✉ 12 || Vienna Esterina Elara

1040 Kata
Pagi ini, aku bangun agak pagi. Semalam Riga berpesan kalau kami harus datang ke sekolah pagi-pagi. Tentunya dalam rangka menjaga Kak Raya. Meski aku ragu kalau aku dan Riga akan dapat melakukan rencana kami. Jelas-jelas Kak Raya kelihatan lebih kuat dan tangguh daripada aku dan Riga. Sekarang aku sudah selesai bersiap dan tinggal menunggu jemputan Riga. Cowok itu bilang kalau ia sudah akan jalan lima menit yang lalu. Pasti sekarang posisinya sudah dekat dengan rumahku. Aku berjalan keluar dari rumah dan menunggu Riga di tepian jalan. Aku menengok ke kanan dan kiri. Rumah-rumah di sekitar rumahku masihlah sepi. Suara motor Riga terdengar di kejauhan. Aku bisa melihat motornya mendekat kemari dengan susah payah. Beberapa kali Riga harus menghindari jalanan yang rusak atau berlubang. "Pagi, Vien," sapa Riga setelah akhirnya berhasil menghentikan motornya di depan rumahku. Aku membalas sapaannya sembari naik ke boncengan, "Pagi juga." "Udah?" tanya Riga memastikan apakah aku sudah mendapatkan posisi yang nyaman atau belum. "Hmm," gumamku membuat Riga mulai melajukan motornya. Butuh waktu kurang lebih sepuluh menit untuk sampai di sekolahku. Saat tiba di sana, kami yang memang datang sangat pagi disambut oleh penampakan sekolah yang sepi. Riga memarkirkan motornya di parkiran khusus motor. Setelah beres, kami menyempatkan diri untuk meletakkan tas di kelas. Baru setelah itu kami menuju ke lantai dua. Lantai dua adalah deretan kelas sebelas. Aku dan Riga berjalan mendekat ke arah kelas Kak Raya. Meski begitu, kami tidak nongkrong di sana. Gila saja anak kelas sepuluh sudah berani wira-wiri di koridor kelas sebelas. Jadi kami memutuskan untuk berdiri di bagian selasar. Di sini kami bisa memantau kelas Kak Raya. Kami bisa melihat kalau-kalau Kak Raya diperlakukan tidak baik oleh para penggemar Kak Agas. Aku dan Riga berdiam diri di selasar hingga banyak kakak kelas yang mulai berdatangan. Kebanyakan dari mereka langsung masuk ke kelas. Tapi sisanya menggerombol seperti tengah membicarakan suatu topik yang seru. Aku baru menyadari kalau sebenarnya yang menjadi topik pembicaraan siswi-siswi itu adalah Kak Raya. Saat Kak Raya datang, mereka makin antusias berbisik. Beberapa bahkan dengan sembunyi-sembunyi menunjuk-nunjuk ke arah Kak Raya. Tapi hebatnya, Kak Raya tidak kelihatan gentar. Ia tetap berjalan menuju ke kelasnya dengan langkah tegas dan dagu terangkat tinggi. Mungkin Kak Raya berpura-pura tidak menyadari keberadaan orang-orang di sekelilingnya yang sibuk membicarakan dirinya. Dia memang cewek yang tangguh. Kalau aku yang ada di posisi Kak Raya, aku pasti tidak akan seberani itu. Aku mungkin akan memilih bersembunyi karena tak sanggup menerima perlakuan tidak mengenakkan itu. Kembali ke Kak Raya, baru akan memasuki kelas, Kak Raya justru dihadang oleh beberapa siswi dengan dandanan menor. Kelihatannya mereka siswi kelas dua belas. Kapan mereka memasuki kelas Kak Raya? Aku merasa tidak menaruh perhatian pada kedatangan mereka. "Minggir," ujar Kak Raya tegas dan agak keras. Beberapa siswi di sekitar Kak Raya menjadikan itu tontonan. Sayangnya ucapan Kak Raya sepertinya tidak digubris oleh siswi-siswi dengan dandanan menor itu. Kak Raya malah didorong hingga keluar kelas. "Mau kalian apa?" tanya Kak Raya tanpa kelihatan gentar. Dia bahkan menatap mata lawannya satu per satu. Salah satu siswi dengan dandanan menor, rok di sepuluh sentimeter di atas lutut, dan kemeja super ketat dengan lengan dilipat kelihatan maju selangkah. Ia mencengkeram rahang Kak Raya dan bertanya dengan lantang, "Lo siapa Agas?" "Gue pacar Kak Agas," jawab Kak Raya dengan mantap membuat kerumunan yang ada di sekitarnya bersorai. Cewek itu melepaskan cengkeraman tangannya di rahang Kak Raya dengan kasar. Bahkan Kak Raya dibuat terpelanting. "Lo masih anak kelas sebelas udah jago bohongin kakak kelas ya?" Cewek itu kini membentak Kak Raya. Kedua tangannya meraih kerah baju Kak Raya. Kak Raya malah memasang senyum miring. Ia kelihatan masih cukup tenang dan tidak balas marah-marah. Ia membuka bibirnya perlahan dan menekankan setiap kata yang keluar dari mulutnya, "Kalau nggak percaya, tanya aja langsung ke Kak Agas. Kalian pasti nggak cermat pas nonton video itu. Kalau kalian cermat, pasti kalian tau kalau Kak Agas duluan yang cium gue." "Dasar jalang!" teriak cewek yang semula berdiri agak jauh dari Kak Raya. Ia melayangkan tamparan keras di pipi Kak Raya. "Kalian cari mati ya?" desis Kak Raya kelihatan geram. Ia sudah siap menghajar dua siswi yang sebelumnya telah lebih dulu menyakitinya. Tapi belum sempat Kak Raya bergerak, Kak Agas muncul menyela keramaian. Kak Agas menahan pergerakan Kak Raya. Kerumunan makin terdengar riuh dengan spekulasi masing-masing. "Gue sama Raya nggak ada apa-apa. Kalau kemarin kalian lihat video gue sama Raya, itu bukan kami sedang ciuman. Raya habis tenggelam dan dia kesulitan bernapas," jelas Kak Agas cepat-cepat. Kak Raya kelihatan ingin protes. Ia menoleh tidak setuju pada Kak Agas. Tapi Kak Agas tidak menggubrisnya. "Tapi cewek ini bilang kalau dia pacar lo?" cecar salah satu siswi dengan dandanan menor itu. Kak Agas melirik ke Kak Raya. Ia lalu berkata, "Raya cuma asal bicara. Dia kadang nggak bisa bedain mana waktunya serius mana waktunya bercanda." Kak Raya melepaskan cekalan Kak Agas di lengannya. Ia putar badan dan keluar menerobos kerumunan. Sepertinya Kak Raya kecewa berat oleh ucapan Kak Agas. Aku dan Riga yang panik buru-buru mengikuti langkah Kak Raya. Aku sudah berjalan beberapa langkah menjauh dari sana tapi masih bisa mendengar teriakan penuh kemenangan dari siswi-siswi dengan dandanan menor itu. "Dasar Raya cewek gatel!" "Dia pasti kegeeran dideketin Agas!" "Agasnya biasa aja, dianya yang baper!" Aku menghela napas. Aku tidak habis pikir kenapa Kak Agas justru memberi klarifikasi demikian. Itu jelas merugikan Kak Raya. Kasihan Kak Raya. "Kayanya Raya ke markas, deh," ujar Riga yang berjalan beberapa langkah di depanku. "Iya, kita temenin dulu Kak Raya," balasku. Aku dan Riga melipir ke bagian belakang sekolah. Kami membuka pintu rahasia menuju markas. Sesampainya kami di ruang itu, kami bisa melihat Kak Raya yang tengah duduk di sofa di tengah ruangan. Kak Raya menatap kosong ke depan. Tapi raut wajahnya memperlihatkan kalau ia tengah marah besar. Aku menoleh saat pintu markas kembali terbuka. Kak Carita muncul di sana. Ia menatap aku dan Riga sekilas lalu beralih ke Raya. "Gue kira lo langsung ke kelas, ternyata mampir ke markas," simpul Kak Carita sambil meletakkan barang-barang bawaannya. Kak Carita menoleh heran saat tidak mendapat respon apa-apa dari Kak Raya. Ia berjalan mendekati Raya dan bertanya, "Lo kenapa?" "Agas s****n!" maki Raya kelihatan geregetan. Carita menoleh padaku dan Riga untuk meminta penjelasan. Tapi masing-masing dari kami hanya mengedikkan bahu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN