Bab 1 – “Kamu Mau Nikah Sama Musuhmu?”
“Lara, kamu belum bayar uang sekolah bulan ini juga?”
Suara wali kelasnya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Tapi kata-kata itu menampar keras di telinga Lara.
Dia menggigit bibir, menunduk, dan mengangguk pelan.
“Kalau sampai akhir minggu belum dilunasi... kamu terpaksa harus cuti sekolah dulu, ya.”
Dunia Lara seperti runtuh.
SMA Nusantara, sekolah impiannya, satu-satunya tempat dia bisa berharap pada masa depan... sekarang terancam hilang begitu saja.
Semua karena satu hal: uang.
Di kantin, saat jam istirahat…
“Hei, katanya ada yang belum bayar SPP tiga bulan, tuh. Gengsi tinggi, tapi nggak bisa bayar sekolah?”
Seketika suasana meja makan riuh oleh tawa.
Dan Lara tahu betul siapa yang mengucapkannya.
Raka Aldrean.
Cowok paling menyebalkan di muka bumi.
Ganteng? Iya.
Pintar? Iya juga.
Tajir? Jelas.
Tapi kelakuannya... ampun.
Lara mendengus, meletakkan sendoknya.
Dia bangkit berdiri dan menatap Raka tajam.
“Kamu nggak capek hidup nyari masalah sama aku terus?”
Raka menyeringai santai, seolah nggak terpengaruh.
“Justru aku seneng, kamu tuh bahan hiburan terbaik di sekolah ini.”
Lara ingin menampar wajah sombong itu.
Tapi sebelum sempat berkata lebih, Raka malah menyodorkan amplop putih ke meja.
“Baca ini. Di rumah. Jangan di sini. Tapi aku serius.”
Malam harinya, di kamar Lara…
Amplop itu masih tergeletak di meja belajar.
Awalnya, dia berpikir untuk membuangnya. Tapi rasa penasaran menang.
Dengan pelan, dia membuka dan membaca isinya.
Matanya membelalak.
“Kontrak Pernikahan?”
Lara mengulang pelan isi surat itu.
Raka menawarkan kerja sama gila: pura-pura menikah selama tiga bulan.
Bayaran: lima belas juta rupiah.
Tujuannya? Supaya Raka bisa membohongi orang tuanya yang memaksa dia menikah muda.
Dan menurut Raka, Lara adalah pilihan paling cocok karena... dia nggak akan baper.
“Benci itu obat anti baper,” tulis Raka di akhir surat.
“Satu-satunya cewek yang benci aku setengah mati, ya kamu.”
Keesokan harinya...
Lara menemui Raka di belakang sekolah, tempat biasa mereka saling sindir tanpa guru tahu.
“Ini gila,” ucap Lara dingin.
Raka bersandar santai di dinding, memainkan kunci motor.
“Tapi kamu baca sampai akhir, kan?”
Lara mendesah.
“Kenapa aku?”
“Karena aku tahu kamu butuh uang. Dan kamu cukup pintar buat pura-pura jadi istri yang baik. Tapi cukup benci aku buat nggak jatuh cinta.”
Lara terdiam.
Dia ingin menolak. Tapi bayang-bayang rumah sakit ayahnya... tangisan adiknya karena belum bayar SPP... wajah letih ibunya...
“Aku punya syarat,” kata Lara akhirnya.
Raka mengangkat alis.
“Apa?”
“Kita nggak tinggal serumah. Aku tetap sekolah seperti biasa. Dan... nggak ada sentuhan aneh-aneh.”
Raka tersenyum tipis.
“Tenang aja. Kita cuma pasangan pura-pura. Aku bukan predator.”
Lara menarik napas panjang.
“Deal. Tapi kalau kamu macam-macam... kontraknya batal.”
Raka menjulurkan tangan.
“Selamat datang di drama paling aneh dalam hidup kita.”
Dengan ragu, Lara menyambut uluran tangan itu.
Kontrak pun dimulai.