Selamat membaca gengs!
**
Nessa menghabiskan sarapannya dengan terburu-buru, hari ini dia kembali bangun kesiangan dan sudah pasti akan kembali terlambat masuk ke kampus. Kebiasaanya dulu saat menjadi siswa sekolah dengan memakai seragam putih-abu sepertinya harus kembali dia ulang di masa menjadi Mahasiswanya kali ini. Apalagi sekarang tidak ada Kakak kembarnya di sini, tidak akan ada lagi yang akan membantu dia saat mengalami kesulitan dan Nessa masih membenci itu, dengan keputusan Nevan karena berkuliah di luar kota, ya meski waktu itu dia setuju tetapi begitulah dia kadang labil dengan ucapannya sendiri.
Arlen yang sejak tadi memperhatikan Kakak perempuannya makan seperti kesetanan hanya menggelengkan kepala, dia sudah tak heran lagi dengan kelakuan Kakaknya ini apalagi mereka sudah tinggal satu rumah sejak kecil. Tentu saja Arlen sangat tahu bagaimana sikap dan sifat Kakaknya ini, yang menurut Arlen, Nessa itu perempuan tetapi tidak ada lemah lembutnya seperti Bunda mereka.
“Kak, pelan-pelan, nanti keselek,” tegur Kia, Bunda mereka.
“Aduh, Bun. Nessa udah telat banget. Mana pagi ini Dosennya dia lagi, ah kenapa sih harus ketemu terus sama Dosen itu,” gerutu Nessa dengan mulut yang masih mengunyah.
“Uhuk..uhuk..”
“Nah kan, Bunda juga bilang apa, makan itu pelan-pelan.”
Nessa meraih gelasnya dan meneguk sampai habis, setelah itu dia beranjak dari kursi, “Nessa berangkat dulu,” pamitnya setelah mencium kedua tangan orang tuanya.
“Waalaikumsalam,” sindir Arlen dengan suara cukup kencang.
“Assalamualakum!!!” teriak Nessa yang sudah keluar dari rumah menuju mobilnya.
“Anak perempuan kamu tu, kok kelakuan enggak ada manis-manisnya,” gerutu Kia menatap sang suami.
“Anak kamu juga, Sayang.”
“Kak Nessa kan bukan minuman di iklan, Bun. Udah pasti enggak ada manis-manisnya,” celetuk Arlen.
“Arlen...”
“Becanda Bunda, kalau gitu Arlen juga berangkat. Ayo Ayah!” ajak Arlen kepada Ares, Ayahnya.
“Aku berangkat dulu ya,” pamit Ares kepada Kia.
“Iya, hati-hati,” balas Kia.
“Bunda, anak ganteng pergi sekolah dulu, jangan rindu biar Arlen aja,” ucap Arlen mencium tangan Bundanya.
“Jangan bikin ulah di sekolah, belajar yang bener.”
“Siap Bunda!” hormatnya.
***
Nessa baru saja sampai di parkiran kampusnya, sejak tadi Ayu sudah beberapa kali menghubunginya tetapi Nessa tak mengangkat telepon dari sahabatnya itu, dia lebih fokus menyertir mobil untuk sampai di kampus dengan selamat. Meski tadi dia harus melanggar peraturan dari sang ayah untuk tidak mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, pagi ini Nessa sudah seperti Valentino Rossi yang berada di arena balapan, bedanya dia menggunakan mobil sementara Rossi menggunakan motor. Ya pokoknya anggap saja seperti itu, begitu pikirnya.
Nessa masih di dalam mobilnya, dia memilih untuk merapihkan penampilannya. Se-bar-bar apapun dia di mata orang-orang, penampilan harus nomor satu. Tidak mungkin kan dia masuk ke dalam kelas dengan rambut yang berantakan atau make-up yang sangat aneh, bisa-bisa dia di tertawakan oleh teman di kelasnya. Selesai dengan merapihkan rambut dan sedikit memoleskan lipstick di bibirnya, Nessa segera keluar dari mobil membawa tas dan bukunya.
Nessa, meski dia baru saja masuk dan menjadi Mahasiswa semester pertama tetapi sudah banyak yang mengenalnya. Bukan hanya karena kecantikan yang di milikinya tetapi juga karena sikapnya yang sangat mencolok. Terkenal dengan Mahasiswi yang begitu aktif dan juga sering kali beradu pendapat dengan Seniornya, apalagi saat masa orientasi mahasiswa baru waktu itu, Nessa semakin di kenal tidak hanya oleh Mahasiswa satu jurusannya tetapi juga dengan Mahasiswa yang berada di luar jurusannya.
Kali ini dia sudah berada di depan pintu kelasnya, mendekatkan telinganya pada pintu untuk mendengar suara dari dalam. Meski samar-samar tetapi Nessa bisa mendengar kalau Dosennya sedang menjelaskan materi. Dia melihat jam yang berada di pergelangan tangannya, dia terlambat dua puluh menit.
“Gimana caranya gue masuk,” gumamnya.
Nessa berpikir mencari alasan yang bisa di terima oleh Dosennya, “Ayo, Ness. Mikir-mikir, otak cantik lo pasti punya alasan buat di terima itu si Dosen nyebelin,” ucapnya pelan.
“Anjir! Apa dong alasannya, ah kalau gini jadi inget Kak Nevan, dia kan selalu bisa bantuin gue waktu sekolah dulu,” gerutunya.
Nessa masih dengan pikirannya sendiri, bahkan dia tidak menyadari pintu ruangannya sudah terbuka dan sang dosen berdiri di hadapannya. Tidak ada yang berani bersuara mengingat Dosen yang mengajar di kelas mereka kali ini merupakan Dosen yang pelit dalam hal nilai, mereka tidak ingin mendapatkan masalah apapun dengan Dosen tersebut, meski kali ini mereka sudah ingin tertawa melihat kelakuan Nessa, temannya yang tak menyadari Dosen di hadapannnya.
Ayu yang duduk di barisan belakang meringis melihat kelakuan sahabatnya. Kenapa Nesaa sama sekali tak menyadari pintu ruangan sudah terbuka, malah asyik menggerutu sambil memejamkan matanya. Astaga, benar-benar kelakuan sahabatnya itu.
“Ekhm...”
Nessa masih memejamkan matanya sambil berpikir. Biasanya kalau dia memejamkan mata maka otaknya akan cerah, meski kadang-kadang. Tetapi suara dehaman seseorang yang berulang kali terdengar di telinganya membuat konsentrasinya buyar.
Nessa dengan berdecak membuka kedua matanya, ingin mengomel karena orang itu sudah mengganggu dia yang sedang berpikir tetapi belum sempat dia mengomel, kedua matanya sudah menangkap laki-laki dengan kemeja berwarna navy yang tengah berdiri tepat di hadapannya dengan tangan yang terlipat di d**a. Jangan lupa dengan tatapannya yang sudah seperti akan menerkam Nessa.
“Eh, Bapak,” ringis Nessa tersenyum kikuk.
“Kenapa tidak masuk?”
“Oh itu, Pak. Saya lagi mikir dulu.”
“Mikir apa?”
“Gimana caranya buat masuk,” jawab Nessa kelewat polos.
“Tinggal buka pintu, memangnya kamu tidak punya tangan.”
“Sembarang! Bapak jangan gitu ngomongnya, ini Nessa punya tangan dua terus ini juga kukunya cantik kan, kemarin Nessa warnain terus— Anjir kenapa gue malah curhat,” gerutunya setelah menyadari apa yang baru saja dia katakan.
“Sudah saya katakan jangan mengumpat.”
“Keceplosan, Pak. Kalau gitu saya boleh masuk?” tanya Nessa tak tahu malu. Apa dia lupa siapa yang berada di hadapannya sekarang.
“Masuk.”
Semua mahasiswa melongo, tak percaya saat mendengar jawaban yang begitu santai dari Dosen mereka, kenapa Dosen tersebut dengan mudahnya mengijinkan Nessa masuk ke dalam kelas padahal terlambat cukup lama. Sementara Nessa memekik senang karena dia bisa masuk dan mengikuti pelajaran. Hari ini sepertinya dia sedang beruntung, meski Dosen tersebut yang kerap di panggil Pak Ibra adalah Dosen yang tidak suka dengan orang yang terlambat, tetapi pagi ini sepertinya sedang dalam mood baik karena memberikan ijin untuk masuk ke dalam kelas.
“Kalau begitu, kita akhiri sampai di sini. Karena semua Dosen harus mengadakan rapat, dan tidak bisa mengajar sampai selesai. Jangan lupa untuk tugas yang tadi saya sebutkan, minggu depan pukul sembilan pagi sudah ada di ruangan saya. Dan kamu, Nessa. Selesai rapat saya tunggu kamu di ruangan.”
Nessa yang baru saja duduk melotot tak percaya, sekarang untuk apa dia masuk ke dalam kelas kalau Dosen tersebut tidak kembali mengajar dan akan mengadakan rapat. u*****n untuk Dosen tersebut sudah dia lontarkan di dala hati. Sementara Ibra diam-diam tersenyum melihat raut wajah gadis yang berada tak jauh darinya. Setelah itu dia keluar dari ruangan kelas.
“Anjir! Sialan banget! Kalau tau gini ngapain gue di suruh ke dalam,” gerutu Nessa setelah melihat Ibra keluar dari kelas mereka.
“Lagian lo juga, kenapa tadi enggak langsung masuk gitu. Ngomong baik-baik, ini malah diem di depan kelas,” ucap Ayu sambil memasukkan bukunya ke dalam tas.
“Gue tadi masih mikir alasannya buat masuk.”
“Mikir lo kelamaan! Siap-siap aja lo nanti ketemu di ruangan Pak Ibra.”
“Mati gue.”