Chapter 1

1449 Kata
Fea baru saja menandatangani kontrak sinetron striping dengan peran sebagai anak SMA. Tiga hari yang lalu pun Fea juga telah menyetujui kolaborasi dengan brand kosmetik milik seorang pengusaha muda yang sedang merintis bisnis. Selama delapan bulan ke depan Fea masih terikat kontrak dengan sebuah perusahaan majalah fashion sebagai model. Tak terbayang akan betapa hektiknya Fea. Mengetahui keputusan istrinya yang sangat ngawur itu dari manajernya, Dr. Arthur segera menelepon Fea. “Apa kau sudah gila?” “Apa maksudmu berkata seperti itu?” “Bagaimana bisa kamu mengambil semua tawaran tanpa pertimbangan terlebih dulu? Kau tak pernah mendiskusikannya denganku.” “Aku minta maaf, tapi selama ini aku merasa sanggup mengerjakan semuanya, kau tidak perlu khawatir.” Fea mematikan teleponnya. Fea tidak kasar kepada suaminya, Dr. Arthur. Dia hanya melakukan yang seharusnya. Pernikahan yang mereka jalani sesuai dengan asal muasalnya. Bahwa Fea tidak pernah menginginkan pernikahannya. Dunianyalah yang telah mengatur pernikahannya. Begitu juga dengan Dr. Arthur, dia tidak pernah ambil pusing atas semua masalahnya dengan Fea. Mereka berdua secara alami telah membuat batasan sendiri, seolah-olah sudah saling paham mana bagian yang boleh dicampuri dan tidak. Meski terkesan dingin, Fea tetap berusaha untuk memberikan kasih sayang seperlunya kepada suaminya. Bukan karena tidak enak, melainkan memang itulah hak suaminya. Sebelum bergegas ke lokasi pemotretan, Fea mengolesi kulit Sondea anak laki-lakinya yang sangat menggemaskan dengan losion. Menyuruh manajernya mempersiapkan dress, make up, perlengkapan pribadinya, dan yang tak kalah penting perlengkapan Sondea. Sambil menggendong Sondea, Fea berjalan dengan wedges setinggi tujuh sentimeter menuju mobil alphardnya. Dia membutuhkan ruang yang lega, terlebih Sondea sedang aktif bergerak. Disumpalnya mulut Sondea dengan biskuit kaya nutrisi, selagi dia mengetik pesan kepada rekan kerjanya yang sudah berada di lokasi. Belum sempat terkirim, rekannya sudah meneleponnya. Fea terkejut “Apa? Disana hujan deras.” “Iya Bu, kemungkinan pemotretan hari ini dibatalkan.” “Apa tidak bisa kita ambil indoor saja? Lagian pemotretan kali ini kan bertema casual.” “Tidak bisa Bu, tim kreatif menekankan pada sisi produk yang selalu stylish meskipun di area outdoor. Tanpa takut debu dan panas matahari.” “Kamu tahu sendiri kan, betapa padatnya jadwal saya, tertunda satu sesi pemotretan saja bisa mengacaukan jadwal saya berminggu-minggu ke depan.” Bentak Fea dengan kesal. Lawan bicara Fea ini bernama Mas Egi yang sedikit melambai, dia mematikan begitu saja ponselnya. “Sialan” gerutu Fea dalam hati. Fea langsung mengganti strategi, diteleponnya sutradara sinetron striping. “Halo Pak Berman, bisakah kalau kita mulai syutingnya hari ini saja?” “Kenapa begitu mendadak Bu?” “Tadinya saya sudah siap untuk pemotretan, tapi karena hujan jadi dibatalkan. Mumpung mood saya lagi di level 11 dari rentang 1-10, saya tidak mau menyia-nyiakan momen ini Pak.” “haduuh Ibu ini ada-ada saja, tidak bisa Bu tim kami saja belum siap. Lagian kayak aktris baru aja Bu” timpal Pak Berman. “Maaf ni Bu, maaf sekali kalau saya lancang, tapi saya sarankan Ibu gunakan saja waktu ini untuk main ke psikiater. Bukan saya menghakimi kejiwaan Ibu, tapi ini pasti bermanfaat untuk keseimbangan jiwa Bu Fea.” “Hah! apa kamu bilang? terkejut sekali saya mendapat tanggapan semacam ini.” “Tunggu dulu Bu, jangan langsung naik pitam. Kalau diperhatikan Bu Fea semenjak melahirkan anak pertama, Sondea. Bu Fea hampir tidak ada waktu untuk diri sendiri. Bu Fea perlu bertukar pikiran dengan orang yang ahli, yang mengerti. Dalam artian pembicaraan serius bukan sekedar obrolan santai dengan sahabat.” Meskipun agak sedikit tersinggung, rupanya Fea mau mengerti juga masukan dari Pak Berman. Fea mempertimbangkan kunjungannya ke psikiater. Tapi tentunya bukan hari ini. Fea memutuskan untuk pulang saja. Dia meminta supirnya untuk jalan ke rumah saja. Sesampainya di rumah, Dr. Arthur telah lebih dulu pulang. Fea menghampiri suaminya yang sedang bersantai kemudian mendudukan Sondea di sofa.   Sondea menyeringai menunjukan gigi-giginya yang belum tumbuh penuh. Fea menanggapinya dengan ciuman di pipi dan mencubit dagu anak itu. Dr. Arthur sepertinya tidak tertarik untuk bergabung dengan keceriaan istri dan anaknya. Fea memulai pembicaraan, “Hari ini satu pekerjaanku tertunda” keluhnya pada sang suami. “Bukannya itu yang kau inginkan?” “Setidaknya beri aku sedikit dukungan daripada seperti itu.” “Aku ingin bersikap lebih lembut dan penyayang kepadamu, tapi tidak denganmu yang sulit diberi tahu.” “Oh jadi itu semua bersyarat. Lucu sekali ya pernikahan kita, sekonyong-konyong dilakukan tapi tidak menarik untuk dijalani.” Dr. Arthur tertawa, “Jadi baru sebatas itu ya pemahamanmu.” “Ya, kita lewati saja setiap waktunya dengan tetap menjadi diri masing-masing, tak perlu merasa sungkan jika memang kau belum bisa memperlakukanku dengan manis, aku masih merasa baik-baik saja tanpa itu.” “Kau memang selalu menarik bahkan ketika kau sedang berpura-pura seperti itu” jawab Dr. Arthur sambil cengengesan. Fea hanya melirik dengan tatapan seram, menunjukan ketidaksetujuannya pada pernyataan suaminya itu. Dr. Arthur merupakan sosok yang tegas dan netral. Dia tidak pernah merasa terlalu direpotkan ataupun memberatkan Fea. Dia merasa selalu bisa menyeimbangkan dan mengendalikan dirinya. Terlepas dari sudut pandang penerimaan Fea, itu bukanlah perkara baginya. Hubungan Dr. Arthur dengan Sondea pun cukup intim. Sondea sudah bisa menangkap radar sosok Dr. Arthur sebagai ayahnya. Padahal sangat jarang sekali frekuensi kebersamaan mereka. Sondea selalu dibawa oleh Fea dalam setiap agenda hariannya. Kadangkala di sela-sela kesibukannya, Fea bersedia mengangkat videocall dari suaminya yang ingin bercanda dengan Sondea secara online. Awalnya Sondea menangis, mungkin dipikirannya ponsel yang menayangkan gambar ayahnya yang mencoba menghibur dirinya, adalah benda yang menakutkan dan mengancam jiwanya. Namun sudah tidak demikian setelah berkali-kali Fea dengan sabar mengenalkan Sondea dengan benda tersebut. Ponsel Fea berdering. Panggilan dari Vivian sahabatnya. “Hallo Vi, ada apa tumben nelpon gue?” “Gue kangen banget sama lo Fe, kapan bisa nongkrong lagi sama anak-anak?” “OMG Viviaaan, gue juga kangen banget sama lo, banyak banget yang mau gue ceritain ke lo” jawab Fea sambil merengek manja. “Fe gue merasa kehilangan lo banget setelah lo menikah setahun lalu, gue udah ga sebebas dulu buat habisin waktu lo.” “Maafin gue Vi, ini semua rasanya seperti mimpi, gue juga gak ngerti apa yang seharusnya gue rasain.” “Entah kenapa gue sedih banget Fe, intinya gue kangen lo dan pengen cepet-cepet ketemu sama lo.” “Kalau mau cepet lo samperin gue ke rumah aja ya Vi, gue khawatir sama kesehatan Sondea, belakangan ini dia lagi gampang nangis.” “Gak masalah Fe, ntar malem gue kabarin lagi ya.” “Ok, see ya Vi” Fea mematikan ponselnya. Fea berjalan ke ruang kerjanya untuk segera menyusun rencana balas dendam atas kezonkannya hari ini. Fea membagi rata jadwal hariannya supaya tidak terlalu kewalahan. Dia menyelipkan hari ganti atas pembatalan tadi siang di hari Minggu. Fea perlu persetujuan agensi untuk hal ini. Fea pun menelepon Mas Egi. “Hallo Mas Egi.” “Iya hallo Bu Fea, ada apa?” “Gi lo bisa kan bikin agenda hari ganti pembatalan tadi siang ke hari Minggu?” “Iyaaa baik Bu Fea, saya agendakan hari Minggu ya. Saya tau diri Bu kalau telinga saya tidak diasuransi.” “Ya! Masih sempat kamu meledek saya” sahut Fea sambil mendengus kesal. “Sudah Bu pokoknya Ibu tenang saja semuanya pasti gak beres, eh beres” jawab Egi sambil tertawa cekikikan. Kemudian mematikan teleponnya begitu saja. Dasar si Egi gak waras, seharusnya dia ke RSJ kalau gue ke psikiater, umpatnya dalam hati sambil tersenyum jahat. Di tengah keseriusan Fea menatap layar macbooknya, ponselnya berdering tanda pesan masuk. Rupanya dari Vivian yang mengabarkan kalau dirinya sudah dalam perjalanan ke rumah Fea. Fea membalas pesan itu dan segera bergegas ke kamarnya. Membersihkan make up yang masih menempel dengan kapas. Mengecek Sondea yang terlelap di ranjang bayi. Setelah memastikan Sondea baik-baik saja, Fea bergegas masuk ke kamar mandi. Fea terkejut sampai-sampai badannya membentur pintu. Dr. Arthur terlihat cukup menyeramkan saat memakai krim cukur yang menggantung. Hampir saja membuat Fea jantungan. “Menyebalkan, kau mengagetkanku.” Fea mendengus kesal kepada suaminya, sambil memegangi pinggangnya yang terasa nyeri karena terbentur gagang pintu. “Apakah ini masih menjadi kesalahanku juga?” jawab Dr. Arthur santai. “Itu masalahku, tapi kalau kau menyadari setidaknya itu lebih baik.” Fea selalu tak ingin kalah kalau beradu kesinisan dengan suaminya. “Keluarlah aku akan mandi. Vivian sebentar lagi sampai sini” perintah Fea. “Aku tak mau” goda Dr. Arthur dengan tatapan maksud. Fea memicingkan mata tanda tak suka. “Tenanglah aku tidak akan dan tidak bisa bersikap murahan, bahkan kepada orang yang berstatus istriku. Sungguh dunia macam apa ini. Aku yakin kali ini kau sepaham denganku Fea.” Fea memberikan tanda setuju dengan mengerucutkan bibir, mengangkat alis dan mengangguk mantap. “Jadi sekarang keluarlah dan jangan berisik, Sondea sedang tertidur lelap.” To be continued ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN