Aruna tidak tahu apa yang membuat Rona sejak tadi gelisah di atas jok motor. Berulang kali pria itu menoleh padanya, tatapannya terlihat cemas. Tapi pria itu tidak bertanya apapun.
Aruna sendiri mendiamkan nya, karena sejujurnya dia masih lemas, perutnya juga masih mual. Angin yang menerpa tubuhnya dalam perjalanan bermotor membuat keadaannya tidak bisa dibilang baik, dia benar-benar ingin cepat sampai dan bergelung di dalam selimut di kamarnya.
Tiba di lampu merah terakhir sebelum rumahnya, Aruna meringis. Tanpa sadar tangannya memegangi jaket Rona lebih kencang, hingga membuat pria itu kembali menoleh.
"Kamu kenapa?" tanya Rona. Sudah jelas ada masa cemas dalam pertanyaannya itu.
Aruna memaksakan senyum, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban.
"Enggak apa-apa kok."
Enggak berkata jujur jika angin yang menerpa membuat dirinya merasa tidak baik-baik saja.
Tapi ternyata Rona tahu keadaannya, pria itu memegangi kedua tangan Aruna, memasukan keduanya ke dalam saku jaket yang pria itu kenakan. Tentu saja Aruna terkejut.
"Aku tahu kalau enggak seharusnya kamu naik motor dalam keadaan sakit begini. Kalau aja kamu masih sama Andika, kamu bisa aman ada di dalam mobil dia," ujar Rona pelan.
Jika motornya sedang melaju, mungkin Aruna tidak akan bisa mendengar perkataan bernada pesimis itu, tapi karena mereka terhenti di lampu merah maka Aruna mendengarnya dengan jelas.
Ternyata sejak tadi Rona menyimpan rasa bersalah karena memboncengi Aruna dengan motor di saat dirinya beberapa saat lalu pingsan.
Di dalam saku jaket itu, tantan Aruna memegangi perut Rona lebih kencang. Bisa dia rasakan tubuh Rona yang menegang karena aksinya itu.
"Kamu yang paling tahu kalau aku akan lebih milih kamu sekalipun aku masih sama Dika. Lagian kalau soal naik mobil, aku bisa nelpon Abang. Tapi aku enggak mau karena aku lebih pilih pulang bareng kamu," balas Aruna.
"Tapi..."
"Lampunya udah hijau," potong Aruna. Dia tidak ingin mendengar kalimat bernada tidak percaya diri itu lagi dari Rona.
Padahal pria itu kekeuh mengatakan bahwa dia tidak akan mungkin menyukai Aruna, tapi faktanya Rona selalu melakukan segala yang terbaik untuk dirinya. Aruna selalu dibuat bingung oleh sikap Rona yang hanya baik padanya, bagaimana dia bisa tidak berharap jika seperti itu?
Menikmati perjalanan dalam hening, tangan itu masih berada di dalam saku. Aruna bahkan menempelkan kepalanya ke punggung Rona, ini bukan upaya modusnya tapi karena Aruna memang sedang menahan rasa pening yang belum mau hilang sejak tadi.
Hingga mereka tiba di rumah Aruna yang bersebelahan dengan Rona, Aruna turun. Dia menatap Rona yang juga ikut turun dari kendaraannya.
"Kamu udah enggak ada kelas?" tanya Aruna pelan.
Pria dengan wajah datar itu menggeleng.
"Masih ada satu jam satu nanti."
Mengangguk paham, Aruna bergerak ke arah pagar rumahnya.
"Kalau begitu, kamu hati-hati ya? Makasih udah nganterin aku."
Buru-buru tangannya membuka pagar dengan kunci yang dia punya. Tapi kemudian dari belakang, Rona memegangi pundaknya hingga Aruna terkejut.
"Kamu harus minum obat. Tadi sebelum pulang, aku udah ngasih tahu Bang Arsha kalau kamu pingsan."
Menghela napas, Aruna hanya bisa tersenyum. Jika abangnya sudah tahu bahwa dirinya pingsan, maka tidak ada jalan lain bagi Aruna selain menerima omelan dan nasihat dari Arsha.
"Iya, itu berarti aku enggak akan mungkin lupa buat minum obat," sarkas Aruna.
Dia kembali tersenyum, melambaikan tangannya pelan pada Rona yang masih berdiri.
Pria itu harusnya langsung kembali naik ke motornya setelah Aruna mencapai teras rumahnya. Tapi hingga Aruna masuk ke dalam rumah dan menutup pintu utama, pria itu masih berdiri disana dengan tanpa melakukan apapun.
Aruna sempat melihat dari tirai yang tersingkap, baru setelah beberapa menit kemudian pria itu berbalik dan pergi dengan motornya.
"Pembohong," gumam Aruna.
"Siapa yang pembohong?"
Terlonjak kaget, Aruna langsung berbalik badan dengan cepat. Dia mengusap dadanya begitu menyadari yang baru saja mengagetkan nya adalah Mamanya. Nyaris saja penyakit asam lambung nya berubah menjadi penyakit jantung.
*
Padahal Rona baru saja sampai di kampus setelah mengantarkan Aruna, tapi dia kemudian menerima pesan dari seseorang yang tidak bisa dia abaikan.
Dia berpikir keras, haruskah dia melewatkan satu kelas penting yang harus dia ikuti sebelum sidang? Tapi dia tidak bisa untuk tidak pergi setelah membaca pesan yang dia terima.
Lantas dia berlari ke arah kelas, menemui salah seorang adik tingkat yang cukup dekat dengannya.
"Gue enggak bisa masuk kelas. tolong lo kirim catatan lo nanti ya? Gue beliin makan."
Begitu katanya.
Dan setelah mengucapkan hal itu, Rona langsung kembali berlari menuju parkiran dimana motornya berada. Dia mengendarai motor dengan kecepatan di atas Rata-rata, dia harus buru-buru.
Hingga kemudian sampai pada sebuah gang yang cukup lebar untuk dimasuki sebuah mobil, Rona masuk kesana. Tujuannya adalah sebuah tanah kosong yang ada di ujung perumahan, di sana terdapat sebuah rumah pohon yang usang, yang jarang orang lain tahu. Tapi dirinya dan orang yang hendak dia temui mengetahui betul letak rumah pohon itu, karena memang mereka lah yang membuatnya dulu.
"Dita! Dita!"
Rona mendongak, hingga kemudian seorang gadis muncul dari dalam rumah pohon. Wajah gadis itu lebam di beberapa bagian, persis seperti yang selalu Rona lihat selama ini.
Menghembuskan napas kasar, Rona lalu ikut naik ke atas sana, menyusul gadis yang merupakan orang yang mengirimi nya pesan tadi.
"Mereka mukulin kamu lagi?"
Gadis itu malah tersenyum menanggapi pertanyaan yang Rona lontarkan. Lalu dengan tiba-tiba kepalanya disandarkan ke pundak Rona.
"Aku capek banget, Ron. Rasanya bahkan aku enggak ngerasain sakit di luka aku lagi."
Tangan Rona terkepal mendengar keluhan dari gadis yang merupakan mantan kekasihnya itu.
"Bukannya kamu lagi usaha buat bisa kerja di luar negeri setelah lulus kuliah? Gimana kalau sekarang kamu pindah aja? Ngekos?"
Kepala yang bersandar pada pundaknya itu menggeleng pelan.
"Mereka cuma akan mukulin adik aku sebagai gantinya kalau aku pergi. Aku perlu punya banyak uang, supaya bisa bawa pergi Dini bareng aku."
Rona benci saat dirinya merasa tidak berguna. Untuk kasus Aruna tadi saat Aruna yang sakit harus menahan rasa tidak nyaman berada di atas motornya dan juga untuk kasus Andita ini, dimana dia hanya bisa merasa marah dan sedih melihat wajah gadis ini babak belur dipukuli orang tuanya. Rona bukan pria kaya yang memiliki banyak harta, bahkan rumah yang dia tempati juga dibeli dari tabungan milik Papanya yang tersisa.
Andai saja dia punya uang banyak, dia akan memberikan itu pada Andita agar Andita bisa kabur bersama dengan adiknya.
"Apa...kamu mau tinggal sama aku? Kamu juga bisa bawa Dini."
Pertanyaan itu membuat kepala Andita yang tadinya bersandar, langsung terangkat. Gadis itu menatap Rona dengan wajah babak belur nya, kemudian tertawa sambil menahan perih di wajahnya.
"Kamu mau kita digrebek terus dinikahin?"
Rona langsung terdiam, dia memalingkan wajah ke arah lain karena malu sudah berpikir impulsif seperti itu.
"Walaupun kehidupan ku enggak jelas, tapi aku tetap mau punya suami yang sayang dan cinta sama aku. Dengan begitu, aku yakin aku bisa bahagia. Aku enggak mau nikah sama kamu," kata Dita sambil tersenyum geli menatap Rona.
Rona ikut tersenyum, kembali dia menarik kepala Dita dan menyandarkan di pundaknya.
"Kalau gitu, sekarang kamu mau kemana? Kalau kamu balik lagi, mereka pasti bakalan mukulin kamu lagi. Kali ini apa masalahnya?"
"Aku ketahuan nyimpen uang beasiswa ku sendiri tanpa kasih ke mereka. Padahal niatnya mau aku tabung buat biaya kabur sambil bawa Dini."
Rona berdecak kesal. Orang-orang itu memang iblis, bisa-bisanya memukuli anak mereka sendiri hanya karena uang.
"Terus sekarang Dini dimana? Akhirnya uang itu mereka ambil?"
Kepala Andita menggeleng.
"Enggak. Aku bilang uangnya udah aku bayarin buat biaya kampus dan acara kampus lainnya, aku cuma kasih mereka lima puluh ribu makanya mereka marah. Tapi tadi aku udah telepon Dini supaya dia nginep di rumah temennya aja," jawab Dita.
Rona mengangguk paham.
"Kamu sendiri? Kamu mau kemana?"
Gadis itu tampak menghela napas pelan, menegakan tubuhnya sambil mengusap area wajah yang lebam.
"Aku bakalan nginep di rumah Baby. Tadi dia udah nawarin, tapi aku bilang aku perlu ketemu kamu dulu."
"Itu bagus," komentar Rona.
Baby adalah teman mereka juga, jadi Rona merasa Dita akan aman jika berada disana.
"Kalau begitu, aku anterin kamu ke rumah Baby sekarang," ujarnya sambil berdiri.
Andita mengangguk, dia bangun dengan dibantu oleh Rona. Menuruni tangga yang sudah reot dan mungkin saja tidak akan bertahan lama sebelum akhirnya rubuh.
Setelahnya Dita naik ke boncengan motor Rona, memegangi perut pria itu membelah jalanan perumahan yang padat menuju ke gang yang lain yang ada di ujung jalan. Di perumahan sebelah itu lah, rumah Baby berada.
Saat mereka sampai, rumah Baby sedang ramai. Itu bukan hal aneh karena Baby memang menjadi guru les setiap sore hari untuk anak-anak di sekitar rumahnya. Dulu waktu SMA, Rona dan Andita juga ikut mengajar dan uangnya mereka gunakan untuk ikut dalam acara study tour.
"Masuk aja! Aku belum selesai ngajar nih," kata Baby saat melihat mereka datang.
Rona dan Dita mengangguk, mereka masuk ke dalam rumah. Langsung disambut seruan dari Ibu Baby yang hampir menangis melihat wajah Andita yang penuh lebam.
"Kamu harusnya lapor polisi, Nak," katanya serak.
Andita tersenyum, "Dita enggak mau durhaka dengan ngelaporin orang tua sendiri ke Polisi, Bu."
"Mereka bukan orang tua lagi, tapi iblis."
Dita malah tertawa sebagai tanggapan.
"Kalau begitu, kalian tunggu disini. Ibu ambilin cemilan sama minum."
Sebelum Ibu baby yang baik hati itu beranjak, Rona lebih dulu bangun dari duduknya.
"Bu, Rona mau langsung pulang aja. Soalnya udah sore, malas kalau kena macet di jalan," pamitnya.
Wanita paruh baya itu tampak kecewa.
"Tapi kan Rona udah lama enggak main kesini," keluhnya.
Tersenyum, Rona mendekat dan mencium tangan wanita baik hati itu.
"Nanti Rona akan main kesini lagi."
Kemudian atensinya teralih pada Andita.
"Jangan lupa obatin muka kamu. Aku pulang dulu."
Lalu setelahnya dia meninggalkan rumah sederhana itu dan segala kehangatan juga kebaikan penghuninya.
**