01
"Pergi! jangan temuin gue lagi, gue udah mau nikah Lang! jangan ganggu gue sama calon suami gue. Pergi !"
"Tapi gue sayang lu ra, gue mau sama lu! Ngerti dong!"
"Pergi!" Rara mendorong Erlang menjauh darinya, Laki-laki itu hanya terdiam menatap wajah Rara.
Yang dipikirkan Erlang hanya menghabiskan waktunya untuk melihat Rara seumur hidup. otaknya benar- benar ingin membawa Rara pergi saat itu juga tapi hatinya melarang. Ia tak ingin membuat kebahagiaan seseorang hancur karenanya.
"Pergi Erlang!." Rara mengusirnya kembali.
"Oke, gue pergi, semoga bahagia,gue pamit." Erlang pergi.
Ia menaiki motornya dengan kecepatan diatas rata-rata, hatinya begitu sakit, Kali ini untuk pertama kalinya air mata Erlang turun untuk seorang wanita diluar keluarganya.
"Gue benci harus ngerasain sakit hati! Gue Benci lu Rara!"
~~~
Erlang menatap lurus ke arah lautan di depannya. Pikirannya begitu kalut hingga ia memutuskan datang ke tempat kesukaannya.
"Kenapa lu tega Ra sama gue? lu cuman mikirin kebahagiaan lu! kurang gue apa selama ini apa? semua gue punya Ra tapi kenapa lu milih dia? Gue benci lu Ra. GUE BENCI LU!!" Erlang mengacak rambutnya dengan frustasi. Hatinya benar-benar hancur dan kecewa. Erlang merasa semua perjuangannya sia-sia selama ini.
Erlang melempar satu cangkang kerang kearah laut lalu kembali terdiam mencoba menenangkan dirinya dengan suara deburan ombak.
Air mata Erlang kembali jatuh, dadanya begitu sakit. Ini kedua kalinya Erlang menangis karena Rara hari ini.
"Jangan harap gue bakal tetep nganggep lu orang yg gue kenal Kirara!"
Erlang berdiri kemudian mundur beberapa langkah. Laki-laki itu ingin pulang. Iaberbalik arah tapi tanpa disengaja ia menabrak seseorang.
"s**t!, punya mata gak sih lu?" Erlang mengumpat dan memegang bahunya. Ia menatap sinis orang didepannya.
"Sorry ya! gue yang seharusnya bilang gitu bukan lu!" Bentak perempuan dihadapan Erlang.
Erlang menatap perempuan itu penuh emosi namun ia memilih pergi meninggalkan perempuan itu demi menghindari pertengkaran yang bisa saja menjadi besar jika Erlang tanggapi. Ia sungguh tidak dalam mood yang bagus kali ini jika Erlang harus meladeni perempuan itu.
Erlang segera menuju motor miliknya dan kembali melaju dengan kecepatan diatas rata-rata. Selama perjalanan pikiran Erlang masih tetap memikirkan Rara. Semakin tinggi kecepatan yang ditempuh Erlang, semakin ia merasa lebih tenang. Erlang memilih untuk pulang dan berdiam sendiri didalam kamarnya.
Vay menatap pundaknya yg masih merah sampai sekarang, ia sungguh ingin menampar wajah laki-laki yg menabraknya tadi.
"Kasian banget kamu bahu, jangan memar ya, please" Vay mengusap bahunya seraya menatap ke arah pantai di depannya kini.
“Kakak, Vay datang ke tempat kesukaan kakak nih! Vay kangen kakak.”
Zico , Kakak kandung Vay yang selalu melindunginya di keadaan apapun tapi kini ia kehilangan sosok kakak yang paling ia sayangi.
"Vay kangen kakak." Air mata Vay tak terbendung.
Kembali ke 5 tahun yang lalu..
"Vay, kamu pasti tahu bahwa kakak benar-benar sayang dengan Vay, Kakak harap Vay bisa jaga diri ya supaya tidak seperti kakak."
Vay menatap wajah kakaknya yang tampan namun sekarang begitu wajahnya yang dulu tampak berseri kini berubah pucat dan dimana-mana terpasang alat-alat ditubuh sang kakak yang entah apa itu Vay pun tidak mengerti.
"tolong jaga Ibu ya, Kakak bakal jaga kalian dari jauh."
"Maksud kakak apa? Kakak pasti sembuh kok.." Vay menitikkan air matanya.
"Bilang sama Ibu, Kakak sayang sama ibu , kakak juga sayang Vay. Kakak janji kakak bakal jagain Vay dan Ibu dari jauh bareng Ayah." Zico tersenyum manis dibalik masker oksigen yang dipakainya. Vay mengenggam erat tangan Zico dengan erat. Vay sangat takut jika ia harus kehilangan kakak yang selalu bersamanya setiap hari. Ia takut tak akan ada yang bisa menjaganya seperti yang dilakukan Zico.
"Kakak sayang Vay" bunyi panjang dari alat yang tepat berada diatas Zico membuat Vay mematung dan tubuh Vay seketika menjadi dingin.
“kak? Kak Zico?” Vay mengguncangkan tubuh sang kakak namun tak ada respon dari Zico. Dokter dan perawat satu persatu datang dengan tergesa-gesa dan menarik Vay menjauh dari sang kakak. Vay histeris melihat sang kakak yang tak kunjung bangun walau sudah dilakukan segala cara.
“catat kematian pasien pada jam 12 Mei 2016 jam 13.30 WIB.” Dunia Vay runtuh saat itu juga setelah mendengar pernyataan sang dokter. Vay bergegas mendekati Zico dan memeluk erat tubuh kaku kakaknya.
"Kakak. Bangun!" Vay menangis. hatinya begitu sakit hingga dadanya sesak. Ini kedua kalinya ia kehilangan orang yang ia sayang, pertama ayahnya dan sekarang kakaknya.
“ Kak bangun, Vay takut ngehadepin dunia sendiri kak, Kakak udah janji nemenin Vay tapi kenapa kakak ninggalin Vay sekarang? Kak ZIco bangun!”
Vay menarik dokter yang ada didekatnya. “ dokter, tolong kakak saya, dia masih bisa hidup jangan biarkan dia pergi dokter kumohon.” Vay menyakup kedua tangannya memohon agar sang dokter bisa membawa kembali sang kakak namun sang dokter hanya bisa menggeleng kemudian Vay kembali ke Zico dan memeluk erat badan Zico. “ Kak ayo katanya kakak mau pulang, bangun yuk, bukan gini maksud pulangnya kak. Kita pulang ke rumah bukan pulang ke rumah Tuhan.”
“Kak, bangun! Ayo bangun!” Vay terjatuh duduk di lantai. Rasa kehilangan yang begitu besar mengelilingi dirinya. Vay tidak peduli ketika semua pandangannya berubah menjadi gelap.
~~
Vay berjalan di pinggir pantai menikmati bagaimana ombak kecil menerpa kakinya. Ia kemudian tersenyum ketika mengingat kenangan demi kenangan yang telah Vay ukir bersama kakaknya dulu.
Vay segera berjalan menjauhi pinggir pantai ketika setelah melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan jam 4 sore.
Ia bergegas menggunakan sepatunya dan berlari kearah mobil miliknya, ia harus segera sampai rumah dan bertemu dengan Ibunya seperti janji mereka kemarin.
" akhirnya ketemu Ibu.." batin Vay
Erlang memarkirkan motornya dihalaman rumah kemudian melepas helm yang ia gunakan dan berjalan masuk ke rumahnya.
"Aku pulang " ucap Erlang lesu setelah menutup pintunya kemudian seorang wanita paruh baya mendekatinya.
"Hey my love, udah pulang ternyata. Bagaimana harimu sayang?"
"Bad mom, aku benci hari ini." jawab Erlang seraya melepas sepatunya.
"Kenapa sayang? Duduk dulu di sofa cerita sama Ibu"
Erlang mengikuti apa yang dikatakan oleh ibunya dan duduk bersebelahan dengan orang yang telah melahirkannya.
"Rara mau nikah. Ibu tahu kan Erlang udah sayang banget sama dia dan Erlang juga udah ada rencana buat melamar dia setelah nanti ulang tahunku yg ke-25 dia lebih memilih untuk tapi menikah dengan orang lain"
ibunya mengelus punggung Erlang mencoba menenangkan putra semata wayangnya itu.
"Bukan jodoh artinya sayang, jangan itu di sesali. Kalau begitu, bagimana kita sekarang keluar bareng sekalian antar ibu ketemu sama temen Ibu yang baru balik dari Jerman gimana, mau?"
"Oke, Erlang prepare dulu deh." Erlang tidak bisa menolak apapun ajakan dari ibunya.
"Okay, yang ganteng ya sayang.."
Erlang hanya mengangguk lalu beranjak menuju kamarnya. Ia melepas jaketnya dan melemparnya keatas kasur. Erlang pergi kearah kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan bersiap keluar bersama Ibunya.
20 menit Erlang menghabiskan waktu untuk membersihkan diri lalu ia pergi ke lemari gantinya. Erlang yang sedang malas untuk berdandan memilih untuk memakai celana jeans putih dipadukan dengan kemeja hitam kesayangannya kemudian menyisir rambutnya dengan rapi dan memakai parfume serta tidak lupa ia memilih jam tangan di rak khusus jam tangannya miliknya karena Erlang begitu menyukai jam tangan. Beberapa jenis jam tangan berjejer disana dengan rapi serta sesuai dengan warnyanya kemudian ia mengambil satu yang berwarna hitam senada dengan bajunya dan memakainya. Setelah semuanya sempurna menurut Erlang , ia kemudian berjalan ke arah kamarnya kembali, mengambil dompet dan handphonenya lalu pergi keluar kamarnya.
"Gue harap gue bisa lupain lu Rara.." ucap Erlang didalam hatinya.
Vay menatap dirinya di depan kaca. Ia tersenyum puas ketika melihat pantulan dirinya dengan dress selutut berwarna putih tanpa lengan yang dipadukan outer berwarna hitam serta sepatu sneaker kesukaanya. Vay sangat senang dengan penampilannya kini
Vay menyemprotkan sedikit parfume pada leher dan pergelangan tangannya lalu mengambil tas selempang yang warnanya senada dengan sepatu yang ia gunakan.
Vay sedikit berlari menuruni tangga rumahnya dan mengambil kunci mobil di laci depan tangga.
" bi... nanti jangan masak ya aku mau makan sama ibu terus pulangnya agak malem." teriak Vay dari ruang tamu
"Iya nona.." jawab pembantu yang biasa bekerja dirumahnya.
Vay berjalan keluar kearah pintu dan bergegas pergi ke tempat dimana ia akan bertemu dengan ibunya. Gadis itu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang sembari tersenyum manis mengingat setelah 5 tahun akhirnya sang ibu kembali ke Indonesia dan bertemu dengannya.
Setelah kematian kakaknya, Ibunya memilih pulang ke Jerman meninggalkan Vay sendirian di Indonesia. Vay dan Ibunya pun jarang berkontak karena sang Ibu yang sibuk mengurus neneknya dan juga Vay yang sibuk mengurus perusahaan peninggalan dari Ayahnya.
Pertemuan kali ini juga baru pertama kali setelah terakhir melihat Ibunya menangis dikamar sendirian di hari pemakaman kakaknya.
" Semoga Ibu akan tinggal bersamaku lagi."