Rumah tanpa Cinta
Rumah itu megah, putih gading dengan pilar tinggi di teras seperti lengan-lengan batu yang siap merangkul siapa saja yang masuk. Tapi bagi Liora, rumah itu tak terasa seperti rumah — hanya bangunan asing tempat ia diturunkan oleh sebuah takdir yang bukan pilihannya.
Dua minggu yang lalu, ia masih tinggal di kamar sempit milik tante Lastri. Perempuan cerewet dengan nada suara yang selalu terdengar seperti perintah. “Kamu harus bersyukur! Udah tua nggak laku-laku, masih sempat dijodohin sama orang kaya!” katanya saat mendorong Liora mengenakan kebaya lamaran.
Liora hanya diam. Dalam diam itu, ia menyimpan ribuan tanya yang tak pernah mendapat jawaban. Ia baru 20 tahun. Hidupnya baru saja mekar. Tapi seperti bunga yang dipetik terlalu awal, ia kini diletakkan di vas mewah yang sunyi.
Pernikahan itu cepat, nyaris tanpa rasa. Tak ada peluk haru, tak ada kecupan bahagia. Hanya tangan-tangan yang menyalami, dan mata-mata yang menilai.
Dan kini, di ambang rumah impian orang lain, Liora berdiri—sendirian.
---
Raymond tidak ada di rumah.
Ia belum kembali sejak malam pesta bujangnya yang katanya “hanya formalitas.” Rumornya, pria itu adalah raja di lantai dansa, pangeran di meja bar, dan legenda di ranjang perempuan-perempuan yang terlalu cantik untuk diingat namanya.
Tapi anehnya, Raymond menyetujui perjodohan ini. Karena alasan yang sederhana dan laki-laki sekali: Liora itu cakep. Tubuhnya kayak dibentuk Tuhan waktu lagi serius. Dan matanya... pintar. Bikin penasaran.
Raymond, 30 tahun, mapan dan tampan, adalah mimpi basah banyak perempuan di Jakarta Selatan. Tapi juga mimpi buruk untuk siapa pun yang berharap akan dicintai secara utuh. Karena Raymond bukan laki-laki setia—ia hanya laki-laki yang sedang bosan dengan kebebasan.
Dan orangtuanya sudah muak melihatnya pulang subuh, mabuk, dengan bibir berbekas lipstik yang entah punya siapa.
“Kalau kamu nggak nikah tahun ini, kami potong semua akses ke rekening,” ancam ayahnya.
Raymond tertawa saat itu. Tapi tawanya berhenti saat melihat foto Liora.
---
Malam pertama Liora di rumah itu sunyi.
Ia membuka koper sendiri, menata baju sendiri, lalu duduk di ranjang besar dengan sprei yang wangi tapi dingin. Foto keluarga Raymond terpajang di dinding, tapi tak ada satu pun ruang untuk dirinya.
Hatinya getir. Tapi wajahnya tetap tenang.
Di cermin, ia menatap dirinya sendiri. Perempuan muda yang terlalu dewasa untuk usianya, terlalu diam untuk semua yang telah dilaluinya.
“Ini bukan rumah impian,” batinnya. “Tapi mungkin aku bisa bertahan. Untuk diriku. Bukan untuk mereka.”
---
Di luar, mesin mobil meraung.
Raymond pulang, jaket kulit masih di bahu, parfum malam menempel di kerahnya. Matanya langsung menangkap sosok Liora di cermin. Ia tersenyum kecil.
“Pintar, ya. Nggak kabur.”
Liora menatapnya, tanpa ekspresi.
“Aku nggak lari. Aku cuma belum tahu mau ke mana.”
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raymond terdiam. Ada sesuatu dalam tatapan gadis itu yang tak bisa ia kontrol, tak bisa ia taklukkan.
Dan untuk pria yang biasa menang dalam permainan, itu menakutkan… sekaligus menarik.
Raymond menutup pintu pelan, langkahnya ringan seperti pria yang baru saja memenangkan taruhan. Ia melepas jaket kulit dan menggantungnya sembarangan di sandaran kursi. Tatapannya tak lepas dari perempuan yang kini berdiri di depan lemari, sibuk merapikan lipatan-lipatan baju yang bahkan tak begitu kusut.
Liora tahu ia sedang diperhatikan, tapi ia pura-pura tak sadar. Tangannya tetap sibuk, meski sedikit gemetar.
Raymond menyeringai kecil, lalu bersandar di pintu kamar.
> “Kalau suami pulang ke rumah, istri itu harusnya ngapain, ya?”
Nada suaranya nakal, menggantung seperti jebakan.
Liora berhenti melipat baju. Ia menoleh pelan, menatap Raymond dengan tatapan datar. Tapi rona tipis di pipinya tak bisa disembunyikan sepenuhnya.
> “Menanyakan sudah makan atau belum, mungkin?” jawabnya hati-hati.
Raymond tertawa rendah. Suara tawanya serak dan dalam, seperti kopi hitam yang terlalu pekat.
> “Itu sih kalau istrinya ibu-ibu kantoran,” katanya sambil melangkah perlahan mendekat. “Tapi kalau istrinya kayak kamu… muda, cantik, tubuh seksi, manis, belum pengalaman…”
Ia berhenti hanya beberapa langkah di depannya, menatap wajah Liora seperti membaca buku yang baru saja dibuka. Nafasnya hangat, tapi tak menyentuh.
> “Harusnya nyambut suaminya pakai senyum... atau pelukan… atau mungkin sesuatu yang lebih hangat dari itu.”
Liora menegakkan bahunya, mencoba tidak mundur.
> “Kalau itu yang kamu cari, mungkin kamu menikah dengan orang yang salah,” bisiknya.
Raymond menaikkan alis, terhibur.
> “Atau mungkin justru aku menikah dengan orang yang benar... tapi belum aku buka bungkusnya.”
Pipi Liora memanas. Tapi ia tetap berdiri di tempatnya, tidak kabur, tidak juga menyerah. Ia menatap Raymond, mata beningnya seperti danau yang tenang tapi dalam.
> “Aku bukan hadiah. Dan aku bukan permainan,” katanya pelan, “kalau kamu ingin istri yang bisa kamu mainkan sesukamu, aku yakin kamu punya banyak di luar sana.”
Raymond terdiam. Senyum nakalnya tak sepenuhnya hilang, tapi matanya berubah. Ada kekaguman yang mulai tumbuh diam-diam — terhadap perempuan yang tak menjerit, tak marah, tapi tetap tak menyerah.
> “Kamu bukan seperti yang aku bayangkan,” gumamnya. “Dan aku belum tahu... itu bagus atau berbahaya.”
Liora membalikkan badan, kembali ke koper yang terbuka.
> “Tergantung... kamu suami yang seperti apa.”
Raymond tertawa kecil lagi. Tapi kali ini, tawanya terdengar berbeda.
Lebih hati-hati. Lebih penasaran.
Dan malam pun turun perlahan di rumah itu — rumah yang belum benar-benar jadi milik siapa-siapa. Tapi untuk pertama kalinya… dua hati yang saling menjaga jarak itu mulai berdetak di bawah atap yang sama.
Tak lama, suara langkah kaki terdengar.
Raymond muncul dari lorong kamar mandi, rambutnya basah dan acak-acakan, kaus putih longgar menempel di tubuhnya, dan aroma sabun maskulin memenuhi udara. Ia terlihat jauh lebih manusiawi — dan, entah kenapa, sedikit lebih hangat.
> “Wow.”
Matanya menyapu meja.
“Kamu niat banget ya. Cuma disuruh masak mi, tapi kayak buka warung tenda.”
Liora duduk sambil menyeka tangan dengan lap kecil.
> “Kalau aku istri yang baik, aku dimakan. Kalau aku niat, kamu takut. Jadi... aku harusnya gimana?”
Raymond tertawa pelan, duduk di hadapannya.
> “Kamu harusnya tetap seperti ini.”
Suasana tiba-tiba tenang. Hening. Tapi bukan hening yang canggung. Lebih seperti jeda nyaman di antara dua napas.
Mereka mulai makan.
Mi pedas itu mengepul harum. Raymond menyendok dengan lahap, mendesah puas di suapan ketiga.
> “Gila, ini enak banget. Kamu belajar dari mana?”
> “Dari hidup,” jawab Liora sambil tersenyum kecil.
Mereka makan sambil berbincang ringan. Tentang makanan, tentang rumah yang terlalu besar untuk berdua, bahkan tentang kenangan masa kecil yang entah kenapa keluar begitu saja. Raymond sempat bercerita tentang anjing pertamanya yang kabur karena dilepasin ke mall. Liora tertawa kecil, dan suara tawanya seperti angin sore yang menyentuh pelan hati Raymond yang biasanya dingin.
Malam itu, tak ada godaan berlebihan. Tak ada permainan api. Hanya dua orang asing yang mulai saling mengenal — lewat semangkuk mi pedas dan meja makan yang sederhana.
Dan di tengah hangatnya kuah, Raymond menyadari satu hal:
Perempuan di depannya ini bukan perempuan biasa.
Ia adalah teka-teki yang ingin ia pecahkan perlahan… tanpa terbakar.