Ah, s**l. Dia harus latihan bola voli lagi hari ini. Dan Minggu ini, merupakan Minggu terakhir berlatih bersama guru muda itu. Bukannya menyiapkan fisik, di kamar mandi ini, dia malah menyiapkan mental. Bagaimana kalau dia tidak bisa lagi, coba? Sungguh malu yang ada.
"Ar, udah belom?"
Lamunan Arisha terkuras. Gadis itu menggeleng beberapa kali. Lalu berteriak di balik bilik kamar mandi itu kalau dirinya belum beres. Tunggu, celana olahraga dia ke mana!? Kenapa cuma ada bajunya doang? Pantesan tadi berasa tipis. Mungkin, ketinggalan di tas. Oke, berpikir positif lah, Arisha.
"Celana gue ketinggalan di kelas deh kayaknya. Lo duluan aja ke lapangan," katanya pada Intan setelah keluar. Kasihan kalau Intan harus menunggu lebih lama dan takutnya, Derry sudah datang.
"Yakin?"
"Iya, duluan aja."
"Serius?" Intan memicingkan mata, bertanya kembali untuk ke sekian kalinya.
"Iyaaaaa, Otan. Udah sana."
"Ya udah, hati-hati!"
Arisha berdeham, lalu memilih mengambil jalur yang lebih dekat ke kelasnya saat Intan telah beranjak lebih dulu. Gadis itu memang sudah menyimpan pakaiannya ke ruang loker. Loker mereka baru memang, letaknya di sebelah kamar mandi tadi.
Begitu sampai kelas, Arisha berusaha mengobrak-abrik tas beberapa kali sampai semua buku dan barangnya tercecer di atas meja. Kalau tidak ada, mati dia. Bagaimana kalau Derry menghukumnya? Terus dia harus lari di lapangan dan ditonton banyak orang? Dan Hadwan pasti akan meledeknya. Arisha tidak mau.
"Wih, abis ada gempa?" Hadwan tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu kelas sembari bersandar pada kayu tengah pintu itu. Lalu, tersenyum mengejek. "Gempanya berapa lama, Mbak? Berapa Magnetudo? Butuh evakuasi?"
"DIEM DEH LO, WAN!" katanya resah masih dengan mengecek bagian tas depan. Kali saja celananya malah dia simpan di sana.
Dia tuh lagi kebingungan dan Hadwan datang pada waktu yang tidak tepat. Kalau kata Bang Fiersa Besari: waktu yang salah.
"Kenapa, sih?" Hadwan mendekat, meneliti barang yang sudah tidak terbentuk tempatnya.
"Nggak papa."
Lelaki itu berdecak. Memangnya Arisha masih bisa bohong dengan tampangnya yang seperti itu dan tangan yang bergerak gelisah? Apalagi kelihatan kalau tangan gadis itu gemetar.
"Semalam gue bilang apa?"
Dalam keadaan sempit, si Hadwan masih aja ngajak bercanda.
"Gue lagi nggak mau tebak-tebakan."
Lelaki itu mendengus karenanya, "Kata gue juga, jangan pura-pura nggak papa di depan gue, Arisan!"
Hadwan menggebrak meja yang masih ada celah kosong sedikit, membuat Arisha terperanjat beberapa saat, lalu menatap lelaki itu tajam. Dia sedang tidak butuh ucapan konyol Hadwan yang kesannya memberikan sebuah harapan besar padanya. Dia, tidak butuh sama sekali. Arisha hanya sedang butuh celana supaya tidak dihukum. Mending, ya, kalau anak cowok yang mengalami ini karena seragam sekolahnya pakai celana, meskipun ujungnya masih bisa dihukum juga. Lah dia pakai rok!
"Celana olahraga gue nggak ketemu-ketemu!" akunya daripada Hadwan makin berbicara yang tidak-tidak dan membuat dia berharap lebih kembali seperti kemarin. "Puas, lo?"
Hadwan mengangkat bahu acuh, "Puas, lumayan."
Oke, Arisha menyerah. Dia hanya bisa menghela napas tidak karuan, mengusap wajahnya kasar. Hadwan tidak tega kan jadinya.
"Pake celana gue."
Arisha melirik celana olahraga navy yang Hadwan sodorkan, bergantian dengan wajahnya yang seperti ... tidak serius. Orangnya seperti memang tidak niat dan terkesan terpaksa.
"Lo gimana?" tanyanya lebih dulu. Tidak lucu, kalau Hadwan dihukum gara-gara dia.
"Jangan pikirin gue." Arisha malah memicingkan mata, masih tidak mau menerimanya. Ucapan Hadwan belum meyakinkan sepertinya. "Gue udah lumayan sering pakai celana selain celana olahraga sekolah kita pas pelajaran ini dan guru nggak pernah hukum gue karena itu, Arisan. Jadi, lo tunggu apa lagi?"
Hadwan semakin menyerahkan celananya itu. "Buruan ganti. Nanti lo telat pemanasan."
"Lo juga belum ganti. Kalau telat, setidaknya gue nggak sendirian."
Hadwan pura-pura kaget, kemudian tersenyum miring. "Oh, jadi mau telat pun nggak papa, asal ada gue."
Memang tadi Arisha bilang seperti itu? Hadwan, nih, senang sekali menyimpulkan kalimat dengan tidak pikir panjang lebih dulu.
"NAJIS."
Akhirnya, Arisha berlalu dari kelas untuk berganti celana. Keduanya berpisah pada persimpangan toilet.
•
Arisha memandang ke bawah, celana Hadwan kegedean di badannya. Dan kepanjangan! Membuat dia harus beberapa kali melinting celana itu dan menariknya ke atas, takut kalau melorot. Tapi, lumayan segini juga, masih ada orang yang mau memberinya bantuan. Dia lagi di loker dan sedang menyimpan seragam—supaya tidak kusut kalau ditaruh di sana—membuat Hadwan yang sedang memasukkan bajunya asal-asalan ke loker itu pun masih bisa Arisha lihat. Iya lah, loker mereka sebelahan.
Nasib sama-sama berada di kelas circle 1 itu membuat mereka selalu ... cukup sering bersamaan dalam segala hal.
"Yang bener, kek, kalau nyimpen baju."
Jiwa beres-beres dia meronta melihatnya. Bawaannya gatel melihat itu, membuat Arisha mendekat dan membuka paksa loker Hadwan kembali. Lalu, melipat baju seragam Hadwan dengan rapi. Lelaki itu terdiam, malah mengangkat dagu songong.
"Berasa punya istri aja gue," gumamnya yang mengundang mata Arisha untuk memutar bola mata malas.
"Kalau asal masukin kayak tadi, baju lo jadi nggak rapi. Lo tuh OSIS, Wan. Harusnya bisa kasih contoh buat yang lain. OSIS yang bikin peraturan, kok OSIS juga yang langgar." Arisha memasukkan seragam Hadwan dengan hati-hati. Hanya dasi pun gadis itu lipat, hey! Lokernya jadi lebih rapi, bukan?
"Pernah denger nggak, kalau peraturan itu emang untuk dilanggar?"
Arisha menoleh tajam.
"No! Adanya peraturan buat dipatuhi, biar bisa disiplin. Adanya peraturan, suasana juga kelihatan enak diliat." Lalu, Arisha menutup loker Hadwan kembali. "Lo tuh beneran OSIS atau cuma jadi anak bawang di sana?"
"OSIS lah, Bangsul!" Hadwan memasukkan tangan ke saku celana, "Lo kira main pris-prisan pake anak bawang segala?"
"Ya makanya, kalau sadar diri lo itu beneran OSIS, sadar diri juga di setiap sikap lo."
Hadwan memajukan kepalanya sedikit. Aneh ini orang. Memangnya OSIS itu bukan manusia? OSIS itu malaikat?
"OSIS juga berhak salah kali! Dikira kami malaikat apa?"
"Ya makanya, hati-hati sebelum salah. Ngerti nggak?"
Hadwan hanya menghela napas panjang. Terserah. Cowok mengalah, karena cewek di hadapannya ini selalu ingin menang dalam segala hal.
Hadwan tersenyum lebar, terpaksa. "Iya, ngerti, Bee."
"Bee?" Mata Arisha melotot, tangannya mengepal kuat. "Najis banget!"
Arisha bergidik ngeri dan berlari kecil keluar ruangan sambil teriak, "Udah gila lo, Wan!"
Hadwan hanya tergelak mendengarnya. Lalu, ikut melangkah menyusul gadis itu ke lapangan.
Arisha mengambil duduk di sebelah Ela. Katanya, Derry belum datang. Hanya ada Upi yang lekas menyuruh mereka untuk pemanasan lebih dulu, supaya pas ada Derry, langsung latihan. Jantung dia jadi berdebar tidak karuan seperti ini, hanya melihat bola voli yang barusan Fikri simpan di sampingnya. Dia jadi fobia bola!
Arisha berdiri, dengan malas melangkah ke tengah lapangan. Dan dia sengaja memilih barisan paling belakang seolah menjauhkan diri sendiri dan tidak punya percaya tinggi lagi untuk pergi ke depan. Meskipun begitu, matanya tetap sesekali menoleh pada bola tadi.
"Kalau lo pandang bola itu sulit, prakteknya bakal jadi sulit. Tapi, kalau lo seenggaknya percaya, kalau lo bisa dan bola itu musuh yang harus lo pukul sampai Antartika sekalian, itu bakal jadi gampang." Hadwan berbisik di sampingnya. Hey, sejak kapan lelaki itu ada di sana!?
"Berarti ... gue harus anggap bola itu muka lo dong, Wan," katanya sambil menurunkan kaki yang semula diangkat.
Arisha tidak salah, bukan? Selama ini dia selalu ingin memukul Hadwan. Dan pelampiasan dia saat ini adalah bola. Kebetulan, Hadwan bilang seperti tadi. Sungguh posisi yang tepat.
"s****n! Jadi, lo masih anggap gue itu makhluk apaan, hah? Makhluk antik yang bikin lo kenapa sampai jadi musuh dan pengen pukul gitu, hm?"
Arisha memajukan kedua tangannya ke depan saat melihat orang yang menyerong darinya itu pun melakukan hal tersebut. Dia masih sadar diri untuk ikut pemanasan ini!
"Lo tuh manusia paling nyebelin, paling songong, dan manusia yang selalu buat gue pengen marah!"
"Gue salah apa, sih?" Hadwan menatapnya tajam, "Terserah lo lah, yang penting lewat net."
Gadis itu menahan senyum, membuat Hadwan tidak bisa berpaling ke depan walaupun Upi dan Cinta sudah menjadi pengarah pemanasan. Luar matanya boleh menajam, tapi tatapan itu sebenarnya begitu dalam.
"Woy, pemanasan, woy!" Haikal berteriak dari ujung barisan yang sejajar dengan Hadwan, membuat lelaki itu gelagapan sendiri saat bersamaan dengan itu, Arisha menoleh sambil tak kuasa menahan senyum. Hadwan jadi diabetes lama-lama lihatnya.
"Itu yang barisan belakang samping Arisha!" Keduanya kontan menoleh karena merasa terpanggil. "Keluar banjar, maju sini."
"Saya, Kak?" tanya Hadwan menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, kamu. Cepat maju!"
Hadwan mengacak rambutnya kasar, melangkah ke depan. Hal itu tidak luput dari pandangan Arisha yang malah terdiam membatu, bukannya masih ikut pemanasan seperti yang lain.
"Kenapa nggak pakai celana olahraga?" tanya Derry langsung. Pengawasnya sedang tidak ada, membuat Derry tidak segan untuk berniat menghukum lelaki itu. Toh, dulu pun dia begitu. "Ketinggalan?"
"Itu alasan yang terlalu klise, Pak."
Masih saja Hadwan menyindir dirinya! Tidak takut apa, kalau bisa saja habis ini Hadwan harus dihukum?
"Celana saya basah. Mesin cuci saya juga lagi rusak, Pak, di rumah dari kemarin. Mana cuaca pagi ini mendung, kan, ya, Pak? Mau mendadak jemur juga nggak bakal kering cepet."
Hadwan malah curhat! Meskipun omongannya memang tidak bohong sebenarnya. Hadwan itu, pasti punya baju cadangan. Dan pakaian olahraga dia yang satunya lagi memang masih basah di rumah Babang. Ini pun dia ambil mendadak di rumahnya sendiri.
"Apapun alasan kamu, kamu tetap salah. Kan bisa pinjam ke anak kelas lain yang jadwalnya nanti siang. Kelas 12 ada jadwal tuh hari ini."
Hadwan mengangguk beberapa kali. Ujungnya juga pasti disuruh lari.
"Kamu cabut rumput liar di samping lapangan sepak bola."
Tunggu, kenapa jadi cabut rumput!?
"Lari aja gimana, Pak?"
"Nanti kamu keenakan."
Hadwan mengumpat dalam hati. Meskipun begitu, lelaki itu tetap beranjak ke lapangan yang lumayan jauh dari sini.
Tuh, kan, ketebak bakal bagaimana akhirnya.