Vanessa bangun pagi-pagi sekali, dia menyiapkan sarapan dibantu beberapa asisten rumah tangga. Setelah menyiapkan sarapan, Vanessa kembali ke kamar. Dia mendapati Erland yang sedang bertelanjang d**a memperlihatkan seluruh bagian atas tubuhnya yang atletis di tambah perut sixpack idaman kaum hawa.
Spontan Vanessa menutup matanya dengan kedua telapak tangan.
"Maaf, aku tidak sengaja. Aku pikir Mas masih tidur. Apa Mas sudah mandi? Aku mau mandi dulu."
Vanessa berjalan memalingkan wajahnya dan buru-buru menuju kamar mandi.
"Dasar kampungan. Pasti dia takjub melihat gue. Sungguh beruntung dia itu tapi gue yang sial."
Erland mengenakan pakaian santai lalu menata rambutnya tak lupa dia menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Lalu keluar dari kamar. Sedangkan dari balik pintu kamar mandi, Vanessa sedari tadi mendengarkan dengan seksama untuk memastikan Erland pergi. Setelah mendengar pintu kamar yang terbuka, perasaannya sedikit lega.
Selesai mandi segera Vanessa turun ke ruang makan. Tampak Erland telah duduk di meja makan sambil melihat layar ponselnya. Meski gugup, Vanessa berjalan menuju ruang makan dan menyapa Erland.
"Pagi Mas, Mas mau minum teh atau kopi atau yang lain. Aku akan buatkan."
"Kopi hitam pahit."
Vanessa menuju dapur lalu membuatkan kopi. Tak lama, Prima dan Melinda datang.
"Pengantin baru, pagi-pagi sudah bangun. Apa tidurmu nyenyak atau malah bergadang semalaman? ", goda Melisa ke Erland.
"Apaan sih Mami? Tentu tidurku nyenyak semalam."
"Wah, berarti Mami bisa cepat menggendong cucu."
Vanessa membawa secangkir kopi lalu menyapa mertuanya.
"Pagi Papi, pagi Mami."
"Pagi Nessa. Kamu nampak berseri-seri, pasti menantuku ini amat bahagia. Makasih ya Ness, kamu mau menjadi bagian dari keluarga kami."
"Nessa yang harusnya bersyukur Mi. Mami memilih Nessa yang bukan siapa-siapa menjadi anggota keluarga."
(Baguslah kalau dia tau diri, batin Erland.)
"Mi, Pi, Mas Erland. Aku sudah menyiapkan nasi goreng untuk sarapan. Semoga kalian menyukai rasanya. Aku siapkan piringnya dulu."
Vanessa mengambil peralatan makan di dapur.
"Lihat Pi, kita tidak salah memilih menantu. Erland kamu harus memperlakukannya dengan baik. Ingat, kami akan sering mengunjungi kalian di Bandung."
"Iya Mi."
Selesai mereka sarapan, Antonie dan Kanaya baru turun menuju ruang makan. Dengan masih mengenakan piyama, mereka menyapa.
"Papi, Mami, maaf kami telat turun untuk sarapan. Semalam kami mengobrol sampai larut jadinya kesiangan."
"Kami bisa maklum, namanya juga pengantin baru."
Kanaya hanya tersipu malu.
"Mami, jangan menggoda kita. Lihat kan istri Anton jadi memerah pipinya."
Antonie memegangi pipi Kanaya sambil mengelusnya. Vanessa hanya diam dan berusaha tersenyum.
"Mereka pasti menghabiskan malam yang membahagiakan. Aku berharap mereka selalu bahagia bersama. Aku harus mengubur perasaanku kepadanya, iya dia kini kakak iparku."
Selesai membereskan ruang makan, Vanessa membahas tentang perpindahannya ke Bandung dengan Prima dan Melinda.
"Maaf Pi, Mi, Aku ingin membicarakan tentang kepindahan aku dan Mas Erland ke Bandung."
"Ada apa memang Ness? Apa lagi yang kalian butuhkan di sana? Apa rumah yang kami belikan kurang luas? Atau kamu butuh yang lainnya? Mobil atau apa, katakan saja kepada kami jangan sungkan."
Bibir Vanessa terasa berat untuk bicara.
(Apa maksudnya semua ini? Mereka telah mempersiapkan segalanya disana. Tapi aku seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.)
"Bukan begitu. Vanessa merasa terlalu cepat untuk pindah dan bagaimana dengan pekerjaan yang ada di sini?"
"Kami pikir kamu dan Erland sudah membicarakan hal itu dan kata Erland kalian sudah sepakat untuk tinggal di Bandung."
(Mengapa Mas Erland mengambil keputusan sepihak dan tidak meminta pendapat ku.)
"Maaf Mi, Pi. Kalau begitu aku akan membicarakan hal ini lagi dengan Mas Erland."
Vanessa pamit lalu menemui Erland yang berada di kolam renang di taman belakang rumah. Dia sedang sibuk panggilan video dengan Cindy dan kaget dengan kehadiran Vanessa yang tiba-tiba.
"Maaf Mas, kita perlu bicara sebentar."
Spontan Erland mematikan ponselnya.
"Ada apa? Aku sedang ada panggilan penting."
"Maaf mengganggu Mas tapi aku rasa butuh penjelasan tentang kepindahan ke Bandung. Bukankah Mas harus mendiskusikan hal ini sebelumnya denganku? Sebab aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan ku begitu saja juga kakek sendiri di sini."
"Aku ini kepala keluarga dan kamu istri aku. Sudah sepatutnya istri mengikuti dan mendukung suaminya. Dan kamu sebagai istri cukup mengurus rumah. Aku bisa membiayai seluruh kebutuhanmu dan mengirimi uang secara rutin ke kakekmu. Kakekmu pun sudah setuju."
(Mas Erland sudah membicarakan ini ke kakek dan kakek menyetujuinya.)
Vanessa tak mampu berkata-kata lagi. Mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus menuruti Erland untuk pindah ke Bandung.