MAK LAMPIR
Seperti pagi-pagi sebelumnya, suasana masih lengang saat Romi sampai di ruangan yang penuh dengan kubikel-kubikel rapi punya karyawan kelas C. Dan selalu saja ia geleng kepala melihat kubikel – kubikel itu masih banyak yang kosong. Tapi Romi selalu memaklumi, yang penting jam delapan, kubikel wajib penuh pegawai. Atau peringatan dari Pak Chandra akan melayang ke meja kubikel mereka.
Sampai di ruangannya yang super deluxe, segera saja aroma wangi sedap malam menguar dari pengharum ruangan. Wangi yang sama ini selalu membuatnya ingat Rindu, teman kencannya pas kuliah dulu.
Meletakkan tasnya di meja sebelah kiri, langsung saja dibukanya laptop apple nya yang penuh dengan planning-planing proyeknya. Beberapa proyek yang sudah mencapai 90 persen pengerjaannya segera saja dia catat untuk kemudian meninjau proses finishingnya.
Jam nyaris menunjukkan pukul delapan ketika tiba-tiba handphone di samping laptopnya berdering. Nama Ayah tertera sebagai pemanggilnya.
“Halo, Yah?”
“Bisa datang ke ruangan Ayah sebentar, Rom?” terdengar suara di seberang.
“Penting, Yah?”
“Kalau nggak penting Ayah nggak akan panggil kamu sesegera ini, kan?”
“Oke…oke!” Lalu seperti panggilan yang sudah-sudah, Romi segera bergegas meninggalkan ruangannya menuju ruang Pak Dirut. Romi mengetuk pintu dengan santun.
“Masuk!”
Setelah terdengar sahutan barulah Romi mendorong pintu untuk kemudian masuk. Meski Pak Dirut itu ayahnya, tapi kesopanan tetap dijaganya. Romi tak pernah memanfaatkan keadaan untuk kepentingan pribadinya. Di sini mereka mengutamakan profesionalisme dalam bekerja.
“Duduklah.”
Dan Romi duduk dengan santun di kursi di depan Pak Dirut.
“Ada apa, Yah?”
“Begini… Sultan kan resign? Nah, kamu sudah dapat penggantinya apa belum?”
“Apa sangat mendesak, Yah?”
“Terlalu mendesak tidak, tapi nanti kalau kita mencarinya menunggu proyek berikutnya diteken, Ayah rasa akan sedikit menyulitkan. Karena mereka juga butuh penyesuaian dengan ritme kinerja kita.”
Romi manggut-manggut.
“Apa kamu punya teman atau kolega yang mungkin bisa dipercaya menggantikan posisi Sultan?”
Romi diam sejenak.
Kalau membawa Silvia pasti kelihatan banget nepotismenya. Toh Ayah juga belum tentu setuju kalau dia mengusulkan Silvia. Tahu sendirilah, selama lima tahun pacaran, restu Ayah tak juga terlihat akan turun.
Romi lantas menggeleng, dia tak mau ambil resiko dengan kemanjaan dan kecentilan Silvia. Yang pasti akan mengundang masalah baru jika Romi nekat membawa Silvia ke dalam lingkup kerjanya.
“Memangnya Ayah punya?” tanya Romi sembari membetulkan letak jas kerja yang dipakainya.
Ayah tersenyum kecil, seakan ada yang membuat beliau geli. Padahal beliau orang yang mahal tersenyum, kepada karyawan ataupun Romi sendiri. Bukan berarti sebuah kesombongan, melainkan untuk menjaga wibawanya sebagai pemimpin perusahaan.
“Kok tertawa, Yah?”
“Kalau Ayah bilang ada cadangan, nanti kamu mengira Ayah menerapkan sistem nepotisme disini.”
“Siapa, Yah?”
“Ini memang area kerja kamu, Rom. Jadi harusnya kamu yang mencari pengganti Sultan. Tapi Ayah kemarin menerima surat lamaran via email. Kamu cek kelayakannya dan kemudian lakukan interviewnya senin depan.”
Pak Chandra lantas menyodorkan laptop ke hadapan Romi. Romi mengamati kemudian menatap ayahnya.
“Maksud Ayah langsung diterima? Tapi ini kan perempuan, Yah?” Romi sedikit mengerutkan keningnya karena cv yang dia lihat itu jelas-jelas seorang gadis.
Pak Chandra menggeleng.
“Makanya diverifikasi dulu. Kalau secara akademis memungkinkan, nggak ada salahnya kan kita memberi kesempatan kepada yang muda untuk berkarya?”
Romi manggut-manggut.
“Dia memang perempuan. Tapi dari profilnya Ayah lihat dia memenuhi kriteria.”
“Tapi kerjaan Sultan kan keras, Yah? Lha ini perempuan yang akan Ayah rekrut ?”
Pak Chandra tersenyum.
“Kita lihat saja dulu. Kalau memang kurang piawai memegang kerjaan Sultan, kita akan memindahkannya ke tempat yang agak feminine kalau itu maksud kamu.”
Romi terdiam, memikirkan sesuatu.
“Sudah saatnya kita mulai membuka diri untuk memberi kesempatan pada perempuan, Rom.”
Silvi juga perempuan, Yah?!
Entah mengapa, kali ini Pak Chandra sedikit ngotot menempatkan perempuan yang curriculum vitaenya kini ada dihadapan Romi. Meski ada sedikit rasa yang kurang pas, tapi Romi tak mengatakannya di hadapan Pak Chandra. Bagaimanapun, dia tak sepantasnya membantah sebelum mengetahui bagaimana kualitas perempuan ini.
“Sekarang kamu pelajari datanya. Hasil pengamatanmu bisa kamu letakkan dimeja Ayah selepas jam kantor.”
Romi mengangguk. Tak menunggu lama dia meninggalkan ruangan Dirut menuju ke ruangannya.
Ada apa dibalik sikap ngotot Ayah ?
Laki-laki berusia di awal tiga puluh tahun dengan wajah tampan itu bertanya-tanya dalam hati.
Memang sih banyak karyawan perempuan, tapi nyaris 75 persennya adalah laki-laki. Beberapa mandor, pengawas proyek dan kepala proyek memang pribumi. Tapi untuk menggantikan posisi Sultan, seharusnya bukan pekerja biasa. Apalagi ini seorang perempuan. Entah apa yang membuat pak Chandra sedikit getol memasukkan perempuan untuk menjadi asisten, menggantikan Sultan.
Sultan adalah pegawai group A yang kerja pokoknya adalah mengatur kinerja group, mengumpulkan laporan dari beberapa ketua pelaksana dan bendahara, menganalisa, membuat laporan, lantas melaporkannya langsung kepada Romi. Tak jarang Sultan harus berpanas-panas untuk meninjau langsung apa yang dilaporkan bawahannya.
Memang secara finansial cukup menjanjikan karena menilik dari jenis pekerjaannya yang berat dan beresiko. Sedikit kesalahan dalam analisa dan laporan, akan menjatuhkan reputasi yang telah dibangun. Dan untuk yang satu ini, seluruh karyawan selalu menjaga prestasi masing-masing.
Dan itu jelas bukan tipe pekerja yang pantas bergabung dengan SALEEM Group. Karena Pak Chandra Saleem adalah type pemimpin yang perfeksionis. Yang ingin segala sesuatu berjalan sempurna.
Tok…tok…tok…
Pintu ruangan Romi diketuk dari luar sementara dia masih melihat dan menganalisa calon pegawai baru yang lamarannya disodorkan Pak Chandra tadi.
“Masuk!” Romi memerintah dengan pandangan yang belum lepas dari monitor laptop.
“Permisi, Pak. Ada Nona Silvia di ruang tunggu,” kata Desi si sekretaris dengan santun.
Romi menatapnya dengan sedikit rasa menyesal karena jelas Silvia datang pada saat yang kurang tepat.
“Suruh menunggu beberapa menit lagi, Desi. Ada yang masih harus saya kerjakan.”
“Baik, Pak. Apa lebih baik saya sarankan menunggu di ruang ini saja, Pak?” tanya Desi santun.
Romi tahu, sebenarnya Desi kurang suka dengan keberadaan Silvia di ruang tunggu yang berada tepat di depan mejanya itu. Dan Romi tentu saja tak bisa memaksa Desi untuk menyukai Silvia.
“Tidak, Des. Jangan diizinkan masuk dulu. Pak Chandra akan marah besar kalau tahu saya membawa tamu pribadi masuk ruang kerja saya,” sahut Romi.
“Baik, Pak.” Desi mengangguk santun lantas keluar dari ruangan.
Dahi Romi mengernyit.
Datang sepagi ini ?
Romi melihat ke araj jam tangan yang ada di pergelangan tangannya.
Dan ini masih jam sembilan pagi, kan? Bukannya masih terlalu dini untuk makan siang sesuai janji mereka kemarin? Atau untuk sarapan?
Pesona Silvi memang tak bisa dipungkiri. Cantik, semampai, modis dengan kulitnya yang bening nyaris membuatnya sempurna sebagai perempuan. Dan Romi merasa sangat puas bisa mendapatkan Silvi mengingat banyaknya pesaing sesama pengusaha. Di beberapa pertemuan dengan pengusaha lain, seringkali Romi dibuat bangga ketika membawa Silvia karena nyaris semua rekan usahanya memandang perempuannya itu dengan pandangan tak berkedip, penuh rasa kagum dan terpesona.
Memang kesempurnaan Silvi jadi berkurang karena kemanjaannya hingga nyaris posesif. Dan selama ini Romi selalu berusaha berkompromi dengan memaklumi kemanjaan Silvi karena dia memang anak tunggal keluarga Herman Wijaya, pengusaha otomotif kota ini. Tapi yang pasti, Romi belum menemukan perempuan secantik Silvi.
Meski jutek…
“Hallo, Sayaaannnggg…” tiba-tiba senyum Silvi muncul bersamaan pintu ruang kerja Romi yang terbuka.
Lamunan Romi buyar seketika. Tak lama, menyusul Desi yang datang dengan wajah tegang. Dan Romi tahu penyebabnya. Siapa lagi kalau bukan Silvi. Romi berdiri dengan kaget yang disambut Silvi dengan cipika cipiki tanpa mempedulikan keberadaan Desi di ruangan tersebut.
“Maaf, Pak. Saya tak bisa mencegah Nona Silvi untuk masuk,” ucap Desi sedikit tegang dengan muka merah akibat ulah cipika cipiki Silvi.
“Tidak apa-apa, Desi. Kamu nggak bersalah, silahkan kembali ke tempatmu,” ucap Romi menenangkan kepanikan Desi.
Di usapnya bibirnya yang barusan disambar paksa oleh Silvi.
“Terima kasih, Pak. Permisi.” Desi kemudian keluar dari ruangan tersebut dengan muka masih merah. Pandangan Silvi mengikuti keluarnya Desi dengan pandangan yang penuh kekesalan.
Huh!!! Desi geleng kepala.
“Kalau cari sekretaris yang profesional dong, Sayang?! Masa aku nggak boleh masuk? Memangnya dia nggak tahu apa aku ini siapa?” Silvi mengutuk dengan wajah cemberut kesal.
“Jangan salahkan Desi, dia hanya mematuhi perintahku tadi. Dan sejauh ini Desi sangat profesional dengan pekerjaannya. Barangkali kamu yang terlalu dini datang kemari,” Romi menetralkan suasana hati Silvi.
“Jadi kamu lebih membela sekretaris kamu itu dan juga nggak mengijinkan aku untuk masuk ke sini?”
Silvi melotot tak percaya ke arah Romi.
“Jangan salah paham dulu, kamu tahu kan ini kantor Pak Chandra? Dan aku di sini pegawai. Nggak etis dong suka-suka bawa tamu pribadi masuk?”
“Pak Chandra kan Ayah kamu, Rom?”
“Itu di rumah, Honey… Ini kan di kantor? Di sini Pak Chandra adalah atasan aku. Oke?”
Dengan wajah masih merengut kesal, Silvi terpaksa mengangguk.
“Nah… gitu dong?! Oh, ya … Memang ada perlu apa pagi-pagi sudah muncul? Seingatku kita janji ketemu untuk makan siang kan?”
Silvi melangkah mendekati Romi yang duduk di kursinya. Perlahan diusapnya lembut bahu Romi, merayu dengan gayanya yang manja tingkat internasional.
“Iya sih, Sayang … Tapi aku lupa kalau besok tuh mami aku ulang tahun. Nah, kamu mau ya anterin aku nyari kado yang spesial buat mami aku?” Silvia melupakan kekesalan hatinya pada Desi dan memasang wajah manjanya di hadapan Romi. Tak lupa, tangannya mulai menyentuh lengan Romi dengan sentuhan manja dan menggoda, membuat Romi mulai jengah tak nyaman.
“ Kapan? Sekarang?”
“Tahun depan!“, sahut Silvi tiba-tiba ketus. “Ya sekarang dong, Rom. Masa iya besok ulang tahun kita baru nyari kadonya besok juga? Nggak lucu tahu!” Silvia terlihat merajuk.
Romi tersenyum tipis. Dalam hati dia merasa sangat geli dengan tingkah polah Silvi yang manja.
Kalau bukan aku, tentu kamu sudah dilempar jauh-jauh, Silviiii… Untungnya aku masih butuh sama kamu. Cinta? Well … setidaknya kamu masih sangat dibutuhkan untuk beberapa urusan tertentu. Terutama untuk bisnis ….Ranjang !!!!! Damn !
Romi mengutuk libidonya yang diluar kendali.
“Bisa kan sekarang?” lagi-lagi Silvia mengajak dengan manjanya.
“Ha? Sekarang ini? Kira-kira dong, Sayang… Aku masih ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini?” Romi kelihatan kecewa dengan tuntutan Silvi.
“Kan kamu ada sekretaris, ada asisten di lapangan? Kenapa sih harus pusing mikirin kerjaan lagi? Kan kamu tinggal terima laporan bersihnya?” Silvi jelas tak mau mengalah dengan argumennya yang dia perkirakan pasti akan menguntungkannya.
“Tapi ini ada kerjaan langsung dari Pak Chandra, Sayang … Seleksi pegawai.”
“Aku nggak mau tahu! Pokoknya kamu harus nganterin aku nyari kado atau...” Silvi memulai aksi mengancamnya.
“Oke…oke… Kamu tunggu 5 menit,” Romi tak mau lagi menggunakan banyak spekulasi untuk berkompromi dengan Silvi, karena jelas perempuan ini tak akan mengalah.
“Nah…gitu, dong?!” Senyum Silvi mengembang.
Romi meski ada sedikit ganjalan karena ada pekerjaan yang belum kelar, terpaksa berangkat juga mengantar Silvi mencari kado.
Mereka keluar dari ruangan Romi dengan Silvi menggamit lengan Romi semesra mungkin. Sampai di depan meja Desi, Romi berhenti untuk meninggalkan pesan.
“Kalau Pak Chandra menanyakan saya, bilang saya lagi ke proyek ya?”
“Baik, Pak,“ Desi mengangguk. Senyumnya yang mengembang langsung hilang begitu pandangannya beralih ke wajah Silvi yang sedetikpun tak mau melihat ke arah Desi.
Sepeninggalnya mereka berdua, Desi menarik napas lega.
Syukur, mak Lampir sudah keluar. Mak Lampir? Huh, Mak Lampir masih kalah serem sama perempuan satu ini.
Desi melengos.
Perutnya tiba-tiba terasa melilit.
Dan Desi bisa merasa sangat lapar hanya dengan melihat ulah Silvi, hingga ingin rasanya ia makan manusia.
Kepalanya seolah mengepul dengan perasaan eneg yang tiba- tiba menguasainya.
_ oOo _