Lucky Me 5

971 Kata
"Gue capek banget nih, Cy... Capek gue ngeliatin lo buang-buang duit cuma gara-gara stres sama anggota kelompok lo. Gue duduk di sana ya." tanpa persetujuan Nancy, aku mulai melangkah menjauh dari toko baju yang kami datangi. Sudah hampir dua jam aku dan Nancy keluar masuk toko. Nancy menggila saudara-saudara. Dengan langkah semakin di seret, akhirnya aku menyerah. Aku memilih duduk di bangku yang di sediakan oleh pihak mall. Sebelum mendaratkan ppantat di bangku incaran, aku memutuskan membeli minuman dan camilan untuk menemaniku menunggu Nancy yang menghambur-hamburkan uang orang tuanya. Uang bukan masalah bagi keluarga Nancy. Nancy merupakan anak tunggal dari seorang pengusaha yang sukses menembus pasar dunia. Ayahnya yang merupakan warna negara asing melihat peluang di Indonesia yang cukup besar dalam mengolah hasil laut. Berbagai hasil laut dengan kualitas premium berhasil di eksport hingga ke Amerika Serikat. Setelah membeli camilan aku berhasil duduk di bangku incaranku. Rasanya bak menemukan air di gurun pasir. Kaki yang sudah sangat bekerja keras seakan mengucapkan terimakasih karena aku berhasil membuatnya beristirahat sebentar. Menunggu memang bukan hal yang mengasyikkan. Aku harus mencari kegiatan yang bisa membuatku lupa akan waktu. "Sa, yuk cabut. Uda jam sepuluh nih. Lo tidur di rumah gue aja ya. Gue uda panggil Mang Alif buat setirin mobil karena kaki gue uda gak kuat buat nyetir." suara yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang. Nancy datang dengan tangan yang penuh dengan belanjaan. Berbagai tas kertas dari berbagai merk ternama sudah berada di tangan kecilnya. "Gue heran sama lo. Tangan lo itu kecil loh, Cy.. Tapi kalau uda ke mall, tu tangan bisa muat tas banyak banget." celetukku sambil berdiri. Kalian mau tau apa jawaban Nancy? "Itulah kekuatan shopping, sist. Hebatnya cewek kalau uda nemu barang-barang kesayangan terpampang nyata di seantero mall." jawabnya dengan penuh kepuasan. "Semoga Abang gue beneran gak kepincut muka lo. Bisa bangkrut sesaat dia. Secara Bang Marvin gak kaya-kaya banget. Usaha juga baru merintis. Gulung tikar dulu kali ya kalo dia sama lo." jawabku santai. "Eh.. eh.. gila lo ya.. Doain tu yang bagus-bagus buat temen ndiri. Adek ipar harus baik sama kakak ipar." tiba-tiba Nancy jalan mepet ke arahku. "Ogah." aku berjalan cepat ke arah parkir meninggalkan Nancy dengan seabreg belanjaannya. "Eh, gue gak mau tidur di rumah lo. Anterin aja gue ke kosan." begitu kami bertemu dengan Mang Alif, supir keluarga Nancy. "Mang, minta tolong anterin ke kosan aja ya. Saya gak mau tidur sama majikan Mang Alif. Jadi guling mulu. Tidur gak nyenyak walau di kasur mewah." kataku meminta Mang Alif untuk mengantarkanku kembali ke kos. "Ist.. jahat banget sih lo..." protes Nancy dengan mulut yang sudah maju lima senti. **** Hari ini hari pertama aku bekerja. Kalian tau rasanya? So excited. Gajinya sih tidak besar tetapi tetap akan sangat berpengaruh pada tingkat hura-hura yang aku butuhkan. Sebagai anak dari seorang yang bukan konglomerat sepertiku, aku sedikit berharap dengan gaji tersebut. Sebenarnya mama menentang keras aku bekerja sebagai pelayan di cafe tapi papa, diluar dugaan, sangat menyetujui hal ini. Kata Papa, agar aku dapat merasakan bagaimana susahnya mencari uang. Setelah perdebatan dengan mama, akhirnya mama mengalah dan menyetujui aku bekerja namun dengan syarat tentu saja. Yang pertama, Mama tidak membiarkan papa memotong uang jajanku, dan tentu saja aku dukung. Hahaha... Awalnya papa mau berhenti mengirimiku uang jajan kalau aku sudah bekerja. Alasannya kan sudah dapat uang. Ibu tetaplah ibu. Wanita terhebat dari hidupku itu tidak ingin anaknya susah walau sebenarnya aku akan menerima gaji dari hasil usahaku sendiri. Yang kedua, aku harus tetap konsisten dengan nilai-nilaiku. Satu saja aku mendapat nilai C, Mama pastikan aku keluar dari pekerjaan. Dan aku terima tantangan Mama. Dan here I am, Cafe Corner. Kak Bram tengah memperkenalkan aku pada beberapa karyawan. Ada dua karyawan yang off pada hari ini. Total ada sepuluh karyawan, enam cowok dan empat cewek, termasuk aku. Ada bagian pemberi pesanan, bagian bersih-bersih, kasir, dan juga memasak. Kak Bram menempatkanku di bagian kasir bersama seseorang yang bernama Eshan. Dia mengajarkanku cara kerja mesin kasir. Untung cafe ini telah menggunakan aplikasi yang lumayan canggih dan memudahkan kami para karyawan untuk bekerja. Hari pertama bekerja lumayan menyenangkan. Aku menikmati setiap momen yang ada. Pengalaman baru terus aku rasakan selama bekerja hari ini. Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku dan para pekerja lain sibuk merapikan cafe untuk segera pulang ke tempat masing-masing. "Sista.... Gue kangen elo...." suara cempreng Nancy membuatku kaget ketika aku ingin melangkahkan kaki keluar dari cafe. "Lo gak usah kerja lagi ya... Gue kesepian. Eh, lo kerja di cafe nyokap gue aja gimana? Biar gue bebas minta lo buat off. Gak suka gue hidup tanpa lo my sista...." "Gue duluan ya, Sa." kata Ehsan menginterupsi ke absurd-an aku dan Nancy. "Ati-ati ya, Shan. Thank you uda ngajarin gue hari ini." kataku menanggapi Ehsan yang bergegas meninggalkan cafe. "Ya ampun sistaaa.... Kangen banget gue sama lo... Traktir gue pecel lele yok." jawabku tak kalah histeris setelah melihat Ehsan pamit meninggalkan kami berdua. "Ih elo... Secara lo kerja di cafe terus pulang kerja lo minta traktir makan pecel lele. Menangis Kak Bram mendengar permintaan lo." jawab Nancy lebay. "Eh gue juga mau dong pecel lele. Apalagi di traktir. Kenapa gue harus nangis?" tiba-tiba Kak Bram yang datang dari dalam cafe ikut menimpali negosiasiku dengan Nancy. "Nah ini lagi. Bos pemilik cafe minta di traktir mahasiswi kayak gue." Nancy tambah mendramatisir keadaan. "Karena mahasiswinya itu elo, makanya gue minta traktir." kata Kak Bram membela diri. "Hahahaha..." pecah sudah tawa yang aku tahan dari tadi. Niat hanya mengerjai Nancy berujung pemalakan oleh Kak Bram pada Nancy. "Ya udahlah yok. Gue traktir bos dan anak buahnya makan lele penyet. Tapi tempatnya gue yang nentuin." kata Nancy akhirnya. Dengan bibir yang maju entah berapa senti, dia berjalan menuju mobilnya yang parkir tidak jauh dari pintu masuk cafe. Sementara Kak Bram lebih memilih mengendarai motor besarnya sambil mengikuti ke mana arah Nancy melajukan mobilnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN