Selamat membaca gengs!
**
Nevan bukanlah Nessa, meski mereka terlahir kembar.
Jika di sana Nessa menjadi kesulitan karena tidak ada sang kakak. Di sini Nevan justru seperti terbebas dari ulah sang adik yang kerap kali membuatnya pusing tujuh keliling.
Beruntung Nessa adalah perempuan dan bagaimana pun kelakuannya selama di sekolah dulu tidak sampai membuat dia kesal sampai berhari-hari kepada sang adik. Masih dalam batas wajar karena dia ingat pesan orang tuanya kalau mereka adalah sudara, bertengkar atau kesal satu sama lain sudah pasti akan terjadi, tetapi jangan sampai membuat renggang hubungan persaudaraan.
Jadwal kuliahnya hari ini tidak begitu padat. Setidaknya dia masih bisa berada di Perpustakaan tempat yang paling nyaman untuk dia menghabiskan waktu, meski hanya sekedar tidur di sudut ruangan.
Selama di Yogyakarta, dia belum sempat jalan-jalan apalagi langsung di sibukkan dengan persiapan masuk Universitas.
Pernah Leon –sahabatnya- akan mengajak dia jalan-jalan tetapi memang Nevan yang tidak begitu suka keramaian menolak ajakan Leon. Alhasil hari itu mereka hanya menghabiskan waktu bermain game di kosan Nevan yang tidak begitu jauh dari kampus.
Kalau kata Leon, itu bukan kosan tetapi memang rumah pribadi karena sama sekali tidak terlihat seperti rumah kosan pada umumnya. Maklum saja ukuran rumah yang bisa di bilang mewah, pun dengan fasilitas yang ada di dalam rumah dengan kamar mandi yang memiliki bathtub di dalamnya, dapur yang lengkap dengan peralatan memasak, kulkas dua pintu dengan berbagai macam bahan masakan, bahkan sekali pun Nevan hidup mandiri sepertinya tidak akan kerepotan apalagi dalam hal makanan sehari-hari.
Hal tersebut karena sang Ayah yang sudah menyiapkan segala keperluannya. Pun dengan sang Ibu yang terus menerus memastikan perihal makanan untuk anak sulungnya itu. Meski jauh dari orang tua, Nevan tetap dalam pengawasan dan perhatian kedua orang tuanya.
“Selalu dan pasti ada di sini.”
Suara yang sudah Nevan kenali membuat Nevan yang saat itu tengan menunduk karena fokus pada buku bacaannya mengangkat kepala dan mendapati Leon yang duduk di hadapannya.
“Dari mana aja lo?” Nevan menutup buku dan mulai mengobrol dengan Leon.
Tadi selesai kelas mereka memang berpisah di pintu kelas mereka, katanya Leon harus memberikan tugas kepada Pak Tomy –Dosen mereka- karena kemarin lagi-lagi Leon terlambat mengumpulkan. Untung saja masih di beri kelonggaran waktu, mengingat bukan hanya Leon saja tetapi juga mahasiswa lainnya yang terlambat memberikan tugas mereka.
Tahun pertama perkuliahan masih di berikan kemudahan, jika di tahun berikutnya apalagi sudah menuju tahun terakhir tentu saja akan beda ceritanya.
“Kantin dulu, haus gue abis kena ceramah Pak Tomy tadi. Terus tadi lama gue cari lo untung aja ada yang ngasih tau gue kalau lo ke sini. Gue lupa kalau selain kosan mewah lo itu, perpustakaan juga jadi rumah ke dua lo selama kuliah ya,” jawab Leon panjang lebar. “Habis dari sini lo langsung cabut kosan?” tanya Leon setelahnya.
Nevan mengangguk singkat tanpa mengeluarkan sepatah kata pun yang tentu saja sudah biasa bagi Leon yang menjadi sahabatnya.
Entah kenapa dia bisa tahan dengan segala sifat dan sikap Neva yang terlalu irit. Leon jadi berpikir apa saat kecil dulu Nevan di ajarkan cara bagaimana menjadi laki-laki yang dengan keiritan kosa kata dalam bicara tingkat akut.
Leon belum tahu saja keturunan siapa Nevan Aktam Wijaya itu.
Tentu saja si dingin Daddy Arvin.
Nevan tampak menatap jam di pergelangan tangannya, sudah menunjukkan pukul tiga sore dan perpustakaan akan tutup sebentar lagi. Dia pun beranjak membawa buku yang tadi dia baca dan tas miliknya yang tergeletak di kursi samping. Melihat pergerakan Nevan, Leon pun ikut beranjak. Mereka sama-sama keluar dari perputakaan.
***
“Ya gimana dong Kak Nevan, pusing ini Nessa di sini. Ah Kakak sih ...”
Telinga Nevan sepertinya sudah memerah. Sejak satu jam lalu adik kembarnya menelepon dan menceritakan bagaimana hidup dia saat berpisah dengan dirinya.
Katanya sangat mengenaskan. Tidak ada yang membantunya lagi jika ada sedikit masalah seperti tadi.
Nessa memang tengah menceritakan kepada Nevan bahwa dia terlambat masuk kelas dan harus menerima hukuman karena keterlambatannya itu.
Katanya juga Dosen itu bernama Pak Ibrahim Wicaksono, yang sekarang sudah dia landih dengan nama Bapak Wicak. Padahal Mahasiswa lain memanggil dengan nama Pak Ibra. Dasar Nessa!
Lalu Nessa juga mengatakan kalau dia harus merangkum materi perkuliahan yang kemudian di print dan berjilid. Bukan masalah print dan jilid yang tentu saja mudah, tetapi masalahnya adalah materi perkuliahanya bukan hanya satu Bab tetapi puluhan Bab yang tidak mungkin selesai dalam waktu yang sudah di tentukan, satu minggu. Dan masih banyak lagi yang Nessa ceritakan sampai satu jam lamanya kepada Nevan. Kakaknya itu begitu setia mendengarkan lebih tepatnya mengerjakan tugas di temani dengan suara sang adik.
“Sekarang tugasnya selesai?”
Setelah adiknya diam, mungkin sudah capek berceloteh sampai berbusa. Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulut Nevan.
Bagi Nevan tidak perduli sebanyak apapun Bab dari materi perkuliahan yang harus Nessa rangkum, yang penting adalah waktu yang di berikan oleh Dosen tersebut untuk mengerjakannya.
Nessa harus bisa mengatur dengan baik dan tepat sampai tugas itu selesai dalam jangka waktu yang di tetapkan. Dan Nessa sudah menghamburkan waktunya untuk bercerita selama satu jam kepadanya. Bkan tidak ikhlas mendengar keluh kesah sang adik, tetapi kan waktu yang Nessa miliki jadi terbuang begitu saja dengan obrolan di telepon ini.
“Mana selesai, Kak Nevan. Ini Nessa baru pulang ke rumah, belum juga buka itu materinya.”
“Jam segini baru pulang? Kamu bilang kelas sampai jam 12,” ucap Nevan dengan nada kesal mendengar sang adik yang berkata baru pulang padahal sebelumnya Nessa bilang kalau kelasnya hanya sampai pukul 12 siang.
“Tadi Nessa jalan dulu sama Ayu,” terdengar tawa kecil dari sang adik membuat Neva memutar mata jengah. Selalu saja ada alasan.
“Kalau gitu tutup teleponnya dan kerjain tugas. Mana bisa selesai kalau kamu terus ngomel tanpa melakukan apapun.”
“Ish! Adiknya ini lagi curhat bukan malah di kata ngomel. Gak peka banget jadi cowok—”
Tut. Nevan memutuskan panggilan secara sepihak. Sudah pasti di sebrang sana Nessa tengah mengomel tidak jelas karena ulahnya ini. Dari pada membuang waktu dengan percuma harusnya Nessa segera mengerjakan tugas tersebut. Nevan juga yakin otak adiknya cukup cerdas untuk merangkum materi perkuliahan yang hanya dua puluh Bab itu dalam waktu satu minggu. Ya semoga saja.
***
Nevan merenggangkan otot-otot tubuhnya. Dia baru saja menyelesaikan tugas membuat makalah dan baru selesai saat perutnya juga berdemo minta di isi. Akhirnya Nevan memilih untuk menyimpan file makalah tersebut sebelum nanti dia print dan jilid.
Sekarang dia harus segera mengisi perut. Memasak adalah rutinitas yang kerap kali di lakukannya saat berada di kosan.
Bisa di bilang Nevan cukup terampil dalam hal memasak. Karena dia sering membantu Bundanya memasak di dapur –bersama Nessa juga.
Ada beberapa masakan sederhana yang dia biasa buat untuk dirinya sendiri. Seperti sekarang saat dia tinggal di Kota ini hanya sendiri.
Nevan membuat sarapan dan makan malam dengan tangannya sendiri. Untuk makan siang, dia lebih sering makan di luar. Karena memang masih berada di kampus jika jam makan siang.
Berada di dapur. Nevan melihat isi kulkasnya, masih ada banyak bahan makanan terutama sayuran yang memang kerap kali di kirim oleh orang suruhan Ayahnya. Setahu dia begitu, karena dua minggu sekali orang itu datang ke sini dan mengisi kulkasnya.
Padahal Nevan sudah mengatakan kepada Ayah dan Bundanya, dia juga bisa belanja sendiri dan mencari bahan makanan sendiri tetapi Bunda yang selalu sulit untuk di bujuk kalau sudah urusan makanan seperti ini. Jadi mau bagaimana lagi, dia nurut saja.
Nevan mengambil satu bungkus bakso dan sosis, lalu beralih ke lemari lain mengambil dua bungkus mie. Karena di luar sedang hujan, Nevan rasa mie adalah makanan yang paling cocok di suasana dingin seperti sore menjelang malam ini. Setelah menyiapkan bahan untuk dia masak, Nevan mulai merebus air sambil menunggu dia pun memotong kecil-kecil sosis yang tadi dia bawa dari kulkas.
Mungkin karena Nevan sudah di biasakan dari kecil untuk melakukan pekerjaan rumah seperti beberes dan lainnya. Jadi dia tidak merasa kaku lagi apalagi tinggal sendiri, tidak banyak yang harus di bereskan. Dia hanya mencuci dan sudah memakai mesin cuci saat hari minggu, memasak sarapan dan makan malam, urusan setrika, meski panas-panas dan Nevan yang tidak begitu terampil urusan itu tetapi sesekali dia lakukan, seringnya dia kirim pakaian itu ke laundry. Hanya di setrika saja.
Hidup mandiri tidak buruk seperti apa yang adiknya katakan, Nessa memang selalu berlebihan. Harusnya Nevan ingat dengan hal itu.