Kamu Bukan Mamaku
Seharusnya Kean berbahagia bertemu dengan wanita yang telah bertaruh nyawa melahirkannya ke dunia ini. Wanita yang telah mengalirkan banyak darah untuk memberikannya kesempatan menikmati manisnya dosa. Namun, nyatanya tidak demikian. Gadis itu marah dengan setiap jalan hidupnya yang berliku. Marah untuk setiap penderitaan yang telah diberikan oleh wanita bergelar mama. Karena luka yang ditorehkannya teramat dalam, membuat Kean tak bisa menghapus satu pun kenangan buruk tentangnya.
Kini kehadiran wanita yang tetap tampak cantik di usianya yang keempat puluh enam tahun itu, membangkitkan kembali rasa benci Kean yang sempat terkubur. Rasa benci yang mengalir di setiap tetes darah di tubuhnya. Lebih memuakkan lagi, kehadiran wanita itu telah membangkitkan tanda tanya seluruh penghuni panti asuhan tempat dirinya tinggal, saat ini.
“Kamu anakku, Kean, dan sudah seharusnya menuruti kata-kataku!” ucap Widya dengan gaya angkuhnya yang tak pernah memudar.
Kedatangan wanita paruh baya itu, ke panti asuhan, hanya untuk memastikan kesediaan Kean menikah dengan Indra anak tirinya. Widya terlalu takut tidak dapat menikmati harta almarhum Adinata, suami keduanya yang kaya raya. Berbagai macam cara akan ia lakukan agar tetap bisa menikmati harta yang kini telah menjadi milik anak tirinya itu.
“Anak? Sejak kapan memandangku sebagai anak? Apakah setelah suami keduamu meninggal? Dan kamu membutuhkanku untuk ikut andil dalam mengambil hartanya?” Kean mendengkus, memandang mamanya dengan tatapan penuh kebencian.
Mata Widya membulat. Kata-kata Kean bagaikan pisau tajam yang menembus hatinya. Sebuah ungkapan kebenaran akan sifat serakah yang membuatnya tega menyakiti anak kandung sendiri.
“Apa yang telah kamu berikan untuk hidupku selain penderitaan? Tiga tahun aku tinggal di rumah megahmu, hanya untuk dijadikan babu!” cecar Kean setengah berteriak, membuat penghuni panti yang lain mengintip dari balik tirai pembatas ruang tengah dan ruang tamu.
Apakah wanita yang seharusnya ia panggil Mama ini lupa, luka apa yang telah ditancapkan padanya dan Erin? Karena sifat serakahnya, membuat adik kesayangan Kean harus mengembuskan napas terakhir. Sifat kejam dan gila harta yang membungkus hati busuk itu, telah melupakan bahwa anak kecil yang dulu dua bunuh, adalah darah dagingnya sendiri.
“Kamu tidak bisa membuang darahku yang mengalir di tubuhmu, Kean. Turuti saja kata-kataku dan kamu bisa pulang ke rumah menikmati hidup mewah.” Widya duduk bersilang kaki di hadapan Kean. Wajah teduhnya begitu jauh berbeda dengan sifat kejam dan rakus yang telah mengakar di dalam diri wanita itu. Menampilkan kebaikan hati yang penuh kepalsuan.
Kean tersenyum sinis. Sungguh, saat ini dirinya ingin tertawa mendengar kata-kata Widya. Andaikan bisa membalik semua waktu, ingin ia tunjukkan pada wanita berhati batu itu apa yang telah dirinya dan Erin alami. Tanpa rasa bersalah, wanita yang mengaku sebagai mamanya, tega membuang Kean dan Erin begitu saja di sebuah rumah kumuh di desa terpencil.
“Seandainya aku bisa bicara secara langsung pada Tuhan, aku ingin meminta pada Nya, hapuskan darah kotormu dari tubuhku!” jawab Kean dengan suara gemetar. Tubuhnya mengeras menahan marah yang telah mencapai puncak.
Mata Widya membulat, tetapi hanya sesaat, detik berikutnya ia sudah tersenyum, menunjukkan kembali sifat aslinya yang angkuh. Kemarahan dan kebencian Kean seakan tidak berpengaruh apa pun untuknya. Sekadar omongan tidak akan mampu membuat seorang Widta mundur. Rencana matang telah ia susun sedemikian rupa, sehingga mau tidak mau, Kean harus menuruti keinginannya.
“Ternyata Tuhan lebih sayang pada mamamu yang jahat ini. Tuhan sengaja menciptakanmu menjadi anakku. Itu tandanya, mulai sekarang kamu harus menuruti kata-kataku,” ucap Widya tanpa beban, membuat Kean semakin benci melihat raut wajahnya yang cantik.
“Terserah kamu bersedia atau tidak, yang pasti, aku akan datang lagi minggu depan. Bersiaplah, karena pertunanganmu dan Indra sudah ditentukan. Berani menolak, berarti kamu harus rela panti asuhan ini digusur!” ancam Widya sembari tertawa kecil, memamerkan barisan giginya yang putih.
Kean tertawa sumbang melihat sifat baru mamanya. Selain angkuh, serakah, dan kejam, ternyata wanita itu juga licik. Kejahatan paket komplet mengakar dalam diri seorang wanita yang seharusnya bersikap lembut dan penuh belas kasih.
“Kamu mengancamku? Sedikit pun aku tidak takut. Akan aku katakan pada Indra semua kebusukanmu. Akan kubongkar kalau aku adalah anak yang selama ini kamu sembunyikan!” balas Kean, menggertak wanita yang sedikit pun terlihat tidak takut dengan ancamannya.
“Coba saja lakukan! Kalau sampai Indra tau kamu anakku dan pernikahan ini batal, lihat saja apa yang bisa kulakukan padamu dan semua anak-anak yang ada ditempat ini!” sahut Widya, berbalik mengeluarkan ancaman pada Kean.
Wanita itu berdiri, memasang kaca mata hitam menutupi tatapan tajam yang ditujukan pada putrinya. Ia berlalu pergi, melangkah keluar menuju mobil yang terparkir di halaman panti, dengan gaya yang sangat anggun.
Sesaat Kean terdiam, dunianya seakan berhenti berputar. Aura intimidasi yang terpancar dari bahasa tubuh Widya tidak dapat ia lawan. Dirinya seakan menjadi wanita bodoh yang tidak dapat membalas ancaman wanita itu. Menyadari walau bagaimanapun, ia harus jujur kalau Widya lebih berkuasa darinya. Selain harta berlimpah, wanita itu juga memiliki seorang anak tiri yang bodoh. Anak tiri yang menyayanginya dengan membabi buta asalkan mendapatkan kasih sayang seorang mama. Seorang anak tiri yang bersedia melakukan apa pun, tanpa banyak tanya, karena ucapan Widya adalah titah yang tidak bisa dibantah.
Deru mobil Widya terdengar samar, keluar dari halaman panti asuhan dan menghilang ditikungan jalan, sementara Kean terduduk lemas di kursi. Semua keberanian dan kekuatannya telah lenyap, seiring menghilangnya Widya dari pandangan.
Ibu Marni, pengelola panti asuhan, perlahan mendekati Kean dan memeluknya dengan penuh rasa sayang. Sejak tadi ia mendengar semua perdebatan anak asuhnya dan donatur terbesar panti asuhan yang ia kelola. Selama ini dirinya tidak pernah tahu, kalau Kean adalah anak kandung dari Widya. Wanita dermawan yang tidak pernah pelit mengeluarkan sejumlah uang setiap bulannya untuk kebutuhan anak-anak di panti asuhan. Kenyataan bahwa Widya tak sebaik yang terlihat, baru diketahuinya hari ini, dan itu pun masih menyisakan sedikit rasa tak percaya di hatinya.
Bagaimana mungkin, seorang wanita yang menyayangi seorang anak tiri bagaikan anak kandung, tega membuang anak yang lahir dari rahimnya sendiri? Namun, di satu sisi, Ibu Marni juga sudah sangat lama mengenal Kean. Wanita muda yang sudah belasan tahun tinggal di panti asuhannya itu, tidak pernah sekali pun berdusta, meskipun tidak pernah mau berbagi cerita kelam hidupnya, kecuali hari ini.
“Ibu Widya tidak bisa kamu lawan, Kean. Beliau tidak pernah main-main dengan kata-katanya,” hibur Bu Marni. Tangannya tak henti membelai rambut hitam Kean yang sedang menangis tersedu di dalam pelukannya.
“Aku tidak mau menuruti keinginannya, Bu. Selama ini dia tidak pernah menjadi orang tua untukku dan Erin. Selain melahirkan, dia tidak punya jasa apa-apa pada hidup kami” sahut Kean terisak, melepas rasa sesak yang sejak tadi menghimpit d**a.
Entah mengapa tuhan mentakdirkan dirinya menjadi anak dari seorang wanita tak bertanggung jawab seperti Widya. Wanita yang lebih memilih harta dari pada darah dagingnya sendiri. Tega membuang anak kandung dan merawat anak orang lain, demi menikmati kehidupan yang lebih mewah.
“Ibu tidak pernah tau apa yang terjadi antara dirimu dan Ibu Widya, tetapi satu hal yang harus kamu tau. Setelah mendengar pembicaraan kalian tadi, kami semua yang ada di sini bergantung pada keputusanmu,” lirih ibu Marni. “Ibu tidak bisa memaksamu menerima permintaan Ibu Widya, tetapi tolonglah pikirkan sekali lagi adik-adikmu yang ada di sini,” lanjut beliau, meminta pengertian anak asuhnya.
Kean tergugu mendengar permintaan ibu Marni. Ia bimbang antara dendam pada Widya dan rasa kemanusiaan pada penghuni panti lainnya. Haruskah ia menuruti permintaan ibu Marni? Wanita baik hati yang memberikannya kasih sayang layaknya seorang ibu, ataukah menolak permintaan Widya sebagai salah satu cara untuk membalaskan sakit hatinya selama ini?
Jujur saja, setiap teringat akan kisah masa kecilnya yang pahit, Kean selalu merasa kebencian pada sang mama kian memuncak. Bukan hanya membenci, tetapi jika membunuh bukan suatu dosa, mungkin dirinya telah lama menghunjamkan pisau ke jantung wanita yang telah melahirkannya ke dunia.
Kean mengenang kembali kisah delapan belas tahun yang lalu, saat ia menadahkan tangan dari rumah ke rumah, membelah hujan lebat demi sesuap nasi untuk adiknya, Erin. Sementara itu, wanita yang melahirkan mereka, hanya menatap dari balik jendela rumahnya yang megah. Sedikit pun hati wanita itu tidak tergerak memberikan pelukan hangat pada anaknya yang sedang menggigil kedinginan.
Saat itu usianya dan Erin masih sangat muda, tetapi sudah harus bertarung dengan kerasnya hidup ibu kota, tanpa perlindungan dan kasih sayang. Dirinya dan Erin tidur beralas koran di depan sebuah ruko, berselimutkan angin malam. Sementara wanita yang melahirkan mereka, merangkul erat penuh kasih, anak dari suami barunya yang kaya raya.
Di saat wanita itu beserta anak dan suami barunya yang kaya raya menikmati makanan mewah, Kean dan Erin harus menelan ludah. Menahan lapar karena tidak memiliki uang untuk membeli makanan. Mereka berdua harus mengemis terlebih dulu untuk mendapatkan sedikit uang agar dapat membeli sebungkus nasi, untuk makan mereka di hari itu. Bahkan setelah mereka bertemu Widya dan dibawa pulang ke rumah megah wanita itu, kehidupannya dan Erin tidak jauh lebih baik.
Di rumah baru ibunya Kean dan Erin tidak pernah diakui sebagai anak. Mereka berdua diperlakukan tak ubahnya pembantu yang bertugas menyenangkan hati Indra, anak tiri sang mama. Menuruti semua perintah anak itu demi kebahagiaan Widya. Karena kebahagiaan wanita itu, bearti perut kenyang untuk mereka berdua.
Kean kembali teringat ketika Widya dan keluarga barunya menikmati hidangan di meja makan mewah. Dirinya dan Erin disuruh menunggu di balik pintu dapur menunggu makanan sisa. Jika beruntung, makanan sisa itu akan bisa ia nikmati bersama Erin, tetapi jika tidak beruntung, mereka terpaksa menahan lapar. Widya lebih suka membuang makanan sisa ke tempat sampah, daripada memberikan pada kedua anaknya. Pantaskah wanita seperti itu ia panggil Mama?
“Tidakkah di hatinya ada rasa bersalah, Bu? Tidakkah di hati wanita itu ada penyesalan untuk Erin? Bagaimana aku bisa menuruti keinginan orang yang telah membunuh adikku?” tanya Kean mengiba dengan air mata menjurai.
Gadis itu tidak dapat membendung tangisnya setiap kali teringat dengan Erin. Adik satu-satunya yang harus meninggal karena kekejaman sang mama. Gadis kecil yang tidak pernah merasakan kasih sayang Widya, padahal wanita itulah yang selalu dirindukannya.
Gadis kecil yang saat meregang nyawa pun, masih berharap sang mama akan memeluknya erat, walaupun harapan itu tidak pernah terwujud hingga ia menutup mata selamanya.
Ibu Marni mengeratkan pelukannya pada kean, menghapus air mata yang tidak bisa berhenti mengalir. Sementara itu, satu persatu anak-anak yang bersembunyi di balik tirai, datang mendekat. Mereka turut memeluk Kean, seakan dapat merasakan kesedihan gadis itu.
“Tidakkah di hati Mama ada sedikit saja rasa sayang untukku? Tidakkah dia pernah merindukan aku?” tanya Kean dengan sedu sedan yang menyayat hati.
Sejujurnya jauh di dalam hati, Kean sangat merindukan pelukan sang Mama. Ia rindu belaian sayangnya seperti yang dilakukan Ibu Marni saat ini. Masih segar di ingatan gadis itu pelukan terakhir yang diberikan Widya padanya dan Erin delapan belas tahun lalu. Namun, wanita itu telah berubah karena harta. Matanya silau dengan perhiasan dunia sehingga mematikan rasa kasih sayang yang ada di hati wanita itu.
Seandainya saja dulu Widya tidak tergoda harta dunia, mungkin saat ini Erin masih hidup, dan mereka bertiga pasti sedang berbahagia. Seandainya saja dulu ibunya tidak bertemu dengan seorang pria kaya, mungkin saat ini dirinya sedang menangis di dalam pelukan sang mama bukan, pelukan ibu Marni pengelola panti.
Kean semakin tersedu. Begitu banyak andai yang bermain di kepalanya mengiringi tangisnya yang enggan berhenti. Andai yang membuat hatinya semakin perih.