Dighosting

1574 Kata
"Pak Lukman nggak masuk lagi, Ar." Bencana. Dari Minggu kemarin, guru satu itu jarang masuk kelasnya. Giliran dia ingin memberikan surat saat beliau sedang datang dan mengajar di kelas 10 IPA pun, kebetulan sekali kalau ada dia lagi ada ulangan harian dadakan. Dia pikir, mungkin masih bisa besoknya lagi. Ternyata ... guru itu tak datang lagi. Pak Lukman tuh susah ditebak! "Jamkos dong kita?" Babang yang baru datang dari kamar mandi itu langsung bertanya, telinganya mendadak super kalau mendengar guru tidak masuk. "Nggak berlaku buat kita," keluh Intan lesu yang langsung mendapat pandangan bertanya dari Arisha dan Babang. Memangnya kenapa? Mereka sama-sama kelas IPA 1, kok. "Yang Jamkos disuruh kumpulan di lab bahasa." "Enakan di lab, anjir. Di sana adem banget, coy." Lelaki itu agak bingung dengan Intan. Tumben banget gitu, lho, tidak mau kumpulan. Biasanya pun lebih baik kumpulan tiap hari. " Di sini nanas." "Gue tuh mau Nobar film After Married, Bang, ih sama anak kelas. Mana make data si Upi geura sok. Kalau kita kumpulan, berarti gue melewati acara gratisan atuh, euy! Mana film itu tuh premium di aplikasi Her Tv-nya." Babang mendelik karenanya, lalu menarik tangan Intan supaya cepat pergi ke lab. Ya kali mau dia doang yang pusing pas di lab. Sampai keduanya sampai di ambang pintu kelas, Babang mundur beberapa langkah masih dengan menggenggam tangan gadis itu. Mereka melupakan Arisha yang belum beranjak dari kursinya! "YANG, malah ngelamun." Babang berteriak membuat semua anak kelas menoleh. "Berisik, Bangke!" Upi balas teriak. Mereka baru saja memutar video di laptop sampai menit ke 1 dan suara Babang sungguh menjadi pengacau. Lelaki itu malah tampak tak acuh, menyadarkan Arisha lebih penting untuknya dari apapun. Bagaimana kalau gadis itu kerasukan setan kakaknya sendiri? Kan tidak lucu. "Duluan aja," katanya pelan sambil mengambil jaket Hadwan dari kolong bangku. Jaket itu sengaja dia kantongi pakai paper bag agak besar warna hitam. Sudah terhitung dua jaket Hadwan di rumahnya. Kalau tidak dia balikkan sekarang, semakin numpuk aja barang lelaki itu. Ditambah sekarang celananya. Gadis itu berjalan lambat di tengah lorong, seakan menikmati suasana yang begitu sepi ini. Hanya kelasnya yang agak berisik. Di ujung lorong ada gadis berkacamata yang berjalan menunduk, merasa minder dengan orang yang berjalan di sampingnya—Gian, Kakak kelasnya—yang membawakan buku paket setumpuk ke kelasnya. Entah bagaimana mereka bisa bersama, yang jelas kalau cewek itu anak IPA yang sering dia lihat di IPA 2. Meskipun dia dan Gian saling mengenal, tapi untuk sekadar silih menyapa pun terasa berat. Keduanya hanya melengos seolah tidak kenal sama sekali. Padahal dari jauh pun, mata mereka sempat beradu pandang. Lalu ada dua anak kembar yang saling dorong masuk ruang guru. Oke, itu mengingatkan dia pada Arshi kalau sedang sama-sama egois. Dan gara-gara mengingat itu, kakinya tersandung anak tangga terakhir sampai terjerembab di lantai yang dingin. "Eh!" Helaan napas keluar dari mulut Arisha. "Ceroboh banget, sih, Shaaa." "Jatuh, Mbak?" Arisha masih menerka itu suara siapa. Sampai lelaki itu berjongkok di depannya seiring dengan dia yang mendongak, bibirnya mencebik kesal. Kali saja tadi pangeran bermobil yang akan membantu dia berdiri, ternyata Hadwan! "Yang lo lihat? Ya jatuh lah, Bege." "Kenapa sampai jatuh?" Awalnya, si Hadwan ini pasti so perhatian. Namun, ujungnya bakal membuat dia jatuh ke dalam paling Mariana. Sudah Arisha tebak. "Nendang tangga." Lelaki itu hanya tergelak membalasnya. Orang lain nendang bola, ini tangga. "Punya masalah apa, sih, lo sama tangga? Tangga aja ditendang." "Terserah gue," katanya galak sembari berdiri. Baru sadar kalau paper bagnya terjatuh, Arisha membungkuk, tapi bersamaan dengan itu pula, Hadwan melakukan hal serupa membuat kepala mereka bertabrakan. Arisha berdecak, menyempurnakan berdirinya kembali, lantas membiarkan Hadwan yang mengambilnya sendiri. "Kayaknya kita punya chemistry yang kuat." Hadwan menaikkan kedua alis sembari memberikan paper bag tadi. "Hah? Kimia?" "Dodol! Bukan chemistry itu, Goblin." Dia ingin sekali tertawa kala melihat wajah kesal lelaki itu. Sampai dirinya tergelak penuh makna, Hadwan menyentil jidatnya tidak manusiawi. "Lo rese, Wan, sumpah!" katanya sebal sembari mengelus jidat. "Lo ngapain, sih, pake ke lorong sini, hm? Jelas-jelas lo tuh ceroboh, nggak akur sama tangga." Arisha hanya mendelik mendengarnya. Dia tadinya mau ke kelas Hadwan tahu. Makanya dia lebih memilih memutar ke lorong ini. "Gue mau ke kelas lo." "What?" Hadwan tersenyum masam, "ngapain?" "Ngelabrak lo," jawabnya enteng. Jaket lo, tuh." Arisha balik melempar paper bag yang tadi Hadwan serahkan padanya ke d**a lelaki itu. "Udah gue cuci dengan bersih." "Dan sepenuh hati." Hadwan hanya asal nyambung, membuat Arisha menatapnya tajam tak suka. "Lain kali, gue harus lebih sering pinjemin lo pakaian gue, deh, Arisan. Lumayan, baju gue bisa bersih. Jadi, gue nggak perlu nyuci sendiri atau pergi ke laund—" "Gue udah nyangka kalau lo pinjemin gue jaket sama celana tadi, jangan-jangan ada maksud terselubung. Dan bener. Lo mau jadiin gue tukang cuci, hah?" "Iya, sih, salah satunya itu." Sialan si Hadwan. Arisha hanya bisa mencebik, kemudian belok ke lab bahasa dengan teramat kesal. Hadwan hanya tersenyum melihat itu. Kemudian, mencium jaketnya sendiri. Wangi khas Arisha—elegan. • "TM tinggal beberapa hari lagi, lho, Ar." Baru saja dia datang ke lab dan cerita kalau Pak Lukman—guru bahasa Inggris peminatan—susah dia hubungi. Ya, dan berakhirlah dengan dia yang kena sindir dan ceramah dadakan. Bukannya dia tidak mau usaha, tapi Pak Lukman memang kayak lagi ghosting dia. "Iya, nanti aku coba cek lagi ke ruang guru sama chat beliau juga." "Oke, lebih sering." Arisha hanya mengangguk kecil, menghela napas dan beranjak dari hadapan Hanum. Lalu, duduk di bangku paling belakang dengan lesehan dan menyandarkan punggung ke tembok biru langit gambar peta Indonesia itu. "Sangat tumben, seorang Arisha bisa kerja dengan nggak bener." Kenapa, sih, Hadwan tuh selalu ada di mana-mana? Nguping nih ini anak pasti. Apalagi saat Hadwan duduk di samping bangkunya. Lelaki itu mau apaaaaa!? "Coba aja lo rasain sendiri, gimana susahnya hubungi Pak Lukman. Rambut gue udah mau rontok karena diberi PHP mulu sama jadwal dia tahu, nggak!? Nggak ngerasain, sih." Lelaki itu tergelak mendengarnya mengundang bola mata Arisha berotasi malas. Untung bukan temen. "Mau gue tolong nggak?" Hadwan mengangkat dagunya, sombong. Dia punya akses lebih untuk bertemu Pak Lukman. Iya lah, lah wong Pak Lukman itu tetangganya yang cuma terhalang satu rumah. Dan anaknya adalah mantan Hadwan yang masih sering modus sama dia. Perfect! Gadis itu lama untuk menimbang. Kalau dia menerima bantuan dari Hadwan, rasanya agak tidak percaya. Namun, kalau dia menolak, bagaimana kalau Hadwan memang bisa membantunya? Sungguh pilihan yang sulit antara usaha sendiri atau sekalian ditolong. Tapi sepertinya peluang usaha dan ditolong jika disatukan akan menjadi lebih besar. "Gue sering, lho, main catur sama beliau di pos ronda tiap malem. Gue ... juga sering ke rumah dia." Hadwan tersenyum devil, "kalau lo titip surat itu ke gue, udah pasti kalau Pak Lukman langsung terima hari ini juga." Heh! Berarti Hadwan dekat dong dengan Pak Lukman!? "Daripada usaha sendiri, jadwalnya nggak tentu, terus belum tentu bisa lagi," lanjut Hadwan yang sungguh membuat dia semakin goyah. Arisha menghela napas lebih dulu, kemudian berdecak. Baik, dia mengalah. Dia kalah. "Oke. Ini suratnyaaaa." Arisha menyimpan surat itu di meja Hadwan. "Beneran, lho. Jangan bohong. Awas aja lo kalau bohong sama gue. Besok, hidup lo tinggal nama." "Iya, santuy." Hadwan memasukkan suratnya ke kantung celana. Hal itu membuat Arisha menatap kembali ke depan. Semoga Hadwan benar deh. Melihat Arisha, dia jadi ingat mengenai minuman tadi. Kata Anida, Arisha sempat memunculkan diri. Katanya, sih, mengintip. Dari itu dia yakin kalau cup tadi memang dari Arisha. "Minuman di tangga tribun tadi dari lo?" Asli, ucapan Hadwan membuat dia tidak bisa berkutik. Mau jujur, tapi takut ditanya kenapa tidak langsung diberikan pada lelaki itu. Posisinya di sana Anida dan Hadwan pasti langsung mengarah pada kata 'cemburu'. "Minuman apaaa?" Arisha berusaha untuk mengelak. "Yeu, ngeles mulu. Yang suka kasih minuman cokelat ke gue itu cuma lo doang, Arisan." "Ya itu lo tahu. Ngapain tanya lagi?" Arisha menoleh, "Mau caper?" "Caper apaan? Gue cuma pastiin doang. Kali aja, kan, gue salah." Hadwan menyentil jidatnya kembali. s****n tuh anak! "Tapi dari ini gue tahu kalau lo yang kasih." Gadis itu sampai berdecak kembali. "Emang fungsinya apa kalau lo tahu minumannya dari gue, hah?" Tidak salah bukan kalau dia bertanya seperti itu!? "Gue bisa mengenang budi." • Malam tiba. Arisha berdiri di balkon kamar Arshi sambil melipat tangan. Di kamarnya lagi ada Intan yang berisik banget. Sebenarnya dia sudah terbiasa. Namun, gara-gara dia sedang ingin sendirian, gadis itu lebih memilih untuk membuka kamar sang kakak kembali. Dia lagi bingung dengan dirinya sendiri. Dia sedang kenapa pada Hadwan? Tiba-tiba suka kesal kalau lelaki itu dengan Anida, senang kalau Hadwan membantunya, merasa berharga kalau lelaki itu mengeluh padanya dan menceritakan masalah yang harusnya menjadi sebuah privasi, Hadwan napas saja kadang membuat dia panas dingin. Sekali lagi Arisha bertanya pada dirinya sendiri. Dia kenapa!? "Kak, apa mungkin kalau sebenarnya ... aku lagi suka sama cowok?" Arisha menatap langit, seolah ada Arshi di atas sana yang akan memberikan solusi. "Arisan." Tunggu, kenapa ada suara Hadwan? Dia sedang halusinasi? Apa mungkin? "Woy!" Suaranya semakin jelas. Gadis itu mencari asal suara itu, melihat ke bawah, ke pagar, sampai akhirnya dia menemukan Hadwan yang berdiri di balkon kamar Babang. Ya pantas rasanya dekat. Lah wong balkon mereka berhadapan. Bahkan, jika ingin, Hadwan bisa melompatnya ke sini. "APA!?" "Suratnya udah gue kasih ke Pak Lukman. Ini tanda tangannya masih pake digital. Lo copas aja nanti." Serius!? Kenapa kalau Hadwan yang bersangkutan langsung dengan pematerinya suka langsung lancar jaya, sih? Lah dia? Menunggu Pak Lukman saja rasanya sedang menunggu hilal jodoh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN