Sepeninggal Raya yang memisahkan diri untuk mengangkat telepon, Carita kembali bicara. Sekarang, ia kelihatan memohon kerja sama kami semua.
"Gue mohon banget, kalian bikin Raya tetep waras ya. Dia agak g****k kalau udah mulai jatuh cinta," pinta Carita dengan nada prihatin.
"Sampai rela pacaran diam-diam dan nggak diakui gitu?" Kak Langit memperdalam bahasan.
Carita mengangguk dengan semangat, "Iya, itu salah satu bukti kegoblokan Raya kalau udah jatuh cinta. Dia nggak pakai otak dan cuma ngandelin perasaan."
"Gue nggak suka ya kalian sekongkol gini," celetuk Raya yang ternyata sudah kembali masuk ke markas. Ia lalu berjalan ke sofa yang semula didudukinya dan duduk dengan tenang di sana. Raya menyilangkan kaki sembari kembali berucap, "Oke, gue terima pacaran pura-pura sama Kak Langit dengan segala konsekuensinya."
Mendengar ucapan Raya, orang yang kelihatan paling bahagia adalah Carita. Ia menepuk bahu Raya dengan bangga, "Nah gitu dong."
Selanjutnya, kami menyusun berbagai macam rencana. Baik rencana pengungkapan siapa dalang di balik beredarnya video itu dan rencana untuk mengecek keseriusan Kak Agas pada Raya.
Kak Langit mengangkat tangan untuk menyela pembicaraan, "Gue udah perhatiin video yang ngelibatin Raya sama Kak Agas. Menurut gue pelakunya bukan orang yang dilihat Riga sama Vienna kemarin. Dari yang gue simpulin, pelaku kemungkinan besar sembunyi di ruang ganti. Entah ruang ganti putri atau ruang ganti putra."
"Kemarin sih ruang ganti cewek udah kosong. Jadi mungkin pelaku sembunyi di ruang ganti cowok," balas Raya.
"Di sana pasti nggak ada CCTV ya?" tanyaku sekadar memastikan. Meski jawabannya sebenarnya sudah jelas.
"Gila aja kalau ruang ganti dipasangi CCTV," tandas Kak Langit. Dia kelihatan bergidik ngeri.
"Tapi kalau bagian kolam renang indoor-nya gimana?" tanya Vienna setelah berpikir agak lama.
"Gue rasa nggak ada CCTV di area itu. Baik di dalam maupun luar." Kini Raya yang menimpali. Dia memang lumayan familier kan dengan tempat itu.
Aku berdecak, "Berarti nggak ada bukti apa-apa buat cari pelakunya. Mana kemarin gue sama Vienna salah orang lagi."
"Kayanya kita harus cari orang yang jadi musuh bersama kapten-kapten club olahraga itu deh," gumam Langit lirih.
"Maksud lo?" sambar Carita cepat.
Kak Langit berdeham lalu mulai memaparkan dugaan-dugaannya, "Bayangin kalau maksud dia bikin geger satu sekolah itu untuk menjatuhkan para kapten-kapten itu. Meski sejauh ini yang kena imbasnya adalah para pacar kapten club, nggak menutup kemungkinan kan kalau sebenarnya tujuan pelaku adalah membuat para kapten ini kalang kabut. Dan setahu gue, pelatih club nggak ngasih izin kalau atlet mereka pacaran."
***
Aku dan Vienna keluar dari markas saat jam pelajaran setelah istirahat pertama dimulai. Lagi-lagi kami membolos kelas sejak tadi pagi. Aku jadi bingung tujuanku sekolah itu buat belajar atau justru mengabdi pada kepengurusan Raja dan Ratu Sekolah?
Ah sudah lah, toh sudah ada jaminan kalau aku akan baik-baik saja meski rajin membolos kelas. Kudengar, semua siswa yang pernah jadi pengurus Raja dan Ratu Sekolah akan mendapatkan kemudahan akses ke depannya. Baik untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau bahkan langsung bekerja. Terlebih, kebanyakan orang tua dari pengurus Raja dan Ratu Sekolah memanglah bukan orang biasa.
Lihat saja orang tuaku yang jelas-jelas punya perusahaan ternama di bidang fashion baik di dalam maupun di luar negeri. Lalu keluarga besar Raya dan Carita yang punya bisnis properti, hotel, dan t***k bengek lainnya. Keluarga Langit juga kutahu menjalankan bisnis di bidang konsultan keuangan dan sudah dipercaya oleh perusahaan-perusahaan besar. Jangan lupakan Tino yang merupakan keturunan bangsawan Jawa yang kekayaannya mungkin tidak akan habis tujuh turunan karena tugas mereka bukan lagi mencari uang tapi melestarikan budaya. Nah, yang terakhir yang paling membuatku nyaris tidak percaya adalah pengakuan Vienna soal papanya yang bos besar para preman sekaligus penggerak di dunia gelap sebagai seorang mafia.
"Riga," panggil Vienna menyadarkanku dari lamunan singkat.
"Kenapa?" balasku yang masih setengah sadar.
"Ayo kerjain," ujarnya sambil mendorong buku cetak yang terbuka di halaman lima.
Aku mengangguk-angguk dan segera membaca soal yang tertera di sana. Itu soal kasus dan otakku masih agak buntu.
"Rig," panggil Vienna lagi.
Aku menoleh padanya. Rupanya Vienna tengah menatap ke luar jendela kelas. Apa yang tengah ia lihat hingga raut wajahnya seserius itu?
"Cewek itu mau di bawa ke mana?" tanya Vienna yang membuatku mengernyit dan turut memperhatikan bagian luar kelas.
Aku agak terkejut saat menyadari seorang cewek tengah dipaksa mengikuti sekelompok cewek-cewek lainnya. Saat aku perhatikan baik-baik, aku berhasil dibuat lebih terkejut lagi.
"Dia Kak Melodi," ujarku dengan suara syok berat. Sepertinya dia hendak dibully.
Vienna menggumam, "Ah, jadi benar kata Kak Raya kalau Kak Melodi juga salah satu korban video itu. Sayangnya Kak Melodi nggak sekuat Kak Raya. Dia nggak bisa melawan ketika ditindas. Kita kudu gimana?"
Aku menepuk bahu Vienna, "Gue bakalan izin ke toilet, habis itu lo juga nyusul."
Setelah berpesan begitu, aku bergerak menuju meja guru. Aku membuat alasan untuk pergi ke toilet. Setelah diizinkan, aku segera menuju ke arah Kak Melodi diseret-seret.
Duh, aku hampir lupa. Aku harus menunggu Vienna. Tapi lalu ponselku berdering. Sebuah notifikasi pesan muncul layar. Aku segera mengeceknya.
From : Vienna
Rig, duluan aja. Aku diminta maju habis ini.
Ah, Vienna tidak bisa bergabung denganku. Baiklah, aku akan menolong Kak Melodi sekarang.
Ke mana perginya Kak Melodi? Aku menyusuri jalanan yang sama dan sampai di sebuah gudang. Aku mencoba mengintip ke dalam gudang itu. Ternyata benar, Kak Melodi ada di sana.
"Ngaku aja kalau lo ngadu kan ke Iko!" bentak salah seorang siswi yang sepertinya tadi pagi juga turut menyerang Kak Raya. Rupanya mereka memang hobi berbuat onar.
"Enggak, Kak. Saya nggak bilang ke siapa-siapa." Kak Melodi berusaha meyakinkan.
Cewek yang tadi membentak Kak Melodi kini maju selangkah. Ia melemparkan bola kasti ke perut Kak Melodi hingga Kak Melodi memekik kesakitan. Ia lalu mengancam, "Kita nggak akan berhenti bully lo sebelum lo putus sama Iko. Paham?"
Aku sudah hampir masuk ke dalam gudang itu tapi ada seseorang yang mencekal tanganku. Ternyata dia adalah Raya.
Raya membawaku menepi saat sekumpulan cewek-cewek pembuat onar keluar dari gudang. Mereka kelihatan puas setelah menyiksa Kak Melodi.
Aku melirik ke Raya. Raya masih mengamati kepergian cewek-cewek pembuat onar.
"Ngapain lo di sini?" tanyaku pada Raya.
"Ngumpulin bukti buat ngasih mereka pelajaran," balas Raya sambil melenggang pergi.
Kupikir Raya akan menolong Kak Melodi. Tapi rupanya aku sempat lupa kalau Raya bukanlah orang yang akan mau repot-repot menolong orang lain. Sepertinya cewek itu memang titisan iblis.
***