre sendiri, karena tidak ada pelayan yang datang menerima pesanan begitu juga dengan minuman.  Aku memperhatikan sekeliling kantin. suasana di kantin ini sangat mendukung buat tempat menyendiri, kantin yang berada di atas. Dan di bawahnya langsung terdapat lapangan basket, jadi kita bisa melihat beberapa anak murid yang bermain basket.  "Mau pesan apa?" Tanya Sheilla, aku pun langsung sadar dari lamunanku. "Samain aja." "Ok." Aku memperhatikan lagi sekeliling , dan----Mataku langsung bertemu dengan mata hazel si bule tadi, meskipun dia jauh tapi aku sudah melihat matanya pada saat dia menatapku di kelas tadi. Ia hanya memperhatikanku dengan datar dan tanpa ekspresi, aku pun tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Lama kami saling menatap tanpa berkedip sekitar 10 detik, dan fyi, menurut penelitian orang yang menatap lebih dari 7 detik ada keiginan untuk membunuh atau ada keinginan untuk seks. Aku pernah membaca ini, apa nih bule dendam padaku gara-gara tadi? Apa ia akan membunuhku? Apa ia, psikopat? Yang menyamar menjadi anak sekolah? Dengan wajahnya, tidak ada yang curiga. Dan ia bebas, memakan korban. Apa aku target selanjutnya? Aku langsung merinding, duh... jangan sampai deh. Aku belum menikah sama bule. Kalau, aku sudah memberi bundaku, cucu bule yang imut, aku boleh dibunuh. "Nih pesanannya,"Sheilla datang dengan membawa dua mangkok soto, ah lezatnya. Aku pun langsung mengalihkan pandanganku, dan menatap semangkok soto itu dengan penuh minat. "Nih,minuman kalian." "Oh ya kenalan dululah, aku Sheilla." "Rara," jawabku singkat. "Udah tahu kok. Tunangan, kamu tuh bilang. Buat, ditemanin. Soalnya, baru pertama kali ngajar." Aku malu terhadap rekanku ini. Mas Rangga berlebihan, seharusnya tidak seperti ini. Nanti, aku dianggap anak kecil dan manja. Walau, memang begitu prakteknya. "Aku Ryan." kata rekan yanga bareng Sheilla tadi. Nah, Ryan ini saudara Mas Rangga. Raina--- kakak Mas Rangga, punya suami--- Raka. Nah, Raka ini sepupunya Ryan. Intinya, keluarga Mas Rangga itu keluarga R. Dan kebetulan namaku juga R. Jadi, kami akan jadi keluarga complete R. Sheilla ini umurnya lebih tua 2 tahun dariku, dan Ryan sendiri berumur 26 tahun. Hadeh, uda jadi obat nyamuk aja pas hari pertama mengajar. Seharusnya, aku tidak menganggu dua orang kasmaran ini. "Sorry ya, serasa jadi obat nyamuk." "Santai aja, malah enakan ada kamu lagi, bosan berdua mulu," kata Sheilla dan kulihat Ryan mendengus sebal. Dan mengalirlah pembicaraan. Sheilla, yang sibuk membicarakan Mas Rangga. Yang begitu bangga, mengenalkanku pada mereka. Aku malu. Mas Rangga terlalu berlebihan, seharuanya Mas Rangga tidak boleh seperti itu. Aku takut, tidak sesuai kelakuanku nanti dengan apa yang dibicarakan Mas Rangga. "Oh ya, btw, tadi lihatin siapa sih, sampai mupeng gitu," hah? Mupeng katanya? "Oh itu, anak-anak yang main basket sama tadi ada di kelasku mengajar ada anak yang rada aneh dan sengak." kataku jujur. "Ah... aku tau pasti si Gerry." gumam Sheilla dengan semangat. "Gerald." ralat Ryan. "Ah iya itu, dia itu cogan, anak orkay. Berandalan katanya, dan satu lagi dia sebenarnya ke sekolah itu hanya sebagai formalitas saja," aku hanya diam mendengarkan. "Dia bule kan? Kok mau sekolah disini?"  "Dia blasteran." Biasa blasteran, akan nampak wajah Indo. Ini seperti bule asli, tidak ada percampuran sama sekali.  "Dia dari negara mana?" Kepoku mulai ku lebarkan. Saatnya melebarkan sayap.  "Hm... kurang tahu. Kalau nggak salah Perancis." Mataku melotot. Perancis! I got it.  Pulang, aku akan belajar Bahasa Perancis dan belajar budaya sana. Agar, aku tidak akan canggung diajak ke Perancis. Semoga, si bule ini mempunyai banyak abang atau minimal saudaranya. Aku sudah mengkhayal, diajak ke menara Eiffel. Tempat paling romantis didunia. Pergi ke menara Eiffel, ditemani bule tampan. Terkadang, impianku sesederhana itu.  "Ah... dia itu sangat tampan tapi sayang kelakuanya berbanding terbalik dengan wajahnya." Kata Sheilla, membuatku sadar dari lamunan liarku.  "Tapi tampannya itu luar biasa, coba saja seumuran pasti sudah ku gaet," kata Sheilla dengan berapi-api. "Ehem!" intrupsi Ryan dengan mukanya terlihat sangan masam, semasam masah depan si dedemit bule tadi. Eh? Nggak tahu ding, gimana masa depan si dedemit tuh.  "Hehehe, sorry babe," kata Sheila dengan membentuk tangan dengan huruf V, ya ampun posesif bangat, tapi tidak masalah karena sejatinya sifat posesif itu tanda cinta.  Sheilla sibuk membujuk Ryan dan Ryan hanya diam tidak merespon. Hell, live drama ABG oleh dua orang dewasa, aku merasa tidak enak.  Tiba-tiba Ryan berlalu begitu saja, dan Sheilla berlari menyusul. "Sorry Ra, duluan harus di bujuk anak panda yang besar ini." kata Sheilla berteriak. "Oh iya, nggak usah bayar udah di bayar tadi, anggap aja traktiran awal perkenalan kita."  "Makasih ya." hanya itu kataku.  Aku pun hanya duduk dan menghabiskan sisa makananku, dan ketika ku alihkan pandangan tadi si dedemit bule sudah tidak ada disana. *** Bel telah berbunyi, hari ini aku hanya mengajar satu kelas, sisa jam tadi aku habiskan dengan mengobrol dan perkenalan dengan rekan-rekan guru.  Dan semua rekan-rekan guru mengeluhkan hal yang sama soal dedemit bule ini, kejadian itu berlangsung ketika di tanya kesan pertama mengajar dan aku pun jujur apa yang terjadi awal mengajar.  Aku merasa, harusnya si bule ini dikirim ke negara asalnya. Biar tidak kurang ajar sama guru-guru disini. Karena orang barat tidak masalah, jika memanggil orang tua hanya dengan nama saja.  Aku pun berkenalan dengan kepala sekolahnya.  "Iya, memang semua guru mengeluhkan hal itu , tapi kita tidak ada cara lain. semua sanksi sudah di berikan surat panggilan orang tua pun sudah di layangkan, tapi tidak ada niatan dari anak kita buat berubah." kepala sekolah menjelaskan, kepala sekolah, Bu Nunung seorang yang berumur 50 tahun, sangat ke ibuan sekali, badanya gemuk, maklum saja sudah punya cucu sepertinya juga, aku tidak mau menanyakan hal itu.  Aku hanya diam mendengar pejelasan dari Bu Nunung. Dan aku langsung menyukai sekolah ini karena semua rekan-rekan sangat ramah entah itu junior ataupun senior tidak pandang bulu, sangat terasa kekeluargaan dan kekompakan.  "Maka itu kamu sebagai yang paling muda disini, Ibu mohon bimbinganmu, mungkin kamu bisa mendekati secara personal,  kalian berjiwa muda jadi sama-sama memahami, di tambah jiwa-jiwa Gerald ini sedang dalam masa pencarian jati diri, jadi ibu memberikan kepercayaan kepadamu, tolong bimbinglah anak itu."  aku serasa di timpuk beras sekarung. Eh? Beras sekarung berat nggak? Apa ajalah yang berat, intinya ini seperti terbebani, bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau aku malah terjerumus? Bagaimana kalau___Bagaimana? Tapi aku juga tidak bisa menolak permintaan bu Nunung. Walau separuh hatiku bersorak senang, dengan begini kapan-kapan aku bisa diajak kerumahnya dan bisa berkenalan dengan keluarga bule ini.  "Insya Allah, saya usahakan saya tidak bisa berjanji untuk megubah Gerald, karena sejatinya yang bisa merubahnya adalah dirinya sendiri, orang lain hanya bisa menasihati atau memberi dukungan," kataku sok bijak. "Tidak masalah kalau itu, yang penting tolong bimbinglah dia, ibu percayakan kepadamu."  "Baik bu." Hah! masih tergiang percakapan tadi dengan Bu Nunung sejujurnya aku nggak yakin bisa menjalani dan melewati ini. Aku pun langsung mengambil tas dengan lesu, menuju halte, malaikatku sudah menungguku, sebenarnya pulang tadi aku sudah di tawari oleh Pak Kusuma buat bareng, tapi aku bilang di jemput. Dengan lesu aku masuk ke dalam mobil dan dalam keheningan selama perjalanan, mas Rangga pun tau mood-ku yang sedang dalam mode  hayati lelah bang.  Setelah sampai, aku pun langsung bergegas, ingin mengistirahatkan tubuhku yang rasanya remuk redam, maklum belum terbiasa. Aku pun belum bisa menceritakan kejadian yang terjadi hari ini.  Tiba di kamar aku langsung merebahkan badanku, tiba-tiba aku teringat. wait! Sekarang jam berapa? Jam 3. Walau aku janji, buat bertemu sepulang sekolah. Ah.. mati anak ayam, aku lupa sudah janjian dengan Si dedemit  Bagaimana ini? Apakah dedemit menungguku? Apakah dedemit marah?  A L A M A K 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN