"Jangan berpikir macam-macam," ujar Devan.
"Bagaimana bisa aku tidak berpikir macam-macam, saat ada orang berbahaya di depanku?"
"Bagiku, kau lebih berbahaya dari siapapun."
"Jangan bercanda!"
"Kakekku ... "
"Kenapa tiba-tiba membicarakan kakek?"
Devan menatap Aluna. "Bisakah aku bicara."
"Ya, silahkan."
"Kakekku mengatakan, kalau kau pernah menolongnya."
"Kakekmu? Aku?" Aluna mencoba mengingat sesuatu. "Um, aku tidak bisa mengingat.."
"Seorang pria yang dikejar orang-orang bersenjata dalam gang. Rambe".
"Oh, aku ingat! Saat itu, aku kebetulan lewat setelah dipecat dari pekerjaanku karena fitnah dari rekan kerjaku. Lalu aku melihat seorang pria tua yang memakai pakaian bagus dikejar 5 orang? 6 orang? Entahlah, aku lupa. Karena aku kesal, aku menghajar mereka semua, dan membantu pria tua itu mencari TAXI."
"Jadi kau benar Aluna ... "
"Jadi itu kau!"
"Apa?" Devan terkejut saat Aluna meninggikan suara dan menarik kerah pakaiannya sekali lagi.
"Jadi kau orangnya, yang meninggalkan pria tua malang itu sendirian? Aku sudah bersumpah padanya, kalau aku menemukan keluarga yang menelantarkannya, aku akan menghajarnya!"
"Aku tidak menelantarkannya! Saat itu aku kehilangan jejaknya dan ... "
"Aku tidak peduli! Akan kuhabisi kau hari ini!" Aluna bersiap melayangkan tinjunya. Namun ia langsung berhenti saat sesuatu mengarah kepadanya. Itu adalah Jack, yang sedang membidiknya dengan pistol.
"Tenangkan dirimu," ujar Devan.
"Cih!" Aluna melepaskan Devan, ia menggeser pantatnya, duduk menjauhi Devan. Ia menyandarkan punggungnya dan melipat kedua tangannya.
Jack kembali ke posisinya semula, duduk dengan wajah datar, menatap lurus ke depan tanpa mengemudi.
"Kakekku sangat berterimakasih setelah kau menolongnya. Tapi setelah hari itu, kesehatannya memburuk, sehingga ia tidak bisa bertahan lama," ujar Devan.
Aluna tak tahu harus bereaksi apa. "Jadi, maksudmu ... dia sudah meninggal?"
"Ya. Dia meninggalkan surat wasiat untukku. Isinya adalah, aku harus menikahimu untuk menjadi pemimpin dari Wilson."
"Aku tidak mengerti, kenapa aku?"
"Aku juga tidak mengerti kenapa kakek memilih wanita barbar dan tengil sepertimu." Devan mengambil cerutu dari saku pintu mobil. "Aku menghabiskan 4 bulan hanya untuk mencari keberadaanmu. Aku harap, kau bisa bekerjasama dengan baik."
"Baiklah, tunggu sebentar, kawan. Ini terlalu cepat!" Aluna diserang perasaan gelisah. Kepalanya jadi pusing karena hal ini. Padahal dia hanya berniat membantu seorang kakek, tapi kenapa dia malah dijadikan bahan wasiat?
"Kau tidak perlu khawatir untuk kehidupanmu seterusnya. Jika kau jadi istriku, maka kau bisa menikmati apapun yang kau mau. Aku bisa memberimu uang sebanyak yang kau mau, kau bisa hidup bersantai dalam sisa hidupmu."
"Kita tidak saling mengenal.."
"Kita bisa saling mengenal nanti."
"Aku tidak bisa menikah dengan seseorang yang tidak aku cintai."
"Jangan bohong. Aku tahu, yang kau inginkan bukan cinta, tapi uang."
"Wow, kau memiliki kemampuan menyelidiki yang baik."
"Tentu saja."
"Tapi, tetap saja, aku tidak bisa melakukannya."
Aluna membuka pintu mobil. Namun Devan langsung menutup kembali pintu dengan cepat. Posisi mereka sangat dekat. Aluna ada di depan pintu, dan Devan tepat di belakang punggungnya, tubuh mereka saling menempel.
"Kau tidak bisa menolaknya dengan mudah. Aku akan memberimu waktu untuk berpikir," ujar Devan.
"Baiklah, tapi sebelum itu." Aluna menghantam perut Devan dengan sikunya, membuat pria yang tidak menyangka dengan serangan itu langsung menjauhinya.
Aluna mengambil dompet Devan yang ada di saku pria itu dengan sangat cepat, lalu mengambil seluruh uang tunai yang ada di sana.
"Aku akan menganggap ini sebagai permintaan maaf atas aksi penculikan."
Aluna keluar dari mobil. Sebelum ia menutup pintu, Aluna kembali bicara. "Oh ya, soal tawaran pernikahan itu, sepertinya sangat sulit bagiku. Jadi, carilah wanita lain. Dah, tampan!"
Aluna membanting pintu dengan kuat. Devan masih memegangi perutnya dengan ekspresi terkejut. Bahkan Jack yang biasanya enggan menunjukkan ekspresi apapun juga terkejut saat melihat pemandangan itu.
"Tuan Wilson ... "
"Jack, apa punggungmu baik-baik saja?"
"Ah ... " Jack sontak menyentuh punggungnya yang tadi dipukuli oleh Aluna. Jack tidak bisa memungkirinya, kalau pukulan dari Aluna mampu membuatnya merasakan sakit. "Saya baik-baik saja. Bagaimana dengan anda?"
"Aku juga baik. Jika aku tidak terlatih, aku pasti sudah pingsan." Devan tersenyum kecil. "Rupanya aku menemukan sesuatu yang menarik."
Saat Aluna kembali ke kost-an sempitnya, ia menemukan barang-barang miliknya berserakan di luar.
"Oh, kau sudah datang?" pemilik kost-an, Marisa, dengan wajahnya yang selalu membuat Aluna ingin melayangkan tinju.
"Kenapa barang-barangku ada di sini?" tanya Aluna.
"Kau sungguh tidak tahu alasannya?"
Aluna masih menahan emosinya. Ia menghela nafas pelan, kemudian tersenyum kecil. "Nyonya Marisa, aku sungguh tidak tahu apa kesalahanku. Jika kau bisa berbaik hati, tolong katakan apa yang telah aku lakukan."
Marisa berdecih. "Kau menunggak uang sewa selama 4 bulan! Ada penyewa baru yang datang dan sudah membayar untuk 1 tahun ke depan."
"Apa? Apa kau bilang?"
"Apa kau mulai tuli? Singkatnya, aku mengusirmu."
"Tidak, bukan itu. Kenapa kau mengatakan aku belum bayar uang sewa selama 4 bulan? Aku menitipkan uangnya kepada Nolan."
"Nolan tidak pernah memberikanku uang."
"Itu tidak mungkin! Jelas-jelas aku memberinya!"
"Oh, apa sekarang kau sedang menuduh putraku sebagai pencuri?!"
Aluna mengepalkan tangannya. "Ya, tentu saja. Kenapa aku tidak menyadarinya? Pantas saja Nolan bisa membeli barang-barang yang dia inginkan, padahal kau tidak memberinya uang. Dia pasti menggunakan uang yang kuberikan, dasar pencuri kecil!"
"Ibu, ada ribut apa?" Nolan, putra Marisa yang baru pulang setelah bermain seharian menghampiri mereka.
"Dia mengatakan menitipkan uang sewa kost kepadamu, apakah itu benar?" tanya Marisa.
Nolan mengerutkan dahinya. "Aku tidak ingat dia melakukan itu."
"Dengar? Putraku tidak pernah menerima uang darimu! Kalau memang miskin, tidak perlu menuduh orang lain!"
Aluna bisa melihat Nolan yang tersenyum mengejeknya. Kesabaran Aluna habis. Ia mengambil salah satu buku yang tergeletak di lantai, lalu melemparnya ke arah Nolan. Buku itu mengenai kepala Nolan, hingga membuat suara keras karena benturan yang kuat.
"Akh!" Nolan memegangi kepalanya.
"Nolan!" Marisa memegangi Nolan. "Dasar, wanita sialan! Berani sekali kau melakukan itu? Akan kulaporkan kau kepada polisi!"
"Laporkan saja." Aluna mendekati Marisa dengan aura penuh intimidasi, yang membuat Marisa terlihat kecil. Katakan kepada polisi, kalau putramu dilempari buku oleh seorang wanita yang dicuri uangnya."
"Kau bahkan tidak punya bukti!" ujar Nolan.
Aluna melipat kedua tangannya "Hari itu, aku memberikanmu uang di depan minimarket, kan? CCTV pasti sudah merekamnya. Ayo kita periksa, siapa yang berbohong."
"Ayo, kita buktikan saja!" Marisa menarik Nolan, namun pemuda itu tidak bergerak dari tempatnya.
Jangan lupa untuk komen