8

1539 Kata
Waktu berlalu begitu saja, karena kesibukan menyiapkan Sidang skripsi masing-masing, Aruna tidak begitu banyak memiliki waktu untuk bertemu dengan Rona. Mereka memang masih berangkat bersama, tapi di beberapa kesempatan Rona malah tidak pulang dan memilih menginap di kosan salah satu teman yang dekat dengan kampus. Hal itu tentu saja membuat Aruna terpaksa harus berangkat dengan Papa atau Abangnya. Sayangnya, hal itu berulang hingga berminggu-minggu sampai Aruna merasa tidak tahan lagi. Di malam hari seusai dia makan malam, dia menghubungi Rona. Untungnya Rona langsung menjawab panggilan telepon darinya. "Kenapa, Aruna?" Aruna mencebik, menggigiti kuku jarinya. "Rona lagi apa?" "Lagi ngerjain revisi. Kenapa?" "Mau ketemu." "Iya besok." "Mau sekarang aja." Terdengar helaan napas dari Rona di seberang telepon. "Aku enggak bisa, motor ku lagi dipake sama teman." Tersenyum, Aruna bergegas bergerak ke arah lemari, mengambil sweater miliknya. "Yaudah enggak apa-apa. Aku aja yang kesana ya? Aku pinjem motor punya Abang." Terdengar suara berisik dari tempat Rona, Aruna bahkan sampai memanggil nama pria itu beberapa kali karena khawatir. "Dengerin aku, Aruna. Jangan macam-macam! Jangan nekat naik motor kesini. Tunggu aku, Oke? Aku yang pulang, aku yang kesana!" Setelah itu panggilan langsung terputus. Aruna mengerjap pelan, dia menatap layar ponselnya dengan bingung. Padahal dia meminta bertemu karena dia sudah bersiap untuk mendatangi kosan tempat Rona menginap, dia bahkan sudah susah payah meminta izin pada Papanya agar diizinkan meminjam motor milik Arsha yang sudah lama tidak dipakai, tapi Rona yang katanya tidak memiliki perasaan padanya, yang katanya tidak akan bisa menyukai dia, melarang dengan tegas Aruna mengendarai motor untuk menemuinya. Apa-apaan itu? Dia semakin yakin jika Rona berbohong soal perasaannya itu. Tapi mau bagaimana pun juga, Aruna jadi senang. Dia bergegas keluar setelah menggulung rambutnya ke atas. "Udah mau pergi?" tanya Abangnya yang sedang duduk di ruang TV seorang diri. "Enggak! Rona yang kesini!" teriak Aruna sambil berlari ke arah depan. Dengan duduk manis dia menunggu kedatangan Rona. Padahal Rona tadi bilang jika motor miliknya sedang dipinjam teman, jadi mungkin Rona akan lebih lama datang ke rumahnya. Tapi kemudian Aruna dibuat terkejut, saat tidak sampai setengah jam kemudian Rona sudah tiba di depan pagar rumahnya. Pria itu masih bertahan dengan wajahnya yang lempeng bukan main, tapi ada jejak keringat yang muncul di bagian samping wajahnya. Rona kan naik motor bukan berlari, kok bisa keringetan? "Kamu ada perlu apa sih minta ketemu?" tanya pria itu dengan nada sedikit kesal. Aruna tersenyum, menyambut kedatangan Rona dengan senang hati. "Kita udah lama enggak ketemu, udah lama enggak berangkat ke kampus bareng juga. Aku kan kangen," ungkap nya. Rona lekas memutar bola matanya malas, mendudukkan diri di kursi samping Aruna yang terhalang meja kecil. "Mau minum," ujarnya. Aruna langsung beranjak ke dalam, mengambil sekotak jus jeruk dan juga dua gelas kosong. Dia membawa semua itu ke depan untuk dihidangkan pada Rona. "Katanya motor kamu lagi dipinjem?" "Aku nyuruh dia cepet balik sehabis kamu telepon." Aruna tersenyum, "Oh ternyata kamu selain khawatir aku nekat naik motor, kamu juga kangen sama aku ya?" Langsung saja Rona mendelik ke arahnya. "Kan udah aku bilang, jangan bodohin diri kamu sendiri sama khayalan yang kamu buat." Aruna malah tertawa. Dia kini memperhatikan Rona yang tengah meneguk jus jeruk dingin dari dalam gelas. "Tapi aku beneran kangen, Rona. Ini pertama kalinya kita enggak ketemu dalam waktu yang lama." Rona berdecak kemudian, "Waktu KKN kan pernah juga!" "Oh iya hehe." Lalu Aruna mengayunkan kakinya perlahan, hatinya senang sekali karena bisa bertemu dengan Rona malam ini. Kalau saja Rona itu pacarnya, dia pasti sudah memeluk pria itu dengan erat agar tidak pergi lagi. Sayangnya, hingga detik ini hubungannya dengan Rona hanya lah sebesar tetangga sebelah saja. Menyadari hal itu, raut wajah Aruna berubah menjadi suram. "Gimana sama sidang kamu?" tanya Rona memecah hening. "Baik-baik aja. Berdecak, Rona mendorong lengan Aruna pelan. "Maksudnya, kamu udah persiapan seberapa matang?" Merengut, Aruna mengangkat bahunya. "Enggak tahu." Kening Rona berkerut, dia merasa sudah mengenal Aruna dengan baik dan lumayan lama. Tapi perubahan mood gadis ini memang mengerikan, padahal beberapa saat yang lalu kelakuannya masih menyebalkan seperti biasa. Dan sekarang terasa semakin menyebalkan. "Yaudah, kalau memang enggak ada yang mau diomongin lagi, aku balik ke kosan. Masih harus ngerjain skripsi." Ketika Rona sudah bersiap untuk bangun, barulah Aruna menjadi panik. Gadis itu langsung menahan tangan Rona, membuat Rona hampir saja terduduk di kursi dengan keras jika dia tidak menahan bobot tubuhnya. "Jangan pulang dulu. Kan baru ketemu," pinta Aruna memelas. "Ya habisnya, aku udah datang kesini malah dijutekin." Mencebik, Aruna kemudian menunduk. "Kayak sendirinya enggak pernah jutekin aku aja," gumamnya pelan. "Apa?" "Enggak! Kamu udah makan belum?" Rona terdiam sesaat sebelum kemudian menggeleng. "Belum sempat." Lalu mata gadis itu berbinar, dia langsung bangun dan kembali memegang lengan Rona. "Ayo masuk dulu! Masih ada lauk yang tadi buat makan malam," ajaknya. Karena dia memang benar belum makan, maka Rona tidak menolak. Pria itu langsung masuk ke dalam rumah mengikuti langkah Aruna. Di ruang tengah ada sosok Arsha yang langsung berbalik badan ke arahnya. "Apa kabar, Bro? Lama juga enggak liat lo," sapa Arsha ramah. Rona tersenyum sopan. "Baik, Bang. Lagi persiapan sidang sama revisi jadi malas pulang karena jauh dari kampus, Bang." Mata Arsha langsung menatap pada sosok adiknya yang sibuk di meja makan, mempersiapkan makanan untuk Rona. "Beda banget sama  seseorang yang setiap harinya cuma ngeluh kangen sama lo," ujarnya pelan. Karena tahu yang dimaksudkan adalah Aruna, Rona hanya bisa tersenyum kikuk tanpa membalas apapun. Ini yang membuat Rona sedikit tidak nyaman. Walaupun dia tahu bahwa semua anggota keluarga Aruna adalah orang yang baik, tapi berkat sikap Aruna yang sama sekali tidak pandai menyembunyikan perasaannya, sering kali muncul godaan kecil dari keluarga itu saat Rona bertandang ke rumah mereka. "Rona, sini cepet makan!" Aruna melambaikan tangan, berdiri di satu sisi kursi meja makan saat Rona kemudian duduk. "Aku udah pantas jadi istri belum sih, nyiapin  makanan Rona begini?" tanya Aruna bercanda. Dia menaik-turunkan alisnya kemudian. Tak bisa menahan tawa saat kemudian Rona dengan panik menoleh ke arah Arsha yang masih di ruang tamu. Jarak dari ruang tengah dan dapur dekat, terlebih tidak ada sekat disana. Sehingga Rona khawatir Arsha akan mendengar celotehan Aruna dan dirinya akan semakin dianggap sebagai pria pemberi harapan palsu. "Jangan asal ngomong begitu dong, Na," tegur Rona berbisik. Aruna hanya mencebikan bibirnya. Dia mengambil duduk di satu kursi untuk menemani Rona makan. Sepertinya pria itu benar-benar melupakan makan karena sibuk dengan revisi, padahal jika Aruna yang lupa makan pasti dia sudah akan berbaring di kasur rumah sakit. "Jangan biasain enggak makan. Walaupun Rona sibuk, usahain buat tetep makan walaupun harus keluar kosan buat beli makanan," nasihat Aruna lembut. Rona mengangguk dengan mulut yang masih mengunyah. "Iya, biasanya juga makan kok. Cuma tadi belum sempat keluar aja. Tadinya mau beli makanan sebelum balik ke kosan, tapi Alhamdulillah dapat rezeki." Aruna terkikik, tangannya menyodorkan segelas air putih ke arah Rona. "Makasih," ucap pria itu. Aruna membalasnya dengan senyum kecil. Dia jujur, bahwa perasannya pada Rona memang terkesan menggebu-gebu dan berlebihan, tapi walaupun orang bilang  jika perasaan sejenis itu akan mudah hilang, nyatanya perasaan ini malah sudah bertahan hampir empat tahun lamanya. "Habis ini, aku langsung pulang ya." Alis Aruna terangkat sebelah, "Enggak bisa lebih lama disini?" "Yang ada nanti revisian ku enggak selesai." Dengan alasan itu, Aruna tidak bisa lagi membantah. "Kapan Rona pulang ke rumah?" tanyanya. Rona tidak langsung menjawab, pria itu lebih dulu menghabiskan minuman yang diberikan oleh Aruna tadi. Lalu berjalan ke arah tempat cuci piring. "Aku tiap hari pulang kok buat nyalain lampu, tapi kalau yang kamu maksud adalah pulang dalam arti yang sebenarnya, mungkin setelah sidang selesai." Aruna menahan tangan Rona yang hendak mencuci piring bekas makannya. "Enggak usah. Biar bibi aja nanti yang cuciin," cegah nya. Tapi Rona menggeleng dengan tegas. "Cuma ada piring bekas makan aku, berarti sebelumnya bibi udah nyuci kan? Jadi biarin aku aja yang nyuci, lagian aku kan udah dikasih makan." Aruna tetap mencegah Rona melakukan itu, tapi mungkin karena sudah terbiasa hidup sendiri Rona tidak kelihatan kikuk sama sekali saat membasuh piring-piring itu. Aruna jadi merasa malu, karena dirinya yang wanita malah kadang masih saja memecahkan piring saat disuruh untuk mencuci piring kotor. "Nah, udah!" Rona mengelap tangannya dengan kain yang ada disana, berbalik ke arah Aruna yang menunggunya. "Mama, Papa kamu enggak ada ya?" tanya Rona. Karena sejak dia masuk ke rumah tadi, dia tidak melihat penampakan keduanya. "Iya, lagi hadirin undangan," jawab Aruna. Rona mengangguk paham, dia berjalan kembali ke arah depan bersama dengan Aruna. Tentu saja langkahnya itu melewati ruang tengah yang masih ada Arsha di sana. Kini Rona tahu, keberadaan pria itu di sana adalah untuk diam-diam menemani Aruna. Karena Aruna paling takut ditinggal sendirian. "Bang, pamit pulang ya?" Arsha langsung menoleh, "Iya. Hati-hati ya, Ron." Setelahnya Rona melanjutkan langkah hingga ke halaman dimana motornya terparkir. "Udah, masuk sana! Aku langsung jalan," suruh nya pada Aruna. Aruna mengangguk, namun gadis itu tetap tidak beranjak sama sekali. Rona berdecak, "Masuk, Aruna!" "Yaudah, Rona jalan aja duluan. Habis Rona jalan, aku langsung masuk kok," balasnya keras kepala. Rona mendesah berat, dia memang tidak bisa menang melawan keras kepalanya Aruna. Maka dia kemudian menyalakan mesin motornya, memutar motornya hingga menghadap ke arah luar. "Aku jalan ya?" pamitnya. Dengan senyum lebar, Aruna mengangguk. Tangannya melambai kemudian. "Hati-hati ya... Makasih udah mau datang!" Setelahnya Rona benar-benar berlalu pergi. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN