✉ 13 || Titania Raya

1035 Kata
Baru saja sampai di kelas dan aku harus berhadapan dengan cabe-cabean ini? Benar-benar memuakkan. "Minggir," ujarku tegas dan agak keras. Sayangnya ucapanku sepertinya dianggap angin lalu oleh kelompok cabe itu. Aku malah didorong hingga keluar kelas. "Mau kalian apa?" tantangku berniat mengintimidasi. Aku bahkan menatap mata mereka satu per satu. Salah satu siswi dengan dandanan paling menor, rok kelewat pendek, dan kemeja super ketat mengikis jarak di antara kami dengan maju selangkah. Ia mencengkeram rahangku dan bertanya dengan lantang, "Lo siapa Agas?" "Gue pacar Kak Agas," jawabku dengan penuh rasa percaya diri membuat kerumunan yang ada di sekitarku kembali riuh. Cewek itu melepaskan cengkeraman tangannya di rahangku dengan kasar. Sepertinya dia belum tahu kalau aku bisa dengan mudah membalas perlakuan buruknya. Bahkan aku bisa membuat rahangnya terpisah dari tengkoraknya. "Lo masih anak kelas sebelas udah jago bohongin kakak kelas ya?" Cewek itu kini membentakku. Tangannya meraih kerah kemejaku dan menyeretku mendekat. Aku memasang senyum meremehkan. Emosiku harus bisa kukontrol. Aku membuka bibirku perlahan dan menekankan setiap kata yang kuucapkan, "Kalau nggak percaya, tanya aja langsung ke Kak Agas. Kalian pasti nggak cermat pas nonton video itu. Kalau kalian cermat, pasti kalian tau kalau Kak Agas duluan yang cium gue." "Dasar jalang!" teriak cewek yang merupakan bagian dari geng cabe itu. Ia melayangkan tamparan keras ke pipiku. "Kalian cari mati ya?" desisku mulai geram. Kurang ajar sekali mereka memperlakukanku seperti ini. Cewek itu bahkan memakiku dengan sebutan jalang. Aku sudah siap menghajar dua manusia sok paling oke itu. Tapi belum sempat mengeksekusi, Kak Agas lebih dulu menahan pergerakanku. Kerumunan di sekitarku makin bersorak-sorai. Mereka seperti menonton sesuatu yang seru. Padahal ini memuakkan dan sangat tidak berkelas. "Gue sama Raya nggak ada apa-apa. Kalau kemarin kalian lihat video gue sama Raya, itu bukan kami sedang ciuman. Raya habis tenggelam dan dia kesulitan bernapas," jelas Kak Agas membuatku syok berat. Aku melayangkan protes. Tapi sejauh ini Kak Agas tidak memperhatikanku. "Tapi cewek ini bilang kalau dia pacar lo?" cecar salah satu anggota geng cabe itu. Kak Agas melirikku sekilas. Ia lalu berujar, "Raya cuma asal bicara. Dia kadang nggak bisa bedain mana waktunya serius mana waktunya bercanda." What the hell! Apa aku tidak salah dengar? Aku sangat kecewa dengan jawaban Kak Agas. Sementara aku bisa melihat cewek cabe-cabean itu tersenyum puas. Aku melepaskan cekalan Kak Agas. Aku tidak sanggup lagi berada di sini. Aku harus segera hengkang sebelum emosiku meledak-ledak. Tujuanku hanya satu. Sekarang aku harus ke markas dan menenangkan diri di sana. oOo Sedari tadi, aku diam saja. Mungkin akan lebih baik kalau aku bisa menangis dan melampiaskan kekesalanku ini. Tapi nyatanya, aku tidak bisa. "Ray, udah lah. Lo putusin aja si Agas itu. Daripada makan ati, kan?" Carita tidak henti-hentinya meyakinkanku untuk melepaskan Kak Agas dan menyudahi hubungan di antara aku dan Kak Agas yang tidak jelas. Aku masih terdiam. Memutuskan hubungan itu tidak mudah. Apalagi aku masih lumayan mencintainya. Tapi mengingat jawaban yang ia lontarkan tadi membuatku kesal setengah mati. Carita mengguncang bahuku agak keras. Ia lalu berujar dengan semangat, "Gue ada ide. Gimana kalau lo pura-pura pacaran sama Langit. Itu bisa buat bersihin nama lo dan bikin panas si Agas." Aku melirik Kak Langit yang baru tiba di markas. Cowok itu kelihatan bingung karena namanya tiba-tiba disebut. "Oke kan, Ray? Itu namanya sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Lo bisa berperan seolah-olah lo itu sebenernya udah punya cowok. Tapi si Agas aja yang ganjen. Nah sambil lo bersihin nama lo, lo bisa kan mancing-mancing tanggapan Agas soal hubungan lo sama Langit." Carita masih menggembar-gemborkan ide gilanya. "Yang ada gue diputusin sama Kak Agas. Dia bisa mikir kalau gue cewek nggak bener. Masa iya tiba-tiba gandeng pacar baru," balasku lesu. "Gue juga ogah terlibat hal kaya gitu," timpal Kak Langit setelah paham arah pembicaraan kami. Carita menggusah napas dengan kasar. Ia lalu bersandar pada sandaran sofa dan memejamkan mata. "Kalian tuh paham nggak sih sama yang namanya pura-pura? Demi hatinya Raya, demi nama baik mantan Ratu Raya, dan demi misi yang harus Raya selesaikan." Carita mendesis sambil masih memejamkan mata. "Kok semua demi keuntungan Kak Raya?" Vienna yang juga ada di sini dan dari tadi diam saja akhirnya buka suara. Aku bisa merasakan kalau Carita buru-buru memelototi Vienna. Memang ya Vienna itu aneh. Dia pendiam tapi sekalinya bicara dapat menyulut kekesalan lawan bicaranya. "Bener yang dibilang Vienna. Gue nggak dapet apa-apa." Langit kelihatannya justru sepakat dengan Vienna. Sekarang Carita ganti memelototi Kak Langit. Carita lalu kembali berpikir. Ia menjentikkan jarinya, "Gue tau apa keuntungan buat Langit." "Apa?" tanya Langit antusias. Carita mengulas senyum lebar-lebar untuk Langit. Ia lalu berucap perlahan dengan tampang meminta persekongkolan, "Lo bilang akhir pekan ini ada acara kumpul keluarga, kan? Kenapa nggak bawa Raya aja biar lo nggak diledek sepupu-sepupu lo karena masih jomblo?" Aku mengangkat tanganku, siap melayangkan pukulan untuk menyadarkan Carita dari kegilaannya. Tapi aku lalu teringat kalau posisi Carita itu adalah kakak sepupuku. Meski aku jarang memanggilnya dengan embel-embel "Kak", aku masih waras untuk tidak bersikap terlalu kurang ajar. "Oke deal!" cetus Langir setuju. "Kok gue jadi merasa kaya cewek sewaan gini sih?" gumamku tapi tidak digubris oleh semua orang yang ada di sini. Mereka malah langsung sibuk mengalihkan bahasan. Sepertinya mereka semua tengah berkonspirasi. s**l, s**l, s**l! Kenapa nasibku jadi begini? Aku melirik ke ponselku yang bergetar-getar tanda ada panggilan masuk. Aku meraih ponselku dan membaca nama yang tertera di layar. Rupanya Kak Agas yang meneleponku. Aku menghela napas membuat orang-orang di sekitarku menoleh. Carita yang cepat tanggap langsung meraih ponselku dan menolak panggilan Kak Agas. Ia mengembalikan ponsel itu padaku sambil memberi petuah, "Nggak usah diangkat. Emangnya dia siapa mau bertingkah seenaknya." Tapi tak berselang lama, nama Kak Agas kembali muncul di layar ponselku. Aku menjauhkan ponselku dari Carita saat ia bergerak akan menolak panggilan untuk kedua kalinya. Aku memilih bangkit berdiri dan menjauh dari pengurus Raja dan Ratu yang ada di ruangan ini. Sepertinya Kak Agas memang sangat ingin bicara denganku sampai-sampai ia menelepon ulang. Aku berjalan keluar dari markas sembari menerima panggilannya, "Hallo." Kak Agas langsung bicara, "Ray, gue nggak bermaksud buat nggak mengakui hubungan kita. Tapi lo tau kan kalau kita kudu ngerahasiain hubungan kita ini sementara waktu?" "Ya tapi sampai kapan?" tanyaku sebelum aku menggeser ikon berwarna merah di layar ponselku. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN