6

1547 Kata
"Rona, baru selesai kelas ya?" Menoleh, Rona hanya mengangguk saja menanggapi pertanyaan dari teman saku fakultas nya. Namanya Gemini, gadis itu memiliki surai panjang sebatas punggung namun sekali membiarkannya tergerai. Walaupun begitu, penampilannya tidak terlihat menyeramkan dan malah terlihat cantik. "Sekarang kamu kemana? Mau makan di kantin? Bareng yuk! Kebetulan aku juga belum makan." Diingatkan soal makan, Rona jadi teringat dengan bekal yang diberikan oleh Aruna tadi pagi. Dia hampir saja melupakan bekal itu kalau Gemini tidak membahas soal makan. "Ah, maaf. Gue udah bawa bekal dari rumah," tolak Rona. Dia langsung berbalik badan, hendak meninggalkan gadis itu saat tiba-tiba saja tangannya ditahan oleh Gemini. Jelas Rona terkejut, dia sesaat hanya memandangi tangan Gemini yang mengekang lengannya sebelum kemudian melepaskan tangan gadis itu. "Kalau gitu, temenin aku makan aja ya di kantin? Kamu bisa makan bekal yang kamu bawa juga. Aku enggak ada teman buat makan bareng," pinta gadis itu dengan pupil mata yang memelas. Rona sebenarnya keberatan, karena bagaimana pun dia belum pernah makan bersama gadis selain mantan pacarnya dulu dan juga Aruna. Dia juga memiliki firasat jika penampakan nya yang makan bersama dengan Gemini tidak akan menimbulkan kesan yang baik bagi orang lain. Gemini adalah wanita milik semua orang, dengan kata lain Gemini adalah idola fakultas nya. "Maaf, tapi gue--" "RONAAAAA!" Tersentak, Rona langsung membalikkan badannya ke arah seseorang yang baru saja meneriakkan namanya. Dahinya mengerut mendapati seorang gadis dengan rambut yang lebih panjang di sisi kanan daripadanya kirinya, tengah berlari sambil terengah-engah. Jika dia tidak salah ingat, ini adalah gadis yang sering kali terlihat bersama dengan Aruna. Tapi kini Aruna tidak berada bersama dengannya. "Kenapa?" tanya Rona. Gadis itu mengangkat telapak tangan, sepertinya meminta waktu agar bisa bernapas dengan lebih baik lagi setelah berlari entah darimana. "Gue..dari tadi nyariin lo," ujarnya masih tersengal. Rona hanya diam, menunggu sampai gadis itu bisa berbicara dengan benar tentang maksud dari kedatangannya mencari Rona. "Aruna... Pingsan." Hanya dengan kalimat pendek itu, jantung Rona langsung berdegup dengan kencang. "Pingsan kenapa?" "Enggak tahu. Kayaknya asam lambung dia kumat." Asam lambung? Rona ingat jika gadis itu menang memiliki penyakit lambung. Itu lah kenapa keluarga Aruna selalu memastikan bahwa gadis yang banyak tingkah itu sudah makan sebelum berangkat ke kampus. Tapi tadi pagi, sekilas Rona melihat Aruna yang membawa dua kotak bekal saat mengajak dirinya sarapan bersama. Apakah itu berarti Aruna sengaja tidak makan pagi karena berharap bisa sarapan bersama Rona? Dan sialnya, Rona malah menolak dengan alasan takut terlambat ke kampus. Tidak lagi memperdulikan siapapun yang ada disana, Rona langsung berlari dengan cepat menuju fakultas ilmu Bisnis tempat Aruna. Dia bahkan tidak menyadari jika tadi Gemini bahkan masih disana. Kini yang terpenting baginya adalah melihat keadaan Aruna. Gadis itu bahkan sampai mengabaikan kesehatan nya sendiri demi Rona. Entah akan segila apa lagi Aruna ke depannya jika gadis itu masih menyimpan perasaan padanya. Rona memang belum sempat bertanya pada teman Aruna dimana gadis itu kini berada, tapi Rona sangat yakin jika Aruna ada di ruang kesehatan. Setidaknya itu hadapan Rona, karena jika Aruna sudah dipindahkan ke rumah sakit, itu berarti keadaan gadis itu lebih parah dari yang dia bayangkan. Sampai di ruang kesehatan, yang terlihat bukan hanya Aruna yang berbaring. Tapi juga ada Andika dan satu orang gadis yang tampaknya penjaga ruang kesehatan. "Lo udah datang," kata Andika dengan senyum kecil. Seperti memang sengaja menunggu dirinya datang, Andika langsung bangun dari duduknya dan berjalan menghampiri Rona. Pria itu menepuk pundak Rona seperti yang terakhir kali pria itu lakukan juga. "Aruna katanya belum makan dari pagi. Dia tadi udah sempat sadar tapi nolak makan nasi, cuma sempat minum teh anget aja," beritahu Andika. Rona mengangguk paham, dia menggumamkan kata terimakasih pada Andika yang kemudian berlalu pergi. Pun dengan gadis yang tadi bersama dengan Andika. Gadis itu langsung kembali ke meja yang ada di pojok ruangan, memberikan ruang pada Rona untuk hanya berdua dengan Aruna. Rona mendesah berat, dia duduk di kursi yang ada di sebelah Aruna. Tangannya secara reflek membelai wajah pucat gadis itu. Padahal selama ini dia sangat terganggu dengan sikap Aruna yang terlalu hiperaktif, tapi ketika melihat gadis itu hanya terbaring seperti sekarang, itu malah membuat dirinya tidak senang. Rasanya dia akan lebih memilih melihat tingkah menyebalkan Aruna saja, daripada melihat gadis itu yang tidak berdaya di atas tempat tidur ruang kesehatan. Kepalanya lalu teralih ke arah nakas, melihat ada kotak bekal yang setengah terbuka. Itu kotak yang sama dengan yang diberikan pada Rona, hanya berbeda warna saja. Ternyata benar jika pagi ini Aruna memilih membawa bekal karena ingin sarapan bersamanya sebelum berangkat, tapi Rona malah membuat Aruna menjadi seperti sekarang. "Hah!" Rona mendesah panjang sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Dia memang hampir terlambat tadi, tapi seharusnya dia memastikan bahwa Aruna sudah memakan bekalnya. Dia benar-benar tidak tahu soal itu. "..Rona?" Tersentak, Rona langsung mengangkat wajahnya. Dia kali ini menghembuskan napas lega melihat Aruna yang sudah bangun dari tidurnya. "Kenapa kamu bisa jadi begini?" tanya Rona. Dia menarik kursi yang diduduki nya untuk mendekat ke arah brankar. "Aku enggak apa-apa kok. cuma lupa makan aja," jawab Aruna lemah. Rona langsung teringat kotak bekal milik Aruna, dia menyingkirkan penutupnya dan kemudian mengambil satu sendok nasi. "Kamu mau nyuapin aku?" tanya Aruna. Mengangguk, Rona menambahkan lauk ke atas sendok. "Harusnya kalau memang mau nyuapin aku, kamu bantu aku bangun dulu dong!" Mendengar perkataan Aruna, Rona kembali meletakkan kotak bekal itu kemudian memegangi lengan dan bagian belakang tubuh Aruna, membantu gadis itu untuk duduk dengan nyaman di atas kasur. "Kenapa enggak bilang kalau kamu belum makan?" Rona menyodorkan sendok ke depan mulut Aruna. Gadis itu menurut untuk langsung membuka mulut dan melahap suapan dari Rona. "Kan Rona sendiri yang bilang, kalau nanti telat kalau sarapan dulu." "Itu kan karena aku pikir kamu cuma akan nungguin aku sarapan kayak biasanya. Aku enggak tahu kalau kamu juga belum sarapan." Rona kemudian mendesah berat, menatap wajah pucat Aruna di depannya. "Lain kali, jangan begini lagi. Lebih baik kamu sarapan di rumah biar enggak lupa. Jangan ngarepin aku, aku enggak mau kamu jadi begini lagi karena aku," pintanya dengan nada pelan. Rona yakin Arsha akan sangat marah jika tahu adiknya sampai pingsan hanya karena belum sarapan. Padahal Arsha secara pribadi menitipkan Aruna pada Rona. "Aku cuma mau minta maaf sama kamu atas sikap aku semalam, makanya aku berniat sarapan bareng sama kamu. Tapi kamu bilang takut telat, terus aku juga lupa kalau aku belum sarapan. Jadi sebenarnya ini bukan salah kamu, aku nya aja yang lemah," kata Aruna sambil menunduk. Wajah gadis itu terlihat kesulitan dalam mengunyah makanan. Biasanya orang yang memiliki asam lambung memang tidak akan bisa menikmati makanan saat asam lambungnya sudah naik. Tapi biar bagaimanapun, Aruna tetap harus makan atau sesuatu akan jadi lebih buruk dari sekarang. "Pokoknya lain kali kamu harus udah sarapan di rumah. Tolong jangan bikin diri kamu sendiri dalam kesulitan." Satu sendok lagi terulur ke arah Aruna, namun gadis itu menolak dengan membekap mulutnya sendiri. "Aku udah enggak bisa. Kalau dipaksain nanti malah muntah," tolak nya. Memperhatikan raut wajah Aruna sejenak, Rona akhirnya menyerah. Dia kembali menutup kotak bekal itu dan meletakkan ke tempat semula. Kini tangannya terulur untuk memberikan segelas air putih yang masih utuh di atas meja. "Aku mau teh aja, bisa engga?" "Enggak. Kamu harus minum air putih." Wajah Aruna langsung mencebik, dengan ogah-ogahan gadis itu menerima gelas air putih dari Rona dan meneguk nya sedikit. "Bahkan kamu enggak minum setengahnya." "Air putih kan enggak enak, enggak ada rasanya." "Ya memang begitu! Tapi kamu tetap harus banyak minum air putih, atau kamu akan berakhir dengan mendapatkan penyakit lain." Aruna melotot, "Kamu nyumpahin aku sakit lagi? Seneng ya kalau aku sakit? Jadi enggak ada lagi yang gangguin kamu?" sewot nya. Kepala Rona menggeleng, tangannya terangkan untuk menyelipkan anak rambut Aruna yang jatuh menutupi wajahnya karena gadis itu menggerakkan kepalanya kesana kemari. "Aku sama sekali enggak suka lihat kamu sakit. Walaupun kamu dalam mode normal itu menyebalkan, tapi aku tetep enggak suka lihat kamu yang malah enggak bisa ngapa-ngapain kayak tadi. Makanya aku minta kamu minum banyak air putih, biar kamu enggak sakit." Rupanya pengakuan yang dia katakan itu memberikan efek lebih bagi Aruna. Gadis itu langsung memalingkan wajah, tapi dari telinganya yang terlihat merah sepertinya Aruna terlalu senang mendengar Rona mengkhawatirkan nya Rona tersenyum, sifat malu-malu sama sekali tidak cocok dengan karakter Aruna. Tapi walaupun begitu, gadis itu masih terlihat menggemaskan saat sedang malu. "Kalau kamu udah baikan, lebih baik aku antar kamu pulang ke rumah aja," kata Rona kemudian. Dia bangun dan memakai kembali tas yang tadi dia letakan di bawah kursi. "Tapi omong-omong, kamu bisa tahu kalau aku pingsan, dari siapa?" tanya Aruna tanpa beranjak. "Dari teman cewek kamu yang rambutnya enggak rata." Tiba-tiba saja Aruna tergelak setelah mendengar jawaban dari Rona. "Kamu sembarangan banget ngatain rambut Moria enggak rata. Kalau dia sampai denger, dia pasti bakal marah. Itu tuh trend!" Rona hanya mengangkat bahunya acuh. "Aku enggak ngerti soal trend. Yang kelihatan di mata aku ya rambut dia enggak rata." Kemudian tangannya terulur ke arah Aruna, hendak membantu gadis itu untuk turun dari brankar. "Kamu memang cowok yang dingin," komentar Aruna. Gadis itu bersusah payah hendak mengenakan kembali sepatunya sampai akhirnya Rona yang melihat itu menjadi tidak tahan. Ia berjongkok, membantu Aruna mengenakan flatshoes miliknya. "Sudah, ayok pulang!" Lekas setelah Rona berbalik badan sambil membawakan tas milik Aruna, wajah gadis itu tersenyum dengan merona. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN