“Kupikir dia adalah gadis muda yang tidak akan pernah menangis. Sejauh aku mengenalnya dia adalah gadis paling kuat yang pernah aku temui, tetapi itu semua runtuh ketika aku menemukannya sore ini.” ~Pedro Viscout.
***
“Kau menambah tato lagi, Pedro?!”
Seruan—tidak, yang lebih tepatnya terdengar seperti teriakan penuh amarah, mengudara di tengah derasnya hujan. Seorang lelaki berambut cepak tampak berdiri berhadapan dengan seseorang yang lain, persis di tengah sebuah lapangan basket universitas mereka. Dua temannya yang lain berada di sisi kanan dan kirinya, yang juga sama-sama menundukkan kepala.
Tidak berani menatap ke atas, sebab pantulan hujan itu cukup membuat mata perih.
Seseorang yang baru saja berteriak itu menggenggam dan memukul-mukulkan sebilah tongkat ke tangannya sendiri, persis seperti adegan perploncoan yang ditemui di layar tivi. Totalnya ada empat orang lelaki yang kini mencoba melawan derasnya hujan, sebab berdiri tidak gentar ketika yang lain memilih untuk berteduh di tepian kelas.
“Hanya sebuah tato burung lagi, Coach.” Pedro Viscout—sang pria muda yang diteriaki tadi kini membuka suara, membiarkan suaranya bergema ditelan suara hujan yang mendominasi. “Lagi pula tidak terlalu kelihatan, kok.”
Tadinya dia berpikir dia bisa meredam sedikit saja amarah dari sang pelatih, tetapi sepertinya tidak begitu yang kemudian terjadi. Lelaki yang memegang tongkat itu kini maju dua langkah, berupaya membuka mata selebar mungkin sebab tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
“Sialan, Pedro!” makinya geram. “Bukankah sudah kukatakan padamu tidak ada lagi tambahan tato hingga tahun depan, hah?!”
Mengeluarkan seluruh tenaga, sang pelatih yang bernama lengkap Armando Lefrant itu kini bergerak pelan untuk berdiri tepat di depan Pedro. Kepalan lelaki itu pada tongkatnya mengeras, seiring dengan rahang yang juga menggertak pelan.
“Kau ingin lulus, tidak?!” salaknya galak. Berharap gertakannya kali ini akan meluluhkan Pedro, atau setidaknya akan membuat lelaki muda itu mulai berpikir. “Kau tidak ingin naik tingkat?!”
Tapi jangan panggil lelaki itu Pedro Viscout, jika dia akan begitu saja menuruti kata sang pelatih. Dari semua orang yang tergabung di tim bola basket universitas mereka, hanya namanya-lah yang selalu diteriakkan sang pelatih dengan lantang.
“Tentu saja, Coach!” seru Pedro tanpa sungkan sama sekali. Mengenakan kaus latihan berwarna putih cerah, hujan berhasil membuat lekukan tubuh lelaki itu kini terpampang nyata. Sebab kausnya menempel sempurna pada ototnya yang liat, menampilkan pahatan di perutnya yang kotak-kotak.
Pahatan yang membuat banyak mahasiswa lainnya iri dengan itu, sekaligus pahatan yang membuat para mahasiswi perempuan bermimpi untuk menyentuhnya meski sekali saja.
“Diam!” salak Armando lagi. “Kau ingin kupukul, hah?!”
Bukan tidak beralasan kemarahan Armando di siang berhujan itu, sebab tiga anak asuhnya di klub basket universitas mereka telah berturut-turut tiga kali mangkir dari pertemuan. Dengan tidak banyaknya mahasiswa yang berminat mengambil ekstrakurikuler di luar jam kuliah, bisa dibilang tim basket putra itu memiliki jumlah personil yang terbatas.
Kebanyakan dari mahasiwa lain lebih memilih untuk memadu kasih dan mengecap romansa cinta anak muda, dan oleh sebab itulah Armando tidak punya pilihan lain selain mempertahankan ketiga anak asuhnya yang telah memberikan komitmen di awal bergabungnya mereka.
“Tidak, Coach!” Kali ini dua pria yang mengapit Pedro bersuara parau.
Sudah mulai menggigil sebab hampir lima belas menit lamanya sudah mereka berada di lapangan kosong itu. Belum lagi dengan tatapan para mahasiswa lain yang mengarah pada mereka, yang membuat keduanya bahkan tidak mampu mengangkat kepala saking malunya.
Tetapi tidak dengan Pedro, sebab lelaki itulah satu-satunya yang masih berdiri tegak dengan kepala lurus ke depan. Benar-benar sesuatu.
“Coach, kami tidak akan mangkir lagi,” ucap pria di sebelah Pedro dengan bibir gemetar, lantas menaikkan tangan guna mengusap wajahnya yang terus dibasahi air hujan.
Si pria pembawa tongkat itu berdehem sangar. “Lantangkan janjimu!” perintahnya.
“Aku tidak akan mangkir lagi!” seru pria yang lain, yang sama telah menggigilnya dengan yang di sebelah kanan Pedro.
Sesuai urutan, seharusnya kini giliran Pedro mengucap janji yang terus saja dia khianati itu.
“Aku tidak akan—“
Tetapi belum sempat pria muda itu menyelesaikan kalimat janjinya, sepasang mata elang milikinya telah menangkap sesosok wanita yang tidak asing.
Dengan kepala tertunduk sang wanita itu terus berlari menerobos hujan, menambah jumlah mahasiwa yang kini sengaja berbasah-basahan di tengah guyuran hujan. Hanya dengan sekelebat bayangan yang tertangkap maniknya saja Pedro mampu mengambil kesimpulan, bahwa ada sesuatu yang terjadi pada sahabatnya itu.
“Tidak akan apa?!” bentak Armando kesal. “Lanjutkan, Viscout!”
Tetapi tidak menaruh perhatian pada sang pelatih, manik Pedro terus mengikuti gerakan tubuh seseorang yang menuju area belakang universitas. Sepertinya dia tahu perempuan itu akan ke mana.
“Maaf, Coach,” ujar Pedro terburu-buru. “Maafkan aku, tapi aku benar-benar harus pergi.”
Tidak menunggu tanggapan atau izin dari Armando, Pedro begitu saja mengayunkan langkah untuk berlari menerobos guyuran air dari langit. Melintasi lapangan basket di sisi yang berlawanan dari tempat mereka berdiri tadi, Pedro meneriakkan satu nama dengan bibirnya.
“Val!”
Teriakan yang ternyata cukup cepat menghilang di tengah derasnya hujan.
“Valerie!”
Tidak mempedulikan teriakan Armando di belakang sana yang juga memanggil namanya, Pedro sama sekali tidak menolehkan kepala. Tidak peduli dengan hukuman apa yang mungkin akan dia terima untuk tindakannya yang amat tidak sopan ini, tetapi Pedro benar-benar tidak bisa menahan kakinya untuk terus berlari menjauh.
Hingga seseorang yang dipanggilnya itu berbelok di ujung lorong, Pedro masih terus mengejarnya tanpa berniat untuk berbalik arah.
Napas lelaki itu memburu, dengan pakaian yang juga basah kuyup. Bulir-bulir air menetes dari rambutnya yang basah, seiring dengan usapan telapak tangannya di wajah.
Seseorang itu berhenti. Tepat di sudut lorong yang kini sepi, langkah perempuan itu memelan hingga benar-benar berhenti.
“Val.” Pedro terengah beberapa saat, namun maniknya tepat mendapati kesenduan yang terpancar dari iris Valerie.
Valerie menaikkan wajah, membiarkan mata sendunya menyapa Pedro dengan raut wajah yang teramat jelas terlihat.
“Ped....”
“Kau kenapa?”
Valerie tidak mampu menjawab, tetapi kemudian tangisnya yang sedari tadi ia sembunyikan di bawah sang hujan kini kembali hadir di pelupuk mata. Perempuan itu tidak ingin seorang pun melihat air matanya, tetapi entah mengapa begitu mudah ia menangis di depan Pedro Viscout, teman masa kecil sekaligus sahabatnya.
“Aku....” Valerie terbata. “Dia... akan menikah.”
Sempat mengerutkan kening, Pedro tidak mengerti apa yang dibicarakan Valerie. Tetapi guncangan bahu dan telapak tangan Valerie yang refleks menutupi wajah perempuan itu membuat Pedro mengambil keputusan cepat, yaitu dengan refleks menarik Valerie ke dalam pelukannya.
Dua pasang baju yang basah, juga dua insan yang sama-sama basah kuyup—kini saling mendekap.
Tangis Valerie kembali bergulir layaknya aliran air, saat Pedro kini menepuk punggung temannya itu lembut.
“Tenanglah, ada aku di sini,” gumam lelaki itu pelan. “Semuanya akan baik-baik saja.”
~Bersambung