Tidak butuh waktu lama untuk kami sampai di pedagang pecel lele langganannku dan Nancy.
"Bang, pecel lele dua sambel pedes ya... Sama es jeruk dua." kataku pada Bang Mamat sang pemilik warung.
"Elo mau apa, Kak?" tanyaku pada Kak Bram.
"Samain aja, Sa." jawabnya di sela-sela suara dering ponsel.
"Bang, nambah satu ya pecel lelenya. Jadi empat ya. Minumnya samain aja." kata Kak Bram setelah selesai menerima telpon.
"Eh, Kak. Porsi disini gede loh. Lo makannya banyak gak?" kata Nancy begitu Kak Bram bergabung dengan kami.
"Gak... Porsi gue standard cowok kok. Ada temen gue yang pengen gabung. Gabut dia. Rumahnya deket sini kok. Paling sepuluh menit lagi sampe. Jadi pas lah sama makanan yang datang." jelas Kak Bram pada kami.
Aku yang hanya mengangguk, kembali memperhatikan ulah Nancy.
"Mumpung ya... Sekalian aja bawa beberapa temen lo. Kuras aja kantong gue..." Nancy menggerutu sambil menggoyang-goyangkan lenganku yang berada di sebelahnya.
"Elo gemes sih gemes... tapi tangan gue lepasin. Sakit tau...!!" kataku protes pada Nancy yang dengan seenaknya membuat tanganku sebagai pelampiasan amarahnya.
Aku tau kalau Nancy hanya berpura-pura sebel. Membayar pecel lele empat porsi tidak akan membuat kantongnya mengempis sedikit pun.
"Hahahaha... Emang traktir pecel lele lo jadi miskin?" aku mempertanyakan ekspresi Nancy ke Kak Bram.
"Gue sebel aja sama bos lo. Gak tau napa." Nancy memberi alasan yang gak masuk akal menurutku.
"Jangan sebel-sebel sama gue. Ntar lo naksir." goda Kak Bram.
"Ogah gue. Mending Bang Marvin kemana-mana. Cakep, alim, kalem, dewasa, berkharisma. Duh ngomongin dia aja jantung gue berdetak lebih cepat." kata Nancy dengan antusias.
"Emang Bang Marvin lo itu sempurna banget ya? Masak sih gue bisa kalah? Gue itu cowok paling hot seantero cafe." Kak Bram mulai mengiklankan dirinya sendiri.
"Kalah deh pokoknya elo sama calon imam gue." kata Nancy tidak mau kalah.
"Bram..." ternyata teman Kak Bram udah datang dan langsung mengetahui keberadaan kami.
Tepat ketika teman Kak Bram datang, pecel lele yang kami pesan pun datang.
"Pecel lelenya Mbak Carissa dan teman-temannya Mbak Carissa..." kata Bang Mamat yang mengantarkan pesanan kami.
"Makasi ya, Bang Mamat. Pas banget waktunya. Keren euy." godaku pada Bang Mamat.
" Mbak, kepo boleh gak? Mas Raka gagal nih? Tapi menurut saya, Mbak Carissa emang lebih cocok sama Masnya ini. Mas Raka kayak napsuan gitu. Udah sama yang ini aja. Langgeng pokoknya." Bang Mamat menganalisa teman Kak Bram yang jujur namanya saja aku tidak tahu.
"Bang Mamat sok tau ih... Bukan gitu pokoknya. Udah gih." kataku dengan muka memerah.
Malu. Kata itu tepat menunjukkan rasaku saat ini. Gimana gak malu coba. Kenal juga nggak sama temennya Kak Bram. Tapi kalian tau? Aku sudah beberapa kali bertemu dengannya namun belum dikenalkan secara langsung oleh Kak Bram.
"Hahahaha.. Lo sama si Raka itu lagi deket, Sa? Eh by the way, kenalin ini Leon. Temen gue sekaligus partner di cafe. Ya berarti bos lo, Sa." kata Kak Bram memperkenalkan temannya.
"Oh, bos gue juga ternyata. Gue Carissa, Kak. Baru masuk hari ini di cafe corner." kataku dengan nada ceria padahal aku terkejut dengan kenyataan bahwa orang yang di depanku merupakan partner Kak Bram dalam berbisnis.
"Dia sih bos besar.. jadi lo nggak bakalan liat dia sesering lo liat gue di cafe. Cafe cuma bisnis sampingan dia aja, Sa. Dia punya bisnis yang beneran." kata Kak Bram menjelaskan seberapa penting orang di depanku ini.
"Wow.... Gue kenalan sama orang penting ternyata." kataku sedikit sarkas. Aku kecewa sebenarnya. Ternyata cowok yang pernah aku kagumi pada pandangan pertama bukan merupakan cowok yang akan gampang di raih. Belum apa-apa Kak Bram sudah memperkenalkan seberapa hebat dia.
"Gue Carissa. Semoga gue bisa kerja dengan baik, bos..." kataku memperkenalkan diri.
"Biasa aja kali, Sa. Segala Bram lo dengerin. Gue gak sehebat itu. Biasa aja. Lagian gue bukan pemilik cafe. Gue cuma invest gara-gara di paksa ini curut." kata Kak Leon dengan santai.
"Gue kok gak asing ya sama tampang lo, Kak?" kata Nancy yang dari tadi diam mengamati.
"Udah yok makan dulu. Keburu malam. Besok gue ada kuliah pagi." kataku memotong kata-kata Nancy yang sepertinya mulai sadar siapa orang yang berada di hadapanku ini.
Menikmati pecel lele dengan suara merdu pengamen jalanan merupakan perpaduan yang pas. Kami berempat larut dalam pedesnya sambel buatan Bang Mamat disertai alunan lagu syahdu sang pengamen.