RAMALAN

1983 Kata
Bagaimanapun, ini siang yang berat buat Rin. Setelah seharian ikut membantu Ayahnya di rumah makan yang merupakan usaha keluarga, kini dia harus mengantar Ibunya cek kesehatan di dokter Hima. “Bagaimana kesehatan Ibu saya, Dok?” Dokter Hima tersenyum manis. “Sudah menunjukkan kemajuan yang luar biasa pesat. Kalau beliau rajin mengkonsumsi obat dan makan makanan sesuai anjuran, tentu akan menunjukkan kesembuhan.” Rin menatap wajah ibunya dengan lega. Ibunya juga menatapnya dengan wajah yang sumringah. “Bagaimana kata dokter, Rin?” tanya Ayah sembari menutup rumah makan. Beberapa pegawai dan pelayan sudah pulang lebih dulu. Dan seperti biasa, Ayah selalu menutup sendiri rumah makan itu. “Kata dokter Hima sudah menunjukkan kemajuan pesat, Yah.“ “Apa sudah ada jawaban untuk surat lamaran kemarin, Rin?” Ayah kembali bertanya, sementara Rin ikut merapikan beberapa kursi yang belum rapi. Rin nampak lesu lantas menggeleng pelan. Beban terasa menggayuti hatinya yang kian rusuh. “Belum, Yah.” “Mungkin belum rejeki kamu. Berdoa saja, mudah-mudahan kamu akan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan kamu.” “Amiinnn... Makasih ya, Yah?” “Terima kasih untuk apa, Rin?” Ayah bertanya bingung. “Untuk support ayah meskipun Rin belum bisa bekerja,” Rin menyunggingkan senyum sendu, menatap ayahnya penuh rasa bersalah. “Eits ... Ayah menyekolahkan kamu bukan untuk langsung bekerja. Tapi agar kamu pandai. Urusan pekerjaan, Tuhan yang akan mengaturnya untuk kita.” Selalu saja senyum dan kata bijak Ayah yang paling menenangkan. Sekeruh apapun suasana hati Rin, Ayah akan jadi orang yang paling tepat untuk bersandar. Mereka melanjutkan pekerjaan menutup rumah makan untuk dibuka kembali esok pagi. Jam menunjukkan pukul satu dini hari saat Rin dan Ayahnya meninggalkan rumah makan untuk beristirahat. Dengan mobil yang pantas disebut tua, mereka meninggalkan restoran. Ibu sudah terlelap tentu. “Segera tidur, Rin. Besuk kita akan bangun pagi-pagi sekali,” kata Ayah ketika beranjak untuk beristirahat juga. “Ya, Yah.” Rin mengangguk lantas masuk ke kamarnya. Jarum jam beranjak ke menit berikutnya. Tapi dari dalam kamar rumah Rinjani, masih terlihat sinar lampu menyala, menandakan penghuni kamar belum terlelap. Tiba-tiba saja Rin ingat dengan Denis, teman kuliah bahkan mereka bekerja paruh waktu di tempat yang sama semasa kuliah dulu. Denis punya ketajaman indra keenam lebih dari yang lain.   Flashback … “Aku melihat secara acak,kamu akan bertemu laki-laki tangguh yang sedikit sombong, yang akan membuatmu rela memberikan hatimu dan hidupmu.” Dan hari itu Rin tertawa. “Laki-laki sombong? Bukan tipe aku kali, Den?” Rin masih tak bisa menahan tawanya yang renyah. Tapi Denis hanya menatap Rin dengan tatapan serius. Hingga gadis itu menghentikan tawanya yang tadi lepas kendali. “Memang bukan tipe kamu, sih … Tapi entah mengapa aku makin jelas melihatnya,”  kata Denis lirih dan serius. “Aku tahu insting kamu tajam. Tapi aku berharap insting kamu kali ini salah, karena aku tak ingin hidup dengan laki-laki sombong meski tangguh adalah tipe aku,” sahut Rin menatap Denis dengan pandangan tak bisa diartikan. Denis mengalihkan pandangan dari wajah Rinjani. Bagaimanapun, dia merasa nyeri melihat sesuatu yang diluar kehendaknya melintas. Empat tahun persahabatan mereka selama kuliah sudah membuat Denis yakin dengan perasaannya terhadap Rin. Perasaan terbiasa dengan keberadaan Rin dalam hari-harinya yang membuahkan rindu untuk terus bertemu. Meski itu sekedar ngobrol, nongkrong di kantin kampus, atau sekedar berburu novel detektif kesukaan gadis mungil dan lincah yang selalu terlihat ceria ini. “Aku maunya suatu saat ketemu dengan laki-laki yang tangguh, pekerja yang ulet, sedikit romantis, dan …. menerima keberadaanku bahwa aku hanya perempuan dari kalangan biasa,” kata Rin suatu saat ketika ia dan Denis pulang nonton Twilight. “Seperti Bella menerima Edward meski ia seorang vampir?” Denis bertanya dengan analisa seperti film yang baru saja mereka tonton. Dan Rin mengangguk tanpa menatap Denis. “Juga sekeyakinan,” Rin masih menerawang dengan angan-angannya yang terus melambung. Hati Denis mencelus, ia terkena lagi di point yang ini. “Ya iya Bella mau, secara Edward keren tau?” Denis memasang wajah sewot, mencoba mengalihkan arah pembicaraan mereka yang menyinggung soal keyakinan. Rin tertawa. “Coba kalau yang jadi Edward itu gue, jangankan Bella, elu juga pasti ogah.” Dan itu kenyataannya kan? Rin makin renyah tertawa dengan seloroh Denis. Ditolehnya Denis sejenak. Senyum tak juga hilang dari bibirnya. “Kalau kamu yang jadi Edwardnya, aku yakin, film ini udah bangkrut sebelum launching.” Mau nggak mau Denis tertawa. Ringan, seringan langkah mereka sore itu. Langkah mereka berlanjut menyusuri jalanan. Ini kebiasaan mereka setiap sabtu sore, jalan bareng. Seperti layaknya seorang yang memiliki hubungan hati, tapi seianya tidak demikian. Ada banyak perbedaan yang menganga di antara Rin dan Denis. Rin yang energik, berkulit sawo matang dengan rambut yang selalu pendek membuatnya terkesan kurang feminin. Posturnya yang nggak terlalu tinggi menambah porsinya kian sesuai dengan berat badannya. Denis selalu terlonjak jantungnya setiap kali mereka ketemu di kampus. Senyumnya yang cerah, gayanya yang modis namun enerjik membuat Denis tak sempat melirik gadis lain yang satu ras dengannya. Ya, Denis Liem adalah satu diantara beberapa cowok oriental yang ada di kampus Rin. Wajahnya yang bermata sipit dengan rambut lurus khas nya selalu terlihat menonjol di antara teman-teman yang lain. Dan bagaimana pun, Denis menikmati keorientalannya. Dia tak perlu minder karena berbeda dengan teman-teman kampusnya. Bagaimanapun, dia tetap merasa bahwa dia Indonesia, terlepas dari nenek moyangnya yang keturunan. Dan sejauh ini, semua teman kampusnya tak melihat perbedaan itu. Terlebih dengan Rin, gadis itu selalu nyaman dengan keberadaan Denis. Tapi sampai mereka kemudian meraih gelar sarjana, tak sekalipun Denis mengungkapkan isi hatinya. Untuk kemudian pasrah menerima perpisahan mereka. Cinta Denis terpental sebelum terluncur. “Kamu akan kuingat sebagai teman terbaik yang pernah aku punya,” kata Rin di satu senja saat keduanya menikmati malam terakhir sebelum kepulangan Rin ke Jakarta. “Dan kamu akan kukenang sebagai teman yang paling nyebelin yang pernah kupunya,” sahut Denis dengan senyum tertahan. “Nyebelin?” Rin menatap laki-laki itu dengan wajah berkerut penuh tanya. Sementara yang ditanya seolah tak menganggap kalimatnya salah. “Ya iya, perempuan nggak ada anteng-antengnya? Selalu pakai celana, bawa mukena ke mana-mana.” Dnis menjawab dengan kalimat yang menggambarkan Rin secara keseluruhan yang seluruhnya adalah benar. “Yeee… Jangan salah, aku ini anak paling cantik di rumah tahu?” “Ya iya, sodara kamu laki semua!” Rin tergelak disusul tawa Denis yang menenggelamkan mata sipitnya. Dan tawamu ini yang akan selalu kurindukan, Rin. Ditatapnya Rin dengan pandangan lekat, tanpa gadis itu menyadarinya. Merekamnya sedemikian tajam untuk kemudian menyimpannya dalam kenangan, menutupnya rapat agar tak menguar dan hilang. Sedikitpun Denis tak ingin kehilangan kenangannya tentang Rin. Flashback off …   “Pagi-pagi sudah melamun, Rin?” suara tanya ayah membuyarkan lamunan Rin pagi ini ketika sedang membantu ayahnya di rumah makan seperti biasanya. Rin tersenyum dengan sedikit suram. “Kalau kamu suram hanya karena pekerjaan, berarti kamu nggak percaya dengan kuasa Tuhan.” “Maksud Ayah?” “Semua yang kita jalani dan kita usahakan, akan selalu berujung pada kehendak Tuhan. Percayalah bahwa kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan pada waktu yang tepat.” Rin tersenyum dengan kalimat bijak ayahnya. Waktu yang tepat ? Kapan ? Lagi-lagi Rin sedikit meragukan Tuhan dengan segala keajaibanNya. Sekonyong-konyong telepon genggam yang ada di saku celananya bergetar. Sebuah panggilan masuk terdengar. Rin merogohnya dan melihat penelepon, tapi ternyata nomor baru yang tertera. Rin menatap yahnya. “Ya, hallo?”  Rin menjawab. “Benar ini raudari Rinjani Rustam?” terdengar suara perempuan di seberang. “Ya, saya sendiri,” Rin menjawab dengan pandangan kembali terarah pada ayahnya yang menatap Rin dengan penuh rasa penasaran. “Kami dari SALEEM GROUP, mengharapkan kehadiran anda di kantor kami, besuk senin depan jam Sembilan,” suara lembut dan santun di seberang membuat Rin tiba-tiba merasa tuli sehingga perlu mengulang kembali keterangan orang di seberang. “Saleem Group?” Rin bertanya seolah kurang yakin dengan apa yang dia dengar. Tiba-tiba hati Rin berdebar. SALEEM GROUP? Bukankah itu perusahaan property yang seminggu lalu dikiriminya surat lamaran? “Ya, Saleem Group. Apa pembicaraan saya bisa dipahami dengan baik, Nona?” “Ya…ya…oke, saya paham. Saya akan berusaha datang tepat waktu,” jawab Rin dengan sedikit gugup karena perasaan yang terlalu senang. Sebelumnya dia sungguh sudah putus asa karena beberapa surat lamaran yang dia kirim selalu berakhir dengan jawaban penolakan. “Oke, kami tunggu kedatangan Anda,” suara di seberang terdengar untuk kemudian menutup telepon. Senyum cerah tersungging di bibir Rin yang kini tangannya mendekap telepon genggamnya ke dadanya. Hatinya membuncah oleh rasa senang. “Hei, tadi suram kok sekarang bahagia? Ada apa dengan anak Ayah kali ini?” Pak Rustam mendekat dan bertanya. Rin tersenyum lagi. “Tadi panggilan kerja dari SALEEM Group, Yah,” Rin tersenyum riang. “Artinya? Kamu akan segera bekerja?” Pak Rustam tersenyum lebar seolah mengerti bagaimana perasaan Rin kali ini. Rin mengangguk penuh semangat dengan senyum manis yang tak lepas dari bibirnya. Kemudian dengan perasaan tak kalah membuncah, Rin memeluk ayahnya. “Ayah benar, semuanya sudah diatur oleh Tuhan,” bisik Rin. “Masih meragukan Tuhan?” tanya pak Rustam membalas pelukan anak gadisnya. Rin menggeleng mantap. Tiba-tiba dari luar resto masuk sepasang manusia yang kelihatannya suami istri. Tapi... bukan. Suami istri tak mungkin akan semanja ini , Rin membatin. Mereka sepertinya kenal baik dengan Ayah Rin karena pak Rustam segera melepas pelukan mereka dan  tersenyum ramah menyambut kedatangan tamu langganan itu. Begitulah, ayah memang selalu ramah pada semua konsumennya. Sambil membantu pegawai menyiapkan menu pesanan tamu sepasang kekasih itu, Rin tak melepas pandangannya pada perempuan yang memang cantik sempurna itu. Mereka memesan udang goreng sebagai menu utama makan mereka kali ini. “Apa mereka biasa makan di sini, Sinta? Kok Ayah terlihat ramah?” tanya Rin pada Sinta, pegawai Ayah. “Biasanya seminggu sekali mereka datang kesini, Mbak.” Rin mengangguk. Segera saja senyum riang menghiasi bibir Rin sepanjang hari ini, ketika tiba-tiba  tanpa sengaja ditengah senyum dan buncahan bahagia hatinya, dia bersirobok pandang dengan  mata tajam  laki-laki yang duduk di pojok ruang resto. Laki-laki yang tadi memesan udang goreng, yang terlihat angkuh meski memang terlihat berwibawa dan penuh pesona. Sejenak, Rin merasa hilang. Detak jantungnya lenyap entah kemana. Dunianya berhenti mendadak. Tapi yang menyebalkan, wajah laki-laki itu tak menunjukkan keramahan sama sekali. Rautnya yang tampan dengan kontur wajah yang demikian kokoh, kulitnya yang coklat bersih, senyum ramahnya pada Ayah Rin yang tadi sangat simpatik, kini lenyap dalam hitungan detik. Setidaknya itu menurut Rin. Sombong!!! Merasa banget kalau ganteng?  Rin bersungut – sungut. Eits, tunggu dulu ... Sombong ? Laki-laki sombong ? Penglihatan Denis adalah hanya akan ada laki-laki sombong dalam kehidupan Rin, yang mampu membuat Rin bertekuk lutut untuk menyerahkan hati dan hidupnya. WHAAATTT ????!!!! Senyum Rin mendadak terhenti. Bukannya tadi laki-laki itu tersenyum ramah pada ayahnya? Mengapa ketika melihat Rin senyum ramahnya menguap tanpa bekas? Dan laki-laki itu, yang ianya adalah Romi dan Silvi yang sedang mampir makan siang, menatap Rin sekilas. Jarum jam seolah tak beranjak. Ada yang aneh dalam diri Romi. Karenanya Romi tak merespon apapun yang ada dan terjadi di sekitarnya. Pun celotehan Silvi yang semenjak tadi tiada henti berkomentar. Desiran halus merambati hati Romi, desiran yang tak ditemuinya meski bersama Silvi selama beberapa tahun. Desiran yang membuat laki-laki itu merasa ada yang mengusik jiwanya, menyuguhkan kenyamanan yang tak kasat mata namun bisa dirasakannya dengan jelas. Ada apa ini ? Romi mengutuk perasaan tak jelas yang melandanya kini. Nggak ! Pasti ada yang salah dengan hatiku hari ini. Romi bingung. Dialihkannya perhatiannya pada Silvi yang selalu menawan di matanya. Tapi entah mengapa, Silvi kini justru tak lebih menawan dari hidangan udang yang kini ada di hadapan mereka. Padahal selama ini tak ada seorang perempuan pun yang bisa membuatnya berpaling dari Silvi yang cantiknya memang selangit. Nggak lucu dong kalau hanya karena bersirobok pandang dengan seorang pelayan restoran lantas cintanya ke Silvi luntur mendadak? Tapi itu yang kini justru terjadi. Dunianya tak juga beranjak.  Beberapa jenak. Celoteh Silvi berlalu hambar.   _ oOo _  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN