6. Dinner
Di tengah deburan ombak yang meleleh di bebatuan, angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah manisku, sinar rembulan sabit terlihat begitu indahnya, bersama dengan lilin-lilin yang berada di tengah-tengah gelas kecil.
Aku, Juan, Bang Irfan, dan Bang Dino sedang menikmati hidangan makanan di salah satu Restoran di pesisir pantai.
Aku tidak menyangka bahwa malam ini, aku akan bertemu kembali dengannya. Yah, Juan dan Bang Irfan memaksaku untuk ikut bersamanya. Tanpa di sangka Bang Dino telah menunggu kita bertiga di Restoran tersebut.
Namun aku bersikap biasa saja kepada mereka bertiga, seolah tidak ada kejadian yang telah terjadi tempo hari yang telah berlalu.
Hari ini Bang Dino menggunakan celana jeans diatas lutut berwarna biru muda dengan atasannya yang menggunakan kaos polos. Terlihat sangat tampan, gagah dan jauh lebih muda.
"Ah, ngomong apaan sih aku ini."
"Sudah lumayan lama yah kita tidak berjumpa?" Ucap Bang Dino membuka percakapan.
"Banget." Ucap Juan.
Juan maupun Bang Irfan saling menjaga privasi di hadapanku. Kita berempat layaknya sedang mengobrol dengan keluarga yang sudah lama tidak berjumpa.
"Ran, kenapa diam terus?" Bang Dino bertanya kepadaku.
"Huk!!" Aku kesenggruk air saat ingin meminum air.
Aku menaruh kembali gelas di atas meja.
"Oh, tidak apa-apa bang." Ucapku terlihat sangat kaku.
"Santai saja Ran. Sorry ya, mungkin Juan tidak memberitahukan kepada kamu? Kalau undangan ini datangnya dari saya." Ucap Bang Dino yang seperti ingin memancingku.
"Tidak apa-apa bang santai saja. Saya merasa tidak enak, karena telah di undang di acara makan malam ini."
"Dia memang suka begitu bang Dino. Suka tidak enakan orangnya." Ucap Juan memvonis kepada diriku.
"Sebenarnya Juan ini mengetahui kejadian yang lalu saat aku bersama dengan Bang Dino atau tidak sih?" Gumamku.
"Oh, gitu ya Juan?" Ucap Bang Dino.
"Betul bang. Jangan ke Abang, ke aku saja Randy suka merasa tidak enak bang." Ucap Juan.
Aku mengelap bibirku dengan tisyu.
"Saya ijin ke toilet dulu ya sebentar?" Ucapku kepada mereka bertiga.
"Mau di antar tidak Ran?" Ucap Juan.
"Sendiri saja lah Ju. Kamu disini saja temenin bang Irfan dan bang Dino Ju." Ucapku.
"Oke deh kalau begitu." Ucap Juan.
Aku segera berdiri, menggeser kursi, lalu berjalan menuju ke toilet. Sesampainya di toilet aku langsung menyenderkan tubuhku di tembok.
"Hehhhaaaaahh.." Tarikan nafas dan hembusan nafasku.
Sejenak aku mengingat akan kejadian tempo hari. Memang sih terasa nikmat untuk aku menikmati kejadian malam itu, sampai-sampai aku juga pernah kepikiran. Apalagi setelah melihat adegan Juan bersama dengan bang Irfan yang begitu bergai*rahnya menikmati percintaannya.
"Sudah Ran?" Bang Dino menyusulku.
"Oh sudah Bang." Ucapku gugup.
Aku segera mengusap air mataku dan langsung membasuh wajahku. Dia berada di sebelahku di depan wastafel kamar mandi.
"Bentar-bentar coba lihat Ran?" Dia memegang kedua pundakku untuk menatap ke arahnya.
Aku memberhentikan kegiatan membasuh wajahku. Kita berdua saling bertatapan.
"Mata kamu merah loh?" Ucap Bang Dino yang melihat mataku memerah.
Aku terdiam tanpa kata.
"Kamu habis nangis ya?" Ucap Bang Dino.
Dia memeluk tubuhku.
"Kenapa kamu? Kalau ada masalah, cerita lah sama abang?" Ucapnya sambil memelukku dan juga sambil mengelus kepalaku.
Entah mengapa aku merasa nyaman berada di pelukannya. Apakah ini tandanya aku mulai merasakan getaran cinta kepadanya. Atau mungkin karena kedewasaannya yang setiap kali menyentuh hatiku, hingga aku merasa nyaman berada di pelukannya. Ah entahlah, aku tidak ingin berfikir lebih jauh.
Dia melepaskan pelukannya dari tubuhku.
"Kita kembali kesana yuk Ran?" Ucap Bang Dino.
Aku menganggukkan kepalaku. Kita berdua kembali duduk bersama dengan Juan dan juga Irfan.
"Lama banget Ran?" Ucap Juan.
"Iya, saya habis pup tadi Ju. Gak kuat saya buat nahan BAB." Bisikku kepada Juan.
"Hahaha, dasar kamu Ran." Juan tertawa mendengar leluconku.
"Oh iya Ju, Ran, sekali-kali lah main ke apartemen abang?" Ucap Bang Dino.
"Kalo aku sama bang Irfan sih mau saja bang. Tapi aku tidak tahu Randy mau atau tidak bang." Ucap Juan.
"Ya, selagi saya tidak ada kesibukan sih saya bersedia datang ke apartemen lo itu Din." Ucap Bang Irfan.
Sebenarnya bang Irfan juga tinggal di Apartemen yang tidak jauh dari Apartemennya Bang Dino. Hanya saja mereka berdua memiliki kesibukan masing-masing.
"Kalau kamu gimana Ran?" Ucap Bang Dino.
"Emang di Apartemen itu ada apa bang?" Ucapku secara polos karena walaupun kerjaanku di kelilingi Apartemen, aku belum pernah masuk kedalamnya.
"Di dalam, kamu bisa berenang Ran. Kamu juga bisa fitnes. Kebetulan abang punya alat fitnes sendiri." Ucap Bang Dino.
Aku merasa tertarik ingin memasuki Apartemennya.
"Boleh juga sih bang. Saya ingin mencoba berenang di kolam renangnya." Ucapku yang belum pernah berenang di kolam renang.
Aku lebih sering berenang di sungai dan juga di Pantai. Karena itulah pengalamanku berenang waktu masih tinggal di kampung.
"Kira-kira kapan nih pada mau bermain ke Apartemen abang?" Ucap Bang Dino terlihat tidak sabar.
"Gimana Randy saja bang. Kalo aku bisa kapan saja untuk datang." Ucap Juan.
"Ya, nanti lah bang." Ucapku.
"Ok, abang tunggu ya kedatangan kalian berdua?"
"Ok." Ucap Juan.
"Kita jalan-jalan dulu ke pesisir pantai yuk?" Ucap Bang Irfan.
"Ayok." Ucap Juan.
Juan dan Bang Irfan berjalan duluan keluar dari Restoran lalu berjalan di pesisir pantai. Sementara aku dan Bang Dino berjalan santai di belakang mereka berdua.
Aku dan Bang Dino berjalan sambil menikmati sebatang rokok.
"Sangat indah ya Ran pemandangannya? Rembulan sabit yang begitu terang bersama dengan deburan ombak dan angin yang sejuk ini menenangkan pikiran penat saya Ran." Ucap Bang Dino.
"Betul bang, benar-benar sangat indah. Apalagi dengan bayangan rembulan sabit yang berada di pantai yang selalu bergoyang-goyang mengiringi ombak pantainya." Ucapku sambil merokok dan memberhentikan jalanku menatap indahnya rembulan sabit melalui pantulan air di pantai.
Dia memelukku dengan satu tangan kirinya. Dia menyenderkan kepalaku di bahunya sambil mengelus kepalaku.
Entah mengapa aku tidak bisa menolaknya untuk menyenderkan kepalaku ini di bahunya. Begitu tenang pembawaannya.
Juan dan bang Irfan masih berjalan ke depan.
"Cerita lah sama abang, kalau kamu memiliki masalah Dek?" Bang Dino memanggilku dengan sebutan Dedek karena Juan dan Bang Irfan sudah berjalan lumayan jauh.
"Tidak ada masalah bang." Ucapku.
Dia terus mengelus kepalaku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya sesekali menghisap rokoknya. Aku pun sesekali menghisap rokok A-Mild ku.
"Oh iya, kamu sudah menyimpan nomor abang?" Ia mengingat kartu namanya di simpan di dalam lemariku.
"Sudah beberapa hari ini, ponsel saya mati." Ucapku.
"Oh gitu." Ucapnya.
"Nanti saya belikan ya?"
"Jangan bang." Ucapku.
"Sudah, nanti tiga harian lagi saya belikan hape untuk kamu. Tapi jangan bilang-bilang ke Juan ke temen kamu ya kalau abang membelikan hape untuk kamu nanti." Ucap Bang Dino.
Ia melepaskan pelukannya, karena Juan dan Bang Irfan sedang berjalan menuju kemari. Bang Dino duduk di kursi yang berada di pinggir pantai. Aku pun duduk di sebelahnya. Kita berdua sambil tetap merokok.
"Pulang yuk?" Ajak Juan.
"Ayok." Ucap Bang Dino.
Lantas kita berempat pulang. Bang Irfan dan Bang Dino mengantarkan terlebih dahulu kita berdua ke kosan menggunakan Taxy. Lalu setelahnya mereka berdua langsung berangkat kembali pulang.