“Gimana, Ravenna? Siap untuk menandatangani kontrak kerja sama di agensi?” Pak Adrian membuka percakapan langsung ke intinya.
Aku sedikit tidak menyangka ternyata seorang pria yang penuh wibawa ini benar-benar tidak ingin berbasa-basi.
Mendengar pertanyaan dari Pak Adrian, aku pun merasa semakin canggung namun berusaha untuk terlihat normal. Aku membenarkan posisi dudukku untuk menjadi lebih tegak dan memberi senyuman tanda menerima ajakan kerja sama dari Pak Adrian.
“Siap, Pak.” Ku berikan senyum dan tatapan ambisius kepada Pak Adrian yang membuat si penerima senyum pun membalas senyumanku.
“Sebelumnya lebih baik kita mengadakan diskusi dan preview mengenai jobdesk kamu. Hal itu nantinya akan dibantu oleh manajer yang sudah disiapkan untuk membantu kamu selama bekerja di sini,” ujar Pak Adrian singkat namun jelas.
Kemudian Ia melanjutkan berbicara dengan seorang perwakilan tim rekrutmen yang sedari tadi menunggu bersamaku di ruangan ini. Aku tidak terlalu mendengar apa yang mereka bicarakan, hanya saja dari raut wajah Pak Adrian seperti menanyakan keberadaan seseorang. Setelah beberapa waktu kemudian Pak Adrian menerima panggilan di smartphonenya. Sepertinya seseorang meminta beliau untuk menunggu beberapa menit.
Dari arah pintu tiba-tiba saja seseorang berpakaian rapi dan formal masuk dan menyerahkan lembaran-lembaran kertas yang kuyakini itu adalah kontrak yang akan aku tanda tangani. Pak Adrian awalnya membuka lembaran-lembaran itu perlahan sebelum kemudian pintu yang baru saja tertutup tadi dibuka kembali oleh seorang pria yang cukup tampan dan bertubuh tinggi mengenakan kemeja warna hitam polos dengan satu kancing bagian atas dibiarkan terbuka dan bagian tangan digulung hingga seperempat lengan.
“Selamat Pagi, Pak, semuanya maaf banget saya telat. Barusan macet parah di jalan,” seru si pria tampan itu sembari memberi senyum canggung.
“Kamu sudah tahu akan ada produser baru malah datang telat, lihat ini kasihan calon produser kita.” Pak Adrian masih dengan senyumnya mengucapkan kata demi kata dengan nada mengejek. Dan yang diejek pun memberikan senyuman ramah namun malu-malu sambil memperkenalkan dirinya.
“Aah iya, halo. Maaf ya saya telat. Perkenalkan saya Galang Aditama, saya yang ditunjuk untuk menjadi manager kamu selama masa kontrak dengan agensi,” seru si pria itu sembari memberikan tangannya kepadaku.
“o-ooh iya, saya Ravenna,”jawabku singkat sambil memberi tanganku ke pria itu untuk berjabat.
“Nah, dari sini kamu akan dipandu oleh Galang selaku manager kamu. Kamu bisa tanya apa aja dan minta apa aja ke dia. Saya pamit dulu soalnya ada urusan lain. Untuk tanda tangan kontrak dan segala mengenai kontrak kerja bisa kamu bicarakan dengan Galang.” Pak Adrian bangkit dari duduknya dan mulai berjalan menuju pintu.
“Baik, Pak. Terimakasih banyak, sampai bertemu di lain waktu” kataku menanggapi Pak Adrian. Aku bangkit dari dudukku untuk mempersilahkan beliau pamit dari pertemuan singkat ini.
.
“Nah, jadi gitu ya Ravenna. Eh ini enaknya kamu dipanggil apa? Soalnya kalo panggil Ravenna Ravenna agak kepanjangan gak sih?” kata Galang si manager baru ku.
“Panggil Ra boleh, panggil Venna juga boleh kok, Kak” sautku kepada pria tampan yang kuyakini berumur beberapa tahun lebih tua dariku.
Galang atau yang barusan kusapa Kak Galang merupakan pria ramah dengan senyuman manis yang tentu selalu berhasil menarik perhatian wanita di sekitarnya. Tapi entah kenapa bagiku pria ini cukup nyaman diajak kerja sama, bukan in a romantic way. Aku merasa seperti bertemu dengan kakak kandungku sendiri. Sedikit klasik bukan?. Hahaha kurasa diriku sangat membutuhkan kakak kandung.
Setelah sesi preview jobdesk yang akan ku emban, aku dan Galang bercerita mengenai keseharian masing-masing. Hitung-hitung perkenalan agar lebih dekat satu sama lain. Dari caranya bercerita, Ia terlihat seperti orang yang professional. Jadi aku tidak perlu merasa takut ataupun berfikiran buruk kepadanya, meskipun ini hanya terlihat 20% dari keseluruhan cerita tentang dirinya.
“Kamu hebat banget, Ra. Aku salut deh, soalnya untuk orang yang belum berpengalaman di bidang musik biasanya akan diberi waktu pelatihan selama satu tahun dulu baru bisa join disini dan bisa dipanggil produser”
Sambil tersenyum malu-malu aku menjawab. “Masa sih kak? Sampe satu tahun masa pelatihan? Kok lama ya? Ah masa sampe setahun sih.”
Aku memang diberi waktu pelatihan hanya tiga bulan, dan setelahnya aku bisa langsung membuat musik dan menjadi salah satu produser di agensi ini. Mendengar ucapan Galang demikian membuatku heran sekaligus bangga akan pencapaian ku. Jujur aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa diberi waktu pelatihan sesingkat itu.
“Iya, Ra. Gak percaya kamu? Coba deh googling pasti ada berita-berita tentang calon produser disini diberi pelatihan selama itu,” jelas Galang berusaha meyakinkanku.
“Eh iya sih, Kak. Aku pernah baca juga tentang hal itu.”
“Nah, kan. Kamu tuh hebat tau. Lagumu itu bener-bener easy listening menurut aku, tapi kalau dikaji sih pembuatannya gaada unsur easynya kan?” tanya Galang kepada ku.
Aku hanya bisa menjawab dengan senyuman sambil berterima kasih. “Aa-ah begitu, terima kasih banyak ya, Kak. Apresiasi dari kakak berharga banget buat aku. Makasih banyak loh.”
Seketika suasana menjadi sendu, entah apa yang ada di pikiranku saat ini. Tapi benar-benar air mata saat ini hampir saja lolos dari mataku. Diapresiasi oleh orang lain adalah hal yang kutunggu selama hidupku. Meskipun sudah sering kudengar orang lain berbicara baik dan mencoba memberikan apresiasi atas apa yang aku lakukan, tapi kali ini rasanya apresiasi dari Galang memberiku kekuatan lebih untuk melanjutkan hidup.
“Sama-sama, Ra. Untuk hari ini kayanya pertemuan kita cukup sampai disini dulu yaa. Kamu udah paham mengeni kontraknya kan? Kalau belum ntar kamu bisa tanya ke aku aja. Sini deh nomor handphone kamu biar ntar mudah kita komunikasinya,” lanjut Galang sembari memberi smartphonenya untuk ku ketikkan nomorku.
“Oiya, Kak. Berarti mulai besok aku sudah dihitung masa pelatihan, ya?”
“Bener banget. Jadi besok kamu bisa datang sesuai waktu yang ditentuin di kontrak, Ya.” Galang mengambil lagi smartphonenya yang sebelumnya ku gunakan untuk mengetikkan nomor handphoneku.
“Yes sir!” kataku sambil meletakkan tangan dengan dua jari menyentuh pelipis ku.
Padahal ini pertemuan pertama kami, tetapi semua terasa sangat nyaman dan seperti sudah bertemu sejak lama. Aku bersyukur sekali lagi telah diberikan kesempatan untuk menikmati anugerah seperti ini. Bertemu orang sukses, bekerja sama dengan orang baik dan well -mannered, berada di lingkungan visioner dan megah seperti gedung agensi ini benar-benar membuatku tidak lupa untuk bersyukur. Entah beberapa kali aku menahan air mata yang sejak tadi ingin lolos dari mataku, kukira hari ini merupakan permulaan yang penuh kebahagiaan. Ku harap kebahagiaanku tidak luntur di suatu waktu.
Pertemuan awal yang singkat ini berakhir tepat di waktu makan siang. Aku beranjak dari tempat yang bisa disebut ruang dimana awal mula semuanya dimulai, tempat aku menandatangani kontrak untuk bergabung di agensi ini, tempat dimana aku bertemu dan berbagi kisah dengan orang-orang yang kuanggap luar biasa.
Pada lorong yang menghubungkan ruangan ini dengan pintu utama gedung, netraku menangkap siluet kasar dari seorang pria bertubuh tidak terlalu tinggi. Pria itu mengenakan kaus hitam tanpa lengan dan bertuliskan Say My Name pada kaus bagian d**a. Aku terdiam melihat pria yang berjalan tepat di sampingku, dia berjalan sambil menunduk menatap layar smartphone di tangannya, ku lihat juga earphone wireless berwarna hitam terpasang di telinganya. Dia Nagara Elang atau biasa disapa El, drumer dari band S&T (dibaca Saint) yang dikenal sebagai pria dingin idaman banyak wanita.
“Wah ternyata dingin seaura-auranya,” gumamku dalam hati.
Sebenarnya aku ingin menjerit dalam hati. Bagaimana tidak, seorang drumer dari band yang sedang naik daun sedang berjalan tepat di sampingku. Jika diizinkan rasanya aku ingin jungkir balik saja di tempat ini, tapi sangat tidak mungkin dan memang tidak sedikitpun ada kemungkinan melakukan hal gila seperti itu. Haha terlalu berlebihan memang, tapi ini adanya.
Band S&T atau kepanjangannya Stay & Tune merupakan grup band asuhan agensi Source of Sound (SOS), tempat dimana aku dikontrak menjadi produser. S&T beranggotakan 5 orang yang kelimanya merupakan pria-pria tampan dan berbakat. Salah satunya El yang bertanggung jawab atas drum di S&T. Pria lainnya yaitu Christopher, Haris, Jay dan Awan. Mereka sudah berkarir sejak dua hingga tiga tahun yang lalu. Penggemar mereka tentu banyak sekali dan semuanya pasti berharap menjadi pasangan dari masing-masing anggotanya, mengingat kelima anggota S&T dikabarkan masih melajang.
Kletak...
“Aah ... shii-....” Ingin rasanya aku mengutuk diriku sendiri yang dengan bodohnya tersandung kaki sendiri saat berjalan tepat di samping El. Tapak pada sepatu ku beradu dan menciptakan suara cukup keras yang tentu dan sudah pasti ditangkap oleh rungu siapapun yang berada di sekitarku saat ini.
El, si pria dingin itu menoleh ke sumber suara yang tentu saja tempat dimana diriku berdiri sambil berusaha menyeimbangkan diri, karena saat ini aku sedang memegang pergelangan kaki kiriku sambil mengangkatnya sedikit ke udara dan ya lebih tepatnya aku sedang berdiri satu kaki.
Mata kami bertemu. Angin berlalu bersama dengan dinginnya aura yang dipancarkan oleh El. Dia benar-benar dingin. Cepat-cepat aku menunduk memutus tatapan kami berdua. Dengan canggung kulanjutkan berjalan menuju pintu utama.
“Pasti aku dikira orang aneh atau orang caper kali ya, huh kenapa harus kesandung sih” rutukku pada diri sendiri.
Sepulang dari agensi, aku langsung menuju ke swalayan tempat dimana aku bekerja. Ku putuskan untuk resign dari pekerjaanku, karena aku sudah diterima di agensi. Aku paham betapa tidak profesionalnya diriku ini, tapi bagaimanapun aku berhak menentukan sendiri jalan hidup yang harus ku pilih.
“Mbak, maaf banget ngabarin siang begini. Mbak ada di swalayan ga? Aku mau ngomong sesuatu, Mbak.” Pesan itu kukirimkan kepada pemilik swalayan untuk memastikan kesediaan dan keberadaannya saat ini.
Grekkk....
Perutku sudah berbunyi cukup keras hingga supir taxi yang mengantarku ke swalayan menoleh sedikit melalui kaca yang ada di mobil.
“Mbaknya artis ya?”
“E-engga pak. Saya orang biasa pak” sanggahku dengan sedikit senyuman. Sebenarnya ada rasa bangga ditanya seperti itu, sedikit saja sih.
“Loh ... saya kira artis soalnya keluar dari gedung artis itu” kata pak supir berusaha menjelaskan dasar dari tuduhannya kepadaku.
“Hehe engga lah pak, mana ada artis seperti saya ini”
“Tapi mbaknya juga keliatan seperti artis loh, makanya saya tanya”
“Eh hahaha keliatan seperti artis dari mananya pak, ada aja deh pak. Tapi makasih loh pak, saya udah salting banget disangka artis hahaha” ucapku ke si bapak supir yang hanya dibalas tawa kecil.
“Mana ada artis kelaparan sampe perut bunyinya gede banget gini” ucapku dalam hati.
Siang ini aku melewatkan makan siang demi membereskan urusan pekerjaanku di swalayan sekaligus menghemat. Jalan dari agensi ke swalayan cukup memakan waktu jika naik bus. Kuputuskan memesan taxi agar aku segera sampai ke swalayan dan langsung bertemu dengan atasanku di swalayan.
“Loh, Ven. Lo bukannya off ya hari ini?” tanya temanku sambil memasang wajah bingung dari meja kasir.
“Iya gue off, tapi ini lagi ada keperluan sama Mbak owner,” sahutku singkat dan langsung berjalan masuk ke swalayan.
Jadi, di swalayan tempatku bekerja terdapat satu ruangan yang biasa tempat para pekerja melakukan rapat atau sekedar briefing. Ruangannya di lantai dua gedung swalayan, tidak terlalu besar namun cukup nyaman untuk digunakan sebagai tempat berbicara mengenai pekerjaan. Dan biasanya mbak owner sering berada di ruangan itu ketika sedang memantau keadaan swalayan.
“Masuk, Ra” Mbak owner menjawab ketukan yang kulakukan di pintu ruangan.
Aku melangkah masuk sambil tersenyum kepada mbak owner. Beliau seorang perempuan muda yang terbilang cukup sukses di usianya dan juga memiliki sifat yang ramah.
“Cantik banget kamu hari ini, Ra. Abis darimana pantesan ambil day off” tanya mbak owner kepadaku yang baru saja sadar ternyata aku masih mengenakan pakaian yang cukup berlebihan untuk sekedar berbicara dengan atasanku di tempat kerja.
Aku menunduk memerhatikan baju ku sendiri. “A-aa iya mba, saya abis dari luar.”
“Oiya ada apa, Ra. Kok mbak liat kamu canggung banget gak seperti biasanya.”
“Begini mba ....” Aku menceritakan sesuai dengan yang ku jalani pagi hari tadi. Sedikit merasa tidak enak kepada mbak owner, karena aku merasa seperti tidak profesional. Ku harap mbak owner mau memahami alasanku melakukan hal ini.
“Karena itu saya memutuskan untuk resign mba,” jelasku kepada mbak owner.
Sebenarnya aku dan mbak owner sudah cukup lama kenal, namun tetap saja beliau ‘kan atasanku, jadi tetap ada perasaan tidak enak dan segan untuk membicarakan hal ini. Aku takut kalau dia berpikir aku menjadikan pekerjaanku di swalayan ini adalah batu loncatan saja, mengingat aku baru saja mendapat pekerjaan yang cukup berbeda dengan pekerjaan di swalayan ini.
“Oh yaudah Ra gak apa-apa. Bagus dong kamu dapat pekerjaan yang bagus juga itu sekaligus mengasah bakat kamu. Mbak ikut seneng” Mbak owner membalas ceritaku.
“Hehe iya mbak. Makasih banyak atas semuanya ya mbak. Saya minta maaf juga pasti saya banyak salah sama mbak”
“iya mbak juga loh. Ih kita kenapa jadi maaf-maafan begini. Jadi sedih mbak loh, kamu nih,” protes Mbak owner.
Entah keberapa kalinya aku merasa sangat bersyukur di hari ini. Sejak pagi hingga siang ini, meskipun perutku tak henti menuntut tapi tetap rasa bersyukurku tak pudar. Kali ini aku bersyukur atasanku tidak merasa kesal karena keinginanku resign tiba-tiba, bahkan Ia ikut merasa senang. Tuhan sepertinya ingin aku merasakan kebahagiaan mulai saat ini.
Sepulang dari kegiatanku berpamitan dengan atasan dan rekan kerjaku di swalayan, aku menuju warung makan tempat aku biasa mengisi perut kelaparanku kala bekerja. Ku sapa Bu Ani si pemilik warung makan yang sangat baik kepadaku. Dengan cepat ku habiskan makanan yang telah kupesan, agar aku bisa segera pulang ke apartemenku dan beristirahat.
“Huh leganya. Hari ini banyak banget kejutan deh” gumamku sesampainya di apartemen.
Masih ingat ‘kan mengenai kebiasaanku bergumam atau berbicara sendiri? Ya, hal itu masih kulakukan. Di apartemen ini tidak ada seorangpun yang tinggal bersamaku. Ibuku tinggal di kampung halaman yang jaraknya dari apartemenku kurang lebih 80 kilometer, sedangkan ayahku sudah lama tiada karena penyakit kanker otak.
Ku buka sepatu tapak tahu setinggi 3 centimeter yang sedari tadi menemani hariku, sambil ku pijat lembut pergelangan kakiku yang sedikit terasa pegal. Aku memang hobi mengoleksi sepatu dengan hak. Sejak sekolah keinginanku ialah bisa bekerja menggunakan sepatu hak tinggi setiap harinya. Terlihat sangat cantik menurutku.
Tanpa sadar waktu menunjukkan pukul 18.00. Aku tertidur setelah melepas pakaianku dan tergeletak di depan televisi. Tidur terlalu lama di waktu sore seperti ini membuat perutku terasa lapar. Ku coba buka kulkas dan melihat persediaan apa yang ada disana. Tiba-tiba saja terdengar ketukan di pintu apartemenku.
“Misi, pesanannya,” teriak seseorang dari luar.
Aku mengingat-ingat apakah sebelumnya aku sedang membeli sesuatu secara online, atau saat tertidur tadi tanganku tidak sengaja membeli sesuatu di aplikasi berlogo hijau.
“Pesanan siapa, ya?” jawabku dari balik pintu apartemen yang memang dengan sengaja tidak ku buka, jaga-jaga jika itu merupakan penipuan atau tindak kejahatan yang sedang menargetkanku.
“Pesanan 1 box donat dari store dun*** donut, Mba” jawab si delivery-man.
Perlahan ku buka pintu apartemenku untuk melihat secara langsung pesanan yang ditujukan kepadaku, sekaligus ingin bertanya siapa sebenarnya yang mengirimkannya. Mengingat aku tidak sama sekali memesan donat.
“Ini dari siapa , Mas? Beneran alamatnya kesini? Saya gak pesan apa-apa loh,” tanyaku ke si delivery-man yang berusaha membaca struk bukti belanja yang ditempelkan di plastik belanjaan.
“Atas nama Galang Aditama, alamat pengiriman ke Latte Apartment,” jelasnya sambil memandangiku.
Aku yakin saat ini aku benar terlihat seperti orang bodoh yang terkejut karena dikirimi camilan oleh secret admirer. Meskipun si pengirim bukan secret admirer ku.
“Oalah dari Kak Galang. Makasih ya, Mas” Kuambil box donat yang berada di tangan si delivery-man.