Beberapa kali, Arisha mencoba memukul bola itu dengan penuh tenaga. Sesekali dia melihat ke arah Novi dan Ela yang langsung berhasil masuk. Sedangkan dia? Sedari tadi gagal terus. Babang melempar bola yang sempat terjun ke sampingnya itu pada Arisha yang langsung dia tangkap. Ah, iya, Hadwan! Mungkin, solusi dari lelaki itu tadi bisa membuat bola ini langsung melewati net.
Arisha mengangkat bola biru tua tersebut sedikit, menatapnya dalam, membayangkan kalau itu adalah muka Hadwan. Lalu, segala sikap lelaki itu yang kerap membuat Arisha naik darah seakan langsung ditontonkan di bola itu. Tangannya mengepal penuh amarah saat melihat Hadwan menabraknya, meledek dia habis-habisan saat dia tidak bisa main voli, lalu saat meremahkannya jadi calon ketua English Club. Dan masih banyak lagi!
"Yuk, Aaaar. Bisa yuk, bisaaaa!" teriak Intan menggebu sambil bersorak seolah supporter yang sedang menyemangati timnas.
Oke, Arisha ... tarik napas lebih dulu. Dia pasti bisa! Kemudian, gadis itu mulai memukul bola. Benda itu seolah bergerak lamban di matanya, menjadi slow motion sampai akhirnya melewati net. Dan seiring suara Intan dan Babang yang makin berteriak bebas. Ini serius?
Sungguh, tampang Arisha yang kebingungan seakan tak percaya membuat Derry tersenyum geli. Tidak salah, kan, dia paling menekan Arisha untuk latihan jika di jamnya?
Dengan langkah lambat, dia bergerak ke arah Intan yang langsung disambut oleh sebuah pelukan hangat dan tangan Babang yang mengepal—mengajak tos.
"Apapun hasilnya, besar atau kecil, tetep harus kita rayain!" katanya mirip dengan gaya iklan di TV.
"Udah punya strategi buat keluar dari zona ketakutan, ceritanya?" Intan terkekeh kecil, mengurai pelukan mereka. Arisha hanya mengangguk, menampilkan sebuah senyum tidak percaya. Omongan Hadwan ampuh juga ternyata!
"Apa tuh caranya? Tumben banget, lo." Babang menanyakan penasaran.
"Bayangin aja bolanya kepala si Hadwan."
"H-hah?"
Babang menganga. "a***y, jiwa psikopat."
Arisha hanya tergelak mendengarnya. Gadis itu lekas pamit pada mereka karena tiba-tiba ingin ke toilet. Intan sempat menawarkan diri untuk menemani, karena biasanya pun begitu. Namun, dia sedang ingin pergi sendiri. Lalu, gadis itu menghampiri Derry yang masih mengajar anak perempuan lain. Tentu mereka sebenarnya sedang modus. Di kelas ini tuh, cuma dia yang tidak bisa main. Dia pernah kok melihat mereka main voli dan emang jago-jago. Lah, sekarang? Tiba-tiba jadi nggak bisa.
"Pak, izin ke belakang."
Derry mengangguk kecil, "Silakan."
"Terima kasih, Pak." Guru muda itu hanya tersenyum menanggapi, lagi-lagi menarik sudut bibirnya saat melihat Arisha yang lari terbirit-b***t memasuki lorong. Tunggu, bukannya kamar mandi dekat lapang pun ada?
•
Arisha keluar kamar mandi dengan napas lega. Melihat kantin di sebelah kamar mandi, dia jadi ingat pada Hadwan. Tanpa pikir panjang, gadis itu membeli es cokelat dan kue tar cokelat satu potong pada Bi Marlin, stand langganannya.
"Tumben sendiri, Neng?" tanya beliau sambil memberikan satu kantung plastik putih yang ada gambar tersenyum dan satu cup minuman.
"Biasanya juga keseringan sendiri, Bi, kalau ke sini."
"Ah, nggak. Biasanya suka sama Hadwan atau Neng Intan."
Tahu aja lagi si Bibi.
"Hadwan lagi sibuk, Bi. Biasa, anak organisasi," katanya terkekeh kecil. Kemudian beranjak dari sana dan berjalan ke arah lapangan sepak bola. Di ujung lapangan, ada Hadwan yang masih mencabut rumput. Untungnya, cuaca memang sedang mendung. Jadi, Hadwan tidak kesiksa banget di sana. Namun, capek ya mungkin tetap.
Arisha berjalan mendekat, sampai berjongkok di samping lelaki itu.
"Aaa." Hadwan berteriak kaget hingga tumbuhnya limbung ke tanah. Si Arisha, tanpa permisi atau apa langsung ada di sampingnya saja. Kerasa, kan? Padahal sendirinya pun sering seperti ini. "Woy, sejak kapan lo di sini?"
"Setelah gue ukur, kayaknya satu menit yang lalu lah, lumayan lama. Lo aja yang kerjanya sambil ngelamun."
Roasting dimulai. Hadwan hanya mendengus karenanya, lalu mencabut rumput yang memang sudah agak tinggi itu. Dan dari tadi, dia baru dapat seperempatnya dari lapangan. Dia bukan pro yang suka cabutin rumput masalahnya.
"Lo mau ngapain ke sini?" Seolah mendapat lampu yang terang, Hadwan menjetikkan tangannya seraya menoleh, "Mau bantu gue, yaaa?"
Kening Arisha berkerut. "Nggak, cuma pengen nonton lo dihukum aja, sih, Wan."
Sialan.
"Lo nggak mau gitu cabut rumput ini? Uh, takut kukunya rusak, ya, abis perawatan?" Hadwan kembali ke tugasnya sambil terkekeh sinis.
"Nggak, cuma males aja. Lo tuh butuh untuk dikasih ruang mandiri gitu, Wan. Biar kerja sama gue nanti, lo pun bisa mandiri tanpa gue suruh-suruh."
Enak bener kalau ngomong memang.
"Gimana latihan? Udah kebagian?" tanya Hadwan memastikan.
"Udah. Gue berhasil, dong. Omongan lo manjur banget, Wan! Gue ... jadi percaya diri buat tes Minggu depan."
Hadwan mengangkat bahu songong, lalu menoleh iseng. "Lo ... bayangin muka gue di bola itu, kan?" Arisha mengangguk semangat. "Pantesan, karena muka gue itu emang suka bikin semangat, Arisan."
Dih, baru saja dia mau sombong. Eh, si Hadwan sombong duluan. Jangan dicontoh, Kawans.
Arisha hanya terkekeh sumbang. "Pede bener, ya, masnya kalau ngomong."
"Oh, tentu." Hadwan menaikkan kedua alis beberapa kali, "Bye the way, itu minuman kek lagi mandi buat siapa?"
Gadis itu kelabakan sendiri. Kalau dia bilang untuk Hadwan, nanti reaksi lelaki itu bagaimana, ya?
"Arisan?"
Arisha terkesiap dari lamunan. Oke, tidak apa-apa, kok, kalau dia jujur. Ya kan?
"Buat ... lo. Kuenya juga. Kali aja ... lo lapar." Duh, Shaaaa. Kenapa dia jadi gagap seperti ini, sih!?
"Ikhlas nih?"
"Iya lah. Emangnya buat apa, gue jauh-jauh ke sini sampe bolos sebentar kalau ujungnya emang nggak ikhlas? Capek doang yang ada!"
Arisha masih haid pasti! Bawaannya sensi mulu. Ralat, tiap hari pun gadis ini pasti sensi kalau sudah bicara dengannya. Dia napas saja salah. Bagaimana kalau banyak omong? Semakin galak saja tuh anak itu.
"Santuy, dong, Mbak. Marah mulu. Haid tiap hari, ya?" kata Hadwan sembari mengambil alih kantung plastik itu, membukanya, dan memakan kue itu lahap. Mana cuma sepotong. Dia itu cowok dan lagi capek, tidak kenyang kalau cuma makan satu. Memangnya dia Arisha!?
"Punten, udah genetik dari emak," ketusnya. Lalu, menyeruput minuman tadi. Bodohnya, Hadwan tidak sadar. Dia malah duduk dan menatap langit. Tumben, mendung. Padahal kemarin panas. Lucu, ya, sepertinya kalau tiba-tiba dia dan Arisha kehujanan sekarang. Andai saja Arisha mendengar suara hati lelaki itu, Arisha pasti jambak langsung rambut si Hadwan!
"Minuman gue." Hadwan menengadahkan tangan tanpa menoleh. Eh? Arisha langsung batuk sesaat sadar kalau minuman itu buat Hadwan. Terus kenapa dia minum, sih!?
"Wan," panggilnya terkekeh masih dengan sedotan di mulut, "minumannya abis."
Lekas saja Hadwan menoleh, "Hah?" Lalu, berdecak sambil membuang muka sebentar. "Katanya ikhlas buat gue. Malah diminum! Si Arisan nih, pengen banget gue karungin!"
"Ya ... maap. Gue beliin lagi ini, suer. Lo, sih, sekalian ambil aja tadi minumannya. Udah tahu kalau gue lemah sama cokelat."
"IYA, GUE TAHU! TAPI LO JUGA CUMA NYODORIN KUE DOANG, ARISAAAN."
Hadwan akhirnya hanya bisa menghela napas panjang. Seret ini tenggorokan. Kuenya langsung nyangkut.
"Namanya kebablasan."
"Terus aja cari pembelaan," marah Hadwan mendelik kesal.
"Jadi lo yang galak. Kan gue yang beli."
"Tapi kan itu buat gue."
•
Dan berakhir lah dengan Arisha yang beli lagi ke kantin. Sudah pengen ditraktir, nyuruh dia sambil nyolot lagi! Hadwan itu, manusia yang buat sebel sangat perfect. Setelah mengambil minuman tadi dan menjawab kalau dia belum kenyang saat Bi Marlin bertanya, gadis itu kembali ke jalan lapangan sambil terus menggerutu.
Tanpa terasa kalau di belokan seberang dia menabrak orang lain yang akan ke arah kantin. Untung minumannya tidak terjun bebas ke lantai!
Begitu mendongak, matanya kian membola, seiring dengan lelaki itu yang gelagapan dan ingin segera berlalu. Namun, langkah mereka selalu sama. Dia ke kiri, Arian pun samaan ke kiri. Dia ke kanan, lelaki itu pun sama. Insting mereka memang sekuat itu!? Tentu jawabannya tidak.
"Kak?"
"Lo jangan tahan gue."
"Hah?"
Hey, sejak kapan Arisha menahannya? Memang gerakan mereka saja yang kebetulan samaan. Dia, sungguh tidak ada maksud untuk menahan Arian!
"Gue masih ada urusan, lagi nggak mau ditanya-tanya. Harusnya lo tahu tentang privasi orang."
Idih, dia sedang tidak niat mengejar balasan Arian, lho. Kenapa mendadak jadi seperti ini? Ah, iya. Tiap ada keganjalan yang menjurus pada Arian, dia pasti mengejar lelaki itu. Salah strategi emang!
"Gue lapar. Lo mau kalau gue mati di sini?"
Wajah Arisha langsung masam dicampur bingung, kemudian mundur beberapa langkah supaya Arian bisa berlalu dengan bebas. Dasar, cowok batu. Dia masih bisa, kok, cari sendiri tanpa tanya-tanya pada Arian lagi. Itu ... masih mungkin, kan?
"Galak bener, lo." Ternyata Zikri mengintip di balik tembok. Lelaki itu langsung keluar dan menepuk bahu Arian sekali. "Tumben, bisa galak gitu sama doi. Biasanya, aluuuus bener."
"Tapi mata gue nggak bisa galak sama dia," balasnya acuh sembari mempercepat langkah.
"Ya iya lah, PEA! Emang mata bisa ngomong?"
Zikri bersorak, lalu menyusul Arian yang buru-buru menghampiri si Back—tukang mie ayam di sekolah mereka.
"Si Jagat mana, sih?" tanya Zikri lagi. "Tumben banget itu anak lama di perpustakaan."
Dan jawabannya pasti hanya ada dua: sedang dipaksa guru piket atau memang lagi mendekati perempuan. Katanya, dia mau move on dari Arisha. Malam-malam kemarin, Jagat memang datang ke rumah Arian hanya untuk bilang seperti itu. Lalu, menyuruhnya untuk tetap maju. Namun, tidak mungkin. Semuanya masih berada dalam konteks yang rumit.
Mari kita lihat ke Arisha kembali.
"Awas aja kalau dia jahilin gue. Tiba-tiba nggak ada di lapangan, mati lo, Wan!"
Gadis itu mulai berbelok, menuruni anak tangga dan tiba-tiba terdiam membatu di tempat setelahnya. Itu, Anida. Dia sedang memberikan botol minuman pada Hadwan. Lalu, lelaki itu menegaknya sampai setengah.
"Makasih, An."
Anida hanya mengangguk kecil. "Tadi, kata Babang lo dihukum sama Pak Derry. Emang kenapa?"
Hadwan menegak saliva sejenak. Dia tidak mungkin jujur kalau dihukum karena meminjamkan celana pada Arisha. Anida pasti menyimpulkan kalau dia kena hukuman karena gadis itu. Mana keduanya terlihat perang dingin.
"Lupa, nggak bawa celana olahraga."
Arisha tidak perlu ke sana sepertinya, takut mengganggu. Meski begitu, dia tetap memilih untuk menyimpan minuman tadi di ujung tangga. Mungkin saja nanti Hadwan melihatnya dan langsung peka. Setelah itu, barulah dia berbalik dengan langkah lebar.
"Eh, Arisha?"
"Mana?"
Mendengarnya saja membuat Hadwan lekas menoleh sigap. Tidak ada, kok. Di mananya ada Arisha? Matanya malah menangkap sebuah cup minuman yang sama persis dengan yang Arisha bawa pertama kali. Kalau itu dari Arisha, lalu orangnya ke mana?