Cantik itu bisa mengubah sikap orang. Cantik membuat orang lain lebih perhatian atau bahkan mau berbuat baik pada kita. Apakah itu salah? Tidak ada yang salah dengan itu. Loh, kenapa bisa begitu? Alasannya sangat sederhana. Manusia diberi standar cantik yang berbeda. Cantik di mata satu orang belum tentu cantik di mata yang lain. Sederhana bukan?
Tama melongo kaget melihat Anin keluar dari rumah. Hari yang tidak spesial ini seakan punya makna. Apakah Anin hendak ikut kencan buta? Atau dia memang sedang ingin membuat Tama terkesima. Dan kenyataannya, Tama terdiam kaku dengan ekspresi kagum. Cewek itu sangat cantik. Dia datang dengan rambut panjang, wajah yang cantik, senyum yang manis dan ekspresinya yang imut.
“Apa gue aneh?”tanya Anin dengan ekspresi datar. Sebenarnya Anin tak yakin, tapi Bunga terus memaksanya untuk percaya diri saja.
“Hmm, eng...engga kok. Ayo naik!”seru Tama sambil memberikan helm pada Anin. Anin menerimanya dan hendak langsung memakainya. “Eh, tunggu dulu. Rambut lo udah damai sejahtera gini, kalau dipakein helm bisa hancur lagi.”
“Biarin aja, yang penting gak sampai mekar kayak dulu.”
“Dasar! Jadi kemarin lo ketemu Bunga buat ini?”
“Iya. Lo kenapa nelpon mulu sih kemarin?”
“Gue khawatir An. Dasar!”
Motor melaju kencang. Anin merasa sangat degdegan. Apa yang harus ia lakukan nanti? Apakah ia percaya diri untuk menghadapi Debby?
“Tama, gimana perubahan gue?”tanya Anin saat mereka berjalan menuju ke kelas.
“Bagus.”
“Gitu doang?”
“Mau jawaban apa emang?”
“Ah, nyebelin. Ok, gue nanya gini aja. Better now or before?”
“Sama aja.”
Anin sudah malas ngobrol dengan Tama. Saat diajak ngobrol serius, dia hanya ngomong sesuka hatinya. Ada yang berbeda dengan pandangan orang-orang. Tampilan baru Anin seakan membuat mereka terkesima. Pandangan yang tak biasa membuat Anin sedikit terusik. Ia memegang tangan Tama dan berbisik, “Tam, buruan yuk jalan.”
“Makanya jangan berubah. Orang-orang jadi tahu kalau lo cantik.”
Anin terdiam dan bingung. Haruskah ia bahagia atau malah marah? Dia mempercepat langkahnya dan tidak peduli ucapan Tama. Bisa saja dia hanya menghibur sejenak. Orang tampan seperti dia mana tahu penderitaan manusia biasa.
Kelas yang tadinya riuh gundah seketika hening melihat kedatangan Anin. Takjub rasanya melihat perubahan seseorang yang sangat signifikan. Seakan di hipnotis, mereka terdiam dalam keheningan.
Tiba-tiba Bunga mengambil alih panggung. “Teman-teman, sebagai orang yang cukup berprestasi di kelas ini, gue mau ngasih tahu sesuatu.”ucapnya di depan kelas. Kecantikannya tak kalah dengan Anin, mereka seraya jadi sosok perhatian di kelas itu.
“Kalian tahu kan, kalau kemarin gue sampai masuk BK gara-gara seseorang.”ucapnya sambil menatap Debby tajam. “Gue gak mau kalian berpikiran aneh tentang itu. Gue mau masalah ini clear.”lanjutnya.
Debby yang merasa tersindir langsung berdiri sambil berkata, “Mau lo apa sih?”
“Owhh, tunggu dulu dong. Gue mau jelasin ke teman-teman semua kalau kejadian di kemah beberapa minggu lalu itu sengaja.”ucapnya tegas. “Dan gue mau, orang yang melakukan itu minta maaf sama Tama.”
“Apaan sih lo? Kenapa gue harus minta maaf? Itu semua salah dia?”
“Tapi bukan berarti lo harus dorong dia Deb. Lo emang gak punya perasaan. Nyawa orang lebih berharga. Dan kemarin lo malah nyari masalah sama Anin.”
Semua tampak kaget. Tak ada yang tahu bahwa ada masalah yang pelik antara Debby dan Tama. Selama ini, semua tampak baik-baik saja. Tak ada yang terjadi dengan serius. Apalagi Tama dan Debby sangat jarang terlihat saling sapa.
Debby yang merasa terpojok bingung harus bagaimana. Dia melihat semua orang tampak menunggu jawaban darinya. Dia harus memberi penjelasan untuk perbuatannya yang sudah jelas terbukti.
“Gue mengaku salah atas apa yang gue lakukan. Dan meskipun gue emang sengaja dorong dia, tapi gue benar-benar gak tahu kalau ada jurang disitu.”ucapnya dengan nada sedih. Semua orang berbisik atas perbuatannya. “Dan gue ngelakuin itu karena Tama udah bikin adik gue nangis.”
Semua tambah heboh. Aneh saja rasanya, seorang Tama yang terkenal baik bisa membuat orang lain menangis.
Tiba-tiba seseorang datang menghentikan pertunjukan itu. Dia adalah Chintya, adik Debby. Dia tampak kesal melihat Debby. Dia menyuruh kakaknya itu mengikutinya keluar dari kelas.
“Makanya jangan bikin masalah. Akhlak lo jauh lebih buruk dari apapun!”bisik Bunga di telinganya. Ia berjalan dan keluar dari kelas untuk menemui adiknya. Jelas saja, adiknya pasti marah besar.
Bunga sengaja mengirim pesan pada Chintya untuk datang ke kelasnya pada pagi hari. Ia sudah merencanakan semuanya agar apa yang dilakukan Debby bisa diketahui oleh adiknya. Adiknya yang adalah fans dari Si Ganteng Maut pasti tidak akan terima. Keputusan Tama untuk off dari i********: seperti berita buruk bagi para fans nya.
“Gila, cantik banget lo!”seru Trisna takjub.
“Jadi sekarang udah ngerti pakai make up? Okey, sekarang gue yang paling katrok di antara kita.”seru Gena bercanda.
“Sok merendah sekali anda. Besok juga gue udah kayak biasa. Cuma rambutnya aja yang lurus.”
“Tapi An, rambut lo ini benar-benar jadi sumber perubahan lo. Mau makeup lo dihapus, lo tetap cantik.”seru Trisna.
“Eh, gak usah muji gitu deh.”
“Beneran ey. Gimana reaksi Tama? Harusnya dia udah jatuh cinta sama lo.”seru Trisna.
“Tris, dari dulu kali.”
“Oh iya. Hahaha.”
“Heh, ngomong apa sih? Gue sama Tama cuma temenan.”
“Iya in aja deh. Tapi kalau beneran, gue gak bakal minta pajak jadian juga.”ledek Trisna.
Sudah sejak dulu, dua orang itu selalu berkata yang aneh tentang dia dan Tama. Mereka selalu beranggapan kalau Tama tak pernah pacaran karena dia suka sama Anin. Nyatanya tidak, tidak ada yang demikian. Rasanya tidak mungkin. Perasaan dan perhatian yang selama ini terjadi hanyalah karena status pertemanan yang mendekati saudara.
*****
Satu kata yang dirasakan Anin setelah berubah. Risih. Ya, dia sangat risih dengan pandangan para cowok hiperaktif di sekitarnya. Untung saja dia punya dayang-dayang yang tak kalah tampan. Andai tidak ada Tama dan Hasta, kecanggungan yang ada dalam dirinya akan terus ada.
“Santai An, emang lo bakal diapain? Gue sikat tuh orang-orang.”ucap Hasta kesal. Hari ini Anin tak seperti biasa. Ia lebih tertutup dan takut terlihat.
“Gue diliatin, rasanya risih aja.”
“Ga apa-apa. Lo gak harus mikirin ucapan orang.”
“Lo tahu dari mana?”tanya Anin. Bahkan Tama tidak tahu tentang apa yang terjadi di toilet kemarin. Mereka tidak tahu apa yang diucapkan Debby tentang dirinya.
“Okey, gue kemarin nanya sama Bunga.”
“Jadi lo udah baikan?”tanya Tama antusias.
“Bukan itu konteksnya Tama. Ini tentang Anin.”
“Kalian berantem?”tanya Anin.
“Ah dasar!”seru Hasta sambil tertawa. Ia jauh lebih senang melihat Anin yang sudah seperti sedia kala. Walaupun ada kata-kata yang sangat menyakitkan dari orang disekitarnya, Hasta berharap cewek itu bisa survive.
“Ngomong-ngomong, Bunga sama mamanya ada masalah ya? Gue lihat mereka kayak gak akur gitu.”ungkap Anin sambil menyeruput bakso di mangkoknya.
“Gue gak tahu sih,”ungkap Tama kalem.
“Sebenarnya, mamanya dia sudah meninggal.”ucap Hasta menjelaskan.
“Jadi yang kemarin gue lihat bukan mamanya?”
“Mama keduanya.”
“Owhh!!”seru Tama dan Anin serentak. Kenyataan itu cukup mengejutkan. Apalagi Bunga anak yang cukup ceria tapi saat ia bertemu mamanya, ia hanya bisa menunjukkan wajah kesal.
“Kalau gitu bantuin lah Has.”
“Bantuin apa?”
“Bantuin dia, gimana caranya biar bisa menerima keadaan.”seru Tama.
“Benar tuh. Gue dulu kehilangan papa juga gak bisa langsung move on. Apalagi dia yang langsung mengenal ibu tiri. Gue gak kebayang rasanya gimana.”seru Anin sedih. Sesaat ia merasa lebih bersyukur. Walaupun anggota keluarganya jarang ke makam ayahnya, tapi setidaknya mereka selalu mengerti keadaan Anin. Penderitaan yang dirasakan Bunga jauh lebih parah dibandingkan dirinya. Tapi rasanya tak baik membandingkan penderitaan.
“Tapi kenapa gue?”
“Tahu diri aja sih. Ya kali gue, mantannya. Bisa-bisa gue ditabok sama fans gue.”
“Kalau gue juga gak mungkin, gue sama dia bisa jadi nangis berdua. Kalau lo kan, single and available.”
“Siapa bilang?”
“Gak usah mengalihkan. Pacar yang kemarin juga cuma imajinasi.”ledek Anin sambil tertawa. Ia dan Tama tertawa terbahak-bahak. Pacar yang diakui Hasta sebagai pasangannya ternyata hanya halusinasi semata. Kenapa? Orang yang merasa pacaran hanya dia sendiri. Ya, istilahnya di PHP-in. Diberikan perhatian lebih, eh ternyata cewek itu udah punya pacar. Hasta yang merasa sendiri, dia juga yang sakit hati sendiri. Sungguh, cinta memang penuh teka teki.
Pulang sekolah seakan jadi ajang pembuktian. Pembuktian tentang siapa yang paling bau. Cahaya matahari yang menyengat menimbulkan bau keringat yang tak tertahankan. Terlebih saat para siswa sedang menunggu kendaraan umum sambil berkerumun. Itu seperti menuju ke sumber bau yang paling pekat.
Wajah yang mengantuk terlihat jelas, Anin berjalan gontai menuju ke pintu gerbang sambil menunggu Tama datang. Disana ia bersama Hasta. Seperti biasa, Hasta akan pulang dengan kendaraan online. Ia paling malas menyuruh supirnya ke sekolah. Maklum saja, dia tipe manusia yang down to earth.
“Duluan ya Has, see you tomorrow.”seru Anin.
“Yoai, jangan lupa kerjakan tugas Bahasa.”
“Iya bawel!”
“Bye Has. Inget ya janji lo.”seru Tama.
“Janji apaan sih?”
“Janji kalau lo bakal menghibur Bunga Si Cantik Maut.”
“Udah sana!”balas Hasta kesal. Tama langsung tancap gas karena hari semakin sore. Sedangkan perut semakin meronta-ronta ingin dikasih asupan nutrisi gizi seimbang.
Hasta duduk di halte depan gerbang sekolah. Ia sedang menanti seseorang. Bunga Dewi, cewek yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya. Sejak kejadian yang ia lupakan itu, Hasta sejenak sadar kalau apa yang ia perbuat memang salah. Walau itu semua dipengaruhi oleh alkohol, tapi ia juga bodoh. Manusia macam apa yang mencium orang lain disaat mabuk? Bukankah seharusnya tetap memilih orang yang tepat? Lalu kenapa Hasta mencium Bunga?
Orang yang ia tunggu akhirnya tiba. Ia melirik jam tangannya sambil melihat ke arah yang berlawanan dengan keberadaan Hasta. Hasta langsung berjalan menemui cewek itu. Ia harus sigap demi memanfaatkan momen.
“Boleh ngomong gak?”tanyanya. Kehadirannya membuat Bunga kaget.
“Ngomong aja sekarang.”
“Jangan disini juga kali.”
“Terus mau lo dimana?”
“Sini ikut gue.”ucapnya dan menarik tangan Bunga. Ia menggenggam tangan itu erat. Bunga terpaksa mengikuti. Mereka naik angkot. Bunga duduk tepat disamping Hasta.
“Sorry ya, cuma bisa naik angkot.”
“Lebay amat.”ucapnya kesal. Saat sopir melakukan rem mendadak, Bunga hampir terjatuh.
“Tuh kan, gue tau kok lo gak pernah naik angkot. Ini pegang sisinya biar gak jatuh.”
Bunga mengikuti saja. Ia tersenyum sejenak. Ternyata naik angkot tak seburuk yang ia pikirkan. Pemikiran kuno yang bilang kalau naik angkot itu kotor, banyak pencopet, pengamen dan panas. Semua itu akan sirnah jika kita bersama dengan orang yang kita harapkan. Begitulah yang terjadi pada Bunga. Siapa sangka dia malah merasa sejuk di tempat yang panas itu.
Mereka sampai di kafe Teradina, cafe yang berlokasi tidak jauh dari sekolah. Biasanya kafe itu digunakan untuk meeting para pekerja kantoran. Harga makanan yang diatas rata-rata membuat para pelajar jarang kesana. Tapi itulah alasan Hasta kesana, ya setidaknya gak ada yang akan mengenal mereka.
“Terus mau ngomong apa?”
“Pesan makan dulu Bunga. Entar perut lo maag.”
“Tinggal ganti perut.”
“Astaga, lo kira gampang?”
“Kalau gak gampang, ya sudah tinggal mati.”
“Bicaranya sudah mulai gak jelas. Mabok lagi lo?”
“Ogah, entar lo aneh-aneh lagi.”
“Oke, gue minta maaf.”
“Gitu doang?”
“Terus maunya apa?”
“Menurut lo?”
“Lo boleh balas dendam sama gue.”
“Maksudnya?”
“Ya gitu, lo bisa ngelakuin hal yang sama ke gue. Gue gak masalah.”seru Hasta sambil tersenyum.
“Itu mah maunya lo aja.”
“Ya udah kalau gak mau, udah makan dulu aja.”ajak Hasta sambil menunjuk ke buku menu yang sedang ia baca. Bunga mengiyakan dan melakukan apa yang ia suruh. Mereka memesan beberapa menu makanan yang cocok untuk makan siang. Tentu saja nasi menjadi salah satu diantaranya.
Hasta mulai bercerita tentang dirinya secara jujur. Ia merasa kalau Bunga itu sosok yang akan mengerti tentang dia. Mereka punya orang tua yang pekerjaannya sama. Dan tentu saja jadi anak seorang polisi benar-benar menghadapi banyak masalah. Lambat laun, Bunga mulai menceritakan tentang dirinya. Dia yang masih bingung dengan perasaannya yang terus membenci ibu tirinya. Bukankah salah jika kita membenci tanpa alasan? Dengan alasan pun, membenci itu tetap salah. Apalagi jika tanpa alasan. Hari demi hari yang dilalui Bunga seperti mencari pembenaran bahwa keputusan ayahnya untuk menikah lagi adalah salah.
Kenyataannya, tak ada yang salah dengan itu. Ayahnya menikah dengan orang yang baik, yang mau dengan sukarela menganggap Bunga sebagai anaknya sendiri. Bunga terjebak pada masa lalu dan seakan tak mau berpisah dengan masa lalu itu. Ia tidak rela mengubah hidupnya dalam bentuk keluarga baru. Ia berpikir bahwa dengan hadirnya keluarga baru, maka kehadiran ibunya di masa lalu bisa saja hilang ditelan waktu. Bukankah jahat sekali jika kita melupakan orang begitu mudahnya?
Anin dan Bunga mengalami hal yang sama. Mereka sama-sama tak rela berpisah dengan masa lalu. Mereka hanya sibuk menyalahkan orang-orang di sekitar mereka. Mereka tidak tahu bahwa dibalik kebahagiaan dari orang itu, ada luka yang tak ingin ditampilkan. Ibu yang sedih dalam kesendirian. Kak Winda yang menatap langit di hari kematian ayahnya. Ia bahkan tak punya nyali pergi ke pemakaman. Ia tak bisa kesana karena kesedihannya hanya akan terus berlanjut. Dan mungkin saja ayahnya Bunga juga merasakan hal yang sama. Dia hanya ingin terlihat bahagia di depan anaknya. Dia tak mau kesedihan itu dirasakan bersama. Biarlah dia yang merasakannya seorang diri. Karena sebaik-baiknya manusia, alangkah lebih baik berbagi kebahagiaan daripada berbagi kesedihan.