Tiga puluh menit bagi Hadwan seperti waktu yang sangat singkat. Tidak terasa kalau bel sudah berbunyi seiring dengan Samsul yang melemparkan tas kepada Hadwan sampai dia terduduk di depan tiang bendera itu. Untung cuacanya sudah mulai tidak panas. Malah membuat Hadwan enak jika rebahan di sini. Samsul dan Randi ikut duduk di sampingnya. Lalu, datang Haikal yang melemparkan botol air mineral mini pada lelaki itu.
"Ah, si eta mah ada maunya!" sembur Samsul saat melihat aksi Haikal itu. Haikal hanya tertawa, lalu berkacak pinggang dengan satu tangannya lagi yang bertumpu pada tiang.
"Dilarang sogok menyogok, Kawan!" Randi berteriak. Lelaki itu tiduran di lapangan seolah tidak memikirkan bajunya yang akan kotor nanti. Mungkin lelaki jangkung tersebut berpikir kalau besoknya tidak akan memakai seragam lagi karena berganti menjadi batik. Bahkan, kedua tangan Randi dijadikan bantalan seakan tengah tiduran di tengah rumput yang empuk.
"Yeh, aing bukan nyogok. Cuma ngebaikin doang, biar inget budi." Haikal selalu saja bisa bermain kata dalam urusan menyogok. Kelakukan Haikal yang seperti itu memang bukan sudah satu atau dua kali saja, melainkan sering dari awal masuk sekolah sampai semua anak kelasnya paham dengan kebiasaan lelaki itu.
"Apaan?" tanya Hadwan mulai peka selepas menegak airnya itu sampai habis. Dia menekuk sebelah lututnya dengan satu tangan bertengger manis di lutut itu dan satu tangannya lagi menumpu berat badan.
"Gue punya proyek. Main futsal di Hale, tapi masih kurang empat orang." Haikal mulai membuka niatnya.
"Lawan saha, Nyet?" Kalau urusan main futsal, Samsul pasti orang pertama yang akan maju jika ada orang yang kekurangan. Menimbang dia pun sadar kalau anggota di Club yang Haikal buat belum cukup banyak seperti dirinya. Padahal, Haikal bisa saja gabung dengan kumpulan Hadwan.
"Grup si Arian. Yang menang dapet nomor adik kelas. Yang kalah harus nyari nomornya."
"Nggak. Gue nggak ikut!" Hadwan tentu akan menolaknya dengan tegas. Lelaki itu menggeleng dan bahkan mau berdiri kalau saja Samsul tidak menariknya sampai duduk kembali.
"Bercanda gue, Wan. Nggak ada taruhan!" kata Haikal meluruskan. Lagipula yang tadi cuma bohongan. Itu cuma taruhan antara dia dan Gunawan, temannya Arian.
"Dih, cemen. Takut Arisha marah, hah?" Randi tertawa setelah mengatakan itu. Hadwan suka terlihat lebih takut melanggar apapun selepas dekat dengan Arisha.
Hadwan mendengus. "Percuma, anjir. Dia udah marah sama gue."
Samsul langsung menyentil kening Hadwan geram. "Cari we yang baru sia teh!"
Samsul suka aneh dengan laki-laki yang masih mau berjuang tanpa kenal lelah, padahal perempuannya sudah kelihatan tidak mau. Oke, pikiran Samsul memang beda. Bahkan lelaki itu ingin dikejar, bukan mengejar.
Hadwan malah tergelak mendengarnya dan mendorong tangan Samsul menjauh. "Haha, bangsat."
"Jadi nggak, Brodi?" Pertanyaan Haikal membuat atensi mereka langsung teralihkan.
"Kapan? Ngajak aja, jadwal kagak dibuka!" protes Randi lumayan keras.
"Malam ini."
"Nah, ayo gas! Gue ngikut." Samsul yang paling bersemangat di sini. Futsal adalah hidupnya.
"Ya udah lah, gue juga." Hadwan terlihat pasrah.
"Lu Ren?"
"Hayu."
"Satu lagi siapa? Pusing aing!"
"Athalla."
•
"Bang, serius ngajak gue ke sini?"
Arisha melihat ke sekitar saat telah menaiki tangga. Oh, ternyata di sini ada lapangan. Di sampingnya ada tiga kursi warna Oren, lalu beberapa tas yang kemungkinan adalah teman Babang.
"Ya emang kenapa?" Lelaki itu sudah terlihat bergaya dengan baju hijau tosca polos dan tidak ada nama club-nya sama sekali. Mungkin bukan pertandingan formal.
"Lo mau ngajak futsal?" tanya Arisha polos sembari berjalan pelan melihat isi tempat itu.
"Temenin gue futsal doang."
"Ya ikut main dong, Bang Bang namanya." Arisha menoleh, menatap Babang kesal.
"Kagak, b**o. Lo cuma nonton doang, lihatin gue main."
"Lo serius mau main futsal?" Ya gimana, ya. Dulu, Babang tidak terlalu bisa main bola sepak. Bisa, sih, bisa cuma tidak jago aja kelihatannya.
"Iya lah. Emang yang main, harus yang jago!?"
"Ya udah, sih, jangan ngegas." Arisha mendengus. Ya emang cara ngomongnya salah, seakan meremehkan lelaki itu. "Hati-hati aja mainnya."
"Dikira gue mau nyebrang apa, hah?"
Arisha tertawa lalu duduk di samping lapangan. Babang hanya mendengus, ikut duduk di samping Arisha sembari mengeluarkan sepatunya.
"Lo mau main sama siapa?" tanya Arisha penasaran. Sesekali matanya melirik pada lapangan dengan warna biru tersebut.
"Tetangga kelas, tapi lo jangan kabur."
Arisha kontan menoleh kembali saat mendengarnya. "Kenapa kepikiran kalau gue mau kabur?"
Babang terdiam cukup lama. Mungkin juga karena terlalu fokus mengikat tali sepatu.
"Orangnya siapa emang, Bang?" Arisha semakin mendesak jawaban selepas Babang selesai. Lelaki itu kembali terdiam cukup lama sebelum akhirnya dua nama yang paling tidak dia inginkan disebut dengan jelas.
Lalu, kenapa Babang harus mengajak dia ke sini?
"Hadwan sama Arian."
Begitu menoleh, mimik muka Arisha langsung berubah drastis. "Gue balik deh."
"Nggak solid. Masa sepupunya tanding nggak ditonton!" Kening Babang berkerut dalam tidak suka.
"Kenapa nggak ajak Intan aja? Dia udah pasti mau."
Arisha juga bingung sebenarnya saat Babang tiba-tiba menariknya ke sini. Padahal, biasanya pun Babang selalu dengan Intan, bukan dirinya. Padahal gadis itu tadi ada, lho, di rumahnya lagi duduk di teras sambil nonton di laptop.
"Maunya lo. Gimana dong?" s****n emang si Babang.
"Terserah, deh. Gue mau balik, Bang."
Arisha mulai berdiri, tapi perkataan Babang selanjutnya malah membuat dia mengurungkan niat lebih dulu untuk segera beranjak.
"Lo harus mulai menerima keadaan."
"Tapi gue nggak bisa kalau ada Hadwan sama Arian!" tegas Arisha terlihat paling tidak mau. Kalau dia bertemu dengan keduanya dalam ruangan yang sama ... Arisha tidak bisa janji untuk tidak pergi. "Emang harus?"
Babang berdecak, menyugar rambutnya ke belakang. "Nggak gitu, Arisha."
"Gue balik, deh, Bang. Ada gue atau nggak juga tetap nggak memberi pengaruh apa-apa."
Ya bener, kan? Lagipula saat Babang tanding nanti, dia tidak akan mau jika harus disuruh teriak menjadi suporter atau membelikan mereka minuman.
"Ya jangan lah. Udah, diem di sini." Babang menariknya sampai duduk di kursi kembali. Mata gadis itu melotot, membuat Babang menarik tangannya ketakutan.
"Gue nggak mau, gue nggak suka lihat dia."
"Ya jangan diliat. Gue nggak nyuruh lo nonton Hadwan sama Arian. Gue cuma nyuruh lo nonton gue doang."
Di mana tempat yang tepat untuk memusnahkan lelaki seperti Babang ini? Mata dia masih normal, lho, meskipun minus pun tetap kelihatan. Ditambah dengan suasananya yang pasti beda. Badan dia pasti panas dingin saat Hadwan datang.
"Tapi kan, Bang. Tetap aja muka mereka berdua kelihatan! b**o, kok, dipelihara."
Babang lagi-lagi mencebik. Sebenarnya, caranya gampang, lho. Dia pun telah memberikan solusi yang bagus, kan? "Jangan pake kacamata! Biar muka mereka burem."
"Nggak, gue mau pulang."
"Jangan pulang. Lo mau pulang naik apa coba? Helikopter pribadi? Inget, lo bukan lagi di Jakarta."
Ya, iya. Namun, dia mau apa di sini!?
"Tapi gue nggak mau di sini."
"Lo jangan pulang sendiri! Udah, tungguin gue. Kalau lo dibegal gimana? Kasihan lah duit lo."
Tangan Arisha bergerak memukul bahu Babang. Kenapa dari banyaknya tujuan sang begal harus uang yang dipikirkan? Tidak mau gitu memikirkan nyawanya?
"Diem dulu, cuma sebentar. Nanti gue beliin cokelat satu kardus," kata Babang kembali. Dia yang ajak Arisha ke sini. Mereka berangkat bersama, pulangnya juga harus barengan dong.
Mata Arisha mulai memicing mendengar itu. "Bener?"
"Iya lah, Bangke." Butuh berapa kali untuk Babang menjelaskan banyak janji pada Arisha?
"Kalau gue nggak kuat liat mereka gimana?"
"Jangan pulang deh intinya. Kalau udah muak lihat mereka berdua, turun aja ke bawah. Di sana ada Cafe. Lo tunggu di sana, jangan ke mana-mana. Nanti gue jemput."
"Ngomong dong dari tadi."
"Heh, Bang!"
Tubuh Arisha langsung membatu dibuatnya. Tanpa menoleh pun, dia pasti sudah tahu kalau suara itu milik Hadwan. Orang yang telah memporak-porandakan hatinya cukup lama.
•
"Kenapa, sih, tiap ada gue harus menghindar gini terus, Arisan?"
Hadwan duduk di depan Arisha dengan peluh yang masih menempel. Tadi, dia memang memilih untuk main lebih dulu meskipun Arisha malah tetap turun ke bawah saat pertandingan masih berada di babak pertama. Mau bagaimanapun, Hadwan tetap harus menghargai mereka.
"Sampai kapan lo mau gini terus?" tanya Hadwan lagi melihat Arisha yang menunduk dan mengaduk minuman cokelatnya tersebut. Mata lelaki itu tampak berkaca-kaca saat Arisha mendongak sebentar.
"Gue kangen sama lo."
Hah?
Mungkin lebay bagian sebagian orang. Namun, namanya juga Hadwan. Kalau sudah suka dengan seseorang, pasti bucin abis meksipun dengan cara yang berbeda.
Tunggu, Arisha langsung mendongak kembali. Wajahnya kentara tidak suka mendengar omongan Hadwan barusan. Masalahnya, tubuh semakin panas dingin setelah mendengarnya. Bahkan, tangannya ini malah ikutan gemetar. Dia bisa malu kalau saja tangan itu tidak segera dia sembunyikan di bawah meja cokelat tersebut.
"Tapi gue benci sama lo!" katanya penuh tekad.
"Nggak papa, karena yang terlalu benci biasanya itu ... menjadi sebuah kebalikan. Berarti lo bakal suka sama gue." Hadwan akan tetap menyatu dengan segala kepercayaan dirinya yang terlalu tinggi.
"Garing, ya?" Hadwan terkekeh malu.
"Hm."
"Lo nggak pesen lotus lagi? Itu enak, sama kayak cokelat." Hadwan kembali membuka suara setelah beberapa lama terbungkam dalam pikirannya. "Gue sampe suka banget."
"Hm." Arisha tetap akan menimpali dengan seadanya, membuat Hadwan mengembuskan napas kecewa. Ternyata sangat susah untuk membuat Arisha luluh kembali. Andai saja, kejadian waktu itu tidak terjadi. Kalau bisa diulang, Hadwan tidak mau membawa Arisha ke rumah.
"Kenapa?"
"Karena lo suka." Jawaban yang singkat, tapi bisa membuat Hadwan panas dingin dibuatnya.
"Jadi, lo bakal nggak suka mengenai hal yang gue suka?"
"Iya."
"Kalau gue suka sama lo, berarti lo nggak suka dong sama diri lo sendiri?"
Arisha menatap Hadwan tajam, lalu membuang muka ke sembarang arah.
Maksud Hadwan apa?